Wanita Yang Menutup Aurat.
Aku adalah gadis dari daerah yang berasal dari Jawa Barat, terkenal sebagai penghasil beras. Walau berasal dari keluarga petani, tetapi ayahku cukup kaya untuk ukuran desa, ayahku mempunyai sawah berhektar hektar ditambah dengan ribuan ekor itik yang menghasilkan ribuan ekor telur setiap harinya. Wajar kalau ayahku dianggap sebagai orang terkaya di desa. Tidak heran aku hidup seperti seorang putri apa lagi aku adalah anak bungsu dan wanita satu satunya dari 4 bersaudara. Itu artinya hidupku bergelimang materi dan juga kasih sayang dari kedua orang tua dan saudara saudara laki lakiku.
Namaku adalah Kokom Komariah, cerita ini terjadi saat aku berusia 18 tahu, saat aku masih menjadi gadis abg labil yang lugu dan menganggap semuanya serba indah. Apa lagi aku dikaruaniai wajah cukup cantik menurutku sedangkan menurut orang orang yang berada di sekitarku, aku sangat cantik seperti wajah para artis yang sering dilihat di film film. Apa lagi aku selalu menutup auratku dengan baju syar’i, sehingga menambah aura kecantikanku. Tubuhku tergolong bongsor, apa lagi payudaraku melebihi ukuran payudara gadis gadis seusiaku membuatku kadang merasa malu dengan ukurannya yang menurutku abnormal.
“Mak, kenapa atuh susu kokom gede gede amat. Kokom malu.!” pertanyaan yang sudah sering aku tanyakan kepada ibu setiap kali kami berdua. Tentu saja aku tidak berani menanyakan hal itu di hadapan saudara saudaraku maupun di hadapan ayahku. Aku hanya berani menanyakan hal itu saat berduaan dengan ibuku di dalam kamar.
“Ari Kokom, banyak perempuan yang pengen punya susu gede, kamu kok malah malu..?” tanya ibuku sambil berusaha menahan tawanya.
“Iya, malu. Temen temen Kokom susunya gak ada yang segede, Kokom.” kataku merajuk karena ibuku hanya tersenyum menahan tawa. Mestinya dia tahu bahwa aku benar benar tersiksa dengan ukuran payudaraku, bayangkan, aku harus memakai BH dengan Cup C sementara teman temanku memakai BH dengan Cup A.
“Susu emak lebih gede dari punya kamu. Justru ini yang bikin betah bapak kamu.” kata ibuku selalu itu yang diucapkannya sambil membuka bajunya memperlihatkan ukuran payudaranya yang besar bahkan menurutku sangat besar menggelantung seperti pepaya. Mungkin karena usianya yang menginjak kepala 4 membuat payudaranya menggantung seperti buah pepaya. Untungnya sjak masuk SMP aku sudah terbiasa memakai pakaian syar’i yang sedikit banyak mampu menutupi kebasaran payudaraku yang tumbuh subur dan sepertinya setiap bulan bertambah besar saja. Itu bisa kurasakan karena setiap beberapa bulan sekali aku harus mengganti ukuran BHku. Sebagai gadis desa, kehidupanku cenderung agamis apa lagi tempat tinggalku berdekatan dengan sebuah pondok pesantren yang cukup besar.
Kalau sudah begitu aku akan berhenti mengeluh. Payudara milikku adalah gen turunan yang mengalir dari ibuku. Bukan hanya payudara, wajahkupun sangat mirip dengan ibuku, yang membedakan hanya usia kami. Kulitku yang kuning langsat adalah warisan ibu kalau itu bisa dianggap sebagai sebuah warisan. Atau mungkin juga aku adalah klonning ibuku saking miripnya kami. Sekali lagi yang membedakan kami adalah usia dan status kami ibu dan anak.
Salah satu hal yang membuatku merasa tidak nyaman dengan ukuran payudaraku adalah saat berpergian ke mana saja. Baik naik motor maupun naik angkot, saat mobil atau motor yang aku naiki berguncang maka dadaku akan ikut berguncabg dengan keras, rasanya sangatlah tidak nyaman untuk gadis seusiaku. Apa lagi kalau BH yang aku kenakan terlalu besar, guncangannya sangat terasa. Kalau BH yang aku pakai terlalu kecil akan membuat nafasku agak sesak. Benar benar serba salah. Belum lagi pandangan laki laki yang tidak berkedip melihat payudaraku yang berguncang keras.
Apa lagi saat pelajaran olah raga, mau tidak mau aku harus memakai kaos ketat yang terasa sesak karena ukuran payudaraku membuat kaos yang aku kenakan menjadi kekecilan. Otomatis kembali payudaraku yang terguncang menjadi tontonan gratis teman temanku. Bahkan guru olah raga selalu mencari cari kesempatan untuk berdekatan denganku agar bisa lebih jelas guncangan payudaraku
Bahkan sering aku mendengar bisik bisik teman temanku baik cowok maupun cewek yang membicarakan payudaraku. Aku merasa dilecehkan.
***********
“Kom, eta temen temen kamu udah pada nyamper ngaji.!” kata Ibu masuk tanpa mengetuk pintu membuatku yang sedang asik berkaca di carmin besar yang menempel di pintu lemari pakaian kaget. Reflek tanganku menutup ke dua payudara yang belum terturup BH.
“Emak, kalau masuk ketuk pintu dulu.!” kata Kokom cemberut. Untung saja yang masuk adalah ibu coba kalau yang masuk ayah atau kakak laki lakiku dan melihatku hanya memakai celana dalam saja, persoalannya tentu akan menjadi lain. Apa mereka bisa menahan nafsu melihat kemolekan tubuhku. Apa setan tidak akan berpesta dalam jurang nista.
“Maneh, kalo dibilang supaya ngonci pintu kalau lagi telanjang. Coba kalau yang masuk akang akang kamu, kamu bisa dperkosa..!” kata ibuku mengeleng gelengkan kepala dengan kelakuan anak bungsunya ini.
“Ari Emak kalau ngomong suka sembarangan..!” kataku jengkel mendengar ucapan ibuku. Bagaimana mungkin kakak laki lakiku akan memperkosa adik kesayangannya. [A]Amit amit jabang bayi.[/B] Hal itu tudak mungkin terjadi. Perawanku hanya untuk suamiku setelah kami menikah.
“Paralun, emak cuma becanda.” kata ibuku menutup mulut setelah menyadari ucapannya yang sembarangan. Bukankah ucapan seseorang adalah do’a, apa lagi diucapkan seorang ibu.
“Ini Mak, BH Kokom udah sempit lagi.” kataku menunjukkan BH Cup B. Aku lega karena yang masuk adalah ibu sehingga dia tidak perlu menutupi ke dua payudaraku yang menggantung indah dan menjadi impian setiap gadis yang ingin memiliki payudara seindah milikku. Itu kata ibuku dan omongan iseng teman temanku setiap kali melihat payudaraku.
“Besok kamu ke pasar, nyari BH lagi. Buruan, teman temanmu sudah nyamper ngaji.” kata ibu menatap kagum dengan keindahan payudaraku. Mengingatkannya dengan bentuk payudaranya sewaktu masih seusia denganku. Payudara yang selalu mendapatkan pujian dari ayah sebagai payudara terindah bahkan sampai sekarangpun ayahku sering kudengar memujinya. Walau kadang aku merasa jengah mendengarnya. Bagaimana mungkin ibu dengan sabtainya menceritakan bagaimana ayah mengagumi payudaranya.
Aku tidak menjawab, dengan tergesa gesa aku memakai pakaian baju gamis syar’i berwarna krem serasi dengan kulitku yang kuning langsat. Sekali lagi aku berkaca memastikan penampilanku sudah sempurna. Cantik, pikirku memuji penampilanku yang terasa semakin cantik dengan hijab Syar’i yang sedang ngetren Selesai, aku segera mengambil Qur’an yang tergeletak di meja belajar dan dengan setengah berlari aku menemui teman temanku Ecih dan Tina.
“Emak, Kokom berangkat..!” kataku mencium tangan ibu diikuti oleh ke dua temanku yang terlihat sangat menghormati ibuku. Ya ibuku terkenal dengan kedermawananya sehingga orang sangat menghormati beliau.
“Mangga Bu Haji, assalam mu’alakum.” kata Ecih dan Tina hampir bersamaan.
Jarak dari rumahku ke tempat ngaji tidak begitu jauh, kurang lebih 500 meter. Mungkin untuk ukuran kota jarak itu cukup jauh, tapi untuk kami orang desa terhitung dekat. Hanya karena perbedaan kebiasaan sebuah jarak menjadi jauh atau dekat. Tidak sampai sepuluh menit kami sudah sampai tempat mengaji dan kami adalah orang terahir yang datang. Ustadzah Aisyah sudah mulai mengajar. Suaranya yang lembut dan merdu mampu melunakkan hati siapa saja yang mendengarnya.
Ustazhah Aisyah belum menikah, usianya hanya terpaut 5 -6 tahun denganku. Wajahnya cukup cantik dan tentu saja dianggap perawan tua untuk ukuran desa. Resiko yang harus diterima Ustazhah Aisyah yang memilih menjadi seorang guru ngaji dan bercita cita mendapatkan suami seorang Ustad lulusan pesantren seperti dirinya. Untung yang kudengar dari cerita orang orang.
“Assalam mu’alaikum Ustazhah, maaf saya terlambat..!” kataku mencium tangan Ustazhah Aisyah diikuti Ecih dan Tina.
Setelah mendapat ijin dari Ustazhah Aisyah, aku duduk di baris paling belakang karena datang telat. Sudah menjadi kebiasaan di sini, mereka tidak mempunyai tempat yang pasti, siapa yang datang paling dahulu akan duduk di barisan depan dan begitu seterusnya sehingga kita bisa tau siapa saja yang datang lebih dahulu maupun yang terlambat datang.
Beginilah keseharianku, sore ba’da asyar mengaji lalu shalat berjama’ah bersama Ustazhah Aisyah. Pulang ba’da maghrib. Itu alasannya kenapa setiap hari aku berangkat mengaji selalu bareng dengan Ecih dan Tina agar ada teman saat pulang dari rumah Ustazhah Aisyah yang berjarak sekitar 500 meter dari rumah. Kalau harus pulang sendiri dari rumah Ustazhah Aisyah rasanya aku belum berani apa lagi harus melewati sebuah kuburan tua yang terkenal dengan nama kuburan penganten.
Kuburan pengantin sangat terkenal di desaku dan juga desa desa tetangga. Konon di tempat ini dikubur dua jasad pengantin baru yang dikubur dalam satu liang lahat. Kejadiannya berpuluh tahun yang lalu bahkan saat itu ibuku belum lahir, ada sepasang pengantin yang sedang bersanding di pelaminan, tiba tiba pengantin wanitanya meninggal, pengantin pria yang melihat istrinya meninggal langsung bunuh diri dengan cara menusuk jantungnya dengan sebilah golok. Setelah itu aku tidak tahu lagi ceritanya seperti apa.
******
“Assalam mu’alaiku Ustazhah..!” kata kami berebutan mencium tangan Ustazhah agar bisa pulang secepatnya.
“Sabar sabar, satu satu jangan rebutan..!” kata Ustazhah Aisyah setiap kali kami berebutan mencium tangannya yang halus dan selalu saja kami selalu mengulangi hal yang sama setiap harinya.
“Kom, tahu gak si Asep kan pacaran sama Teh Euis.!” kata Ecih menceritakan kabar yang cukup mengejutkan karena diam diam aku naksir Asep cowok paling ganteng di kampungku.
“Bohong, maneh. Mana mungkin si Asep pacaran sama Teh Euis yang udah janda dan punya anak satu..!” kataku tidak percaya dengan kabar dari Ecih.
“Bener Kom, kemarin waktu pulang ngaji kami lihat Asep ke rumahnya Teh Euis, kami malah ngintip mereka lagi….!” jawab Tina tidak meneruskan kalimatnya.
“Lagi apa..?” tanyaku dibakar cemburu. Aku mulai mempercayai cerita yang disampaikan ke dua temanku ini. Mana mungkin mereka berbohong padaku.
“Nanti kita intip lagi biar kamu percaya. Itu sudah dekat.” kata Ecih sambil menunjuk sebuah pohon Randu besar yang berada sekitar dua puluh meter di hadapan kami.
Aku tidak berani bertanya lagi karena saat ini kami sudah dekat dengan tempat paling angker di desa kami. Momok bagi setiap orang yang melintasinya. Aku mulai membaca ayat Qursyi yang konon bisa digunakan untuk mengusir hantu agar tidak mengganggu.
Tanpa di komando kami berjalan beriringan dengan tubuh kami salimg merapat saat kuburan pengantin sudah dekat, tepat di bawah pohon randu yang besar itulah sepasang pengantin yang legendaris itu terkubur. Detak jantungku semakin kencang saja, tangan kami saling berpegangan dengan erat saat kami melintas di kuburan pengantin dan tanpa aba aba kami berlari sekencang kencangnya berusaha secepatnya melintasi kuburan pengantin yang sangat angker itu.
Sepuluh meter setelah kami berhasil melewati kuburan pengantin, kami baru berhenti berlari. Nafas kami tersengal sengal, payudaraku terasa tidak nyaman karena BH yang aku kenakan sudah mulai kekecilan dan membuatku semakin kesulitan bernafas. Untuk beberapa saat aku melupakan cerita tentang Asep. Hanya beberapa saat sampai nafasku kembali normal, aku kembali teringat cerita tentang Asep.
“Itu beneran kalian liat Asep pacaran sama Teh Euis?” tanyaku memegang tangan Ecih yang mulai berjalan kembali.
“Iya, kemaren kami dengar Asep mau datang lagi ke rumah Teh Euis, makanya kita ke sana buat ngintip mereka.” kata Tina yang menjawab pertanyaanku. Ahirnya aku setuju dengan ajakan mereka untuk ke rumah Teh Euis terpaksa kami mengambil jalan memutar agar tidak melewati rumahku. Agak jauh memang, tapi ini jalan satu satunya yang harus aku ambil agar orang tuaku tidak melihatku sudah pulang ngaji.
Kami berjalan melewati beberapa rumah penduduk tanpa banyak bersuara agar kehadiran kami tidak memancing kecurigaan penduduk kampung yang mungkin saja melihat kami lewat.
Ahirnya kami tiba di rumah Teh Euis, kami sengaja lewat belakan agar tidak ada yang mengetahui kehadiran kami. Yang membuatku heran kenapla Tina dan Ecih justru mengajakku ke arah jendela kamar yang berada di samping. Lalu bagaimana caranya kami mengintip. Apa lewat lobang lobang dinding bilik. Tapi biliknya terlalu rapat, tidak ada celah atau lobang untuk mengintip. Lewat jendela mustahil kami bisa melihat bagian dalam. Kecuali jendelanya terbuka atau tidak ada hordeng yang menghalangi pandangan kami ke dalam. Kenapa tidak mengintip dari depan, bersembunyi di balik pohon mangga yang besar. Bodoh, bersembunyi di balik pohon mangga tentu saja akan dengan mudah terlihat orang yang lewar. Mungkin bebar bersembunyi di samping rumah adalah pilihan paling aman karena terhalang oleh pohon singkong karet yang berfungsi sebagai pagar…
Kami menunggu agak lama, hingga ahirnya kami mendengar suara yang berbisik bisik dari balik dinding bilik. Walau samar, aku hafal suara orang yang sedang berbisjk. Itu suara Teh Euis dan benar suara laki laki itu adalah suara Asep. Aku sangat mengenalnya.
“Sep, buruan buka celana, nanti keburu ada orang yang tahu..” kata suara Teh Euis, ya itu pasti suara Teh Euis, kenapa dia menyuruh membuka celana? Dadaku terasa sesak dibakar cemburu mendengar percakapan yang terdengar begitu jelas. Dinding bilik tidak mampu meredam suara mereka apa lagi sekeliling tempat ini sunyi, bahkan suara jarum jam akan terdengar nyaring.
“Teh, Asep pengen jilatin memek Teh Euis..!” kata suara Asep benar benar membuatku shock dan tahu apa yang sedang terjadi di dalam dinding bilik itu. Sebuah perbuatan nista yang tidak layak dilakukan. Ini adalah zinah.
“Jangan, Sep. Langsung masukin kontol kamu, Teh Euis udah gak tahan.” kata suara Teh Euis membuatku tidak mampu menahan diri lagi, tanpa bersuara sama sekali aku beranjak menjnggalkan tempat itu dan juga meninggalkan Ecih dan Tina.
Hariku terlalu sakit, orang yang ku sudah melakukan zinah denga wanita yang jauh lebih tua. Wanita berusia 30 tahunan yang kukenal sebagai wanita baik baik dan selalu menutup auratnya dengan pakaian syar’i tapi ternyata itu hanyalah sebuah topeng untuk menutup kelakuannya yang nista. Ingin rasanya aku berteriak agar semua orang tahu dengan kelakuan wanita itu. Tapi kerongkonganku sudah kering, lisanku sudah kelu untuk mengeluarkan suara yang bisa kulakukan hanyalah menangis sepanjang jalan.
Tidak ada lagi rasa takut saat melintas jalan yang gelap dan dipenuhi pohon pohon tinggi,. Pikiranku terpusat pada rasa sakit karena telah dihianati Asep. Aku benar benar patah hati. Hanya naluriku yang menunjukan arah rumahku karena pikiranku kosong.
“Kom, kamu kenapa?” tanya ayahku yang duduk di ruang tamu dengan dua orang tamunya.
“Emak mana?” tanyaku tidak menggubris pertanyaan ayah. Satu satiyang ingin kulakukan adalah menangis dalam pelukan ibuku. Hanya ibu yang mampu menenangkan hatiku saat sedang bersedih.
“Di kamar..!” kata ayahku berusaha menarik tanganku dan memelukku seperti yang biasa dilakukannya saat aku sedang menangis. Aku menepis tangan ayah, meninggalkannya begitu saja.
Tanpa mengetuk pintu, aku langsung membuka pintu kamar. Aku agar terkejut melihat keadaan ibuku yang sedang membereskan sprei dalam keadaan bugil. Rambutnya terlihat acak acakan dan aku mencium bau yang aneh, bau yang pernah aku cium dulu saat aku masuk ke dalam kamar dan melihat ayah dan ibuku baru saja selesai berhubungan sex, bau yang melekat dalam ingatanku.
Bersambung.