Unchained Melody
Seminar tentang management terkadang merupakan refreshing dari kesibukan di kantor, apa lagi kalau pembicaranya menarik. Meskipun sebenarnya aku tidak terlalu berminat, tapi karena tugas dari kantor maka mau tidak mau harus berangkat juga.
Session pertama tidaklah terlalu menarik, topiknya bagus tapi pembicaranya terlalu datar dalam menyampaikan, begitu juga pembicara kedua tidak ada yang istimewa hingga acara makan siang. Session ketiga adalah paling berat, dimana serangan kantuk datang, pembicaranya haruslah pintar membawa suasana.
Begitu session ketiga, berjalanlah ke podium seorang wanita cantik dengan anggunnya, menyihir pesona peserta seminar. Dengan santai dan penuh percaya diri dia duduk di deretan pembicara dan moderator, lalu sang moderator membacakan Curiculum Vitae dia, namanya Natasya Kusumawati. Tersentak aku mendengarnya setelah semua CV dibaca. Kupandang lebih seksama, aku hampir yakin bahwa dia adalah Nana, teman SMA dulu, wanita pertama kepada siapa aku jatuh cinta dan wanita pertama pula yang membuatku patah hati karena cintaku yang tidak terbalas.
Selama session dia, aku tidak dapat mengkonsentrasikan pada materi seminar, kunikmati penampilan Bu Natasya, nama resminya, hingga tidak terasa session dia sudah habis dan dilanjutkan dengan coffea break.
Bu Natasya dikelilingi banyak peserta seminar untuk melanjutkan tanya jawab yang tidak terakomodir di forum seminar. Dengan tangkasnya dia menjawab semua pertanyaan. Hingga pada suatu kesempatan dimana dia sendirian saat mengambil kue, kusapa dia dengan nama akrabnya.
“Nana ya..?” sapaku agak ragu.
Langsung Bu Natasya membalikkan badannya, rambutnya yang terurai menebarkan harum semerbak.
“Haii.., Hendra ya..?” sapa Nana terkejut.
“Kamu sekarang lain, tidak seperti waktu dulu masih SMA, jauh berubah..” lanjut Nana, ada binar kebahagiaan di matanya.
“Kamu juga lain, congratulation good presentation, banyak kemajuan baik penampilan maupun kedewasaan..” balasku.
“Gimana kabarmu dan dimana aja kamu selama ini..?” lanjutku.
“Aku di sekitaran sini aja setelah dari Australia, sekarang aku nginap di hotel ini, habis ini mampir ya, aku udah kangen pingin tahu cerita lainnya..” jawab Nana kegirangan.
“Oke, abis acara ini bagaimana..?” usulku.
“Oke aku di kamar 806, langsung aja ke kamar setelah acara..” katanya sambil meninggalkanku karena acara berikutnya segera dimulai.
Sisa session sudah tidak kuperhatikan lagi, bayangan Nana masih terbayang di mataku, sungguh anggun dan dewasa penampilannya. Setelan jas dan baju kerjanya tidak dapat menutupi postur tubuhnya yang dari dulu kuimpikan, malah lebih seksi, dan penampilannya yang penuh percaya diri menambah keanggunan dan inner beauty-nya.
Pukul 4.30 sore acara sudah selesai, bergegas aku menuju lantai 8 kamar 06 yang ternyata letaknya di pojok. Agak ragu kupencet bell di pintu. Tidak lama kemudian muncullah Nana dari balik pintu, dengan mengenakan pakaian santai t-shirt dan celana pendek sungguh jauh berbeda dengan penampilan saat di podium. Sekarang kulihat Nana yang kukenal dulu, tidak jauh berbeda, dengan make-up tipis nyaris tidak kelihatan, dia begitu cantik alami.
“Sorry agak lama ya, abis aku tadi ketiduran sih, masuk Hend, santai saja.., anggap rumah sendiri..,” sapanya sambil mempersilakan aku masuk.
“Ah nggak apa..” jawabku.
“Baru bangun tidur saja cantiknya seperti itu,” pikirku.
“Nggak ada yang marah nih kalau kita berdua saja di kamar..?” kataku mulai memancing.
“Ah nggak ada, paling juga bini kamu..,” jawabnya.
Akhirnya kami mengobrol dan bernostalgia, kemudian aku tahu kalau dia tidak punya anak dan sudah berpisah dengan suaminya sekitar tiga tahun yang lalu, karena mereka sama-sama mengejar karier, dan suaminya punya affair dengan rekan sekantornya. Untuk menghibur diri dan pelarian, Nana melanjutkan study managemant di Australia, dan sekarang inilah dia, seorang wanita karier dan consultant management yang sedang menanjak.
Aku permisi ke kamar mandi, tanpa sengaja melihat benda aneh di tumpukan handuk setelah kuperhatikan, ternyata sebuah set vibrator dengan berbagai ukuran dan model, pikiranku mulai menebak-nebak dan memaklumi perbuatannya, sebagai seorang wanita normal kebutuhan sex memang perlu, apalagi sudah beberapa tahun tanpa lelaki pendamping. Lagi asyik aku memperhatikan vibrator itu, tiba-tiba pintu diketuk dari luar.
“Hend, mandi aja sekalian..” teriak Nana dari luar.
“Eh.., anu.. emm.. emang aku ingin mandi kok..!” jawabku gugup dan sekenanya.
Segera kubuka pakaianku sambil mengamati peralatan toiletrees miliknya, ternyata kutemukan juga lubricant alias pelumas, mungkin pasangan vibrator pikirku lagi.
Setelah aku selesai mandi, gantian Nana mandi, ternyata dia sudah menyiapkan kimono untukku. Tidak lama kemudian dia selesai mandi dan hanya berbalut handuk di tubuhnya. Nana keluar kamar mandi, takjub aku dibuatnya, tubuhnya begitu mulus dan seksi.
“Hend, kamu tadi lihat ini ya..?” katanya penuh selidik sambil mempertunjukkan vibratornya.
“Eh.., anu.., nggak sengaja kok, maaf ya, sunguh aku nggak sengaja, jangan marah ya..,” kataku membela diri takut dia marah karena privacy-nya terganggu.
“Nggak apa kok, kita sama-sama dewasa. Selama ini alat inilah yang memuaskan kebutuhanku.” katanya tanpa ada nada sungkan, tapi kulihat kepedihan di matanya.
Kupegang tangannya dan kutarik Nana ke pelukanku, dia tidak melawan dan membalas pelukanku, kepalanya disandarkan di bahuku, harum rambutnya membuat birahiku naik.
“Hend, temani aku malam ini, I’ll do everything for you, demi masa lalu kita, ya, please..!” bisiknya meminta dan merajuk.
Tanpa menjawab, kucium keningnya, pipinya dan kulumat bibir manisnya, terasa begitu lembut dan penuh getaran-getaran yang aku sendiri tidak tahu. Jantungku berdegub kencang, aliran darah serasa mencapai ubun-ubun, dan dengan sedikit gemetar tanganku membelai rambutnya.
Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi, berhadapan dengan Nana, kepada siapa aku pertama kali fall in love, membuatku menjadi begitu nervous. Aku hanya berani mencium pipi dan bibirnya saja, tidak ada keberanian untuk lebih jauh, meskipun nafsu sudah meninggi. Ternyata Nana salah pengertian, dia melepaskan pelukanku.
“Hend, kalau kamu keberatan temani aku nggak apa kok, aku mengerti dan nggak marah,” katanya sambil memandang mataku dengan tajam.
“Bukan itu Na, terus terang aku nervous berhadapan sama kamu, mengingat masa lalu cinta yang nggak kesampaian,” jelasku.
Nana langsung menerjang ke pelukanku hingga kami berdua terjatuh ke ranjang. Kembali mulut kami memadu kasih, permainan lidah yang sungguh indah karena bukan hanya sekedar nafsu, tapi ada feeling yang tidak terlukiskan.
Sepertinya kami saling melepas rindu yang sudah jauh terpendam. Kugulingkan tubuh kami hingga sekarang aku menindih tubuh Nana, ciumanku langsung mendarat di lehernya yang jenjang, tanganku menarik handuk penutup tubuhnya hingga terlepas, dan ternyata dia sudah tidak memakai pakaian dalam lagi. Kulepas kimono dan celana dalamku, sambil menikmati keindahan tubuh Nana yang sudah telanjang, ternyata jauh lebih indah dan lebih seksi dari imajinasiku.
Badannya yang putih mulus sangat menggoda, buah dadanya yang tidak tampak menonjol di balik jas dan blasernya tadi siang ternyata cukup montok dan kencang, paling tidak 34C. Perutnya rata seperti halnya seorang peragawati, dan yang paling seksi adalah bulu rambut bawahnya dirapihkan hingga membentuk V, pemandangan yang tiada duanya.
Aku kembali naik ke atas tubuhnya, kucium dan kujilati lehernya, terus turun hingga ke belahan buah dadanya, kunaiki bukit itu hingga putingnya yang masih kemerahan. photomemek.com Jilatanku menggoda dan mengundang kegelian pada Nana, dibelainya rambutku.
“Ssshh.. sshh.., trus sayang..! Yaa.. he.. emm..!” desahnya.
Jilataan dan sedotanku berpindah dari puncak satu ke lainnya, sambil tanganku mengusap bibir vaginanya yang ternyata sudah basah.
Nana menggelinjang, entah sudah berapa lama tidak dicumbu oleh laki-laki, cengkeraman di rambutku makin kencang dan desahannya semakin keras. Lidahku sudah menjelajah ke daerah perut, berlanjut hingga paha. Kupermainkan jilatan di lututnya, membuat dia menggeliat-geliat, kemudian betis, terakhir kukulum jari-jari kakinya kiri dan kanan.
“Hend, kamu sungguh romantis..,” katanya sambil melihatku menjilati jari kakinya.
Giliran selanjutnya adalah selangkangan, aromanya sungguh merangsang, kujilati dari bibir luar hingga masuk ke dalam.
“Aaagghh.., sshh.. hhmm.. yess..!” desah Nana ketika kujilat sambil kumasukkan jari tanganku ke vagina dan mengocoknya.
Kumainkan lidahku menjelajahi bibir dan luar vagina, jilatan terus turun hingga ke lubang anus dan kembali lagi ke bibir vagina. Tidak tahan diperlakukan seperti itu lebih lama, Nana memintaku untuk telentang, kemudian dia bersimpuh di antara kakiku.
“Ini adalah penis kedua yang kupegang setelah suamiku, jauh lebih besar dari punya dia, dan aku tak pernah malakukan ini.” kata Nana langsung menjilati ujung kejantananku.
Sambil mengocok, dimasukkan kepala kejantananku ke mulutnya, tanpa kesulitan yang berarti dia mengulum lebih dari setengah batang 17 cm penisku (mungkin biasa dengan dildo), lalu dikocoknya keluar masuk dengan mulut mungilnya. Takut keterusan, kutarik tubuhnya hingga dia telentang, kemudian kembali kutindih tubuh sexy-nya.
Kali ini kami sama-sama telanjang, bagitu hangat. Kami berciuman lagi, sementara tangan Nana menuntun kejantananku ke vaginanya, disapukan ke seluruh permukaan bibir vagina dan dengan sekali dorong amblaslah kejantananku ke vagina yang pertama kali kuimpikan, masuk semua.
“Aaahh.. sshh.. yaa.. oeh.., yaa..!” desahnya.
Kubiarkan sesaat, kami berdua sama-sama tidak bergerak, saling menikmati saat-saat indah yang sudah lama kudambakan. Kupandangi wajahnya dengan penuh kasih, sorotan matanya memancarkan kerinduan yang dalam.
“Hend, I miss you soo much..!” katanya sambil mencium bibirku.
Perlahan kutarik keluar, tapi Nana menahannya, memintaku untuk tetap diam.
“Biarkan aku menikmati saat indah ini..,” katanya lagi, hingga terasa denyutan ringan dari dalam vaginanya, kuanggap sebagai tanda.
Maka pelan-pelan kutarik keluar, kemudian pelan-pelan pula kudorong masuk lagi.
“Ooouugghh.. yess.., Hend.. fuck mee..!” desahnya.
Pinggulku makin cepat turun naik, kocokanku bertambah cepat dan keras aku menyodoknya.
“Fuck mee..! Pleaassee.., harder.. harder.., yess.. begitu.., teruss..!” Nana mulai mengerang.
Berulang kali dia mencium dan mengigit ringan bibirku karena gemas, tangannya mencengkeram tanganku, sementara satunya meremas ujung bantal. Kaki Nana menjepit pinggangku sehingga pinggulnya sedikit terangkat, lebih memudahkan aku untuk mendorong lebih dalam dan lebih cepat. Erangan dan desahan Nana makin keras, sepertinya dia meluapkan rasa dahaganya, pinggulnya ikut bergoyang mengimbangi goyanganku.
Tiba-tiba Nana terdiam, remasan di tanganku makin kencang.
“Sayang, aa.. kuke.. ke.., lu.. aarrgghh.., yaa.. yess..! Oh my god.., yess.., Heenn..!” teriak Nana ketika kurasakan denyutan berkepanjangan seirama dengan teriakan Nana, kemudian tubuhnya melemas.
Kuhentikan gerakanku untuk memberi dia waktu, tapi sepertinya Nana tidak mau berhenti, pinggulnya kembali bergoyang.
“Ayo sayang, keluarkan di dalam, aku sudah lama tidak merasakan semprotan sperma di vaginaku..,” pinta Nana mempercepat goyangannya.
Kunaikkan kembali tempo goyanganku dan makin keras, apalagi setelah Nana menaikkan kakinya ke pundakku, kejantananku serasa menyentuh dinding rahimnya. Desahan demi desahan keluar dari mulut Nana, goyangan dan gelinjangan tubuh Nana membuatku tidak dapat bertahan lebih lama, ditambah perasaan kangen yang mendalam sehingga pertahananku runtuh, maka menyemburlah spermaku di vaginanya.
“Ooouuhh.., yess.. oohh my god yess, ya Sayang.., terus.., yess.. oh.., I like it.., yess.. oohh..,” desahnya ketika semburanku menghantam dinding vaginanya.
Denyut demi denyut mengalir di liang vaginanya, ternyata teriakannya lebih histeris dibandingkan kalau dia sendiri yang orgasme. Dapat dimaklumi, karena vibrator maupun dildo tidak dapat memberikan sensasi denyutan yang seperti itu, dan hal itu mengisi dahaga Nana. Kami berciuman lagi, hingga kejantananku melemas dengan sendirinya.
“Thank you Hend.., kamu telah mengisi kedahagaanku, I love you..,” katanya sambil kembali menciumku dan kami telentang sambil berpelukan, kepalanya direbahkan di dadaku.
Sesaat kami terdiam mengenang peristiwa indah yang baru terjadi, impian yang menjadi kenyataan setelah lebih dari sepuluh tahun terpendam.
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,