Suka Cerita Sex Mantan Terindah
Kisah ini sedikit ada hubungannya dengan tempat dimana aku dulu bertemu Yuni. Aku kadang-kadang masih nongkrong di tempat dulu aku bertemu dengannya dengan harapan bisa bertemu dengannya. Saat aku duduk di sana dan berharap untuk bertemu lagi dengannya, peristiwa ini terjadi.
Selagi duduk-duduk di halte sambil baca koran dan sesekali memperhatikan sekelilingku, ternyata sudah ada wanita setengahbaya duduk di sebelahku. Kelihatannya baru pulang kerja. Tidak sulit untuk membuka percakapan.
Kusapa dia dan setelah ngobrol beberapa saat aku tahu namanya Windy, umurnya empat puluhan, tubuh mungil 155 cm, kulit agak gelap, rambut tebal agak lurus. Berasal dari Nusa Tenggara Barat, sekarang tinggal di Ciputat. Secara umum dari keadaan fisiknya paling tinggi kunilai 6,5.
Rasa penasaran dan fantasi tentang kuda Sumbawa yang sangat terkenal serta iklan khasiat susu kuda liar dari Nusa Tenggara tiba-tiba saja memenuhi benakku.
Dengan memutar otak aku berpikir bagaimana caranya aku dapat merasakan tubuhnya. Orangnya tidak cantik memang, tapi karena ingin merasakan sensasi naik kuda Sumbawa aku jadi cari akal untuk mengarahkan pembicaraan dan membuka jalan.
“Eiihh, lapar juga..”, kataku bergumam agak keras seolah-olah berbicara sendiri.
Ia menatapku sejenak, tanpa mengeluarkan komentar. “Nggak lapar?” tanyaku padanya.
“Nggak tuh, saya biasanya makan malam nanti setelah jam sembilan malam”, katanya.
“Mau temani aku makan?” kataku memintanya.
Sekilas dia melihat jam tangannya, dan akhirnya, “Boleh, tapi saya tidak ikut makan”.
Kami berjalan ke warung tenda Soto Betawi, tempat aku dulu juga pernah makan dengan Yuni. Kutawari makan, tetapi kembali dia menolaknya.
“Aku minum sajalah”, katanya.
Sambil makan kembali kami ngobrol. Kini aku tahu dia bekerja pada sebuah hotel berbintang. Aku lupa apa namanya dalam dunia perhotelan, yang jelas dia bertugas membantu chef untuk menyiapkan pesanan makanan dari kamar hotel. Aku masih juga berpikir bagaimana mengarahkan pembicaraan kami, tapi belum ketemu juga caranya.
“Sudah yuk, sudah mulai gelap tuh. Aku mau pulang, takut kemalaman dan kelihatannya mau hujan”, ia mengajak keluar warung setelah kami selesai makan.
Kami kembali ke halte dan duduk diatas bangku semen. Aku sudah kehabisan akal bagaimana cara mengajaknya main kuda-kudaan. Aku sudah gelisah. Akhirnya kuputuskan tembak langsung saja. Untung-untungan.
Kalau dapat ya aku untung, kalau ditolak bahkan didamprat atau dimaki ya buntung. Paling kalau dimaki, tinggalin pulang saja. Toh dia juga tidak tahu alamatku, hanya tahu namaku saja.
“Yan, jangan marah ya! Aku mau ngajak kamu check in..”, kataku dengan suara berbisik di dekat telinganya.
Gila juga aku, sudah ngajak orang yang baru kenal untuk check in, bilang jangan marah lagi. Gambling cing! Ia nampak terkejut. Mungkin shock mendengar ajakanku. Ia menatapku dengan ekspresi yang sulit untuk kutafsirkan. Antara kaget, marah dan bertanya-tanya.
“Apa..?” katanya dengan nada tinggi.
“Ke hotel di dekat sini yuk”, kataku. Kali ini dengan mantap. Kepalang basah.
“Nggak, emangnya saya apaan..”, katanya tajam sambil menatapku.
Kubalas tatapannya dengan sedikit senyum. Kutunggu reaksi berikutnya. Ia tidak beranjak dari tempat duduknya. Kepercayaan diriku mulai timbul, peluang fifty-fifty! Kami saling berdiam diri. Kusenggol lengannya dan kuajak lagi.
“Ayolah..”, rayuku.
“Ti.. Dak..!”
“Ngapain di sini kalau begitu?” kataku memancing agar dia marah.
“Suka-suka orang dong”, katanya dengan tenang dan senyum sinis.
“Tuh, mobilnya sudah datang”, kataku sambil menunjuk ke arah mikrolet yang menuju ke arah rumahnya.
“Entar aja. Kenapa sih dari tadi sibuk ngurusin aku terus?” tanyanya ketus.
Aku diam saja. Tapi melihat situasinya, peluang meningkat jadi 70:30. Setengah jam lebih berlalu dan kami masih di situ. Berdiam diri dan memandang ke arah deretan kemacetan lalu lintas di depan kami. Aku sengaja menunggu sampai dia pulang atau menyerah. Toh pada jam-jam begini jalan masih macet juga.
“Benar nih, nggak mau..”, pancingku.
Windy diam saja sambil memainkan tali tasnya.
“Ya sudah aku mau pulang, sudah gelap”, kataku sambil berdiri.
Ia kelihatan ragu-ragu. Aku semakin yakin dapat menguasai keadaan. Aku masih berdiri sambil pura-pura melihat ke arah mikrolet yang mendekat.
“To.. Anto..”, dia memanggilku pelan. Aku menoleh dan kulihat air mukanya masih menampakkan keraguan.
“Kenapa..?” tanyaku sambil duduk di sebelahnya lagi. Kutatap dia dan ia mengangguk pelan.
“Tapi sebentar saja ya, aku nanti pulangnya kemalaman nggak dapat kendaraan”, katanya lemah.
Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya keras-keras.
“Akhirnya..”, kataku dalam hatii.
Kami berjalan berdampingan. Kusentuh tangannya dengan jariku. Ia menoleh dan tersenyum kecil. Tidak berapa lama kami sudah berada di dalam kamar hotel.
Aku membuka sepatu dan kemejaku lalu membaringkan badan ke atas ranjang yang empuk. Lumayan, dari tadi duduk di bangku semen yang keras. Rasanya ada kenikmatan tersendiri bisa memenangkan situasi ini. Windy ikut membaringkan tubuhnya disampingku.
“Kamu tadi kok begitu gigih ngajakin aku tidur di sini sih?” tanyanya memecah kesunyian.
“Namanya juga usaha, kali-kali aja berhasil. Ternyata kan..”.
“Iya sih, aku tadinya ragu-ragu. Tapi melihat kegigihanmu aku mulai berpikir lain. Sudah tiga tahun aku tidak pernah melakukannya lagi.
Selama ini tidak ada yang tertarik padaku, maklum sudah tua dan kendor. Kalaupun ada yang naksir, paling-paling duda yang sudah di atas lima puluhan. Kamu sendiri masih muda kenapa begitu gigih merayuku?”
“Jujur saja, aku belum pernah naik kuda Sumbawa dan minum susu kuda liar yang fresh, dan sekarang aku bisa merasakannya”, kataku menggodanya.
“Hussh, .. Kebanyakan berkhayal dan termakan iklan kamu ini”, katanya sambil tertawa.
“Aku mandi dulu, badanku terasa lengket”, katanya kemudian.
Ia membuka pakaiannya. Meskipun dia membuka pakaiannya di dalam kamar sehingga aku bisa melihatnya secara utuh seluruh tubuhnya, namun karena bentuk tubuhnya yang sudah kendor dan jika dinilai secara obyektif sebenarnya tidak menarik, maka adik kecilku belum bereaksi. Pantat dan payudaranya sudah turun, tapi perutnya lumayan, masih datar.
Kembali fantasi tentang kuda Sumba dan susu kuda liar melintas. Adrenalinku mulai naik. Kususul dia ke kamar mandi setelah aku membuka celana dan celana dalamku yang kulemparkan saja ke lantai kamar. Kubuka pintu kamar mandi, Windy terkejut. Ia sedang menikmati guyuran shower dan tangannya sedang menyabuni selangkangannya.
Kupeluk dia dari samping dan kuciumi belakang telinganya. Kuremas payudaranya. Kurapatkan selangkanganku di pinggangnya. Ia menggelinjang. Di bawah siraman shower kami saling berpelukan dan berciuman. Ciumannya tidak dalam.
Kucoba untuk melumat bibirnya. Ia hanya membalas saja tanpa berusaha untuk mengambil inisiatif lainnya. Kujilat dan kulumat puting payudaranya. Meskipun payudaranya sudah kendor, namun putingnya yang besar masih keras dan kenyal.
Windy selesai mandi dan kubiarkan ia keluar dari kamar mandi duluan. Aku masih menyabuni tubuhku dan mulai mengocok penisku. Tentu saja sekedar pemanasan. Alangkah konyolnya jika ada sasaran tembak namun peluru ditembakkan sembarangan percuma.
Setelah selesai mandi, aku keluar kamar mandi dengan hanya dibalut handuk dan ternyata Windy sedang tiduran terlentang.
Sebelah kakinya ditekuk ke atas dan lututnya dilipat. Saya menikmati pemandangan itu dan kejantananku mulai mengeras. Kuterkam tubuhnya dan kuciumi telinga, leher dan payudaranya. Handuk di tubuhku terlepas dengan sendirinya. Windy memegang penisku sambil memelukku, nafasnya menderu.
“Anto.. Tapi tolong puasin saya malam ini, saya sudah lama tidak merasakan nikmatnya kepuasan bercinta.. Ohh..”.
Kulumat bibirnya dengan rakus, tangannya bergerak ke bawah dan sebentar kemudian sibuk mengocok penisku.
Aku melepas lumatanku pada bibirnya. Kedua tanganku mengusap payudaranya dengan gerakan melingkar di bawahnya menuju ke arah puting tanpa menyentuh putingnya. Kemudian gantian punggungnya kuusap dengan usapan ringan sampai dia merasa kegelian.
“Ohh.. Anto.. Nikmat To..!!”
Windy menancapkan mulutnya di dadaku dengan keras kemudian mengisap dan mengigitnya. Ketika mulutnya dilepas tampak bekas kemerahan daerah gigitannya tadi. Lidahnya kemudian mencari putingku dan menjilatinya.
“Ooohh.. Windy.., Eeeihh.. Nikmat..”.
Kedua tangannya meremas remas pantatku. Windy mengangkangkan kakinya sehingga kaki dan pinggangku bisa dijepitnya. Windy menatapku tajam, sebelah tangannya menggantung dileherku, nafasnya memburu. Ia memejamkan matanya, kucium kening, pipi dan kujilati daun telinganya.
“Windy aku akan memuaskanmu terlebih dahulu baru nanti kuambil bagianku..”.
“Terimakasih To.. Ohh..”.
Kulumat payudaranya dan tangan kananku meremas remas panyudaranya yang lain, sedangkan tangan kiriku menyusup di antara kedua pahanya, memainkan memeknya.
“Ouuoh.. To.. Nikmatnya.. Anto..”.,
Tangannya memainkan penisku dan buah pantatku.
Oh.. Aku tidak tahan lagi.., Anto sayy.. Oh.. Aku tidak kuat. Ssshh..”.
Kakinya yang terangkat dan mengangkang membuatku semakin bernafsu. Windy mengangkat pantatnya. Kupegangi kedua belah pahanya dan semakin kubuka kakinya lebar-lebar. Terlihatlah belahan memeknya agak kehitaman dengan bagian dalam yang kemerahan, dihiasi rambut tipis.
“Aahh..”, Windy melenguh panjang, badannya goyang kekanan kekiri, kuberikan rangsangan tambahan. Kujilati pusar dan perutnya, lalu ke paha dan betisnya. Kugigit dekat pangkal pahanya sampai memberkas merah.
“Too.. A n t o.. Kamu.. Oh.., sudah.. Aku enggak tahan..”.
Ditariknya kepalaku ke atas dan didekapkan ke dadanya kemudian diraihnya penisku dan diarahkan ke memeknya yang becek, dan.. Blesshh..
“Ouuhh.. Ohh..”.
Kutekan pantatku perlahan dan akhirnya masuklah semua penisku ke dalam memeknya.
“Aahh.. To Ayo.. To Berikan aku..”.
Windy menaikan pantatnya dan aku menekan lagi pelan-pelan, terus berlangsung beberapa lama, kian lama kian cepat.
“Aku mau keluar..” Windy memekik.
Aku semakin kencang mengocok memeknya dengan penisku. Dia diam sejenak sambil memegang lenganku.
“Sudah Yan?”
“Sebentar lagi.. Ohh..”
Tiba-tiba digerakannya pantatnya naik turun agak memutar dengan cepat, batangku terasa mau patah.
“Ah..”. Windy meremas remas payudaranya dan menjambak rambutnya sendiri dan matanya terpejam. Jepitan kaki di pinggangku menguat. Dinding memeknya terasa menebal sehingga lubangnya menjadi lebih sempit.
Ia memelukku dan mengulum bibirku, “An.. To.. Aku.. Hggkk.., Ahh.. Nikmatt..” Windy bergerak liar.
Kutekankan penisku dalam-dalam dan kurasakan denyutan di dinding memek serta dasar rahimnya. Kurebahkan tubuhku ke atas tubuhnya. Ia masih terus menciumiku dengan lembut. Kubiarkan penisku terendam dalam cairan memeknya.
“Kamu belum keluar ya..?” Ia mendesah.
Kami diam sejenak. Kuberikan kesempatan untuknya beristirahat dan mengatur nafasnya. Matanya masih tertutup. Sejenak kurangsang memeknya dengan gerakan pada otot kemaluanku. Ia mendesah dan membuka matanya. Dikalungkannya kedua tangannya pada leherku.
“Sayyang.. Kini giliranku..” kataku berbisik. Ia mengangguk dan tersenyum.
Kugerakkan lagi pantatku naik turun dan memutar. Perlahan-lahan dan semakin lama semakin cepat. Kurasakan memeknya lebih becek dari semula, namun aku tidak mau menghentikan permainan untuk mengeringkannya.
Gesekan kulit penis dengan dinding memeknya masih terasa nikmat. Gairahnya mulai bangkit lagi. Iapun mengimbangi gerakanku perlahan-lahan.
Setelah beberapa saat kemudian gerakannyapun juga semakin cepat. Kuangkat pantatku sampai tinggal kepala penisku saja yang menyentuh bibir memeknya, dengan gerakan cepat dan bertenaga kuhempaskan lagi ke bawah. Badannya terguncang.
Kurapatkan pahanya, kemudian kakiku menjepit kedua kakinya. Aku menurunkan tempo permainan sambil beristirahat sejenak. Sesaat kemudian kukembalikan pada tempo semula. Aku hanya menarik turunkan penisku sampai setengahnya saja. Jepitan memeknya lebih terasa. Kurasakan aliran darah di penisku semakin cepat.
“.. Windy.. Aku mau keluar..”.
“Tunggu.. Kita bareng.. A.. Nnto..”
Kukangkangkan kakinya kembali. Kedua betisnya kujepit di ketiakku. Dalam posisi demikian maka memeknya terbuka lebar sekali.
“Anto..”. Tubuh Windy menegang.
“Windy aku juga.. Mau.. Ohh..”.
“Ahh.. Nikmatt”.
Cairan memeknya bertambah banyak, sementara itu ujung penisku berdenyut denyut. Tubuhnya bergerak seperti kuda Sumbawa yang melonjak-lonjak liar.
“Windy.. Oh.. Kukeluarkan.. Dimana..?”
“Di dalam saja.. Aku sedang dalam masa tidak subur..”
Dan kemudian.. Crot.. Crot.. Crot.. kutumpahkan spermaku di dalam guanya sampai menetes-netes keluar.
“Tahan sebentar.. Ahh..”.
Iapun mendapatkan orgasmenya setelah berusaha sesaat sebelum penisku berhenti menyemprotkan pelurunya. Kutekankan lagi penisku, denyutan pada otot-otot kemaluan kami saling memberikan kenikmatan ekstra. Aku berguling ke samping. Kami berpelukan dengan badan bersimbah keringat.
“Makasih To.. Yach”, Windy lagi melumat bibirku.
Kubalas dengan ganas, tetapi ia melepaskan lumatannya dan berkata “Sudah malam, lain kali pasti akan kuberikan lagi”.
“Terima kasih kuda Sumbawaku. Terima kasih kasih untuk susu kuda liarku”, kataku.
Selama beberapa bulan kemudian, setiap dua minggu sekali ia menelponku untuk mengajak berpacu. Sengaja kubiarkan dia yang meminta. Bukannya aku tidak butuh, namun aku berpikir kadang-kadang bisa saja tiba-tiba aku mendapatkan pengalaman bersama wanita lain, sehingga biar Windy saja yang aktif meminta kupacu. Setiap kali bertemunya, fantasi kuda Sumbawa selalu ada dalam pikiranku.,,,,,,,,,,,,,,,,,,