Selingkuh Waktu Di Amrik
Hollywood Hills, 4 Juni 1999.
Hari Jum’at ini saya harus bangun pagi-pagi, padahal belum juga saya bisa tidur nyenyak, karena saya baru saja tiba di LA hari Kamis malam dari Jakarta naik pesawat Eva Air. Pasti siang-siang saya bakalan mengantuk karena jet-lag. Tapi apa boleh buat, kan saya ke LA untuk urusan kantor di Pasadenna.
Selesai mandi dan minum air putih, langsung saya ke garasi untuk pasang kabel accu dan memanasi mesin Grand Cherokee warna Hitam yang sudah beberapa bulan nggak dihidupkan. Untung accu-nya sudah kuat setelah beberapa jam disetrum, jadi bisa langsung meluncur ke daerah Sunset Blvd untuk cari sarapan yang melayani drive thru.
McDonald memang pilhan yang pas, karena “egg mcmuffin”-nya nggak terlalu besar, jadi biar enteng-enteng saja, yang penting perut nggak kosong, sambil menyiapkan perut untuk lunch besar yang biasanya disiapkan sama kantor di Pasadenna.
Ternyata macet di freeway memperlambat perjalanan ke Pasadenna, ada sekitar 1 jam lebih saya baru sampai. Terlihat sebuah gedung berwarna biru dan abu-abu bertingkat 6 dengan luas kavlingnya sekitar 3000 M2. Langsung kuarahkan mobil masuk ke halamannya dan parkir di bagian reserved.
“Selamat pagi tuan Coki, apa kabar”, kata Brown si satpam perusahaan yang tinggi besar. “Kabar baik”, kata saya sambil tersenyum. Saya naik lift ke lantai 6 tempat si Presdir kantor di Pasadena ini, dan begitu lift terbuka di lantai 6, sudah terlihat Natasya Public Relation-nya si Harry yang cantik sedang duduk di meja reception. Tingginya 5’7″ alias sekitar 170 cm, rambutnya hitam kecoklatan, wajahnya sensual dan menarik, dengan garis wajah yang memang khas orang Eropa Timur. Badannya tegak atletis dan buah dadanya terlihat bulat menonjol, serta kakinya yang terlihat indah.
“Harry da di dalam?” tanya saya ke Natsya, “Dia sedang menunggu anda tuan”, jawabnya sambil tersenyum menggoda. Begitu pintu saya buka, ternyata di dalam sudah ada 4 orang termasuk Harry. “Hei lihat, teman yang bujangan itu baru datang” teriak Harry sambil tertawa bersama-sama orang kantornya.
Sial dalam hati saya mengumpat, tapi apa mau dikata. Saya memang sudah cukup gaek tapi sampai hari ini belum juga punya pendamping resmi. “Selamat pagi semuanya, apa yang dikatakan Harry tentang iri saya memang benar, Hingga kini saya masih sendiri tapi teman cewek sih banyak”, jawab saya balik. Setelah bersapa-sapa dan saling menggoda, akhirnya kita terlibat dalam pembicaraan serius tentang proyek yang sedang kita garap di Brazil dan Argentina untuk telekomunikasi satelit. Juga ada satu proyek perencanaan untuk stasiun peluncuran satelit dari Irian Jaya (jangan pikir KKN dulu, karena proyek ini bukan punya Indonesia dan bukan pakai duit orang Indonesia).
Pendek kata, setelah kita selesai meeting, kita berlima pergi makan siang di restoran masakan Meksiko “Manjana”. Di restoran yang sangat penuh itu kita duduk di samping meja serombongan cewek-cewek yang bukan main indahnya, terus terang kalau mereka mau, saya sih merem dan yang mana saja juga mau. Kebetulan salah satu dari kita ada yang memang bisa bahasa Spanyol, dan si Enrico ini memang nekat juga. Setelah menyamperi meja mereka ternyata para wanita itu malah ngobrol panjang lebar sama Enrico. Ternyata mereka dari Venezuela, ya pantes kalau gitu, sebab melihat mereka itu seperti nonton telenovela di TV kita di Indonesia, dan ada satu yang wajahnya campuran antara bekas miss world Catherine Herera dan salah satu bintang yang main Rosalinda (iklannya kan di TV gencar banget, walaupun saya nggak pernah liat TV soap opera).
Setelah Enrico kembali ke meja dia bilang bahwa nanti malam mau janjian pergi ke bar. “Okey, Tuan bujangan kita lanjutkan ntar malam aja pembicaraan kita”, kata Enrico kepada saya.
Sepulangnya makan siang saya balik ke kantor untuk meneruskan pembicaraan tentang hal-hal lainnya. Siang-siang terasa mengantuk banget gara-gara jetlag, tapi karena sibuk banget jadi agak terbantu, dan tidak terasa ternyata sudah jam 4 sore. Harry pulang duluan mau menemani istrinya ke dokter, tinggal saya sendirian masih di depan komputer liat file-file dan hitungan-hitungan yang memusingkan. Karena capai akhirnya saya log on ke internet, tentunya mau lihat site favorite saya, kali-kali ada cerita baru. Eh, ada sih yang baru, tapi agak kurang seru.
“Hai Coki, Lagi ngapain?” tiba-tiba suara Natasya mengagetkan saya. Rupanya begitu serunya saya baca cerita sampai dia datang saja nggak tahu. “Emm.. sedang melihat home page temanku”, jawab saya agak terbata-bata sambil malu. “Home page temanmu kayaknya menarik deh, sehingga kamu berlama-lama di depan, hey kok serius sekali.., apaan sih yang kamu lihat”, katanya. “Lihat nih, gambar gadis telanjang”. Akhirnya saya terpaksa kasih tahu bahwa ini emang site cerita-cerita dewasa, dan termasuk yang paling banyak didatangi orang, terutama yang mengerti bahasa Indonesia sih.
Setelah ngobrol-ngobrol ternyata Natasya minta tolong diantarkan ke Pasadenna Mall untuk mencari bacaan, karena mobil dia sedang di bengkel. Tentu saja tanpa berpikir panjang saya mau menemani cewek cakep. Saya dan Natasya setelah dari toko buku makan es di food courtnya sambil ngobrol ngalor ngidul tentang kehidupan saya yang masih juga single. Ternyata si Natasya ini anak paling bungsu, dan dia bilang bahwa minggu depan dia akan off 1 bulan untuk ke Thailand liburan.
(biar gampang percakapannya selanjutnya saya tulis bahasa Indonesia campur Inggris saja)
“Nanti malam ngapain kamu?” tanya saya ke Natanysa. “Kok tanya-tanya sih, kamu kan tahu saya baru saja beli buku, maksudnya ya karena nggak ada acara mending baca-baca saja di rumah.”
“Ah bisa saja kamu, saya serius lho tanyanya”, kata saya, “Eh saya lebih serius ini, emang saya nggak kemana-mana nanti malam”, jawab Natasya agak cemberut.
“Kalau nggak kemana-mana mau nggak nanti ikut saya dan Enrico ke bar?”
“Wah jangan deh Enrico suka galak kalau di kantor.”
“Eh itu kan cuma akting dia supaya sok wibawa, tapi dia itu ok banget ngobrolnya.”
“Saya mau kamu ajak pergi tapi asal jangan sama Enrico.”
Wah payah nih cewek pikir saya, gimana ya enaknya. Pilih Venezuela atau pilih Eropa Timur. Nggak mau rugi saya ajak saja Natasya makan malam, dan malamnya janjian sama Enrico di bar.
“Ya ok, kalau gitu nanti malem kita pergi makan, mau nggak?”
“Asal nggak sama Enrico boleh saja, ok jadi nanti jemput saya di apartment jam 7 ya!” kata Natasya.
Di rumah saya mandi buru-buru dan pakai minyak si nyong-nyong biar percaya diri, dan tidak lupa saya juga sudah janjian sama Enrico jam 11 malam untuk ketemu di bar. Setelah siap, mobil saya kebut ke rumah Natasya, takut jalanan macet karena hari Jum’at. Saya pencet apartemen no.508,
“Siapa?” terdengar dari speaker,
“Saya, Coki”
“Okey deh, tunggu sentar lagi ya..” jawab Natasya dari speaker.
Saya lihat dia berlari kecil menuju pintu di mana saya menunggu.
“Maaf, lama nunggunya ya..”
“Ah, biasa aja..”
“Kita makan apa malam ini, kamu dong kasih suggestion, kan kamu yang di LA”, kata saya sambil mencuri pandang ke dadanya yang menonjol hingga terlihat belahannya.
“Gimana kalau kita makan santai saja, nggak usah restoran formal?” tanya Natasya,
“Boleh, boleh saja, saya juga nggak suka yang rapi-rapi kok.”
Karena saya juga hanya pakai jeans dan jacket santai, dan Natasya juga hanya mengenakan rok terusan warna hitam yang agak ketat, sehingga terlihat bentuk tubuhnya yang bagaikan gitar Spanyol, roknya panjang tapi belahannya sampai hampir ke pangkal pahanya yang mulus.
Akhirnya kita makan di restoran Hide Sushi, di jalan Sawtelle, West LA. Setelah memesan saya membuka pembicaraan,
“Kamu kok malam sabtu nggak nge-date sama pacar kamu.”
“Saya nggak punya pacar kok.”
“Kamu pinter, cantik, karir bagus, masak nggak ada yang mau sama kamu”, tanyaku heran.
“Bukan GR sih, tapi kalau yang ngejar saya sih banyak, hanya saja saya belum tertarik untuk lebih serius. Ada sih satu cowok yang deket sama saya, tapi akhir-akhir ini saya merasa lebih senang sendiri saja.”
Saya mendengarkan dan mengiyakan saja apa yang dikatakan Natasya, namun diam-diam saya tertarik akan prinsip-prinsipnya yang diutarakan dalam pembicaraan saat itu.
“Kamu tadi bilang mau ke Thailand, emang ada teman kamu di sana?” tanyaku.
“Iya di Thailand ada teman baik saya, dia dipekerjakan di kantor cabang American Investment Bank di Bankok. Kok tanya-tanya emang mau nemenin saya?”
“Kamu benar ngajak saya ke Bangkok, nanti cuma jadi kambing congek”, tanyaku agak kaget.
“Iya benar saya ngajak kamu, dan lagi teman saya yang di Bankgok itu perempuan.”
“Ok, kalau gitu saya akan coba atur untuk bisa bareng kamu.”
Setelah ngobrol cukup lama, ternyata kita berdua mulai akrab dan tidak canggung lagi. Buktinya keluar restoran malah dia yang peluk saya menuju mobil. Sesampai di apartement-nya awalnya saya bermaksud untuk mampir, tapi akhirnya saya langsung saja menuju tempat pertemuan dengan Enrico, yaitu “Warehouse” di Marina del Rey. Rupanya Enrico memang tahu kalau saya sangat menyukai music lounge di Marina del Rey ini, makanya dia pilih pergi ke Warehouse. Dari depan pintu masuk sudah saya denger lagu-lagu berirama samba dan bunyi steel drum yang begitu khas. Ternyata Warehouse masih juga penuh sesak seperti dulu-dulu. photomemek.com Dari jauh saya lihat Enrico sendirian dikelilingi 3 cewek latin. Karena meja dan kursinya yang tinggi, terlihat rok cewek-cewek itu tersingkap agak tinggi, wah kelihatan kaki mereka semuanya sangat indah.
“Heeii.. Coki kenalin nih pacar saya, Nina, ini Veronica, dan ini Nikita”, kata Enrico yang sepertinya sudah cukup mabuk, sambil memeluk Nina.
“Hai apa kabar, kenalin saya Coki”, kata saya.
“Hii Coki”, jawab mereka berbarengan seperti koor.
Wah gawat nih, kayaknya mereka juga sudah agak mabuk, padahal saya lagi mikir untuk nggak minum kebanyakan malam ini. Lagu-lagu jazz dan samba terus dialunkan oleh grup yang terlihat sangat professional, apalagi pemain steel drumnya, orang hitam botak dan gendut banget, terlihat sangat kontras dan menarik perhatian.
Setelah beberapa saat ngobrol dan minum sambil makan makanan kecil, terasa ruangan semakin pengap oleh pengunjung yang semakin padat.
“Nikita, mau kan menemani saya keluar”, kata saya mengajaknya ke luar ruangan.
“Ayo kita keluar deh, di sini musiknya juga keras sekali”, kata Nikita.
Saya jalan di depan Nikita, dan dia memeluk saya dari belakang dan berjalan seperti ular-ularan menerobos kerumunan orang yang menikmati grup band itu. Wah, terasa daging kenyal menekan di punggungku dan jari Nikita yang lentik melingkar di perutku mendekapku dari belakang.
“Ahh seger deh udara di luar ini, di dalem penuh banget sih”, kata Nikita.
“Emang di dalem penuh banget ya”, kata saya sambil memperhatikan kapal-kapal boat yang parkir rapih di marina. Dan di kejauhan terlihat bulan bulat penuh bersinar terang di atas horizon laut Atlantik.
Di luar ternyata tidak ada orang, dan hanya ada 1 kursi pendek yang santai.
“Coki lu duduk saja di situ, terus lu pangku saya, Oke” kata Nikita. Siapa yang nggak mau memangku cewek kayak Nikita, wajah kayak pemain telenovela. Badannya sekitar 167 cm, buah dadanya nggak usah diceritakan lagi, kira-kira lihat saja di telenovela itu, dia benar-benar mirip sekali tapi lebih langsing dan kencang.
“Coki, kamu tinggal di LA ya?” tanya Nikita.
“Nggak saya hanya ada kerjaan di kantor LA, saya tinggal di Jakarta, Indonesia.”
“Di mana tuh Jakarta?” tanyanya bingung.
“Wah jauh dari sini, tau Bali nggak?”
“Iya tau Bali.”
“Nah Bali itu adanya di negara Indonesia.”
“Oh gitu, kapan-kapan saya ke Bali deh, katanya bagus sekali ya?” kata Nikita sambil merebahkan badannya ke dada saya.
Tercium bau wangi parfumnya yang sudah bercampur bau badannya. Tak tahan, tangan saya mulai memeluk dan meraba daerah perutnya di bawah buah dadanya yang menantang.
“Iya kapan-kapan pergi ke Bali, nanti saya anterin keliling Indonesia”, jawab saya sudah mulai nggak konsentrasi.
Tiba-tiba si Nikita bangun dan duduk di atas paha saya menghadap ke saya, kakinya yang panjang menjepit perut saya, dan selonjor melalui celah samping kursi di bawah sandaran tangan. Tentu saja roknya terangkat sampai ke atas dan terlihat celana dalamnya yang hitam berenda. Lalu buah dadanya disorongkan menempel di dada saya, sambil dia bertanya, “Kalau orang Indonesia suka seks nggak?” Mendengar kata-katanya, terasa batang saya mulai menegang. Apalagi tertekan pantatnya dan tergesek daerah kemaluan Nikita.
“Tentu, siapa sih yang nggak suka seks”, jawab saya sok masih sopan.
“Lalu kenapa kamu kelihatannya cuek, ayo pelik aku, peluk tubuhku, Saya amat gerah deh malam ini pingin merasakan pelukanmu”, katanya mendesah-desah.Karuan saja jantung saya berdetak semakin kencang. Dengan perlahan saya usap-usap punggungnya, dan saya remes pantatnya yang kencang. Nikita pun mulai menciumi leher saya, dan terasa hembusan nafasnya di leher saya. Segera saya eratkan pelukan saya ke badannya. Karena di luar ini tidak ada orang lagi, maka saya beranikan tangan saya mengusap buah dadanya. Dengan membuka dua buah kancing bajunya, maka terlihat belahan dadanya yang menonjol akibat bra yang dipakainya pas menopang buah dadanya yang besar dan padat. Dengan satu tangan, saya raba branya dan saya usap-usap dan remas buah dada Nikita.
Saya rasakan pinggulnya bergerak maju mundur menggesek batang kemaluan saya. Nggak tahan lagi menahannya, saya arahkan tangan saya ke sela-sela celana dalamnya yang berenda. Dengan menyelipkan jari-jari saya ke dalam celana dalamnya, bisa saya raba bulu-bulu halus yang tebal menutupi vaginanya. Dengan jari tengah saya sibakkan bulu-bulu yang menutupi clitoris dan lubang vagina Nikita.
“Aghh.. terus, yang mesra dong Coki, yah begitu.., aughh!”, rintih Nikita. Lalu tetap menggunakan jari tengah saya, bisa saya rasakan clitoris Nikita sudah mulai menegang dan sedikit basah karena terangsang. Segera saya usap-usap clitorisnya, dan ketika sudah semakin basah, saya coba untuk menusukkan jari telunjuk bersama jari tengah saya ke dalam vagina Nikita.
Perlahan tapi pasti, jari-jari saya bisa masuk ke dalam vaginanya yang terasa hangat menjepit. Nikita sudah tidak berkonsetrasi lagi dengan ciuman ke leher dan dada saya, dia menikmati sentuhan, rabaan, dan gerakan jari-jari saya di sekitar clitoris dan liang vaginanya. Kepala Nikita digeleng-gelengkan menikmati gerakan jari-jari saya, rambutnya yang panjang menyabet-nyabet muka saya, sambil sesekali tercium bau harum dari tubuhnya.
“Ooohh.. uughh..” lenguh Nikita tertahan. Dengan kedua tangannya dibuka baju saya dan digigitnya puting saya, sambil mendesah, “Cepat Coki.., yang keras.. ehh.. ehh.. augh auwww..”
Dengan tanganku yang lain, kutarik bra yang masih menutupi buah dada Nikita. Kucium dan kuhisap putingnya. Buah dadanya terasa keras dan kenyal ditangan.
Sambil terus menggosok-gosokkan tanganku di sekitar kemaluan Nikita, tiba-tiba dia menggelinjang keras dan berkata,
“Oh.., aku mau keluar.., aughh..”
Mendengar erangan Nikita sebagai tanda orgasmenya, jari-jari saya tetap saya keluar-masukkan ke liang vaginanya dengan lebih perlahan, sambil tetap mengusap-usap clitrorisnya yang sudah terasa sangat basah.
“Uuuhh.. ahh.. ahh, nikmat sekali”, rintih Nikita kelelahan menahan luapan emosinya yang tertahan karena tidak berani berteriak takut kedengaran orang. Badan Nikita terkulai lemas menyandar di dada saya.
Setelah beberapa saat, Nikita bangun dan terlihat matanya masih sayu, lalu berkata sambil tersenyum, “Terima kasih Coki, aku telah merasakan orgasme yang sangat dahsyat malam ini..”
“Ayo, sekarang giliranmu!” kata Nikita sambil meraba-raba kemaluan saya dari luar celana. Dengan cepat ditariknya ritsleting celana jeans saya, dan dibukanya juga sabuk serta kancing atas celana saya. Ditariknya keluar batang kemaluan saya yang sudah tegang, dan dengan perlahan dihisapnya ujung batangnya. Dijilat, dan dikulum ujung batangnya, sambil di kocok secara perlahan.
“Ahh, nikmat-nikmat Nik, terus!” kata saya.
“Apa?” tanya Nikita sambil tiba-tiba melepaskan hisapannya di ujung batang saya.
“Oh maaf maksud saya yang keras.., nikmat banget deh!” kata saya menjelaskan.
Nikita meneruskan gerakan tangannya di batang kemaluan saya, sambil menjilati batangnya dengan lidahnya. Dihisapnya lagi batang saya, dan dimasukkan full sampai semua tertelan habis di mulutnya. Disedotnya dengan keras sambil memaju mudurkan mulutnya di batang kemaluan saya.
“Uuhh, nikmat sekali”, kataku.
Nikita semakin mempercepat gerakannya dan hisapannya juga semakin keras.Dan tidak terlalu lama, terasa cairan sperma dari pangkal batang kemaluan saya seakan-akan terkumpul dan mau meledak. Dan juga di ujung batang kemaluan terasa semakin ngilu-ngilu nikmat. Nikita tidak sedikitpun mengurangi kecepatan gerak hisapannya, dan “Uuhh, ahh”, erang saya menikmati puncak ejakulaiku. Terasa mulut Nikita tetap menancap dan menghisap batang kemaluan saya. Dihisapnya habis semua sperma yang keluar dari batang saya. Dan karena Nikita tidak berhenti setelah segalanya berlalu, terasa batangku berdenyut-denyut, sangat ngilu dan geli sekali.Tapi ejakulasi karena dihisap memang terasa lain dan sangat mengasyikkan.”Coki spermamu yang keluar banyak sekali, tapi nggak apa lah.. saya malah senang kok”, kata Nikita. Pikirku, “Ya syukurlah kalau lu seneng sih, yang pasti malam itu gue sudah lemas banget. “Dan rasanya malas mau ngapa-ngapain lagi.
Setelah kita merapikan pakaian, kita berdua kembali ke meja Enrico yang masih asyik mendengarkan kemahiran para musisi jazz itu.
“Enrico saya rasa saya akan duluan ya, karena saya harus ke Kedutaan Indonesian dulu untuk mengurus surat Pemilu”, kataku.
“Kalau mau duluan silakan, tapi besok telepon saya ya!” katanya cuek. Saya cium Nikita sebagai tanda perpisahan, dan saya juga catat alamat dan teleponnya, kalau-kalau besok bisa ketemu lagi.
Saturday, 5 Juni 1999.
Lagi-lagi malam itu susah banget mau tidur, mungkin jet-lag belum selesai. Tapi karena kehabisan energi disedot habis Nikita, akhirnya saya bisa tertidur juga. Dan sekitar jam 9 pagi weker saya berbunyi, dengan susah payah saya matikan. Pagi itu saya buru-buru mandi biar nggak tidur lagi, dan sebelum pergi ternyata saya baru tahu kalau di telepon saya ada message yang belum saya dengarkan.
Saya tekan tombol di mesin penjawab telepon dan terdengar,
“Halo Coki, ini Ibumu di Jakarta, kamu ke mana kok jam 1.30 pagi belum di rumah, segera telepon jam 7 pagi waktu Jakarta!”
Tuut, terdengar lagi suara lain,
“Hi, ini saya, Natasya, saya tidak menemuimu hari ini. Saya kira kamu masih tidur, atau kamu masih bersenang-senang bersama Enrico. Ntar saya hubungi lagi.”
Wah ngapain tuh anak telepon sekitar setengah dua pagi, ya nanti ditelepon deh pikirku. Dan sesampainya di konsulat di Wilshire Blvd, ternyata banyak orang-orang yang sedang mencari tahu tentag jadwal Pemilihan Umum tanggal 7 Juni 1999 mendatang. Eh lagi celingukan tiba-tiba punggungku dicolek seseorang.
“Mas kalau mau daftar untuk ikut nusuk hari Senin nanti gimana caranya?”
“Eh emm maaf Mbak, saya juga lagi bingung nih”, kataku.
“Sorry deh kalau gitu”,
“Nggak apa-apa kok, saya juga lagi cari tahu gimana daftarnya. Yuk deh barengan saja kalau mau!” tawarku padanya.
“Kenalin dulu ya, saya Coki.”
“Oh iya sampai lupa, nama saya Widi”, katanya sambil tersenyum manis.
“Mas sekolah di LA ya?”, tanyanya lagi.
“Nggak saya sudah nggak sekolah lagi, saya hanya ada urusan saja di sini, dulu sih saya emang sekolah di sini. Kalau kamu sekolah disini ya?” tanyaku semangat.
“Nggak, saya juga nggak sekolah di LA. Saya kuliah di Malang, dan sekarang saya hanya nemenin nenek saya yang lagi berobat”
Pembicaraan kita pun menjadi panjang lebar dan mengasyikkan. Dan setelah kurayu-rayu akhirnya Widi baru mau kuajak naik mobilku. Tadinya dia bersikeras naik taksi saja, padahal kalau naik taksi di LA sih sama juga bohong, sebab kemana-mana jauhnya bukan main. Tapi kenapa harus kurayu-rayu, karena Widi ini benar-benar bisa bikin orang ngiler kalau melihatnya. Wajahnya ayu, matanya besar berkilau, bibirnya seksi, dan kulitnya kuning bersih. Badannya tidak terlalu tinggi, sekitar 165 cm. Tapi badannya sangat proporsional, kakinya indah berisi, perutnya datar, pantatnya terlihat menonjol, dan buah dadanya pas dipandang. Pendek kata pasti tidak ada orang yang tidak senang melihatnya.
Siang itu Widi kuajak makan di Kuisimbo, masakan fastfood ala Jepang dekat Konsulat Indonesia.
“Mas Coki sering makan di restoran ini ya, itu si kokinya sampai sudah kenal.”
“Iya, dulu sih sering banget karena harganya kan kamu lihat sendiri nggak mahal untuk ukuran LA, padahal masakannya nikmat banget.”
“Mas Coki di LA tinggal sama siapa dan di mana?”
“Saya tinggal sendiri saja, kan saya hanya ke LA kalau lagi ada urusan saja.”
“Wah nikmat dong kalau gitu, sebab Widi sekarang tinggal ber-3 di apartemen, sama saudara-saudara lainnya, tapi sayang jauh dari rumah sakit tempat nenek dirawat.”
Eits, apa maksudnya nih anak ngomong begitu, pikirku.
“Kamu mau tinggal di apartment saya, boleh saja kalau mau. Toh saya hari Selasa sudah mau pulang ke Jakarta naik Eva Air.”
“Lho kok bisa sama sih, Widi juga Selasa naik Eva Air.”
“Ah kalau gitu kita bisa bareng dong Wid, eh tapi saya masih dari Taiwan nyambung ke Bangkok dulu”, kataku teringat janji dengan Natasya.
“Yah kita hanya bisa bareng sampai Taiwan dong, tapi nggak apa-apa deh, nanti di Indonesia kita juga bisa ketemu lagi kan?”
Setelah makan, saya antarkan Widi pulang ke apartmentnya di daerah West Wood dekat UCLA Hospital tempat neneknya dirawat. Dan saya bikin janji hari Senin untuk bersama-sama ke konsulat untuk nyoblos Pemilu. Di jalan saya telepon apartment Natasya menggunakan handphone AMPS pinjaman dari kantor.
“Hallo, apa kabar?” sapaku.
“Baik, Kamu sendiri gimana?”, tanya Natasya.
“Saya dalam perjalanan pulang ke apartment, kok kamu nggak ke mana-mana?”
“Iya nih, saya belum bisa pergi-pergi. Sebab mobil saya belum selesai dari bengkel.”
“Wah kasihan banget kamu.”
“Benar nih kacau semuanya acara saya.”
“Emang kamu mau ke mana.”
“Tadinya saya mau fitness dan berenang di Holiday Spa, tapi sekarang ya batal.”
“Pergi lagi ke Holiday Spa sama saya mau nggak?” tanyaku.
“Boleh saja, tapi kamu ngapain di sana?”
“Saya kan juga punya member Bally Total Fitness induknya Holiday Spa, jadi kita bisa bareng. Ya sudah deh sekarang saja saya langsung ke apartment kamu.”
Di mobil memang selalu saya sediakan tas yang berisi pakaian ganti, pakaian olah raga, dan celana renang. Ini sudah menjadi kebiasaan saya karena di LA jaraknya jauh-jauh, dan kalau tiba-tiba mau ada acara tidak perlu pulang ke apartment dulu.
Sesampainya di apartment Natasya, ternyata dia sudah menunggu di pintu depan. Dia mengenakan jaket dan celana training serta baju fitnes di dalamnya. Wow, benar-benar terlihat keindahan tubuh Natasya, di balik baju fitness-nya tersembul buah dadanya yang membetuk belahan dada merangsang, rambutnya diikat ke belakang sehingga terlihat sangat segar dan menarik.
“Kamu sangat cantik hari ini Nat”, sapaku.
“Terima kasih, kamu kelihatannya kecapekan Coki.”
“Iya nih saya emang capek banget, mungkin perbedaan jam di Jakarta masih berpengaruh. Tapi mudah-mudahan dengan berenang badan saya akan lebih fit.”
Kita berdua pilih ke Holiday Spa yang di Montebello, memang jauh dari apartement Natasya. Tapi Holiday Spa di Montebello punya indoor heated pool, tempatnya besar, jogging tracknya juga indoor, dan biasanya siang begini nggak terlalu ramai. Perjalanan sekitar 40 menit ke Montebello dari West LA. Dan sesampainya di sana, Natasya mau jogging dulu, baru latihan beban. Saya sendiri memutuskan untuk berenang saja. Waktu ganti pakaian saya agak canggung juga, melihat cowok-cowok bule berkeliaran telanjang. Maklum sudah lama di Indonesia jarang ketemu yang begitu.
Setelah berenang mondar-mandir hampir 30 menit, saya akhirnya nyemplung di whirlpool air panas. Eh, lagi ngantuk-ngantuk tiba-tiba leher saya dicekik dari belakang, nggak tahunya Natasya sudah berpakaian renang. Sekali lagi saya melotot melihat lekuk indah serta tonjolan tubuh Natasya yang terlihat sangat terawat. Lekuk tubuhnya terlihat jelas karena pakai baju berenang hitam garis putih yang potongan pahanya tinggi, dan potongan punggungnya rendah sekali.
“Katanya mau berenang kok nikmat-enakkan ngantuk di whirlpool?”
“Tadi sudah berenang, tapi sekarang capek dan ngantuk. Apalagi semburan airnya keras pas kena di punggung saya, rasanya nikmat banget nih”, kataku seraya mengarahkan punggungku ke semburan air panas itu.
“Kamu tunggu dulu di sini ya, saya mau berenang dulu”, kata Natasya sambil berjalan meninggalkanku. Dan dari belakang semakin terlihat jelas pantatnya yang padat, bulat berisi, serta kakinya yang panjang. Setelah beberapa saat mengantuk di whirlpool, Natasya akhirnya kembali lagi ke tempatku.
“Saya sudah capek berenang, tapi sekarang kita ke sauna saja yuk!” ajaknya.
Kitapun berdua berjalan menuju ruang sauna, dan begitu pintu kubuka langsung terasa uap panas menerpa muka dan badanku. Seketika kantukku hilang digantikan rasa segar dan semangat.
“Hey sini dong kok jauh-jauhan gitu!” panggilku.
“Kenapa sih kok mau dekat-dekat saja?”
Sementara satu orang yang sedari tadi sudah di dalam ruang sauna pergi meninggalkan saya dan Natasya berdua saja.
“Nat, kamu dengan pakaian berenang dan peluh yang mengucur di tubuhmu terlihat sangat seksi dan merangsang deh”, kataku.
“Kamu ngerayu terus sih, saya kan nanti lama-lama nggak tahan lho.”
“Terus kalau nggak tahan memang bisa gimana?”
“Ya kamu tahu dong gimana kelanjutannya.”
“Hi.. hi.. hi.. hi, saya kan bilang seperti apa adanya. Kamu memang terlihat cantik dan pinter, tapi selain itu juga sangat seksi”, jawabku.
“Sini kamu di depan saya pijat pundakmu”, kata Natasya.
Wah nikmat juga punya teman kayak dia, sudah cantik, pinter, eh meladeni banget. Eh jangan-jangan dia cuma mau cari muka sama saya, mentang-mentang saya salah satu boss-nya.
Ternyata jari-jari lentik Natasya tidaklah seperti yang terlihat halus lembut gemulai. Karena begitu jari-jarinya memijat pundakku, terasa tangannya sangat kuat dan mahir memijat otot-ototku yang pegal dan kejang karena waktuku terlalu banyak di pesawat.
“Coki, otot-oto di pundakmu terlihat tegang sekali.”
“Ya, saya juga merasakannya”, jawabku pendek.
“Okay, tenang aja.., saya akan mencoba melemaskan otot-ototmu”, kata Natasya.
Pijatan Natsya baru berlangsung sekitar 5 menit, namun akibat rabaan jari jemarinya, rupanya naluri kelaki-lakianku mulai terangsang.
“Nat, seandainya saja kamu..”
“Kok kenapa kamu bilang ‘seandainya’, kenapa nggak bilang to the point saja?” jawab Natasya agak ketus.
“Maaf, saya hanya takut nanti kamu pikir saya sebagai atasan kamu memanfaatkan kedudukan saya. Tapi saya sangat mencintaimu, emphh.”
Belum sempat saya menyelesaikan kalimat, bibrku sudah disergap oleh Natasya dengan ganas.
Langsung kubalas ciuman Natasya yang sudah mulai membara, terdengar napasnya juga memburu. Diantara kepulan uap air yang menutupi ruang sauna, kita berdua asyik masyuk berciuman, saling peluk dan raba. Kucium leher Natasya yang basah oleh peluh bercampur uap air, terasa aneh dan mengasyikkan. Kuraba buah dadanya yang keras di balik baju renangnya yang masih basah, kuusap putingnya yang terlihat agak menonjol dari balik baju renangnya. Sehingga kurasakan putingnya semakin mengeras, dan kuremas buah dadanya yang terasa pas sebesar telapak tangan dan jari-jariku. Tali pengikat baju renangnya kuturunkan dari pundaknya, dan tersingkap buah dadanya yang sangat indah. Langsung kuciumi dan kujilati putingnya yang sudah mengeras, sambil terus kuraba dan kuremas di sekelilingnya.
“Coki, tunggu dulu, eh.. eh.. sebentar aja!” pintanya sambil terengah-engah.
“Ada apa sayang?” tanyaku.
“Kita sebaiknya jangan melakukannya di sini.., di tempat lain aja.”
Ooops, saya juga baru tersadar bahwa kita melakukannya di ruang sauna di Holiday Spa.
Saya dan Natasya segera masuk ke ruang bilas masing-masing, dan segera mandi untuk berganti baju. Di mobil kita berdua tertawa riang seperti sepasang merpati yang dimabuk asmara atas pengalaman kita di ruang sauna itu. Lalu kita memutuskan untuk makan masakan chinese di daerah Monterey Park, karena ternyata kita berdua sudah cukup lapar.
Setelah makan kita menuju ke daerah Beverly Hills, karena kita putuskan untuk nonton film “Black Mask” bintangnya Jet Lee. Seperti biasa, saya senang nonton di Beverly Connection.
Setibanya di bioskop, ternyata filmnya baru saja mulai, lalu kita langsung berlarian supaya jangan terlambat. Ternyata filmnya seru banget, tentang Jet Lee yang membantu membongkar komplotan penjahat. Dan sepanjang film Natasya terus menyender di bahu saya sambil sesekali berciuman.
“Oke, lalu kita ntar mau ke manaw Nat?”
“Ntar malam, milik kita berdua”, kata Natasya manja sambil gelendotan di bahuku.
“Uh asyik dong”, kataku dalam hati.
“Biklah, kita belanja dulu.., setalah itu langsung aja ke tempatku?”
Ternyata di supermarket di Beverly Connection ketemu bekas bintang cilik yang sudah besar, yang sekarang main Melrose Place, Alyssa Milano.
“Hey, lihat itu!” kataku pada Natasya.
“Yeah, dia kelihatan jauh lebih cantik daripada di bioskop.”
“Tapi saya rasa dia tidak bisa dibandingkan kecantikannya dengan kamu”
“Wow Coki, kamu merayu saya terus sih!” jawab Natasya
Emang sih betul kok, overall Natasya lebih segala-galanya dari si Alyssa, cuma buah dada si Alyssa Milano ini terlihat sangat besar untuk ukuran tubuhnya yang tidak terlalu besar. Dan yang lebih pasti, saya nggak nolak kalau diberi.
Setibanya di apartmentku, Natasya terpesona melihat keindahan kota LA di malam hari melalu jendela apartmentku.
“Oh God, sungguh indah sekali pemandangan dari kamarmu, seluruh LA kelihatan indah dimalam hari.”
“Ya, saya sangat beruntung sekali dapat menempati kamar apartement ini.”
“Saya rasa kamu telah membawa banyak gadis ke tempat ini?”, godanya.
“mm.. belum pernah kok.., baru kamu gadis yang saya bawa ke sini”
“Seandainya seringpun nggak apa-apa kok, saya akan tetap mencintaimu”, potong Natasya sambil terus memeluk dan menciumku.
Langsung kubimbing dia menuju tempat tidurku. Kurebahkan dia sambil terus kuciumi lehernya. Jantungku berdebar hebat menahan gelora nafsu birahiku yang tadi tertahan di ruang sauna. Kudengar juga desah nafas Natasya terdengar memburu.
Tanganku langsung kucengkeramkan melingkari buah dadanya yang indah, kuraba dan kuremas dengan menggebu. Satu persatu kancing baju Natasya kulepas hingga terlihat bra yang menutupi buah dadanya. Tanpa kulepas pengaitnya langsung kugeser turun, dan kujilat putingnya serta kuhisap. “Eghh.. ohh..” erang Natasya.
Kurasakan tangan Natasya menggerayangi ikat pingganku utk melepaskannya. Dengan segera kubantu melepaskan celana jeansku. Kemudian kita masing-masing segera melepaskan baju dan pakaian dalam, sehingga kita berdua menjadi dua anak manusia yang mabuk birahi tanpa sehelai benang pun di badan.
Kulanjutkan jilatan dan hisapanku di buah dadanya, tanganku meraba dan meremas buah dada dan badannya. Lalu dengan perlahan kuarahkan kepalaku menuju perutnya, kucium daerah perut dan sekitar pusarnya, sehingga terlihat badan Natasya menggelinjang. Dengan lebih perlahan kuarahkan ciumanku semakin menurun mendekati bulu-bulu halus yang menutupi vaginanya.
“Oh.. ohh, terus sayang!”, erang Natasya.
Bau badan Natasya tercium sangat harum, bahkan mendekati kemaluannya bau harum semakin tercium. Dengan perlahan kusibakkan bulu-bulu halus itu, sehingga terlihat bibir clitorisnya yang indah. Dengan lidahku kujilat dan kusibakkan perlahan, terlihat tonjolan kecil di tengah clitorisnya. Kuarahkan ujung lidahku menyentuh tonjolan itu.
“Uuuhh.. oohh..” erang Natasya berkelanjutan.
Kuhentikan sesaat sentuhan lidahku di tonjolan itu, lalu terlihat pinggulnya bergerak maju untuk mengikuti ujung lidahku yang menjauh. Lalu kusentuh lagi tonjolan itu. Terdengar erangan Natasya semakin menjadi-jadi.Kutusukkan ujung lidahku memasuki lubang vaginanya, terasa pinggulnya bergerak mengikuti gerakan lidahku. Tiba-tiba kedua kaki Natasya menjepit kepalaku dan tangannya menekan kepalaku.
“Oh.. cepat dong.. yang keras!”, pekik Natasya.
Tapi kuhentikan kegiatanku di sekitar kemaluannya.
“Oh.. ayo.. terus!”, kata Natasya sambil menarik pinggulku dan mengarahkan batang kemaluanku yang sudah sangat tegang menuju kemaluannya.Dengan pasti kuarahkan ujung batangku memasuki vaginanya. “Bless”, kurasakan batangku memasuki lubang vaginanya yang sudah basah. Terasa lubangnya menjepit batangku dari ujung hingga pangkalnya.
Belum sempat aku menggerakkan pinggulku, badanku dibalikkan oleh Natasya sehingga sekarang aku telentang di tempat tidur dan dia berada di atasku.Lalu dengan ganasnya digoyangkan pinggulnya maju mundur dan digesekkan clitorisnya yang tertutup bulu kemaluannya ke daerah tulang kemaluanku. Kurasakan kenikmatan yang tiada taranya bersetubuh dengan Natasya. Kuraih badannya, dan kuciumi buah dadanya, kujilat dan kuhisap putingnya yang mengeras.
Setelah puas menciumi dan meremas buah dadanya, kubalikkan badan Natasya terlungkup di tempat tidur. Lalu dengan perlahan kuarahkan batangku memasuki vaginanya dari belakang. Kuayun maju mundur dengan perlahan, terlihat tonjolan pantatnya yang berisi. Kuremas pantatnya dan kugoyangkan pinggulku semakin cepat.
“Erghh.. ehh.. ehh.. uuhh”, erangan Natasya terdengar semakin gencar dan keras.
Kupeluk badannya dan kuraih buah dadanya dengan kedua tanganku, sambil terus kuayun batangku keluar masuk vaginanya.
“Ohh.. ohh.. ohh.. nikmat sekali.. uuhh”, teriak Natasya.
“Ahh.. ohh..” erangku juga merasakan denyutan yang memuncak di ujung batangku.
Tepat pada saat aku hampir mencapai puncaknya, tiba-tiba Natasay menggeliat dan terlepaslah batangku dari lubang vaginanya. Dengan gesit ditelentangkannya badanku di tempat tidur, lalu dengan segera dinaikinya badanku dan dipegangnya batangku dan dimasukkan ke dalam lubang vaginanya.Lalu dengan gerakan yang membabi buta, dia menunggangiku dengan histeris.”Ah.. auw.. ohh.. yeah.. ohh..” teriaknya menikmati orgasme.
Akupun mengalami ejakulasi yang sangat hebat, “Uuhh.. ohh.. saya mau keluar.. aughh.”
“Yah, keluari aja di dalam.. uuhh”, teriak Nat sambil terus menggeliat-geliat. Lemas rasanya badanku karena gerakan pinggul Natasya tidak berhenti setelah ejakulasiku, bahkan pinggulnya bergerak terus dan terus, sehingga terasa sangat ngilu di ujung batangku.
Akhirnya Natasya berhenti juga, dan jatuh terlungkup di atas badanku. Kucium bau harum badannya, dan kurasakan buah dadanya yang menonjol menempel di dadaku. Terasa batangku masih keras di dalam lubang vaginanya, dan terangsang oleh tonjolan buah dadanya, sebenarnya birahiku bangkit lagi. Namun badanku rupanya terasa terlalu lemas untuk mengikuti perasaanku yang masih membara.
Kutarik napas panjang dan kutahan sesaat, lalu kulepaskan semua oksigen dari dadaku secara perlahan. Perlahan-lahan ternyata aku mulai mengantuk dan akhirnya kita berdua tertidur pulas kecapaian. ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,