Pemandian Alam Tirta Suam

Pemandian Alam Tirta Suam

“Hai, Yan kamu masih sering pulang ke Jombang, nggak?” tanya Yos teman kuliahku, yang memang tahu kalau rumahku ada di Jombang.
“Iya, setiap Sabtu sore dan balik lagi ke Surabaya hari minggu sore juga,” jawabku, “Emangnya ada apa sih, koq nanya?” jawabku.
“Eh, kemarin waktu aku keliling sama teman kerjaku, dia nunjukin aku tempat pemandian alam Tirta Suam di Mojokerto, airnya hangat dan yang lebih asyik lagi lu bisa lihat barangnya cowok-cowok pada bergantungan dengan bebasnya kalau sore hari mulai sekitar pukul 16.00 sampai menjelang magrib” jelasnya tanpa kutanya, karena memang diantara kita maksudku antara aku dan Yos sudah terbuka dan saling mengetahui jati diri kita masing-masing bahwa kita-kita ini memerlukan suatu pemandangan seperti itu untuk membuat kita fresh lagi setelah suntuk dengan setumpuk pelajaran
“Lu bisa lihat barangnya orang dari mulai anak-anak kecil, remaja, dewasa bahkan sampai yang kewut (Tua) juga ada, mulai yang panjang, pendek, gemuk, besar, hitam, kuning, ah pokoknya lengkap deh sampai binggung ngeliatnya abis banyak sekali sih, tapi hanya sebatas memandang lho, kalau mau megang sih mikir-mikir, ya kalau yang dipegang mau kalau nggak khan ntar bisa dikroyok orang rame-rame karena ada hemong nyasar,” jelasnya lagi.

Akupun jadi penasaran dibuatnya lalu aku bertanya,

“Dimana sih tempatnya dan didaerah mana tepatnya?” tanyaku nggak sabar.
“Gampang, kalau lu dari Surabaya ke arah Jombang khan pasti lewat jembatan tol yang dekat pabrik kertas Tjiwi Kimia, nah terus maju dikit khan ada lampu setopan, nah dari situ nggak jauh sekitar dua atau tiga ratus meter disebelah kiri jalan khan ada Losmen Sekar Putih, nah disebelahnya khan ada jalan ketimur kurang lebih satu setengah kilo meter, pas diujung jalan itu dan memang jalan itu berakhir dipemandian itu, bayarnya murah koq tapi kalau mau kesana sore-sore aja baru asyik, kalau pagi sih nggak seberapa rame, paling-paling rame sama orang yang rekreasi tapi khan nggak rame sama yang bergantungan.
“Hai, Yan kamu masih sering pulang ke Jombang, nggak?” tanya Yos teman kuliahku, yang memang tahu kalau rumahku ada di Jombang.
“Iya, setiap Sabtu sore dan balik lagi ke Surabaya hari minggu sore juga” jawabku “Emangnya ada apa sih, koq nanya?” jawabku.
“Enggak apa-apa, ada suatu tempat yang indah yang banyak pemandangan yang mengasyikan dipinggiran kota Mojokerta, dari pada dilewatkan begitu saja, mendingan kamu survei kesana,” cerocos Yos.

Pada suatu hari Minggu sore sepulang aku dari Jombang yang mestinya agak malam, sengaja hari itu agak sore aku sudah balik ke Surabaya dengan harapan sekitar jamp 4 sore sudah nyampe ke tempat yang ditunjukkan oleh Yos itu.

Setelah memasuki halamannya kudengar suara kecipak air dan canda tawa dari anak-anak yang kecil, dan kulihat sebuah tiang yang tingginya kurang lebih tiga meter dan dari sana memancar air hangat yang berasal dari sumber alam, dan dibawahnya banyak sekali anak-anak kecil yang sedang mandi telanjang sedangkan yang remaja dan dewasa juga ada yang mandi telanjang juga akan tetapi hanya satu dua orang saja. Aku mengambil tempat di depan kamar mandi yang berjajar dalam keadaan terkunci dan aku segera duduk diatas tembok pembatasnya yang setinggi pahaku sambil melihat segala tingkah polah anak-anak yang dengan cueknya berlarian kesana-kemari dan berkejar-kerjaran dalam keadaan bugil yang kadang-kadang mengundang senyumku.

Waktu telah berlalu dan mulai mendekati pukul 17.00 sore dan ternyata makin banyak yang datang dengan membawa sabun dan handuk dan ada juga para pemuda desa sekitar situ yang mungkin habis bermain bola dilapangan dekat situ yang juga berdatangan secara berombongan dengan kaos yang penuh dengan keringat dan memakai celana pendek yang ada noda lumpurnya disana sini. Mereka datang, menuju tempatku duduk dan tanpa ba bi Bu dan dengan enaknya langsung buka baju kaosnya dan langsung melorotkan celananya, lalu poloslah tubuh itu dan langsung lari menuju kolam air hangat itu dan byuurr, menuju pancuran air hangat yang ada ditengah-tengah kolam itu.

Nah dari sinilah ceritaku bermula, salah satu dari antara mereka itu yang menurutku paling atletis tubuhnya, walaupun wajahnya tidak terlalu tampan akan tetapi bentuk tubuhnya sangat bagus sekali. Bukan terbentuk karena ikut fitness akan tetapi terbentuk karena alam dan mungkin dia adalah pekerja keras didesanya yang rata-rata sebagai petani, filmbokepejpang.com badannya tidak terlalu tinggi, kulitnya coklat kehitaman, bibirnya dihiasi sedikit kumis yang tidak terlalu lebat, dadanya sangat bagus padat berisi dan pinggangnya sangat ramping sekali karena pada saat itu dia sedang telanjang dada, dan aku mengharapkan dia segera melolosi celana pendek yang dipakainya itu seperti yang dilakukan teman-temannya dan segera menuju pancuran itu dan aku juga bisa segera melihat barangnya yang tentu juga akan seksi sekali. Tapi kutunggu beberapa saat nggak ada reaksi, dia tetap duduk sederet dengan tembok yang kududuki dan ketika aku menoleh ke arahnya, diapun tersenyum dan dengan basa-basi diapun bertanya dalam bahasa daerah.

“Saking pundi Mas?” tanyanya mengawali pembicaraan kami.
“Suroboyo,” jawabku singkat.
“Bade dateng pundi?” tanyanya lagi.
“Jombang,” jawabku lagi.
“Koq piyambakan mawon, lah pundi rencangipun?”
“Enak dewean wae iso bebas.” jawabku lagi.

Untuk beberapa saat terjadi dialog diantara kami sampai akhirnya dia bertanya,

“Bade siram toh Mas,” tanyanya.

Aku diam saja mungkin dia mengerti kalau aku masih malu untuk bertindak seperti mereka yaitu mandi dibawah pancuran air hangat dalam keadaan polos karena memang aku juga tidak membawa celana renang atau celana pendek lainnya walaupun aku tadi sempat berpikir untuk terjun ke dalam kolam air hangat bersama mereka dengan hanya memakai celdal saja.

“Lare-lare mriki niku sampun biasa, adus mudo niku,” jelasnya.
“Sampun isin-isin, lha wong podo lanange mawon koq,” lanjutnya.
“Monggo, kulo bade adus, nek sampeyan purun nggih mboten nopo-nopo,” jelasnya dan segera melorotkan celananya.

Akupun berdebar dan melongo melihat penisnya yang begitu besar bila dibandingkan teman-temannya dan itupun dalam keadaan lemas sehingga aku berpikir kalau lagi ngaceng seberapa yaa gedenya. Setelah aku menunggu beberapa saat hari sudah mulai gelap dan orang-orang yang mandi dibawah pancuran mulai berkurang akan tetapi sidia itu masih asyik bercanda dengan teman-temannya yang sebagian besar sudah mengakhiri mandinya dan memakai kembali pakaiannya dan meninggalkan tempat itu, sekarang yang ada dibawah pancuran itu kurang lebih tinggal sekitar tujuh orang saja termasuk dia yang aku juga nggak tahu namanya karena kita juga nggak berkenalan walaupun ngobrolnya cukup lama.

Akhirnya aku tak tahan juga, segera kubuka kaosku, celana panjangku dan terakhir celana dalamku dan akupun dalam keadaan polos berlari ke arah kolam itu dan byyuurr dan segera menuju bawah pancuran, yang jadi harapanku saat itu adalah orang-orang ini segera mengakhiri mandinya dan berharap dia berlama-lama dalam kolam itu menemaniku. Hari sudah semakin gelap dan yang ada tinggal empat orang saja dibawah pancuran itu yaitu aku, dia dan dua orang temannya. Tak lama kemudian salah seorang temannya mengajak mentas dari kolam itu dan temannya yang seorang menyetujuinya.

“Ayo mulih,” ajak temannya.
“Mengko disik, wis muliho sik, aku engko wae” jawabnya, dan ini yang menjadi harapanku untuk tetap tinggal berendam walaupun matahari sudah beringsut kebalik bumi dan suasana gelap mulai menyelimuti tempat itu.

Setelah kedua temannya selesai berpakaian kembali kemudian dia berteriak kepada salah satu kawannya

“Rek, jupukno watu, gawe ngosoki awak,” pintanya.

Dan salah satu temannya mengambil sebuah batu sebesar telor ayam dan melemparkannya ketengah kolam dan langsung tenggelam, kemudian dia jongkok untuk mencari-cari batu itu didalam air, dan ternyata batu yang baru dilempar itu jatuh tidak jauh dari kakiku dan segera kuambil dengan kakiku dan kupegang dan kuacungkan padanya.

“Iki lho watune” kataku, dan bersamaan dengan itu dia langsung saja berdiri dan karena posisiku dan dia begitu dekat sehingga pada waktu dia berdiri dari jongkoknya itu tanganku yang teracung menyentuh penisnya yang besar itu namun dalam keadaan tergantung lemas, tapi terjadi suatu keajaiban setelah tersentuh tanganku mungkin ada aliran listrik yang begitu kuat sehingga perlahan namun pasti penis itu mulai terangkat ke atas dan makin membesar sehingga benar-benar tegak, dia tidak berkata apapun hanya senyum-senyum sambil memegang penisnya yang sekarnag sudah benar-benar ngaceng itu dan tanpa menyia-nyiakan kesempatan segera kupegang dan kugosok pelan-pelan dibawah siraman air hangat yang makin membuatnya keenakan, walaupun suasana disekeliling kami gelap dan hanya ada kami berdua tapi itu sudah cukup aku rasakan dengan rabaan tanganku tanpa bisa melihat bentuk asli penisnya dalam keadaan tegang itu. Sampai akhirnya dia mengajakku kepinggir kolam dan dia segera duduk dipinggiran kolam sambil merintih dan mendesis. Lalu dia berkata “Muten penisku” katanya.

Dan memang ini yang kuharapkan segera tanpa diminta untuk yang kedua kalinya segera kulahap penis yang besar dan berdiri tegak itu dan makin keras terdengar rintihannya.

“Auucchh enak Mas, teruuss, Mas”
“Ooohh, sstt, sseess”
“Aduh Mas enak, aku arepe metu Mas” katanya

Karena dia meracau seperti itu maka makin kuat hisapanku pada penisnya sehingga penisnya makin mengeras dan tak berapa lama kurasakan ada cairan hangat yang menyemprot mulutku dan kemudian kujilati kepala penisnya yang mekar itu sampai akhirnya melemas lagi dan dia akhirnya balik kepancuran itu untuk membesihkan diri demikian juga halnya dengan aku.

Ketika kami berdua ada dibawah pancuran aku bertanya

“Koe sering yaa penismu diemut wong”
“Iya, sering Mas, sebabe enak timbang maen ambek arek wedok”
“Khan arek-arek itu seneng ambek penisku sing paling gede iki, timbange duweke arek-arek iku mau biasa-biasa ae” tambahnya

Akhirnya kami mengakhiri mandi kami dan segera aku berpakaian demikian juga dengannya. Lalu kuambil motorku yang parkir dibawah pohon dan diapun ikut kubonceng menuju jalan keluar pemandian itu sampai diperempatan dia minta berhenti.

“Wis, Mas sampek mriki mawon” pintanya
“Lho omahmu endi” tanyaku
“Niku lho, dalan mriki ngaler kiten-kiten rong atus meter,” jawabnya.

Lalu dia turun dari boncenganku dan mulai jalan keutara, sedangkan aku melanjutkan perjalananku ke Jombang dan kulihat jamku sudah penunjukkan pukul 18.30, aku merasa puas dengan perjalanan pertamaku ke pemandian alam Tirta Suam, tapi ada satu halnya yang membuatku penasaran, karena sampai saat ini aku tidak mengetahui siapa namanya. photomemek.com Sehingga Sabtu berikutnya aku kembali kesitu tapi aku tidak menjumpainya demikian juga dengan Sabtu-Sabtu berikutnya sampai kurang lebih tujuh atau delapan kali aku ke pemandian itu tapi aku terpaksa merasakan suatu kekecewaan karena tidak bisa menjumpainya lagi akan tetapi rasa kecewaku terobati hanya dengan see sighting saja pada benda-benda yang bergantungan dengan bebasnya walaupun tidak sebesar yang pernah kugenggam itu. Aku mengenali beberapa kawannya yang juga ada ditempat itu, ketika aku mencoba untuk bertanya pada mereka, tapi kuurungkan lagi karena aku tidak tahu namanya.

Apakah aku mesti bertanya “Mas, arek sing penise gede iku, koq ora tahu ketok, nang endi ae?”

Mungkin itulah pengalamanku selama menikmati pemandangan alam di pemandian alam Tirta Suam Mojokerto, kalau mungkin ada rekan-rekan yang pengin kesana untuk sekedar see sighting atau mungkin lebih dari itu, bisa mencobanya untuk kesana sekitar pukul 16.00, setiap hari pasti rame deh dengan pemandangan alami yang yang back to nature itu.

Tamat
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

Related posts