Model Amatir

 

“Pa, boleh minta bantuannya nggak?”

“Ada apa, sayang?”

“Papa tahu temanku Belinda nggak? Dia kemarin bilang ke aku, pengen bikin foto profesional. Papa kan biasa motret, bisa nggak Papa motret dia?”

Aku menoleh dari koran yang sedang kubaca. Kulihat putriku dengan ekspresi muka memohon, sesudah menyampaikan permintaannya tadi. Belinda itu teman kuliahnya. Aku sendiri memang suka memotret—tapi bukan fotografer profesional. Buatku fotografi cuma hobi. Lumayan untuk ngisi waktu dan kesepian hati sesudah menduda. Oh ya, aku belum perkenalkan diri. Namaku Gamal. Duda umur 40-an tahun. Sepuluh tahun lalu, waktu perjalanan keluar kota bersama istri dan putri tunggalku, Hedy—

yang tadi bicara denganku—mobil kami mengalami kecelakaan di jalan tol, menabrak truk. Hedy tidak apa-apa, tapi istriku meninggal dan aku sendiri luka berat. Jadilah selama ini kami tinggal berdua, aku membesarkan Hedy sendirian sampai sekarang dia baru masuk kuliah. Di antara teman kuliahnya, ada yang bernama Belinda, yang tinggal tak jauh dari rumah kami. Belinda indekos di satu rumah besar tetangga kami yang diubah jadi rumah kos; orangtuanya ada di lain pulau, tapi Belinda sepertinya kurang dekat dengan mereka. Belinda dan Hedy cukup akrab, mereka sering jalan bareng, bahkan Belinda pernah ikut liburan bersamaku dan Hedy. Waktu itulah aku pertama kali memotret Belinda, biarpun tak serius karena hanya foto liburan. Kudengar dari Hedy, Belinda sudah punya pacar tetap dan mereka menjalin hubungan lumayan lama, setahun lebih. Pacarnya mahasiswa universitas lain.

“Ummm… oke. Papa lagi banyak waktu luang sih. Kapan dia mau dipotretnya?”

“Sore ini bisa?” tanya Hedy sambil memencet-mencet HP-nya, sepertinya sambil komunikasi dengan Belinda.

“Boleh,” kujawab.

*****

Sore itu aku ke tempat Belinda. Dia tinggal di satu rumah kos berlantai tiga yang lumayan eksklusif. Kalau dari cerita Hedy, Belinda itu anak orang kaya atau pejabat di pulau seberang, makanya dia mampu bayar sewa kos yang mahal. Belinda tinggal di satu kamar di lantai tiga. Aku sudah bawa “peralatan tempur”, tas kamera di satu tangan dan tripod di tangan satunya. Belinda membuka pintu.

“Eh, Om Gamal. Makasih ya udah datang. Ayo, masuk,” sambutnya.

Harus diakui, Belinda gadis yang berpenampilan menarik. Kulitnya agak gelap tapi mulus, tubuhnya jangkung, rambutnya kecoklatan alami. Jujur, anakku sendiri, Hedy, kebanting dengan temannya ini. Di cara bicara Belinda, terselip logat yang menunjukkan daerah asalnya. Aku masuk ke kamar kos Belinda lalu melihat sekeliling. Luas dan kelihatan cukup mewah.

“Mau minum dulu, Om?” Belinda menawarkan.

“Oh, gak usah repot-repot,” kujawab basa-basinya.

Ketika itu Belinda mengenakan gaun santai merah bermotif kembang, tanpa lengan dan panjangnya mencapai di atas lutut, dan kedua kakinya dibungkus stoking. Dia juga sudah mengenakan make-up tipis, siap difoto.

“Silakan duduk dulu, Om,” kata Belinda sambil menggerakkan tangan ke arah sofa di tengah ruangan. Aku duduk di sana, Belinda duduk di sebelahku.

“Apa Hedy udah jelasin aku mau difoto gimana?” tanya Belinda.

“Nggak tuh Bel, dia cuma bilang kamu minta difoto.”

“Nah, gini Om,” Belinda tersenyum sementara kedua tangannya saling genggam. “Pacarku, Agus, besok ulang tahun. Jadi emm… aku mau ngasih hadiah buat dia.”

Oh, ternyata hadiah ulang tahun. Buat pacar. Aku jadi nyengir sendiri membayangkan apa yang mau diberikan Belinda buat pacarnya si Agus itu. Dengan malu-malu dan memutar-mutar Belinda menjelaskan hubungannya dengan Agus, dan gagasan foto apa yang mau dia buat. Dia tidak perlu memberitahuku langsung, tapi aku sudah menangkap bahwa Belinda ingin membuat foto sensual untuk pacarnya itu. Aku senyam-senyum mengerti.

“Oke, ayo kita mulai,” kata Belinda.

“Di mana nih fotonya?”

“Kayaknya kalau di balkon bagus juga,” usul Belinda.

Di kamar kosnya ada balkon sempit yang menghadap samping, ke arah rumahku. Lingkungan kami rada sepi, jadi dia tidak perlu kuatir ditonton orang. “Mumpung masih terang.”

“Iya, pakai pencahayaan alami kayaknya bagus juga,” celetukku.

Belinda berdiri dari sofa dan membuka pintu ke balkon. Kupasang tripod dan kukeluarkan kamera. Kubidikkan kamera ke arah Belinda yang sedang menyisir rambutnya di balkon. Agar pemotretan lebih stabil, aku sudah berencana tidak memotret dengan memencet tombol rana di badan kamera, tapi kupasang remote control berkabel cukup panjang ke kamera.

“Udah siap. Kita coba, ya?”

Sore itu berangin. Rambut Belinda yang lurus kecoklatan berkali-kali tertiup menutupi wajahnya. Bando yang menahan rambutnya tidak membantu. Dan—angin dingin itu juga membuatku sadar bahwa Belinda tidak sedang memakai bra. Puting gadis itu mencuat di balik gaun tipisnya…

“Malah jadi ribet nih, Om,” Belinda terkikik sambil mencoba merapikan rambutnya. Anginnya tidak membantu.

“Kalau di sofa aja gimana?” usulku.

Belinda menutup lagi pintu balkon, lalu berjalan dan menjatuhkan diri di sofa ke posisi duduk menyilangkan kaki. Gaunnya tersibak menampilkan pahanya yang mulus. Kupindahkan tripod.

“Oke, kita coba lagi ya. Senyum,” kataku.

Belinda tersenyum malu-malu dan mulai berpose. Aku mulai mengambil beberapa potret. Anak ini ternyata ada bakat juga jadi model, harus diakui dia pintar membawa diri di depan kamera. Dan kuperhatikan juga pose-nya makin lama makin menggoda. Pahanya yang mulus itu dia umbar. Satu kali dia sengaja merenggangkan pahanya cukup lebar, sehingga celana dalamnya mengintip. Setelah mengambil kira-kira dua belas foto, Belinda bilang dia mau ganti baju. Dia masuk ke kamarnya sementara aku melihat foto-foto yang barusan. Ketika Belinda keluar lagi, aku kaget melihat penampilannya yang lebih seksi. Dia sekarang mengenakan atasan tank-top tipis putih (sehingga payudaranya terlihat membayang) dan rok mini hitam tipis berenda.

Mukanya memerah waktu dia sadar aku memandanginya, tapi tak lama kemudian tanpa malu-malu dia kembali berpose. Aku sendiri sudah beberapa kali memotret foto seksi, jadi biasa saja dengan penampilan dia. Meskipun harus diakui juga tubuh Belinda pasti menggiurkan laki-laki normal manapun yang memandangnya. Rasanya nggak profesional, tapi aku terangsang juga. Apalagi pose-posenya makin lama makin seksi. Berdiri berkacak pinggang dengan kaki merentang. Menggoda dengan memerosotkan satu tali bahu tank-top. Atau menaikkan tank-top sampai batas bawah payudara.

“Aku ganti kostum sekali lagi ya Om,” kata Belinda sambil tersenyum nakal.

Dia masuk kamar sementara aku berusaha meredakan sensasi yang mulai muncul. Celakanya, Belinda justru muncul dengan satu set lingerie pink-hitam, bra dan celana dalam. Lama-lama aku merasa iri juga dengan si Agus pacarnya itu. Belinda pasti cinta berat kepada dia, sampai-sampai mau ngasih hadiah foto-foto seksi seperti ini. Kali ini Belinda berposisi merangkak di atas sofanya, dan dia sudah melepas bando sehingga rambut panjangnya jatuh membingkai wajahnya. Belasan foto kuambil selagi Belinda bergonta-ganti pose, dan lensa kameraku menikmati mulusnya kulit dan bulatnya bokongnya. Ekspresi Belinda sulit digambarkan, malu-malu sekaligus berani. Dia menatapku dan aku mengangguk tersenyum. Biarpun pekerjaan ini pasti tidak dibayar, foto-fotonya saja sudah jadi imbalan yang memadai.

“Oke, udah cukup banyak nih. Kamu mau lihat?” Kuhentikan sebentar sesi pemotretan.

Belinda langsung beranjak dari sofa ke sampingku di belakang kamera. Dia cukup dekat sehingga aku bisa mencium wewangian yang dia pakai. Kami melihat satu per satu foto yang sudah diambil.

“Seksi nggak, Om?” pertanyaan Belinda telak, tapi anehnya tidak membuatku terkejut.

“Ya… lumayan,” jawabku setengah jujur. Takutnya kalau kujawab ‘iya, seksi banget’ dia bisa tersinggung.

“Tahu nggak, Om, semua yang kupakai hari ini tuh hadiah dari Agus. Makanya aku rancang balasannya seperti ini, foto-fotoku pakai baju dari dia. Dia bakal suka kan, Om?” kata Belinda.

Dari celetukan itu saja aku bisa menakar hubungan antara Belinda dan Agus. Jelas cukup akrab dan intim sehingga Agus tak sungkan memberi hadiah pakaian dalam seksi untuk pacarnya. Berani taruhan, mereka berdua pasti sudah berhubungan badan. HP Belinda yang dari tadi ada di atas meja berbunyi. Belinda mengambilnya, dan melihat siapa yang menelepon.

“Agus,” katanya sambil tersipu.

Dia menjawab panggilan telepon sambil berdiri agak jauh dari posisiku. Masih mengenakan set pakaian dalam pink-hitam yang diberikan si penelepon.

“Halo sayang…”

Aku tidak menyimak obrolan mereka, daripada nguping lebih asyik melihat-lihat lagi foto-foto seksi Belinda. Rasanya tidak sabar ingin memindahkan semuanya ke komputer biar bisa ditampilkan di layar yang lebih besar. Tapi secuplik-secuplik kata-kata sepasang kekasih itu terdengar juga.

“Lagi… difoto.”

“Kamu lagi ngapain yang?”

“Apa…?”

“Kok… kok gitu sih?”

“Kok kamu gitu sih??”

“…”

“Brengsek!!”

Heh? Kok jadi begini? Belinda membanting HP-nya, lalu dia berlari masuk kamar dan membanting pintu. Terdengar jeritan. Aku tidak tahu harus berbuat apa, jadi aku cuma duduk bengong di tempat. Beberapa menit kemudian Belinda kembali, sesenggukan dan matanya basah.

“Maaf, Om…*hiks*” ujarnya di sela isak tangis.

“Nggak apa-apa, Bel… Kabar kurang enak kah…?”

“Parah Om…” kata Belinda dengan nada pilu. “Dia… Agus… tega banget dia. Padahal aku udah percaya banget ama dia… sampai aku rela ngasih semuanya buat dia…”

(Betul kan dugaanku tadi? Perawannya Belinda sudah diambil sama si Agus.)

“Tapi tadi dia putusin aku!”

“Eee…”

“Dia ngaku dia jalan sama cewek lain, teman sekampusnya. Udah sebulan. Padahal… aku kurangnya apa…?? Huu~hhh…” Air mata Belinda kembali mengalir.

Di depanku ada seorang gadis yang menangis. Mau bagaimana lagi. Refleksnya laki-laki ya pasti akan berusaha menghibur. Dan tahu-tahu saja aku sudah merangkul Belinda, mengusap-usap punggung dan rambutnya. Belinda membenamkan mukanya ke dadaku.

“Kenapa ya Om…” isak Belinda. “Kenapa si Agus tega ninggalin aku?”

Mana aku tahu? Tapi ya aku nggak tega bilang begitu sama Belinda yang sedang sedih dan shock. Tapi, ya, Belinda baru umur 18. Agus, yang anak kuliahan juga, pastinya seumuran. Cowok umur segitu masih labil. Bisa saja si Agus bosan, atau nemu tantangan baru, atau takluk sama rayuan cewek yang lebih agresif—

“Tadi dia bilang dia sekarang udah jadian sama Viani… Viani tuh temen sekampusnya… dasar brengsek, dia selama ini bilang Viani temen biasa aja… *hiks* cewek kurang ajar, mentang-mentang bisa ketemu setiap hari… Apa dia gak tau Agus udah punya aku? Uhh… huhuhu…”

Susah juga berusaha menenangkan Belinda sementara celanaku mulai terasa sempit tidak karuan gara-gara tubuh Belinda yang cuma pake lingerie nempel ke tubuhku—

“Om…” tanya Belinda, “Sebenarnya aku cantik nggak sih?”

Waduh. Pertanyaan bahaya.

“Iya, Bel, kamu cantik kok. Cantik banget.”

Waduh. Kok aku jawabnya begitu? Wajah Belinda yang tadi menempel di dadaku sekarang menghadap langsung ke wajahku.

“Bener, Om…?” pertanyaannya menuntut kepastian.

Aku mengangguk. Duh, wajahnya terlalu dekat.

*cup*

Tiba-tiba saja Belinda mengecup bibirku.

“…hmm…” desahnya.

Waduhhhh,.tampangku pasti sudah seperti orang bego. Aku melongo gara-gara tindakan Belinda barusan. Ini… mestinya… salah nggak sih? Terima ciuman dari cewek yang seumuran dengan anakku sendiri? Pacar orang pula. Eh, tunggu. Dia barusan diputus pacarnya. Jadi sudah mantan pac—Sebelum pikiranku sempat melanjutkan, Belinda sudah meneruskan kecupannya tadi dengan ciuman yang lebih hangat. Bibir dan lidahnya memaksa bibirku menerima. Ciuman seseorang yang sedang tertekan dan butuh pelampiasan. Dan bibirku tidak melawan. Ada bagian otakku yang langsung menjerit melarangku macam-macam, tapi suara bagian itu dibungkam bagian lain yang menyuruh menikmati saja. Lagipula ciuman Belinda sungguh nikmat… sampai-sampai aku merangkul pinggangnya erat-erat, enggan melepas dia ketika dia melepas bibirnya dari bibirku.

Belinda tersenyum sesudah ciuman itu. Dia mengelus dadaku.

“Om,” bisiknya, “Aku tanya lagi. Menurut Om aku seksi nggak?”

“Nggak, eh, iya, kamu seksi, Bel. Dari pertama kali masuk juga aku udah perhatiin.”

Kacau… Jawabanku nggak terkontrol. Belinda nyengir malu-malu lagi mendengarnya.

“Om… aku masih mau ngirimin foto ke si Agus, tapi foto lain lagi. Biar dia tahu rasa. Masih mau bantuin aku kan, Om?”

“Hmm… kayak gimana nih?” Aku mulai menebak-nebak.

“Aku pengen bikin foto yang bakal buat dia jealous. Biar dia nyesel mutusin aku,” kata Belinda sambil tersenyum nakal. Dia kembali naik ke sofa. Lalu dia membuka bra-nya sehingga payudaranya terlihat.

“Biar ngiler dia lihat ini,” gumam Belinda, nadanya penuh dendam. Nggak usah si Agus, aku saja sudah ngiler melihatnya. Kupotret dia satu kali.

“Coba lihat, Om,” Belinda mendekat, memeriksa foto yang barusan diambil. Kuperhatikan di foto itu ekspresi matanya tajam sekali.

“Ah… kurang. Agus udah tahu aku kayak apa kalau telanjang. Huffh…”

Tapi aku baru tahu, Bel.

“Jadi gimana nih?” Emm, sebagai ayah temannya, apa aku mestinya ngasih nasihat yang lebih bijak? Bukan malah ikutan apapun yang dia rencanakan?

“Kalau dia bisa ngerangkul cewek lain, aku juga bisa nyari cowok lain,” kata Belinda. “Om… apa Om keberatan sama ciumanku tadi?”

“…”

“Aku… mau minta bantuan Om yah?”

Suara kecil di otakku yang dari tadi memperingatkan sudah tenggelam ditelan aliran darah yang menggelora ke seluruh tubuh dan kemaluan…

“Kamu… perlu apa, Bel?”

“Aku mau foto sama Om. Biar Agus cemburu.”

“Oke… foto kayak gimana tapinya?”

“Kameranya ada remote control kan? Sini Om, duduk di sebelah aku,” Belinda kembali duduk di sofa, menyediakan tempat di sampingnya.

Aku jaga-jaga dulu. “Bel, aku ga masalah, tapi nanti mukaku sendiri kusamarin ya? Aku ga mau aku sendiri kena masalah sama Agus atau yang lain.”

“Gak masalah Om,” kata Belinda tegas. Aku jalan ke sofa dan duduk di sebelah Belinda.

“Om rangkul aku sambil pegang tetek aku ya.”

Siapa juga yang bakal nolak? Aku duduk di sebelah kiri Belinda, jadi kulingkarkan lenganku ke belakang punggungnya dan tanganku menjamah payudaranya. Hangat, empuk, dan pentilnya terasa keras di antara jariku.

“Oke, foto.”

Kupencet tombol remote dengan tangan kiri. Belinda langsung memeriksa hasilnya.

“Kurang… Barangkali kalau lebih mesra lagi?” komentarnya.

“Misalnya seperti gimana?”

“Mungkin kalau aku pegang burungnya Om?”

“Emm…” Tapi sebelum aku bisa menjawab, Belinda malah sudah berinisiatif membuka resleting dan merogoh ke dalam celana. Dia tarik penisku yang sudah ereksi keluar dari celana dalam.

“Wah… Panjang banget Om… Punya si Agus aja cuma sepanjang pangkal kepalanya punya Om. Pasti bakal bikin dia ngiri!” Belinda menggenggam pangkal kejantananku sambil menoleh ke arah kamera, lalu berkata, “Foto Om.”

Aku memencet tombol. Belinda langsung memeriksa hasilnya.

“Hmm, lumayan, kayak kelihatan lagi ngocokin Om.”

Sebenarnya belum, karena tangan Belinda diam saja tadi.

“Ah, gini aja! Aku duduk di pangkuan Om.” Lalu dia benar-benar mau lakukan apa yang dia katakan. “Om buka baju ya?”

Dan aku masih terus mengikuti apa maunya. Kubuka baju dan celanaku, sementara dia sendiri melepas celana dalamnya.

“Celana dalamnya juga sekalian Om,” pinta Belinda.

Kupelorotkan celana dalamku, lalu aku duduk kembali. Belinda lalu duduk mengangkang di pangkuanku, memunggungiku. Kemaluanku mencuat di depan perutnya.

“Ah, nanggung. Sekalian aja bikin kayak aku mau dientot sama Om, ya?”

Huihh… makin lama makin parah. Atau makin asyik? Sekarang Belinda mengangkat sedikit tubuh bawahnya, mengangkang di atas ereksiku. Dia menggenggam kepala burungku, menaruhnya di depan bibir kemaluannya. Ketika dia melepas genggaman, penisku malah terkulai ke depan.

“Eh, kok malah copot… Mesti dijepit nih…”

Dia meraih kepala burungku lagi, kali ini mendorongnya ke dalam lipatan bibir vagina yang terasa lembab.

“Foto Om,” katanya.

Terdengar suara klik dari tombol remote yang kutekan. Tapi pada saat yang sama kurasa jepitan kemaluan Belinda bergeser menelan seluruh kepala burungku.

“Foto lagi,” suruhnya.

Dia turun makin jauh, mulutnya mengeluarkan suara mendesis. Sekarang sudah setengah batangku di dalam vaginanya.

“Bel?” tanyaku dengan agak khawatir. “Kayaknya kalau begini udah bukan pura-pura lagi deh?”

“Aku tahu, Om. Biarin aja. Foto terus.”

Tubuh Belinda turun lagi. “Uunhh…” lenguhnya selagi akhirnya keseluruhan kejantananku masuk ke dalam kewanitaannya. Sial… kejadian juga kan, aku nyodok cewek yang seumuran anakku…

“Om pinjam remote kameranya…” kata Belinda sambil terengah. Untungnya dia tidak bergerak-gerak, tapi batangku terasa nyaman dalam jepitan daging kemaluannya yang hangat. Belinda mengambil sendiri beberapa foto, lalu dia bertanya. “Eh kameranya bisa rekam video juga nggak?”

“Emm, bisa sih, pake tombol yang itu…” sambil kutunjukkan tombol untuk mengubah kamera ke mode video dan merekam. Belinda langsung mencobanya. “Udah bisa kan?”

Posisi kamera tepat di depan Belinda, sehingga wajahku ketutupan. Satu lampu kecil di kamera menyala, menunjukkan sedang merekam video. Belinda menatap ke lensa kamera, mencibir, mengacungkan jari tengah ke arah lensa. Lalu dia mulai bergerak naik turun.

“Eh, eh…” Aku kaget juga. Gawat, si Belinda sekarang tidak cuma bikin foto seksi tapi juga video porno dan aku ikut jadi pemerannya??

“Oh, oh… oohh…” desahan dan lenguhan Belinda mulai terdengar. Tanganku bergerak sendiri menggenggam pinggang Belinda dan meremas payudaranya dari belakang.

“Oh… terus Om… panjang bangeth… ssh…”

“Ah… oh… aduh dalam banget… Bel ga pernah dimasukin sedalem ini Om…”

Sudah kepalang tanggung, nasi sudah jadi bubur, kumakan saja buburnya sekalian. Sekarang kedua tanganku meremas-remas buah dada Belinda dan menarik-narik kedua putingnya. Ulekan pinggul Belinda makin gencar di pangkuanku. Sudah lama aku tidak bersetubuh… dan sekalinya bersetubuh, dapat yang seperti ini.

“Ah… Bel, Om mau keluar, ayo kamu cabut…”

Untung Belinda cepat bereaksi. Dia langsung melepaskan diri, tepat ketika spermaku muncrat dari batang yang sedang tegak itu. Nggak lucu kan kalau keluar di dalam, terus tahu-tahu dia hamil. Mau taruh di mana mukaku depan Hedy kalau teman baiknya dihamili papanya sendiri. Semburan pejuku rupanya cukup kencang sehingga menerpa sampai dada dan muka Belinda. Aku nggak terpikir untuk bertanya dia dapat orgasme atau tidak; sepertinya belum. Belinda menyetop fungsi perekam video, lalu duduk di depan kamera sambil masih memegang remote, dan beberapa kali memotret dirinya sendiri.

“Gimana… Udah cukup, Bel?” tanyaku.

“Kayaknya udah Om. Langsung pindahin ke komputerku aja ya?”

Belinda berjalan terhuyung-huyung ke kamarnya. Aku ikut. Foto-foto dan video yang kami ambil langsung pindah ke komputer Belinda. Lalu sambil bersantai, kami lihat satu per satu foto yang diambil, mulai dari Belinda yang masih bergaun motif kembang sampai foto-foto terakhir yang ternyata memperlihatkan cipratan benihku di muka dan dada Belinda. Kami juga menonton video pendek yang tadi Belinda ambil.

“Hihihi, Om bisa muncrat sampai jauh begitu yah,” goda Belinda sambil mencubit lenganku. Aku ketawa-ketawa saja.

“Jadi… mana yang mau dikirim buat Agus?” kutanya.

“Nggak satupun,” kata Belinda. “Dipikir-pikir, buat apa juga. Paling-paling dicuekin. Biar aja dia sama si Viani. Foto-foto ini biar kusimpan aja ya, Om?”

“Silakan aja. Berarti mukaku masih perlu disamarin nggak?”

“Buat apa… Kan yang bakal lihat cuma kita berdua,” goda Belinda sambil mengecup pipiku. Sebagian besar foto yang sudah pindah ke komputer Belinda kuhapus dari memori kameraku; kusisakan sedikit saja foto Belinda yang berpakaian lengkap, untuk ditunjukkan ke Hedy kalau perlu. Wah, bakal jadi bagaimana hubunganku dengan Belinda?

*****
BAGIAN 2

Ternyata urusanku dengan Belinda tidak berhenti sesudah pemotretan di kamar kosnya. Sebulan sesudah pemotretan pertama itu, Belinda menghubungiku lagi, memintaku memotretnya untuk portofolio. Tapi setelah kami berdiskusi lewat telepon, aku sadar bahwa tema yang dia minta memerlukan peralatan dan studio yang aku tak punya. Jadi aku coba hubungi beberapa teman yang fotografer profesional, berharap ada yang mau meminjami studio. Jordy, salah seorang teman yang biasa mengajariku trik-trik fotografi, bersedia meminjamkan studionya asal dia dibolehkan ikut memotret. Kami janji bertemu di studio milik Jordy satu siang. Selagi membuka pintu mobil dan melangkah keluar menenteng tas kamera, aku berjanji kepada diri sendiri bahwa keintiman seperti yang terjadi dengan Belinda terakhir kali aku memotret dia tidak akan berulang. Aku sendiri nyaris menolak permintaan Belinda, tapi dia bilang cuma aku fotografer yang bisa dia percaya. Lagi pula, kami sama-sama suka foto-foto dari sesi pertama itu. Barangkali dia merasa cocok denganku. Aku masuk ke studio Jordy dan mendapati Belinda sedang ngobrol dengan Jordy. Belinda memakai kimono putih berbahan handuk. Wajahnya sudah bermake-up, siap untuk pemotretan. Dan aku tak bisa melawan rasa penasaranku, ingin tahu apa yang dia pakai dan tidak pakai di bawah kimono itu. Mata Belinda membelalak.

“Eh, Om Gamal. Aku udah nyampe dari tadi, ini lagi ngobrol sama Om Jordy.”

Dia berdiri menghadapku dan merentangkan lengan seolah-olah menawarkan pelukan, tapi kemudian dia mundur, seperti ragu-ragu. Bagus juga sih kami tidak pelukan. Aku takut tidak kuat menahan godaan untuk memeluk, lalu mencium, lalu… ya kalian tahu sendiri lah. Aku terus mengingatkan diri, Jangan macam-macam dengan dia, dia temannya anakku.

“Bro, temuan lu ini lumayan juga,” Jordy si pemilik studio juga menyambutku. Jordy seumuran denganku, tampangnya biasa-biasa saja dengan rambut jabrik dan mata mengantuk, tapi dia agak terkenal di dunia fotografi sebagai fotografer untuk majalah pria dewasa. Dia sudah berpengalaman menangani model, dan ketika aku datang sepertinya dia sedang menawari Belinda difoto untuk majalahnya.

Setelah ngobrol sebentar, aku dan Belinda mengikuti Jordy ke ruang studio. Jordy sudah menyiapkan semuanya, jadi Belinda tinggal berpose dan aku serta Jordy tinggal memotret. Aku dan Jordy memasang kamera masing-masing menghadap satu latar netral. Kamera Jordy lebih serius daripada kameraku. Kumasukkan memory card kosong ke kameraku. Foto-foto Belinda sudah kuhapus semua; sekarang file-file foto dia dari pemotretan di kamarnya cuma ada di komputer dia dan di manapun dia menyimpannya, yang jelas aku tidak pegang. Kuperhatikan sekeliling, Jordy sudah menyiapkan lampu-lampu kilat. Belinda membuka kimono putihnya. Di bawahnya dia mengenakan gaun hitam polos yang tampak pas sekali dengan lekuk tubuhnya. Kuperhatikan tubuh jangkungnya jadi lebih montok. Aku bertanya-tanya, apa dia tipe yang kalau sedang stres jadi banyak makan. Putusnya hubungan dia dengan Agus mungkin saja menyebabkan itu. Pinggulnya terlihat lebih lebar, dadanya juga terlihat lebih berisi (atau dia memakai bra yang bikin dadanya kelihatan lebih besar). Gaunnya terhitung sopan, sampai ke bawah lutut. Pas sekali dengan tubuhnya, jadi lekuk-lekuk tubuhnya terlihat indah. Waktu kuminta dia berpose dengan wajah menoleh, aku tidak bisa tidak berpikir dia terlihat tambah menggiurkan. Tapi aku ingat janjiku—jangan macam-macam selain memotret. Aku memberi instruksi selagi Belinda berganti-ganti pose. Dia punya kebiasaan menundukkan kepala atau terlalu membungkuk; maklum masih amatir. Kusuruh dia tegakkan kepalanya, supaya terlihat percaya diri, dan tarik bahunya ke belakang supaya dadanya membusung. Sesudah kuubah posenya, Belinda tampak lebih menarik dan kedua payudaranya tampak mengacung ke arahku. Maksudnya ke kamera. Sesudah aku dan Jordy memotret beberapa puluh kali, kami berhenti sebentar dan memeriksa foto-foto yang kami ambil. Belinda ikut nimbrung dan melihat foto-foto itu dari belakangku. Senyumnya dan sentuhannya di bahuku mengatakan dia suka hasilnya. Aroma tubuhnya enak… entah itu alami atau wewangian yang dipakainya. Belinda ingin dipotret menggunakan beberapa busana, dan sebelumnya dia sudah diberitahu Jordy mengenai kostum-kostum yang tersedia di studionya itu. Jadi Belinda kemudian masuk ke ruang ganti, dan keluar lagi dengan kostum pilihannya: gaun pengantin gaya Barat berwarna putih murni, dengan hiasan renda yang rumit. Tapi dia memegangi bagian atasan korset gaun itu. “Bantuin tutup resletingnya Om,” pintanya. Dia berbalik, memperlihatkan punggungnya.

Dengan hati-hati aku menarik resleting korset gaun pengantin itu. Bagian depannya jadi mengencang, kedua payudaranya terdorong naik. Kemudian Belinda berpose lagi. Ketika dia terlalu membungkuk lagi, payudaranya hampir tumpah. Kusuruh dia berdiri tegak kembali; mungkin supaya tidak terjadi “kecelakaan” yang bakal membuatku lupa diri. Tentu saja, dia memintaku membukakan lagi resletingnya setelah pemotretan gaun pengantin selesai. Dia meninggalkan ruang pemotretan menuju ruang ganti sambil memegangi korset. Kalau tidak dipegangi, bisa-bisa gaun itu merosot, menelanjangi dia selagi dia berjalan. Waduh. cerpensex.com Membayangkan itu saja membuatku tegang. Entah baju apa lagi yang dia pakai sesudah ini. Gaun rumahan dua lapis—putih di atas kotak-kotak merah-hitam—adalah busana selanjutnya. Bagian roknya melebar, tapi pendek, di atas lutut. Kuatur kameranya untuk mengambil serentetan foto dengan cepat dan kuminta Belinda bergerak. Dia berputar, dan roknya terangkat oleh putaran. Seolah-olah dia tak pakai rok. Seluruh pahanya sampai terlihat. Apa Belinda sedang menggodaku? Semoga tidak. Kali ini tidak ada alasan dia habis putus dengan pacarnya. Aku terfokus ke fotografi saja, seperti juga Jordy yang dari tadi tak banyak berkomentar dan hanya memotret. Aku lega ketika Belinda muncul lagi dengan celana jeans dan kemeja merah biasa. Dia berpose lagi, kali ini sudah lebih baik dariapda sebelumnya. Ah, tapi aku mulai membayangkan tubuh indah di balik pakaian itu. Setelah aku selesai memotret, Belinda berdiri menunggu.

“Apa udah semua?” kutanya. Belinda malah menoleh ke Jordy yang kemudian tersenyum.

“Satu lagi. Baju renang…”

Nah, kemaluanku tidak cuek saja sepanjang pemotretan. Secara bertahap dia bangun, mengeras. Iyalah. Aku masih laki-laki normal. Aku berharap semoga baju renangnya jangan yang tipe seksi, misalnya bikini kecil.

Harapanku terkabul ketika Belinda muncul lagi dari ruang ganti. Bajunya tipe one-piece dengan bagian dada sebagian besar tertutup (walau ada belahannya), bercorak tutul macan, dan bagian bawahnya normal, tidak menyempit. Tapi celah di bagian dadanya itu memperlihatkan belahan pertemuan kedua payudaranya. Dan di belakang kamera, aku menyesuaikan ereksi di dalam celana. Belinda menggunakan bangku sebagai alat bantu pose; aku dan Jordy memotret.

“Kayaknya ada banyak foto bagus yang kita dapat hari ini,” kataku sambil menepuk kamera. Belinda tidak pergi ke ruang ganti, tapi malah terus duduk di bangku, wajahnya masam, jari-jarinya saling genggam.

“Ada apa, Bel?” tanyaku.

“Nggak apa-apa…” Dia tidak menatap mataku.

Aku punya anak perempuan seumuran dia, jadi aku tahu dia sedang sembunyikan sesuatu. Belinda pergi meninggalkanku dan Jordy, masuk ke kamar ganti. Pemotretan kami sudah selesai, dan bersama Jordy aku memperhatikan semua foto yang kami ambil barusan. Jordy nyengir-nyengir selagi kami menyaksikan pose-pose Belinda yang kami abadikan. Terus terang… aku nggak tahan.

“Jord, di mana toiletnya?” kutanya.

“Sono,” Jordy menunjuk pintu di sebelah ruang ganti.

Aku masuk ke sana. Di depan kloset kubuka resleting celanaku dan kukeluarkan burungku yang tegang. Bukan, aku bukan mau kencing… Tapi ada bagian tubuhku yang menjerit-jerit minta dipenuhi kebutuhannya. Itu, yang kukeluarkan barusan. Tidak tahan dia bertemu kembali Belinda. Di dalam toilet sempit itu, kukocok sendiri penisku sambil membayangkan lagi tubuh Belinda dan foto-foto yang kuambil barusan. Duh, malu-maluin. Laki-laki seumurku, yang lebih pantas jadi bapaknya, malah coli membayangkan gadis semuda dia. Memang, terakhir kali aku berhubungan badan itu adalah dengan Belinda, sebulan lalu di kamar kosnya ketika dia diputus pacarnya di tengah pemotretan. Aku memang duda, tidak punya pacar dan tidak suka jajan, jadi harus diakui kebutuhan seksku tak terpuaskan. Dan sensasi terakhir yang kudapat adalah dengan Belinda. Biarpun semua dokumentasi kejadian itu—foto, video—sudah kuhapus, tetap saja kepalaku masih kuat mengingatnya. Apalagi pasangan seksku sebelum dia—mendiang istriku—sudah lama tiada, jadi kenangan kami sudah terasa jauh.

Nah, dan yang barusan kupotret itu seorang gadis muda yang sedang ranum-ranumnya, tubuhnya indah, wajahnya cantik, statusnya jomblo, dan (berdasarkan pengalaman icip-icip sendiri) enak digenjot, bagaimana aku tidak konak? Kukocok terus penisku sambil membayangkan lagi bagaimana tubuh Belinda menggeliat menggelinjang di pangkuanku waktu itu, sambil malu sendiri karena biarpun sudah tua begini aku seperti bocah remaja yang baru tahu cewek saja. Tapi mendingan begini. Daripada aku nggak tahan dan malah ngajak dia begituan lagi.

“Belinda—hhh…”

Selagi membayangkan indahnya tubuh Belinda, alat kelaminku makin tegang. Sambil menunduk di depan kloset duduk yang terbuka, satu tangan bertumpu, satu lagi mengocok sambil mengarahkan penisku ke bawah, ke arah lubang kloset. Akhirnya terlampiaskan juga.

“Uuuuhhhh… Belindaa…” lenguhku sambil merasakan semprotan demi semprotan melesat dari penisku langsung ke arah lubang kloset.

Aku terengah-engah selagi menikmati sedapnya orgasme dadakan itu. Dalam hati kubayangkan semburan pejuku bukan langsung masuk lubang kloset, melainkan ke perut dan dada Belinda. Kudengar sayup-sayup suara satu lagu populer di luar. Ringtone? Bukan teleponku. Barangkali HP Jordy atau Belinda. Kuacuhkan saja, selagi aku menguasai diri kembali. Mungkin ada lima menit aku terdiam di dalam toilet studio Jordy. Ketika kubuka pintunya untuk keluar, aku kaget melihat Belinda berdiri di sebelah pintu. Memang pintu ruang ganti ada di sebelah pintu toilet.

“Abis ngapain Om?” tanya Belinda datar.

Mukaku berubah merah. “Em, ya biasalah, tadi kebelet.”

Belinda tersenyum.

“Kebelet coli ya Om…”

Kata-kata barusan membuatku merasa malu sekali. Apa tadi eranganku yang menyebut nama Belinda terlalu keras sehingga terdengar dari luar? Aku tidak berani memperpanjang, jadi kudiamkan dia dan aku langsung berjalan kembali ke kameraku. Tapi celetukan Belinda sempat kudengar.

“Nggak apa-apa lagi, Om.”

Pemotretan hari itu kuanggap selesai. Aku menawarkan untuk mengantar pulang Belinda, dan kuantar dia pulang ke kosnya dengan mobilku. Sebelum kami pergi, Jordy sempat meminta nomor telepon Belinda.

Sepanjang perjalanan pulang kami lebih sering diam. Belinda terus memperhatikanku sambil sekali-sekali bertanya, seperti menanyakan tentang Hedy atau Jordy. Aku tidak banyak bicara karena malu sendiri tadi tidak bisa menahan nafsuku dengan Belinda sebagai objeknya. Kuturunkan dia di depan rumah kosnya yang terletak di sebelah rumahku sendiri.

“Makasih buat hari ini, Om,” katanya.

Dan sebelum aku bisa membalas, tahu-tahu dia mengecup bibirku. Aku kaget. Maksudnya apa? Melihat mukaku yang kaget, Belinda terlihat kecewa. Lalu dia keluar mobil tanpa berkata apa-apa, dan langsung masuk rumah kos. Belinda…

*****
BAGIAN 3

Entah aku bertindak pintar atau bego ketika tidak menanggapi ciuman Belinda ketika itu. Berhari-hari, berminggu-minggu kemudian tak ada kontak lagi dari Belinda. Tidak ada permintaan pemotretan, bahkan dia pun tidak mampir-mampir lagi ke rumah untuk menemui Hedy. Hedy bilang Belinda masih kuliah, tapi sering sibuk dan jadi jarang menghabiskan waktu bersamanya. Dan menurut Hedy, Belinda jadi sukar dihubungi kalau malam. Sesudah dua bulan, aku menemukan jejak Belinda, di satu majalah pria dewasa. Foto-foto seksinya dimuat di majalah itu. Fotografernya, Jordy. Bisa kubayangkan apa yang terjadi sesudah pemotretan di studio Jordy itu: pasti Jordy tertarik dengan hasilnya dan menawari Belinda untuk tampil di majalahnya. Tidak heran sih, dia memang seksi… dan jelas cocok tampil dalam fantasi lelaki…Eh…rasa bersalah itu kembali lagi. Aku selama ini terbiasa menganggap Belinda sebagai teman anakku—seseorang yang jauh lebih muda dan seharusnya bukan jadi sasaran nafsuku. Sesudah semua yang terjadi… apa aku seharusnya berbuat lebih banyak? Tapi sebagai apa? Tetap kuperlakukan seperti teman Hedy? Atau… lebih? Bagaimana sebenarnya perasaanku terhadap Belinda? Tapi aku tetap tidak berbuat apa-apa. Kubiarkan keadaan mengambang terus. Belinda juga sepertinya menjauh dari Hedy di kampus. Dia tetap di tempat kosnya yang lama, di rumah sebelah rumahku, tapi dia jarang sekali kelihatan. Mampir ke rumah pun tidak. Dan berbulan-bulan kemudian, foto-foto dia terus bermunculan. Dari satu majalah pria dewasa ke majalah pria dewasa lain. Kadang-kadang scan majalah-majalah itu muncul di forum-forum internet. Dan tiap kali aku melihatnya, selalu muncul perasaan ragu dan agak bersalah. Seolah-olah aku telah gagal menjaga sesuatu. Tapi kenapa? Belinda kan bukan siapa-siapaku? Dia cuma teman anakku. Sekarang juga sudah tidak akrab. Aku memang sempat menemaninya pada saat dia sedang jatuh, dan menghiburnya dengan mengikuti kemauannya. Mungkin aku ada andil juga dengan pekerjaan barunya sekarang sebagai model di majalah-majalah itu, karena sudah menghubungkan dia dengan Jordy.

*****

Dan pada suatu hari, Belinda menghubungiku lagi. Lewat telepon.

“Om…” katanya lirih.

“Ada apa, Bel?”

“Om temuin aku dong sekarang,” katanya.

Waktu itu aku baru selesai makan malam bersama Hedy di rumah. Hedy sedang membawa piring ke dapur untuk dicuci. Kutinggalkan meja makan, sengaja supaya obrolan kami tak terdengar anakku itu.

“Di mana?”

“Di kamarku,” kata Belinda.

“Kamu masih di sebelah kan?”

“Iya Om,” katanya.

Kubilang ke Hedy bahwa aku ada urusan mendadak di luar, dan kusuruh dia jaga rumah. Aku sengaja bawa mobil supaya Hedy mengira aku pergi jauh, padahal mobil kuparkirkan di tempat yang tidak kelihatan dari rumah, lalu aku jalan kaki ke rumah kos Belinda. Kuketok pintu kamar kos Belinda dan kulihat dia membukakan pintu. Belinda mengenakan tanktop pink dan rok mini pink yang memamerkan kemulusan pundak dan pahanya, tapi wajahnya yang cantik itu tampak sendu.

“Hai… Om…” sapanya pelan.

Dia mempersilakanku masuk dan mengajakku duduk di sofa. Sofa tempat dulu aku berhubungan dengan dia…

“Om ke mana aja… Aku kok ga pernah dikontak?”

“Eh… Aku…” Aku tidak tahu bagaimana seharusnya menanggapi pertanyaan Belinda barusan.

“Om udah ga peduli sama Belinda lagi ya??”

Kata-kata itu disampaikan Belinda dengan tatapan tajam.

“Ha…” Cuma itu yang bisa keluar dari mulutku. Kaget.

“Om ngga tau kan aku ngapain aja selama ini? Sesudah pemotretan di studio Om Jordy? Om ngga pengen tau?”

“Eh, bukan begitu, tapi…” kulihat wajah Belinda jadi cemberut.

“Om ga peduli ya kalau aku sekarang dipake sama Om Jordy dan teman-temannya?”

“Apa…”

Seperti disambar geledek aku mendengar kata-katanya barusan. Dipakai? Oleh Jordy dan teman-temannya?

*****

Selanjutnya aku duduk mendengarkan Belinda bercerita mengenai semua yang telah terjadi. Belinda bercerita sambil menyandarkan tubuhnya kepadaku.

“Tiga hari sesudah pemotretan di studio Om Jordy, aku ditelepon sama Om Jordy lagi, ditawari foto seksi buat di majalahnya. Om Jordy nawarin bayaran rada tinggi, jadi aku mau. Jadi aku terus kita foto-foto di satu villa di luar kota. Barangkali Om Gamal udah lihat foto-fotonya di majalah, itu yg aku difoto di balkon yang pemandangannya pegunungan…”

Ya, aku ingat foto-foto itu. Aku lihat scan edisi majalah itu di satu forum dewasa. Dia memakai kimono merah yang sedikit demi sedikit tersingkap sehingga pada akhirnya menyisakan set lingerie seksi. Dan aku ingat komentar anggota-anggota forum itu yang memuji kecantikan Belinda, juga minta “umpan lambung” dan “nocan”.

“Abis pemotretan… gak tau gimana, aku jadi nurut aja sama Om Jordy sesudah diajak ngobrol… tau-tau kami udah telentang aja di ranjang… aku ditelanjangin sama Om Jordy, terus…”

Hatiku bilang: Stop, stop, Belinda, aku ga mau dengar…tapi Belinda melanjutkan ceritanya dengan bagaimana akhirnya pemotretan itu berujung persetubuhan antara dirinya dan Jordy. Rayuan maut Jordy rupanya berhasil membuat Belinda luluh dan membiarkan Jordy menikmati tubuhnya. Aku mendengar dengan miris selagi Belinda menceritakan bagaimana dia terlena dan sesudahnya baru menyesal.

“Ya ampun, Bel, aku nggak nyangka Jordy seperti itu…” potongku, sementara tanganku bergerak sendiri merangkul Belinda berusaha menghibur, tapi Belinda seperti tak peduli dan terus bicara.

“Habis itu, foto-fotonya terbit di majalah. Aku mulai diajak Om Jordy untuk ikut dia ke mana-mana, hang out, dugem, dikenalin sama teman-temannya yang model dan fotografer juga. Awalnya sih biasa aja, tapi lama-lama Om Jordy minta aku… temenin klien-kliennya.”

Aku menahan nafas.

“Om Jordy itu germo,” kata Belinda singkat dan tajam. “Dia biasa nyalurin model-modelnya. Awalnya aku nolak, tapi terus Om Jordy maksa dan ngancem. Dia bilang dia punya foto dan video yang bisa dia sebar di internet. Tadinya aku nggak takut, karerna kupikir kalau foto-fotoku sendiri atau sama Om Jordy, nggak sebegitu parah. Tapi…”

Belinda berhenti sebentar, menatapku, dan,

“Yang dia pegang itu foto dan video kita, Om.”

Aku kaget. Foto dan videoku dengan Belinda… berarti dari pemotretan pertama itu.

“Dari mana dia dapat?”

“Dia dapat dari HP dan komputerku, Om… Om Jordy rupanya pernah otak-atik isi barang-barangku, dan ketemulah foto sama video kita itu…”

“Kenapa kamu simpan, Bel??” Aku sendiri sudah menghapus semuanya. Tapi Belinda tidak menjawab, dan malah menatapku seperti dia bertanya “ngapain Om bicara seperti itu”.

“Om Jordy bilang dia punya teman polisi, pejabat. Katanya kalau video porno nyebar, biasanya yang bakal dicari duluan itu pelakunya. Aku takut Om kebawa-bawa, jadi aku terpaksa nurut sama Om Jordy, jadi… terusnya aku mulai ngelayanin orang-orang yang bayar sama Om Jordy. Di hotel, di apartemen, di mobil… Pemotretan juga jalan terus. Kadang aku dibawa ke luar kota sama Om Jordy buat pemotretan, tapi ujung-ujungnya tetap aja aku mesti layanin nafsu mereka…”

“Aku sebenernya pengen kabur tapi Om Jordy terus ngancam aku. Aku diawasin terus, di kampus, di sini. Sekarang aku mesti nyalain HP terus, nunggu ditelpon Om Jordy kalau ada yang booking.”

Ketika itulah kulihat bekas tali yang samar di sepanjang pahanya.

“Bel… Itu…?” tanyaku sambil menoleh ke arah paha Belinda.

Belinda memandangiku dengan tatapan sedih.

“Ini bekas kemarin malam,” kata Belinda. Dan dia pun mulai menceritakan apa yang terjadi sebelumnya. Di antara klien-klien Jordy yang mesti dia layani, ada beberapa orang yang punya kesukaan tidak biasa. Awalnya Jordy mengadakan satu pemotretan dengan tema “beda”. Katanya temanya dia jadi korban penculikan, jadi dia difoto dalam keadaan terikat. Tapi waktu pemotretan itu, ada orang Jepang yang hadir. Belinda bilang orang Jepang itu temannya Jordy, dan lancar berbicara bahasa kita—mungkin pengusaha yang sudah lama di sini. Belinda menyebut dia “Kimura-san”. Kimura-san ini menyaksikan seluruh pemotretan bertema “terikat” itu dengan antusias, dan pada akhirnya, seperti yang lain-lain, Belinda juga disuruh melayani Kimura-san. Dalam keadaan terikat.

“Kimura-san orangnya sudah agak tua, kurus, kacamatanya tebal, mulutnya menganga terus,” kata Belinda datar. “Anunya sudah nggak bisa bangun kecuali kalau lihat cewek diikat.”

Belinda bercerita bagaimana dalam keadaan tak berdaya, Kimura-san menggerayanginya.

“Aku jijik sama dia… Jari-jarinya keriput, kering, kulitnya kasar dan bau, lidahnya menjijikkan… Tapi waktu itu aku diikat tangan dan kakinya. Sebenarnya untuk pemotretan. Ternyata itu semua Kimura-san yang minta. Aku nggak bisa apa-apa, mau teriak juga dilarang… Jadi aku cuma bisa pasrah. Sudah gitu, Kimura-san bawa macam-macam mainan.”

Kimura-san menggerayangi Belinda dengan berbagai macam sex toy dalam keadaan Belinda terikat dan tak bisa menolak. Kubayangkan film-film porno Jepang yang banyak melibatkan adegan seperti itu: aktrisnya merintih-rintih malu dan keenakan selagi payudaranya dan kemaluannya disentuh vibrator. Aku tahu seperti apa bunyi-bunyi yang dikeluarkan Belinda kalau dia terangsang, jadi fantasiku langsung menayangkan film porno Jepang dalam kepalaku, dengan Belinda sebagai aktrisnya. Ditambah lagi, Belinda sekarang bersandar kepadaku dan tangannya mulai mengelus tubuhku. Aku bisa mencium wangi tubuhnya. Aduh… Tubuhku lagi-lagi mulai bereaksi.

“Aku dibikin orgasme pake alat-alat itu, Om… ditonton Kimura-san dan Om Jordy. Sesudah itu aku dientot sama Kimura-san. Enggak lama, paling lima menit dia langsung crot. Tapi habis itu dia terus nambah lagi macam-macam ikatanku… Dia jepit pentilku… Colokin mainan ke pantatku… Colokin vibrator yang getar-getar terus ke dalam memekku… Aku sampai kecapekan dibikin terangsang terus. Akhirnya dia ngentotin aku lagi sampai dia keluar.”

Kimura-san memberinya bayaran yang besar. Tapi si orang Jepang itu rupanya ketagihan. Belinda pun dibooking lagi oleh Kimura-san untuk diikat dan dimainkan. Sudah 3 kali; dan ketika aku bertemu dia sekarang, dia baru saja pulang dari satu sesi bondage dengan Kimura-san.

“Kemarin sore aku dipanggil lagi sama Kimura-san. Aku disuruh ke tempat dia, satu rumah besar yang sepi. Aku diantar Om Jordy ke sana. Di sana ada dia dan beberapa pembantunya. Dia suruh aku buka semua baju sampai telanjang terus aku diikat lagi… di dada, pinggang, perut, selangkangan, tetek aku keikat di seputar dasarnya, jadinya mencuat, terus di belahan memekku juga keselip tali yang ngegesek ke dalam tiap kali aku jalan. Duburku juga disumpel mainan, kecil tapi bisa nyangkut di dalam karena ketahan tali. Aku didandanin sama satu anak buahnya Kimura-san, disuruh pakai rok mini dan sepatu hak tinggi, terus dibawa naik mobil Kimura-san…”

Kimura-san dan Jordy membawa Belinda yang terikat berkeliling kota naik mobil. Lalu di suatu tempat dekat pusat kota, mereka menyuruh Belinda turun dan berjalan di tengah keramaian sore. Mereka berdua mengikuti dari jauh.

“Aku malu banget… Aku nggak pakai pakaian dalam, udah gitu roknya pendek banget, hak sepatunya tinggi banget, aku takut ada yang lihat ikatan di selangkanganku. Udah gitu aku dilihatin banyak orang… Sampai deg-degan, takut ketemu kenalan. Tiap langkah, talinya gesek bibir memekku. Karena diikat, tetekku juga jadi mencuat di balik baju… Aku mesti sering banget nurunin rokku karena selalu naik tiap kali pahaku gerak, kalau nggak selangkangan dan pantatku bakal kelihatan.”

Tapi dia tak bisa kabur, karena Kimura-san dan Jordy tak pernah jauh. Kalau Belinda kelihatan mau bergerak yang tak sesuai kemauan mereka, salah seorang dari mereka bakal mendekat dan menarik Belinda. Meski hari menjelang malam, masih ada orang di jalan, dan Belinda merasa wajahnya memerah, semerah blus dan lipstiknya. Dia terus menunduk karena malu.

“Aku dilihatin orang-orang di jalan soalnya didandanin terlalu seksi… Ada yang ngelihatin terus, ada yang buang muka. Tapi anehnya aku malah kerangsang pas jalan sambil ketakutan itu… memekku jadi basah, aku ngeri ada yang bocor ke bawah soalnya aku ga pake celana dalam. Om Jordy nyuruh aku jalan terus.”

Akhirnya Kimura-san merasa cukup dan menyuruh Belinda kembali ke mobil. Di mobil, Belinda tidak langsung dibebaskan dari ikatan tapi malah digerayangi dan dimain-mainkan oleh Kimura-san dan Jordy sepanjang perjalanan kembali ke rumah Kimura-san. Dia dibikin klimaks oleh mereka, dan sesampai di rumah pun dia digarap lagi, masih dalam keadaan terikat, oleh Kimura-san. Laki-laki Jepang itu sangat terangsang melihat Belinda dipermalukan di depan umum, sehingga dengan penuh nafsu dia menjamah model amatir yang diikat itu, menggoda vagina Belinda dengan vibrator dan mencengkeram payudara Belinda. Belinda hanya bisa mengerang dan mendesah karena tak bisa mengingkari kenikmatan yang timbul, sehingga dia lupa akan betapa malunya dia ketika ada di jalan tadi. Rintihan-rintihan seksinya terus berlanjut selagi orgasme demi orgasme melandanya, sementara Kimura-san dan Jordy terus mempermalukannya dengan menyebut dia sundal dan pelacur dan lain-lain lagi.

“Aku ‘keluar’ sampai berapa kali, aku nggak ingat lagi… Kecapekan sampai ketiduran di tempat Kimura-san, masih diikat. Makanya sampai ngebekas begini, Om. Waktu bangun aku dilepas, terus diantar pulang sama Kimura-san sendiri.”

Ketika bicara begitu, matanya menatap seolah mengharapkan sesuatu dariku. Aku berusaha berpaling, sakit rasanya mendengar cerita pengalaman Belinda.

“Om…”

“Om!”

Belinda mendesah.

“Ah… benar kan, Om sudah nggak peduli aku lagi…”

“Bukan gitu Bel, aku…”

“Nggak apa-apa, Om…” kata Belinda lirih. “Aku juga salah kalau ngarepin Om… Mana mungkin…”

“Ha…?”

“Mulai besok aku nggak di sini lagi, Om,” kata Belinda. “Kimura-san minta aku tinggal di apartemennya, dia mau ngebiayain hidupku.”

Aku kaget mendengar kata-kata Belinda. Yang bisa kuucapkan cuma “Kenapa… Bel?”

Belinda mendesah kesal. “Hidupku udah kacau, Om… Kuliahku berantakan. Aku udah ga tau bisa apa lagi, udah gitu aku juga dijual sama Om Jordy, dan… Om Gamal udah ga peduli lagi sama aku.”

Aku tetap bingung, kenapa berkali-kali Belinda menyebutku ‘tidak peduli lagi’.

“Om…” kata Belinda. “Kenapa Om berhenti nemuin aku…? Aku kangen Om, tapi Om nggak pernah kontak aku lagi. Soalnya sesudah aku putus sama Agus, nggak ada lagi yang ada di hatiku selain Om…”

Hah. Ternyata…

“Tapi nggak pernah ada kontak lagi dari Om… Mungkin perasaanku emang cuma sebelah tangan. Aku juga malu hubungin Om setelah dijeblosin sama Om Jordy… Pasti Om jadi ga mau dekat-dekat aku lagi…” Belinda mulai terisak.

Seperti dulu, refleksku adalah merangkul. Tapi kali ini Belinda menepis rangkulanku.

“Nggak usah, Om…”

“Bel…”

“Aku minta Om ke sini karena aku mau pamit… Aku mau keluar dari kehidupan Om dan Hedy supaya hidup kalian tenang. Aku udah nggak bisa balik jadi yang dulu. Dan mendingan aku sama Kimura-san daripada terus ada di tangannya Om Jordy… Kimura-san udah janji aku ga usah jadi seperti waktu sama Om Jordy, cukup sama dia aja.”

“Tapi Bel… Kenapa harus gitu? Apa nggak ada cara lain…” tanyaku putus asa.

“Om mau nawarin jalan keluar lain seperti apa?” tantang Belinda. “Apa Om mau bilang, daripada sama mereka, mending sama Om Gamal aja?”

Ah… Dia menodongku melakukan sesuatu yang tidak bisa kulakukan. Kalau seperti itu, jadinya bagaimana? Aku tampung dia? Atau cara lain lagi? Lantas gimana dengan Hedy? Apa kata anakku itu nanti?

“Om ga bisa jawab,” kata Belinda pelan. “Aku tau. Pasti Om ga bakal berani nawarin seperti itu ke aku. Soalnya pasti berat banget buat Om.”

Belinda betul. Kalaupun dia ada perasaan kepadaku, memang sulit sekali itu menjadi sesuatu yang serius dan mengikat, karena keadaan kami berdua.

“Yang penting, aku pengen Om tahu, aku suka dan sayang sama Om,” kata Belinda. Dia lalu mengecup pipiku, dan menjauh. “Nggak apa-apa kalau Om nggak tau atau nggak peduli…” katanya pasrah.

“Bel…”

“Nggak apa-apa, Om… Ini pilihanku sendiri…”

Aku tidak tahu harus berbuat apa. Apa sudah tidak ada lagi yang bisa kuperbuat? Terdengar suara ringtone HP. Lagu yang sama seperti yang kudengar di studio Jordy beberapa bulan lalu. Mungkinkah waktu itu, ketika Belinda meninggalkan teleponnya di luar kamar ganti dan aku sedang tidak ada di tempat, ringtone itu menarik perhatian Jordy dan membuat dia menemukan foto dan videoku bersama Belinda? Belinda menjawab telepon itu.

“Sudah siap, aku tinggal jalan aja… Ditunggu di depan? Oke.”

Belinda menutup pembicaraan, berdiri, berjalan masuk kamar, dan keluar lagi menggeret koper besar beroda. Ah… betulan. Dia mau pergi.

“Selamat tinggal, Om…” Dia mendekatiku dan mencium bibirku. Rasa pahir dalam hatinya seperti terasa di bibirnya. “Makasih buat semuanya, dan maafin kalau aku ada salah…”

“Bel…” Tanganku menjangkau ke depan tapi dia menjauh, menghindar dari genggamanku.

Dia menatapku untuk terakhir kali, lalu pergi tanpa berkata apa-apa, keluar dari kamar kos membawa semua barangnya. Kuikuti dia keluar. Dia tidak menoleh. Di luar rumah kos, terparkir mobil mewah. Di balik setirnya tampak seorang laki-laki berkulit kuning, berkacamata tebal, berumur lebih tua daripada aku. Itu Kimura-san? Mungkin saja. Belinda membuka pintu mobil, menengok ke arahku dengan tatapan tajam sekaligus sendu, lalu masuk ke mobil. Aku hanya bisa berdiri mematung ketika mobil itu pergi membawa Belinda. Dadaku sakit disergap rasa bersalah dan malu. Andai saja…

TAMAT,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

Related posts