Love before Y2K – 1
Love before Y2K – 1
Menjelang akhir 1999 resesi ekonomi masih parah. Situasi ini membuat banyak perusahaan mengurangi karyawannya. Tapi beruntung di perusahaan saya hal seperti itu tidak terjadi. Memang banyak bisnis yang ditunda atau dibatalkan, tetapi kualitas karyawan malah ditingkatkan. Diantara program itu adalah pelatihan persiapan menghadapi Y2K tahun 2000 bagi seluruh karyawan. Karena banyak pesertanya, pelatihan dilakukan sampai 10 gelombang, dengan jumlah 40 peserta di setiap gelombang. Setiap pelatihan memakan waktu 4 hari, dan dilakukan dua minggu sekali. Sebagai staf yang bekerja di bagian personalia, tugas saya adalah menghubungi tempat latihan.
Saat itu banyak tempat latihan yang menawarkan harga miring. Mungkin mereka banting harga karena krisis ekonomi menyebabkan tempat mereka jadi sering kosong. Kami memilih salah satu tempat pelatihan di puncak. Pelatihan pun berjalan lancar sampai gelombang ke empat. Di setiap akhir pelatihan, saya selalu pulang terakhir, bahkan menginap satu malam lagi, untuk mengurus adminsitrasi. Tiba di gelombang V terjadilah kisah ini.
Menjelang acara penutupan yang biasanya dilakukan jam 4 sore, seorang karyawati bagian humas, sebut saja namanya Srini dan saya biasa memanggilnya si Cantik, mendekati saya dan minta ijin untuk tinggal di kamarnya lebih lama karena suaminya akan menjemput sekitar jam delapan malam. Padahal acara biasanya berakhir pukul 5 sore. Setelah saya diskusikan dengan manajemen yang mengelola tempat pelatihan, mereka mengijinkan, tapi hanya satu bungalow saja. Itu berarti Srini harus pindah ke bungalow yang biasa disediakan untuk panitia. Untungnya bungalow di tempat pelatihan itu bertingkat dua, sehingga Srini bisa menempati tingkat atas, sementara tempat panitia termasuk aku ada di lantai bawah. Tanpa menunggu acara penutupan, iapun memindahkan barangnya yang sudah dikemas dalam tas.
Acara penutupan berakhir dan Srini meminta kunci bungalow untuk menunggu suaminya disana. Karyawan lain peserta pelatihan pulang dengan mobil yang disediakan perusahaan. Sedangkan saya harus membereskan berbagai peralatan. Saya kembali ke bungalow setelah para driver berangkat ke Jakarta membawa peralatan. Driver yang biasa mengantar sayapun ikut, karena banyaknya peralatan yang harus dibawa hari itu, dan ia berjanji akan menjemput saya esok pagi. Itu artinya saya harus menginap lagi. Dengan setumpuk dokumen saya kembali ke bungalow sekitar jam tujuh malam dan mendapati si Cantik tengah nonton TV di lantai bawah. Ia memakai jeans dan kaos yang dibalut dengan jaket. Rambutnya sebahu dan disisir rapi, seperti pragawati saja. Ia tersenyum melihat saya masuk sambil terus nonton TV.
Wajah bulatnya kian manis ketika tersenyum. Dia tanya kapan saya akan pulang ke Jakarta. Saya bilang mungkin besok, karena banyak yang harus saya urus. Dia mengajak saya pulang bersama suaminya yang sebentar lagi datang. Saya bilang terima kasih, tapi saya biasa mengerjakan tugas akhir sampai jam sebelas malam. Hubungan saya dengan si Cantik ini memang baik, bahkan boleh dikatakan akrab. Saya pun mengenal suaminya, yang bekerja di suatu perusahaan komputer milik asing, karena sering menjemputnya di kantor. Jika suaminya tidak menjemput saya sering dititipkan untuk mengantarnya pulang naik bis, karena rumah kami satu arah. Si Cantik ini memiliki tubuh yang ramping, meskipun ia sudah punya satu anak. Keistimewaannya ada pada bibirnya yang ranum dan matanya yang cerah. Aku mengambil HP dan menelpon istriku, untuk memastikan semua baik-baik saja di rumah dan memberitahu bahwa aku akan pulang esok hari. Lalu aku mengambil handuk dan mandi.
Si Cantik menggodaku dengan mengatakan bahwa pantas bungalow ini harum, rupanya ada yang belum mandi. Aku bilang bungalow ini harum karena ada bidadari masuk dan nonton TV. Tiba-tiba HP Srini berdering.
“Ya, Mas ada dimana sekarang?”
“Lho katanya jam delapan”
“Saya di tempat panitia. Ada Mas Riki.”
“Besok pagi, sekitar jam..”
Ia menoleh ke arahku.
“Mas Riki besok pulangnya jam berapa?”
“Aku.. Biasanya jam 10. Kalau urusan udah beres”
“Jam sepuluh katanya. Memangnya kenapa?”
“Oke deh. Kutunggu yach? Nanti telepon lagi”
Ia menoleh kembali ke arahku.
“Mas Riki, kata Mas Samsi dia mungkin terlambat, sekitar jam 10 dia baru sampai. Katanya banyak kerja yang harus ia selesaikan. Nggak apa-apa kan sampai jam 10?”
“Ah, nggak apa-apa. Mau nginep disini juga boleh” jawabku sambil senyum nakal.
“Wah, bisa berabe.” Katanya.
“Kenapa?” tanyaku selidik.
“Dua-duaan satu bungalow. Apa orang nggak curiga?” tanyanya balik sambil nyengir.
“Biar aja, yang penting kita nggak ngapa-ngapain..” jawabku sambil masuk ke kamar mandi.
Kamar mandi bungalow ini bagus, meskipun terbuat dari kayu. Aku merasakan dingin mulai menusuk. Angin terasa masuk dari celah kayu. Aku harus mandi, agar rasa dingin berkurang. Sambil bersiul aku mengguyur badanku dengan air dan menggosoknya dengan sabun.. Selesai mandi aku duduk di depan laptop yang ada di kamarku dan memasukkan data. Aku memakai training dan kaos dengan jaket tipis kesukaanku. Aku teringat sesuatu.
“Mbak sudah makan?” tanyaku agak keras, karena dari kamar.
“Gampanglah nanti saja.”
“Kita makan yuk. Daripada nanti pulang malam-malam cari makanan susah.”
“Dimana?”
“Di kantin.”
“Yuk deh.” Katanya sambil mematikan televisi.
Kamipun makan. Di luar grimis sehingga kami harus berlari-lari kecil agar tidak basah. Meskipun bungalow gratis, makan harus tetap bayar. Srini ingin membayar, tapi aku mendahuluinya. Pulang makan ia kembali nonton TV dan aku pun kembali bekerja. Jam setengah sepuluh HP Srini kembali berdering.
“Ya mas, sudah sampai dimana?”
“Lho, lalu kapan kesininya?”
“Ya nggak apa-apa sih, tapi apa benar nggak bisa ditinggal?”
“Ada.. Mas Riki,” ia memanggilku.
“Ini Mas Samsi mau ngomong.”
“Hallo, Mas Samsi, apa kabar?”
“Baik. Gini Mas Riki. Saya berencana menjemput Srini malam ini. Tapi dari sore saya nggak bisa keluar. Ada perusahan client kami yang servernya down. Kayaknya saya harus begadang untuk memperbaikinya. Tolong titip Srini dong supaya ia bisa nginap disitu.”
“Oh.. silakan. Nggak masalah koq. Dia bisa tidur di kamar atas.”
“Anda pulang besok jam berapa?”
“Sekitar jam sepuluh. Biasanya urusan administrasi selesai jam segituan”
“Kalau saya nggak bisa jemput, titip sekalian antar ya. Ada kendaraan?”
“Ada, kendaraan kantor.”
“Iya deh. Titip ya. Saya telepon lagi besok.”
“Ya.”
Tek. telepon ditutup. Saya mengembalikan HP sambil senyum.
“Apa saya bilang, harus nginep kan?”
“Emangnya kenapa?” Tanyanya membalas senyumku.
“Ah, agak apa-apa. Cuma ngeri aja.”
“Emangnya ada apa?”
“Sudah empat hari nggak ketemu istri nih.” Jawabku menggoda.
“Mas bisa aja, saya kira ada apa. Kalau itu sih saya juga sama. Kan sama-sama disini sejak hari Rabu. Apalagi kalau Mas Samsi nggak pulang besok.”
“Sering nggak pulang begitu?”
“Wah sering banget.”
“Kesepian dong.” Ia tersenyum.
“Makanya kalau lagi ada kesempatan dipuas-puasin.” Kami tertawa.
“Sampe berapa rit?” “Ya, sekuatnya. Kadang-kadang sampai empat.. udah ah, jadi ngelantur. Aku tidur ya?”
“Silakan.. Saya masih harus mengerjakan beberapa file. Kalau ingin minum turun aja. Di dapur ada aqua.”
“Makasih ya?!”
“Ngomong-ngomong..” Ia berhenti melangkah.
“Apa Mas?” Aku tersenyum
“Kuat amat sampe empat rit?!”
“Husy.. udah ah!” Ia pun naik ke kamar atas sambil tersenyum memandangku.
Aku mengerdipkan mata. Eh, dia membalasnya. Aku tidak tahu arti kedipan mata itu. Aku terus bekerja sampai selesai. Kulihat jam menunjukkan 23.30. Waktunya tidur, pikirku. Aku merebahkan badanku sambil menerawang, mengingat-ingat kejadian tadi. Si Cantik itu membalas kerdipan mataku, seolah-olah mengerti sesuatu. Jangan-jangan ia memang naksir aku. Kalau memang naksir, sama dong denganku. Aku sudah lama memperhatikannya di kantor. Tapi ia seolah tidak perduli.
Akupun harus menahan diri, karena aku sudah beristri. Tetapi rasa ketertarikan itu tidak bisa dibohongi. Karena itu aku seing mampir di mejanya untuk sekedar ngobrol atau minta makanan kecil. Ia cuek saja dan ngobrol sekenanya. Di luar angin bertiup kencang dan menimbulkan suara gesekan daun dan ranting pohon. Dari celah kaca jendela kudengar suara menderu. Suara hujan gerimis terdengar. Tiba-tiba kudengar pintu kamarku diketuk.
“Siapa?” tanyaku gugup.
“Saya, Srini.”
Aku membuka pintu. Ia berdiri dan nampak pucat. Rambutnya agak kusut.
“Saya takut. Suara angin kencang sekali di atas.”
“Jadi?” Tanyaku bodoh
“Aku mau tidur disini. Kan ada dua tempat tidur”
“Hah?!” Aku kaget bukan kepalang.
“Jangan!”
“Abis aku takut.” Ia masuk tanpa minta ijin.
Dan terus saja berbaring di tempat tidur sebelah meja kerjaku. Aku blingsatan jadinya. Dalam hati sebenarnya aku senang, tapi aku khawatir kalau-kalau Samsi datang tengah malam. Bisa gawat. Akhirnya kuputuskan untuk tidur di sofa, sedangkan ia tidur di kamarku. Ia setuju. Baru kira-kira sejam aku tertidur, ia membangunkanku.
“Sorry Mas, aku takut” katanya.
“Mas Riki tidur di kamar saja sama aku. Nggak apa-apa koq.”
Akhirnya kuturuti juga permintaanya. Aku pindah kembali ke tempat tidurku. Kulihat jam menunjukkan hampir pukul satu. Aku tidur menghadap dinding kayu. Ia pun begitu. Tapi dengan ada wanita lain di kamarku aku malah tidak bisa tidur. Aku berusaha tapi sia-sia saja. Jantungku deg-degan. Antara senang dan takut. Aku merasa inilah kesempatan buatku. Tapi rasa takut membuatku tidak enak. Akhirnya aku pura-pura mendengkur. (Tidur miring koq mendengkur). Tidak lama kemudian terdengar suara kasurku tertindih tubuh lain. Lembut. Dan yang membuat aku kaget adalah ada tangan yang memelukku dari belakang. Ini pasti si Cantik. Jantungku berdegup kencang. Aku berusaha agar terlihat tertidur. Tapi sia-sia saja.
“Mas Riki..” panggilnya berbisik.
“Belum tidur kan?”
“Hmm..” jawabku pendek.
Aku berbalik. Ia menggeser mundur.
“Kenapa sih?” Ia tidak menjawab, tapi memandangku sayu.
“Ayo tidur. Nanti kesiangan bangunnya.”
Ia menggeleng. Matanya terus menatapku. Aku pura-pura ingin berbalik, tapi tangannya menarik badanku agar tetap menatapnya. Kami saling bertatapan. Lama. Ia mendekatkan wajahnya ke wajahku, sampai akhirnya bibirnya yang ranum itu mencium bibirku. Lembut. Aku tak kuasa lagi menolak. Tapi aku masih berpikir, apa aku harus melakukannya dengannya. Bagaimana kalau Samsi datang pagi buta dan mendapati istrinya tidur di kamarku? Bibirnya mencium bibirku lagi. Kali ini ia melingkarkan kaki kirinya di pinggulku. Ini cewek ngajak main, pikirku. Tapi aku masih pasif.
“Mas..” bisiknya.
Aku menatapnya, meminta kepastian. Ia mengangguk. Ketika ia menciumku ketiga kali, aku membalas. Masa bodoh dengan si Samsi, pikirku. Kalau ada kesempatan kenapa tidak dimanfaatkan? Kami berpagutan lama. Bibirnya seperti tidak puas-puasnya menyedot, menggigit-gigit bibirku. Lidahnya liar berkali-kali memasuki mulutku. Aku membalasnya dengan kegairahan yang sama. Terus tangannya berkeliaran kesana-sini sampai ke selangkanganku dan menangkap bendaku yang mulai mengeras. Ia kaget dan berhenti mengulum bibirku.
“Nggak pakai CD ya?” tanyanya kaget. Alisnya mengerut.
“Sengaja” jawabku seenaknya. Ia kembali memagutku dengan ganas sambil memasukkan tangan kirinya ke dalam trainingku, meremas batangku dengan gemas. Lalu mengelusnya lembut. Ia berhenti lagi.,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Bersambung…