Lilisku
Lilisku
Lilis Baru pulang dari luar kota tadi malam Aku agak malas untuk siap-siap ke kantor, nanti agak siang saja Aku masuknya. Isteriku sdh berangkat, anakku semata wayg sdh berangkat sekolah. Usai sarapan yg disiapkan oleh Lilis Aku belum jg mandi tp menikmati 3 hari koran yg belum sempat kubaca selama keluar kota di sofa ruang tamu. Santai.
Hari menjelang siang. Lilis baru saja selesai mengepel lantai lalu ke belakang. Rasanya ada yg aneh pada Lilis. Tiap hari dia memang mengepel lantai dan itu biasa. Entah apanya yg berbeda pada dia pagi ini Aku tak memperhatikan dan memang tak ingin tahu. Hanya kurasakan agak aneh saja. Kembali Aku membaca koran. Ketika terdengar suara guyuran air di kamar mandi belakang, jg masih biasa, Lilis selesai bersih-bersih rumah lalu mandi.
Lalu 30 menit kemudian dia tampak sliweran antara dapur dan ruang makan jg biasa. Jg ketika masuk ke kamar anakku. Sekilas Aku sempat melihatnya lewat dari balik bentangan koranku. Mungkin ini yg tak biasa, dia tampak lebih rapi dari biasanya. Daster yg dia kenakan tampaknya baru. Mungkin dia mau keluar belanja, pikirku.
Dalam kesibukan dia di ruang makan kadang dia bikin suara-suara benturan piring dan alat lainnya. Dgn sendirinya Aku sedikit mengangkat kepala mengalihkan pandangan dari koran ke arahnya. Itu gerakan refleks yg biasa. Yg tak biasa adalah dia beberapa kali ‘tertangkap’ sedang memandang ke arahku tp tatapan matanya agak ke bawah.
Ketika dia sedang ke belakang Aku coba meneliti adakah yg aneh pada diriku ? Kebiasaan di rumah Aku selalu mengenakan celana pendek. Itu sdh sering dan Lilis jg sdh tahu. Jadi apanya yg aneh. Ah, memang Aku peduli ? Aku terus saja membaca. Sampai suatu saat sedang asyiknya Aku membaca tanpa kusadari Lilis sdh berdiri di depanku.
Koran kuletakkan, belum sempat Aku membuka mulut untuk nanya, tiba-tiba Lilis menghambur ke arahku, duduk di pangkuanku dan memeluk tubuhku. Lalu kepalanya yg tersembunyi di dadaku terlihat sedikit berguncang. Lilis menangis. Ada angin apa nih ?
“Maafkan saya Kang …” katanya di sela-sela isakan tangisnya.
Lilis memang bukan pembantu. Dia adalah sepupu isteriku, sama-sama dari Kuningan, asal isteriku. Dia cukup cerdas walau SMK saja tak tamat, karena keburu disuruh menikah oleh ibunya. Teman-temannya di kampung pada umumnya hanya tamatan SMP atau bahkan SD.
Dia sebenarnya ingin sekolah sampai tingkat sarjana, hanya kebiasaan di kampung mengharuskan anak perempuan sdh berrumah-tangga ketika mencapai umur 16 atau 17 tahun. Malang baginya, ketika usia pernikahan menjelang setahun suaminya tertangkap basah berselingkuh. Dia minta cerai dan ingin ikut isteriku ke Jakarta sambil siapa tahu bisa meneruskan sekolahnya dan menggapai cita-citanya menjadi sarjana pertanian.
Di kampung dulu dia memang amat dekat dgn isteriku. Setelah bicara dgnku, isteriku setuju menyekolahkan dia sampai tamat. Lilis bersedia kerja apa saja, jadi pembantu sekalipun, untuk mengejar cita-citanya. Kami, saya, isteri dan anakku tak pernah menganggap dia sebagai pembantu. Kami perlakukan dia sebagai salah satu famili dekat. Sdh hampir dua bulan dia ikut dgn keluarga kami. Dia sdh terdaftar di SMK kelas 3, hanya belum mulai sekolah karena menunggu tahun ajaran baru, bulan depan. Umurnya kini 18 tahun. Memang sedikit terlambat. Anak seusia dia umumnya sdh tamat SMU.
“Kenapa Lis?”
“Maafkan saya Kang….”
“Kamu salah apa” Dia tak menjawab, masih terisak.
Aku coba menduga-duga, mungkin dia tak betah karena mengerjakan urusan rumah tangga mirip pembantu.
“Kamu pengin pulang?” Lilisg menggeleng.
Sebenarnya tdk jg sebagai pembantu karena isteriku kalau sedang di rumah jg ikut terjun kerja bersama dia. Anakku pun begitu. Kami memang sdh biasa tak punya pembantu.
“Atau kamu gak betah di sini?”
“Bukan Kang …. bukan, saya senang tinggal sama Teteh…” Yg dia sebut teteh adalah isteriku.
“Jadi kenapa?” Hening sejenak, lalu
“Sayanya Kang, saya yg tak beres…”
“Tak beres apanya, ayo cerita, jangan sungkan-sungkan. Kamu kan sdh kuanggap adikku sendiri”
“Bukan masalah itu Kang … Akang sekeluarga di sini baik-baik semua ….saya betah…”
“Lalu ?” Lilis masih diam, tangisnya mereda. Tp masih belum mau bicara.
Tak sadar Aku mengelus-elus rambutnya yg lurus dan panjang sepunggung, seperti rambut isteriku. Memang Lilis banyak kemiripan dgn isteriku. Wajah mirip, hanya isteriku langsat dia sawo matang. Bentuk tubuhnya sama langsing, hanya dada Lilis sedikit lebih besar.
Pembaca, jangan berpikiran macam-macam ya. dari ‘tampak luar’ saja sdh terlihat, tak harus ‘memeriksa’ ke dalam. Memangnya Aku sekurang ajar itu berani memeriksa dada sepupu isteriku ? Dada? Ah …. gumpalan daging kembarnya itu melekat erat di dadaku sekarang. Baru sekarang jg Aku menyadari bahwa bongkahan itu nempel di tubuhku nyaris tak ada penghalang. Tak ada ‘kain keras’ di antara kami. Masa sih ? Untuk memenuhi rasa penasaranku, tanganku yg sedang membelai rambut Lilis ‘mampir’ sebentar ke punggungnya. Hanya kain daster saja yg ada dipunggungnya.
Benar, Lilis tak mengenakan bra ! Aku lebih banyak berpikiran positif. Mungkin saja tadi dia sehabis mandi belum sempat memakainya. Tp menyadari ‘keadaan’ begini, sebagai lelaki normal tak urung ada yg menggeliat di balik celana pendekku. Lalu, kubiarkan pikiranku mengelana, kubayangkan bentuk bungkahan yg menekan dadaku, tentunya masih kencang sebab dia belum punya anak dan belum setahun ‘dipakai’, dgn putingnya yg kecil dan kecoklatan.
Imagi begini jelas saja membuat perangkat bawahku semakin mengencang. Tiba-tiba Lilis mengangkat kepalanya yg dari tadi ngumpet di dadaku. Ditatapnya mataku sejenak, lalu pandangan beralih ke tubuhku bagian bawah dan kemudian menatapku lagi. Aku yakin pantatnya telah merasakan perubahan yg terjadi di celanaku.
“Kang …….”bisiknya serak.
Pantatnya bergerak menggoyang, melumati kelaminku. Mendadak mulutku dipagutnya. Aku masih shok atas tindakannya ini sehingga bibirku pasif saja menerima sapuan bibirnya. Tp itu tak lama, hanya beberapa saat kemudian bibirku malah merespons lumatan bibirnya. Kami berciuman. Celakanya, entah bagaimana Aku jadi membayangkan bahwa yg sedang kuciumi ini adalah isteriku sehingga ciuman kami makin seru …. Aku sempat melayg-layg sampai suatu saat kesadaranku mendarat kembali ke bumi, ratio mengalahkan emosi. Aku dorong kepala Lilis menjauh, ciuman terlepas.
“Lis…. ?” Kulihat ekspresi wajahnya yg kaget sekejap.
“Kang …. maafkan saya …. tp saya butuh banget ….. butuh Kang …. udah lama banget menahan ….”
“Kamu sadar Lis?”
“Iya Kang, sadar bahwa saya sangat membutuhkanmu Kang …. ”
“Kenapa saya?” tanyaku lagi.
“Gak tahu Kang. Tubuhku ini udah lama membara …. Udah lama saya coba menahannya tp saya gak mampu Kang …. tolong Akang mengerti ….” Tanpa menunggu reaksiku Lilis kembali menciumiku.
Kami berpagutan lagi. Aku mulai menikmati. Kesadaranku berangsur menghilang….. Kemudian, ini gerakan refleks yg wajar dan biasa ketika sambil berciuman telapak tangan kananku mulai meremas-remas buah dada kirinya yg hanya tertutup daster. Daging yg sekal sesuai bayanganku tadi. Lilis melepas ciuman lalu mengerang sambil kepalanya mendongak menikmati remasanku. Bahkan erangannya mirip rintihan isteriku.
Cuma sebentar, kembali dia mengejutkanku, dgn sigapnya dia melepas kancing-kancing dasternya lalu menyodorkan dadanya ke mukaku. Dua bulatan kembar itu kini terhidang di depan hidungku. Putingnya kecil tp telah mengacung ke depan. Kuciumi buah dadanya, bergantian kanan dan kiri. Puting kecil itu memang keras. Jg gerakan wajar jika tanganku kemudian mulai membelai-belai pahanya, menyusup ke balik dasternya, merambat sampai pangkalnya.
Lagi-lagi Aku dibikin kaget. Hanya daster itulah satu-satunya pakaian yg melekat di tubuh sintal Lilis. Aku tadi tak memperhatikannya. Selangkangan berbulu halus itu telah membasah dan lembab. Lilis makin menggila ….
“Ayo Kang …. sekarang. Aku mohon ….” Rangsanganku sdh tinggi, tak ada lagi pikiran jernih, gelap mata.
Kubopong Lilis menuju kamarku, kurebahkan tubuhnya ke kasur. Secepat kilat Lilis melepas dasternya melalui kepalanya. Tubuh coklat langsing sekel itu kini telanjang bulat tergolek di kasurku. Kedua belah dadanya memang bulat dan menonjol dihiasi puting dan lingkaran aerola yg kecil menambah keindahannya. Bulu-bulu halus di bawah perutnya terlihat rapi tanda terawat. Tubuh itu kini gelisah, bergerak-gerak tak tentu. Pahanya sdh membuka lebar. Tunggu apa lagi?
“Ayo…Kang ….” Secepat kilat Aku memelorotkan celana pendekku sekaligus dalemannya.
Aku naik ke tempat tidur dan mengarahkan k0ntolku ke selangkangannya. Kebiasaanku kalo awal penetrasi lebih suka posisi misionarist, sebab Aku bisa melihat ekspresi wajah lawan mainku ketika k0ntolku mulai menusuk. Wajah dgn mata terpejam dan kepala sedikit mendongak adalah pemandangan paling eksotis. Kurebahkan tubuhku menindihnya. Lalu dgn gerakan agak kasar Aku menekan. Muka Lilis berkerut, dia menggigit bibirnya sendiri, ekspresi seperti orang yg sedang kesakitan. Benar saja …
“Aauuuww …. pelan-pelan Kang, saya udah lama banget engga …..” Memang, kepala k0ntolku serasa membentur tembok walaupun Aku yakin dia telah lembab.
“Oh …. sorry Lis…” Lalu dgn sabarnya Aku perlahan membuat gerakan-gerakan pendek maju-mundur untuk membuka ‘pintu’ yg sdh lama tak pernah dimasuki. Memang agak susah, harus perlahan dan bertahap.
Akhirnya seluruh batangku tertelan oleh memeknya. Mulailah Aku ‘memompa’, masih perlahan agar bisa lebih merasakan gesekan batangku dgn dinding-dinding liang memeknya. Milik Lilis begitu eratnya menjepit batangku, persis seperti milik isteriku pada awal-awal kami menikah.
Aku jadi teringat sewaktu berbulan madu dgn isteriku beberapa tahun lalu. Cerocohan ribut yg keluar dari mulut Lilispun sama. Beginilah rasanya. Hanya satu kata : nikmat ! Lalu Lilis ? Sulit kugambarkan. Gerakan tubuhnya begitu liar, ekspresi wajahnya begitu ekstasi manjadikan dia tampak lebih cantik dibanding biasanya. Itu tanda bagi wanita yg sedang merasakan nikmatnya bersenggama. Rasanya Aku bisa lebih lama bertahan memompa, mungkin karena tadi malam Aku sdh mengeluarkan dua kali ‘tabungan’ ke tubuh isteriku setelah tersimpan selama 3 hari di luar kota.
Hingga suatu saat …. Kedua tangannya mengunci amat erat di tubuhku dan tubuhnya kurasakan berguncang-guncang teratur beberapa kali. Aku lalu menghentikan pompaan, memberi kesempatan dia menikmati orgasmenya. Guncangan lalu melemah seiring melemahnya kuncian tangannya. Lalu tangannya rebah ke samping. Lilis terkapar ….
“Makasih Kang …. terima kasih….”katanya sambil menciumi wajahku.
“Gimana Lis….”
“Enak banget kang …..” Tubuhku masih telungkup menindih tubuhnya, punyaku yg masih tegang masih ‘tersimpan’ di dalam tubuhnya.
Aku masih tak bergerak walaupun Aku belum mencapai puncak. Sengaja untuk memberi waktu kepada Lilis untuk menyelesaikan puncak hubungan seks, orgasme. Karena Aku tahu berdasarkan pengalaman, wanita tak mau ‘diganggu’ bila sedang dalam masa puncak dan beberapa waktu setelahnya. Syaraf-syaraf pada alat kelaminnya menjadi amat sensitif ketika masa orgasme. Tp ketegangan k0ntolku mulai mengendur karena masa pause begini. Aku harus mulai memompa lagi untuk meningkatkan ketegangan batangku. Lalu Aku mulai gerakan dgn memundurkan k0ntolku sedikit dan menusuk lagi.
“Ooooohhhh….. Kang…”erangnya.
Aku terus saja. Memompa. Mulutnya mulai berkicau. Makin cepat. Gerakannya makin gila. Aku melambung Melayg …. Beberapa detik kemudian …. Aku sampai. Kutumpahkan semuanya ke dalam tubuhnya. Ya. Aku ejakulasi di dalam tubuhnya. Tak terpikirkan lagi untuk mencabutnya. Karena kedua kaki Lilis keburu menjepit erat pinggulku, dan lalu tubuhnya berguncang teratur seperti tadi. Beberapa saat berlalu baru Aku menyadari akan akibat penumpahan ke dalam liangnya.
“Lis…. Aku keluar di dalam ….”
“Engga apa-apa Kang …. jangan khawatir”
“Maksudmu ?”
“Saya masih menyimpan spiral di dalam ….” Aku lega walaupun di kepala ini menumpuk banyak pertanyaan seperti mengapa dia nekat begini …
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,