Lesung Pipit Kinasih
(Baca pula—Dukuh Terpencil Dilereng Bukit)
Bulan setengah purnama telah tergelincir dari titik zenith, menandakan malam telah lama menyelimuti dukuh Binangun. Sinarnya tersipu malu menembus kabut tipis yang mulai turun di atas dukuh kecil itu. Meski samar, sinarnya masih cukup terang diantara kelip lampu minyak yang menerangi rumah penduduk.
Dari bawah lembah terlihat nyala obor. Makin lama nyalanya kian mendekat, meski sesekali hilang terhalang rerimbunan tanaman jagung. Saat dekat terlihat tiga sosok lelaki berjalan tergesa-gesa. * Satu orang berusia 25 tahun, tubuhnya tegap, wajahnya bersih dan gagah, mengenakan pakaian sederhana namun rapi.
Dibahunya menggantung sebuah tas yang sudah lusuh. Dari tas itu menyembul beberapa buku dan kertas. Sedangkan dua orang yang di sampingnya terlihat membawa obor. Satu orang terlihat berumur 35 tahun dengan jenggot dan jambang di wajahnya. Sedangkan yang satunya lagi lebih muda berusia sekitar 17 tahun dengan rambut ikal, pada bahunya melintang kain sarung.
Pada sebuah rumah kecil dengan halaman mungil ketiganya berhenti. “Kang Sutar dan Tarman, silahkan mampir dulu. Ngopi-ngopi sebentar,” ujar lelaki muda yang mengenakan tas di bahunya.
Kedua orang yang ditanya tersenyum. “Tidak usah mas Aldi, sudah malam. Kita langsung pulang saja,” ujar lelaki dengan jambang yang disapa Sutar.
“Ya sudah kalau terburu-buru. Terima kasih sekali Kang telah bersedia mengantar. Lain kali kalau lewat sini jangan lupa mampir,” kata Aldi.
“Baik mas lain kali kita mampir. Sekarang kita langsung pamit,” ujar kedua laki-laki itu sembari membenarkan penutup kepala untuk mengusir udara dingin malam. Dengan menenteng obor keduanya bergegas pulang.
Saat kedua orang itu pergi, mata Aldi masih terpaku memandangi nyala obor yang kian menjauh. Ia sangat bersyukur atas keramahan orang-orang desa. Dia membayangkan andai kedua orang yang biasa membantu dirumah kepala desa itu tidak mau mengantar. Ia harus berjalan sendirian melewati setapak yang menghubungkan antar pedukuhan di Desa Klecak yang jaraknya cukup jauh.
Hari ini Aldi memang harus rapat di kecamatan yang jaraknya cukup jauh dari desa tempatnya bekerja. Biasa, evaluasi bulanan perkembangan proyek irigasi yang sedang ia tangani. Karena evaluasinya dimulai siang, dia harus rela pulang menjelang malam. Itu pun harus naik ojek dengan ongkos Rp 40 ribu menuju kantor kelurahan yang dekat dengan jalan utama.
Suara daun pintu yang berderak pelan membuyarkan lamunannya. Sejenak kemudian terlihat sosok wajah tua namun ramah. “Pulang lembur Nak Aldi. Cepetan masuk ke rumah nanti masuk angin,” ujar wanita tua itu. Aldi pun bergegas masuk. “Terima kasih bu,” ujar Aldi dengan tersenyum.*
Meski baru dua bulan ia menetap di situ, pemilik rumah, pasangan Sanwirya dan Rukiyah sudah menganggap Aldi seperti anaknya sendiri. Apalagi* suami istri itu tinggal sendiri. Ketiga anak perempuannya sudah menikah dan ikut suaminya, sedangkan anak lelakinya yang bungsu merantau ke kota.
Saat berjalan melintas ruang tengah Aldi tertegun. Di bawah lampu minyak yang temaram ia melihat sosok perempuan muda. Usianya seumuran dengannya. photomemek.com Meski dalam redup cahaya namun terlihat jelas mata perempuan itu, sembab menandakan habis menangis. “Ini Kinasih, anak ibu yang ke tiga. Tadi sore pulang.
Perempuan yang disapa Kinasih itu lantas melihat ke Aldi, mencoba tersenyum dan mengangguk sebagai isyarat menyapa Aldi. Melihat itu, Aldi pun membalas senyum sembari pamit mau ke sumur untuk cuci muka. * “Mbak Kinasih saya ke belakang dulu.. mau cuci muka,” ujar Aldi. Yang di sapa hanya mengangguk.
Seusai cuci muka ia masuk kembali ke rumah. Masih terlihat Kinasih duduk di ruang tengah di temani ibunya Rukiyah. Aldi pun bergegas masuk ke kamar dan merebahkan tubuhnya pada dipan kayu. Sejenak ia memikirkan keberadaan Kinasih. Namun cepat-cepat di tepis pikirannya itu dan bergegas memejamkan mata.
Sinar matahari yang menerobos dari celah jendela membangunkan Aldi. Ia melihat jam tangan, pukul 07.15. Dia pun bergegas bangun, menuang air minum dari kendi kecil ke gelas dan langsung meneguk habis. Benar-benar segar, rasa lelah dan pusing karena kurang tidur perlahan lepas. Aldi pun bangkit mengambil handuk yang tergantung di kamarnya dan berjalan menuju sumur di belakang rumah.
Perempuan yang tengah menimba tersebut agak berbeda dengan yang ia lihat semalam. Tanpa sembab di matanya, kelihatan sangat cantik. Kulitnya putih bersih, perutnya ramping, dadanya berukuran sedang namun terlihat kencang dengan ujung lancip menantang. Sangat pas dengan balutan baju warna putih kembang-kembang, rok halus warna biru sebatas lutut.
Saat sedang menuang air dari timba ke ember, tanpa sengaja Kinasih melihat Aldi yang berdiri di dekat pintu dapur. Seulas senyuman ramah menghiasi bibir perempuan itu. Membuat jantung Aldi berdebar. Dari senyuman itu terlihat bibirnya yang merah, basah, tanpa sapuan lipstik. Lesung pipit langsung menghiasi pipinya.
“Baru bangun mas Aldi,” sapa Kinasih ramah. “I.. Iya. Lelah sekali semalam jadi tidurnya terlalu pulas. Tahu-tahu sudah siang,” jawab Aldi dengan sedikit gagap karena ketahuan memperhatikan perempuan itu. Selain itu dia juga malu, karena bangun terlalu siang. Sebab di desa itu masyarakatnya sudah terbiasa bangun pagi.
“Itu.. air di kamar mandi sudah penuh.. tinggal dipakai saja untuk mandi,” kata Kinasih dengan lembut. “Waduh saya jadi ndak enak mbak.. Kinasih yang isiin bak mandi saya yang pakai,“ujar Aldi. “Sudah pakai saja.. ndak apa-apa sudah terbiasa isi bak mandi sendiri,” ujar Kinasih.
Mendengar perkataan itu Aldi langsung berjalan menuju kamar mandi. Saat melewati Kinasih samar-samar tercium bau harum melati bercampur dengan bau keringat khas perempuan, menandakan perempuan tersebut pandai merawat tubuhnya. Aroma itu kian membakar gairah Aldi. Namun untuk menyentuh Kinasih, Aldi tidak berani.
Pertemuannya dengan Kinasih membuat Aldi teringat Ningsih, janda beranak satu yang pernah bercinta dengannya di ladang jagung dua pekan lalu. Ningsih inilah yang membuat Aldi merasakan hangatnya sentuhan perempuan desa. Semenjak kejadian di ladang jagung, sudah tiga kali Aldi mengarungi lautan nikmat berpeluh keringat dengan Ningsih.
Goyangan pantat Ningsih layaknya candu. Kelelakiannya terpuaskan namun gairahnya tak pernah berujung. Wajah Ningsih yang merona merah malu saat bagian tubuhnya dimasuki kelelakian Aldi selalu membayang. Vaginanya yang basah dan berdenyut mampu memompa jantung Aldi untuk memacu kepuasan. Selepas mandi dan berpakain dia putuskan mengunjungi rumah Ningsih.
Seperti biasa, rumah kecil berdinding kayu dengan tanaman bunga dan sayuran di halaman rumah Ningsih selalu memesona Aldi. Rumahnya yang berada di ujung dukuh selalu sepi. Apalagi siang hari saat warga desa tersibukan bekerja di ladang.
Dengan pelan Aldi mengetuk pintu kayu. “Kula Nuwun…” Diam sepi tanpa sahutan. Diketuk lagi pintu kayu itu, kali ini lebih keras “Kula nuwun… kula nuwun mbak Ningsih,” kata Aldi mengeraskan suara.
Dari dalam terdengar langkah halus kemudian pintu berderak terbuka. Dari balik pintu terlihat gadis bermata bening. Tari, nama gadis kecil ini. Usianya 11 tahun, berkulit sawo matang berwajah manis seperti ibunya. “Ibu ada?” tanya Aldi.
“Ada om… lagi mandi.. silahkan masuk,” kata Tari. Semenjak kenal dengan Ningsih Aldi memang makin akrab dengan Tari.
“Om tunggu saja di ruang tamu ya.. Tari mau main ke tempat teman,” kata Tari bergegas keluar.
Aldi langsung masuk ke dalam rumah. Dari balik jendela ruang Aldi memandang gadis kecil itu berjalan menjauh. Dengan pelan Aldi menutup pintu rumah Ningsih. Bukannya duduk di ruang tamu, Aldi langsung berjalan ke belakang melewati ruang tengah.
Dari dapur yang mungil terlihat sosok perempuan tengah mandi, membelakangi Aldi. Tubuhnya tidak tinggi namun sintal, pantatnya masih kencang. putri77.com Dengan pelan Aldi mendekati perempuan itu, disentuhlah buah dada perempuan itu dengan halus dari belakang. Sentuhan Aldi membuat perempuan tersebut kaget, sempat berteriak namun dengan sigap Aldi menutup bibir perempuan itu dengan jarinya.
“Ihh… bikin kaget saja. Mbok.. ketuk pintu dulu,” kata Ningsih.
“Sudah tadi… Kata Tari disuruh langsung masuk… kelihatannya dia tahu yang diinginkan Ibunya,” kata Aldi sambil cengengesan.
“Udah ahhh.. geli… ,” kata Ningsih sambil menyingkirkan tangan Aldi yang masih bermain-main di bukit kembarnya. Namun Aldi tetap meremas-remas pelan buah dada Ningsih yang bulat membusung itu. “Ini yang bikin aku kangen selalu sama kamu.. Dan ini… ,” kata Aldi sambil membelai pelan menuju pantat Ningsih.
Bergerak pelan tangan Aldi menuju gundukan kecil di selangkangan Ningsih yang lebat ditumbuhi rambut. Diusap lembut rambut dan gundukan kecil itu oleh Aldi. “Dan ini juga,” kata aldi sambil berbisik di telinga Ningsih.
“Sudah ahh… geli ini… malu tahu…” kata Ningsih lirih, namun tetap membiarkan tangan nakal Aldi.
Dengan hangat Aldi memeluk Ningsih dari belakang.. kecupan kecil mendarat di leher Ningsih yang halus. Bau harum dan butiran air yang menempel di leher Ningsih membakar gairah Aldi. “Sudah mas… nanti pakian mas Aldi basah…” kata Ningsih berbisik.
“Ya sudah kalau begitu dibuka saja sekalian,” kata Aldi sambil melepaskan kancing bajunya.
“Apaan sih.. jangan di sini, nanti Tari lihat,” kata Ningsih. Tanpa butuh persetujuan Ningsih, seluruh baju Aldi dan celananya sudah tergantung di hanger kamar mandi yang terbuka. Dengan masih memakai celana dalam di peluk dengan erat tubuh Ningsih. Kali ini dari depan. Di lumat pelan bibir Ningsih, sedangkan tangannya bermain-main di pantat Ningsih.
Puas dengan bibir Ningsih… ciuman Aldi turun ke bawah, ke leher Ningsih yang jenjang. Lidahnya bermain di sekitar leher, kemudian naik lagi ke bibir, pipi dan merayap hingga sekitar telinga Ningsih. Satu lumatan di telinga Ningsih membuat Ningsih mendesah tertahan. “Mmmm… ahhhhh,” desah Ningsih sambil memeluk erat tubuh Aldi.
“Sungguh.. aku sayang kamu,” kata Aldi berbisik pelan sambil menatap mata Ningsih yang sayu. Ningsih hanya diam. Wajahnya merah merona. Pelan-pelan disandarkan kepalanya di dada Aldi. Dibenamkan dalam-dalam kepalanya di dada laki-laki yang sudah memberi makna dalam hidupnya itu. Pelukan erat Ningsih sudah memberi jawaban berapa dalamnya cinta perempuan itu.
Kecupan kecil Ningsih di dada Aldi membakar gairahnya.. Diremas payudara Ningsih bergantian. Kadang pelan kadang diremas dengan kuat. Remasan Aldi membuat Ningsih makin liar, dari kecupan berubah jadi gigitan-gigitan kecil di dada Aldi.
Sesaat kemudian diangkat tubuh ningsih dan didudukan di meja semen di Sumur yang biasa dipakai untuk mencuci. Dengan liar Aldi melumat bibir dan payudara Ningsih. Keduanya makin tenggelam dalam nikmat. Desahan Ningsih makin tak terkendali. Tangannya meremas penis Aldi yang keras yang sudah menyembul dari celana dalam.
Sesaat kemudian aldi mengusap paha ningsih dan membukanya. Telihat gundukan kecil yang lebat ditumbuhi rambut, sedikit cairan kental meleleh dari bukit kecil milik Ningsih. Bau khas dari bukit kenikmatan Ningsih membuat gairah Aldi membara. Diraih kontolnya yang berotot dan di gesek-gesekan ke klitoris Ningsih.
Satu hentakan keras, Aldi memasuki tubuh Ningsih. Rasa nikmat menjalari keduanya. Kaki ningsih melingkar erat di pinggang Aldi tak mau melepas kenikmatan yangtengah ia rasakan.
Dengan pelan Aldi mulai menggoyang pantatnya. Pantat Ningsih pun bergerak liar, payudaranya mulai bergoyang tidak teratur. Desahannya kian kuat. “Aaaaaahhhhhh… mmmmmhhhh”
Aldi terus memompa gua kenikmatan itu. Makin lama makin cepat. Cairan nikmat mulai membanjiri selangkangan Ningsih. Kedua insan yang dimabuk asmara itu kian larut.
Tanpa disadari keduanya, sepasang mata bening mengintip dari balik pintu. Tak berkedip, gelisah. Matanya melihat ibunya tengah dianiaya laki-laki yang baru dua pekan dikenalnya itu, namun nalurinya berkata tidak. Dua insan di depannya seolah menikmati. Dia tidak memahami perasaan aneh yang mengalir dalam dirinya, aliran darahnya memanas, nafasnya memburu.
Sepasang mata bening itu lambat laun disadari oleh Aldi. Dia terhenyak, Sepasang mata yang mengintip dari balik pintu adalah tari, anaknya Ningsih. Namun rasa kaget itu hanya sesaat. Justru gairahnya makin berkobar. Sambil memandang mata bening itu genjotannya dipercepat.
Kedua kaki Ningsih diangkat tinggi-tinggi disandarkan di pundaknya lalu ditekuk. Vagina Ningsih kian menggelembung. Dosodik dengan keras vagina ningsih seolah-olah ingin melindas pantat dan vagina Ningsih. Sodokan Aldi terus mengobok-obok liang vagina ningsih, desahannya kian kuat kian kuat. Sambil menyodok vagina, di remas keras payudara Ningsih.
Ningsih kian terbang, tubuhnya menggelijang makin tak terkendali. “Mas ennnakkkk masss… lebih kuat lagi.. ahhhhh,” erang Ningsih, tangannya menarik kakinya ditekuk lebih dalam, seolah-olah ingin dimasuki lebih dalam.
Sesaat kemudian, waktu terhenti, cairan nikmat membucrah… Erangan keras dari ningsih menandakan dia mencapai puncak kenikmatan. Ningsih mencengram erat pantat aldi ditekan ke arah vaginanya. Cengkraman erat vagina Ningsih membuat Aldi tak bisa menahan lebih lama. Crootttt… cairan kelelakiannya ia tumpahkan semua di vagina Ningsih.
Setelah nafasnya teratur Aldi melihat ke pintu dapur. Sosok mata bening itu sudah entah…(*),,,,,,,,,,,,,,,,,