Holiday’s Challenge Lina Si Gadis Petani
Holiday’s Challenge menceritakan tentang sifat-sifat seorang wanita yang mungkin jarang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari
Tidak ada unsur kepolosan dari seorang wanita yang terkandung dalam cerita ini, hanya ada sifat-sifat wanita nakal dan bitchy
Cerita ini hanya mengkisahkan wanita-wanita dengan sifat yang tidak biasa yang mencari ‘pengalaman’ baru di saat liburan.
Kemungkinan besar cerita ini tidak akan menarik, mungkin cenderung membosankan, tapi bisa sebagai penambah koleksi cerita seru sambil menunggu cerita-cerita yang lebih hebat dari para pengarang lainnya
“akhirnya selesai juga UAS yang ngebetein..”, ujar Riri merasa lega sekali, ujian akhir semester genapnya selesai di laluinya.
“oh iya, Ri..kita liburan kemana nih, kan kalo semester genap gini…liburnya lama banget n’ bikin bete…”.
“bentar, kita omongin sekalian ama Lina n’ Intan..”.
Riri dan Monica pun berjalan ke kelas, dimana Lina dan Intan ujian. Riri, Intan, Monica, dan Lina adalah 4 gadis yang menjadi bunga kampus, diidam-idamkan banyak lelaki di kampusnya. Setiap mereka berempat lewat, lelaki yang dilalui mereka akan diam terpaku dan menghentikan segala aktivitasnya hanya untuk memandangi mereka berempat berlalu. Bisa dibilang, mereka berempat memang tipe cewek yang suka menggoda lelaki. Setiap ada cowok yang menggoda mereka baik siul-siul, panggil-panggil, atau caper, pasti salah satu dari mereka akan menengok dan tersenyum manis. Mereka suka sekali dengan cowok yang sok-sok menggoda, tapi kalau ditanggapi langsung salah tingkah. Mereka pun tak pernah menolak jika diajak kenalan sehingga tak heran kalau mereka berempat punya banyak teman lelaki di kampus.
“Mon, kemana nih yang enak liburannya?”.
“mana ya? pantai?”.
“bosen ah..”.
“puncak?”.
“ogaah…bosen parah..”.
“hmm…”.
“terus kemana dong?”.
“hmm…”.
“ke Bali?”.
“hmm…gimana kalo liburan ini kita nyobain kerja-kerja kasar gitu?”.
“kerja kasar? maksud lo?”.
“yaa jadi buruh kek, petani kek, apa kek gitu, gimana?”, usul Intan.
“ah gila lo, apa enaknya liburan kayak gitu?”.
“yee justru itu…biar liburan kita beda gitu…bosen kan lo dugem, ketemu cowok-cowok ganteng n’ kaya yang suka banggain diri sendiri?”,
jelas Intan yang memang agak beda dengan 3 temannya yang glamour meski dia juga tak kalah kaya dengan 3 temannya, tapi tetap saja, Intan sama ‘gila’nya dengan ketiga temannya.
“mm…bener juga, gue juga dari dulu pengen ngerasain jadi peternak gitu deh..”.
“okelah, tapi emangnya ada tempat yang kayak gitu?”.
“dodol lo ah…kita cari profesi beneran aja..”.
“hmm..gimana..sekalian aja taruhan..yang paling lama tahan, menang n’ dapet duit 5 juta, gimana?”.
“bener yaa? siip deh..”.
“tapi mesti ada bukti foto n’ video ya..”, ujar Riri.
“oke kalo gitu..DEAL !!”.
Hari pertama liburan, Lina bingung dengan tantangan teman-temannya. Dia mau mencoba jadi apa, tak pernah terbayang olehnya, melakukan pekerjaan kasar. Tapi, setelah dipikir-pikir, Lina juga penasaran tentang sisi berlawanan dari kehidupannya. Sisi kehidupan yang harus bekerja keras hanya untuk menyambung kehidupan satu hari saja. Saat sedang menggonta-ganti chanel tv, Lina menonton acara tentang para petani yang sedang menggarap sawah.
“hmm…apa gue coba jadi petani ya?”.
“tapi ntar kulit gue jadi item..”. Entah kenapa, pertimbangan-pertimbangan tadi seperti sirna di pikiran Lina. Sekarang, hanya ada perasaan semangat dan tak sabar. Lina sendiri tak mengerti, kenapa dia begitu ingin merasakan jadi petani, mungkin karena dia ingin sekali mendapatkan pengalaman baru.
“hmm…gue tinggal ma Abah Murdi aja kali yaa?”. Lina teringat dengan orang yang dipercaya ayah Lina untuk mengurusi sawah keluarga Lina yang ada di kampung halamannya.
Bagi Lina, Murdi sudah seperti keluarga sendiri. Dari kecil, Lina selalu diawasi Murdi jika main di sawah. Kalau dipikir-pikir, sudah lama ia tak bertemu Murdi. Sekalian maen aja ah, pikir Lina. filmbokepjepang.sex Keesokan harinya, Lina pun mengemudikan mobilnya ke desa dimana ia menghabiskan waktu kecilnya. Saat Lina sudah dekat dengan rumah masa kecilnya, dia melihat seorang pria tua keluar dari rumahnya dengan memakai caping. Pria tua itu berhenti, mengamati mobil sedan berwarna silver itu. Tak lama kemudian, Lina keluar dari mobil dan berjalan ke arah pria tua itu. Keduanya saling mengamati satu sama lain. Wajahnya familiar, tapi tak kenal, pikir keduanya.
.
“sini, Abah papah..”. Dengan dipapah Murdi, Lina pun duduk di saung terdekat. Petani yang lain pun mengerubungi saung itu, ingin tahu apa yang terjadi.
“pinjem korek”.
“nih, Bah…”. Beberapa lintah yang ada di betis Lina pun bisa dilepaskan Murdi setelah lintah itu dibakar terlebih dulu.
“ini, Bah..masih ada di paha Lina..”. Ada 4 lintah yang menempel di paha Lina bagian dalam.
“maav, non..bisa diangkat dulu kakinya..”.
“iya, Bah..”.
Para petani yang mengerubungi saung pun seolah tak berkedip atau lebih tepatnya tak mau berkedip. Tentu mereka tak mau melewatkan detik-detik pembukaan ‘warung’ Lina. Lina mengangkat kedua kakinya ke atas saung, dan tanpa disuruh Lina melebarkan kedua kakinya ke samping kiri dan kanan seperti huruf M. Pandangan mata para lelaki yang ada di sekitar Lina berubah bagai pandangan serigala saat melihat ada mangsa. 5 pasang mata, semuanya tertuju ke daerah yang paling intim dari tubuh Lina. Bukannya tak menyadari, Lina sadar betul, semua yang ada di sekitarnya tidak memperhatikan lintah yang ada di pahanya melainkan daerah yang ada di tengah-tengah selangkangannya. Ada rasa hangat yang dirasakan Lina muncul dari dalam tubuhnya. Rasa panik melihat lintah yang tadi dirasakan Lina kini berubah menjadi sedikit rasa semangat dan gairah. Pandangan-pandangan liar para petani membuat Lina merasa dirinya begitu terekspos dan begitu ‘terbuka’ seolah-olah tak ada sehelai benang pun yang menempel di tubuhnya. Pikiran liar pun singgah di pikiran gadis kota yang cantik jelita itu. Di dalam pikirannya, Lina membayangkan dirinya bugil sementara Murdi sedang memeriksa vaginanya (vagina Lina) sebelum digunakan beramai-ramai oleh para petani yang sudah tak sabar ingin menjejalkan alat kelamin mereka ke dalam liang sempit milik Lina. Tanpa sadar, kedua kaki Lina semakin terbuka lebar. Bukannya melepaskan lintah, tapi Murdi malah bengong, tatapan matanya fokus ke tengah-tengah selangkangan Lina yang ada tepat di hadapannya. Murdi ingin sekali merobek celana Lina, penasaran ingin melihat apa yang ada di dalamnya. Pastilah indah alat kelamin yang dimiliki seorang gadis cantik seperti Lina, pikir Murdi.
Otak Murdi pun kembali normal. Murdi membakar semua lintah yang ada di paha bagian dalam Lina.
“udah non…”, ujar Murdi.
“makasih, Bah…”. Lina mengelap sedikit sisa-sisa darah yang ada di pahanya.
“non Lina gak apa-apa?”, tanya seorang petani.
“iya gak apa-apa kok, Pak Abdul…”, jawab Lina sambil tersenyum.
“non bisa jalan?”.
“bentar, Bah…”. Lina limbung ketika menapakkan kedua kakinya dan mencoba berdiri. Dengan sigap, Murdi memeluk Lina agar Lina tidak terjatuh.
“kaki Lina sakit banget, Bah..”. Semuanya merasa iri dengan Murdi yang bisa memeluk dan memegang tubuh indah Lina.
“kalo gitu Abah gendong non Lina ampe rumah yaa?”.
“iya, Bah..”. Lina pun langsung nemplok ke punggung Murdi setelah Murdi jongkok. Lina pun mengalungkan kedua tangannya ke leher Murdi.
“maaf ya non..”.
“iya, Bah..gak apa-apa kok..”. Murdi merapatkan kedua tangannya untuk menampung pantat montok Lina.
“semuanya, Lina pulang dulu ya..”.
“iyaa, non..moga cepet sembuh..”, jawab para petani seperempak yang sebenarnya sangat iri kepada Murdi.
“udah lama gak digendong Abah kayak gini..”.
“iya non..udah lama juga..”.
Emang udah lama, tapi gak pernah seenak ini gendong lo, toket lo empuk banget, pikir Murdi. Payudara Lina yang masih terbungkus bh dan baju itu menempel erat di punggung Murdi sampai kelihatan menyatu dengan punggung Murdi. Meski agak bau sinar matahari, Lina merasa nyaman digendong Murdi sampai tak terasa tertidur, mungkin karena kelelahan juga.
“non udah nyampe..”.
“haa?? mm…”,
ujar Lina sambil mengucek-ngucek matanya. Lina melepaskan rangkulannya di leher Murdi. Dengan bantuan Murdi, Lina pun bisa nyaman selonjoran di kasurnya.
“kaki non Lina masih sakit?”.
“iyaa nih, Bah…masih agak sakit..”.
“mau Abah pijetin kakinya?”.
“boleh, Bah..”.
“bentar yaa non, Abah pulang dulu..ambil minyak..”.
“iyaa, Bah..jangan lama-lama ya…”.
Murdi keluar kamar, sementara Lina memikirkan peristiwa di sawah tadi. Tak pernah ia merasa begitu nakal dan begitu liar.
Rasa penasaran pun muncul di benak Lina. Entah darimana pikiran itu, tapi rasanya sekarang Lina ingin sekali melihat kejantanan Murdi. Meski sudah tua, tapi Murdi masih terlihat bugar dan kekar. Vaginanya terasa hangat dari dalam, seperti butuh sentuhan. Tangannya mengelus-elus daerah pribadinya sendiri.
“hmmm”. Sebuah batang yang hitam, besar, dan berurat terbayang di pikiran Lina. Semakin ‘gatal’ rasanya sehingga tangannya pun semakin aktif. Sebagai pemiliknya, Lina tahu kalau daerah intimnya perlu sentuhan. Lina pun menyusupkan tangannya ke dalam hotpantsnya.
“uuuhhhmmm”.
Usapan-usapan lembut pada bibir vaginanya sendiri terasa begitu ‘menenangkan’. Jari tengahnya naik turun tepat di tengah-tengah belahan bibir vaginanya. Lina pun memejamkan matanya, meresapi gerakkan jarinya. Gemas dengan rangsangan ‘lembutn’ya sendiri, Lina menyusupkan 2 jarinya masuk ke dalam liang vaginanya yang ‘panas’.
“eemmm…mmmm..”, 2 jarinya bergerak keluar masuk dengan penuh sensasi. Lina sadar ada sepasang mata yang sedang mengamatinya.
Lina membuka matanya. Murdi sudah ada di sebelah ranjangnya, sedang berdiri dan memandangnya. Bukannya berhenti, Lina malah mengeluarkan tangannya dan langsung menuntun tangan Murdi masuk ke dalam hotpantsnya.
“Baah, tolong Linaa…”, desah Lina dengan suara yang begitu menggairahkan dan begitu ‘memancing’. Dengan insting pria sejati yang berorientasi sex lawan jenis (normal), tanpa ragu-ragu Murdi mulai meremasi isi dari hotpants Lina.
“ooohh yeeaahhh disiituu Baah !!! teeruuss Baahh !! uuummhhh…”, Lina semakin menggila saat 2 jari Murdi mulai mengebor vaginanya. Tanpa ragu-ragu, tangan Murdi yang satu lagi merayap masuk ke dalam kaos Lina dan langsung meremasi payudara yang empuk nan kenyal yang ada di dalamnya.
“EEERGGHHH !!!”, lenguh Lina panjang, tubuhnya menegang.
Murdi mengeluarkan tangannya. Tanpa di suruh, Murdi menarik hotpants Lina beserta celana dalamnya dan membuangnya ke lantai. Bagai mimpi, Murdi tak percaya dengan apa yang dilihatnya. putri77.org Tak percaya dengan pandangannya, vagina kecil yang dulu sering ia sentuh dan ia cuci kini begitu indah, begitu menggiurkan. Tanpa ragu-ragu, Murdi menempatkan kepalanya di antara selangkangan Lina. Murdi membenamkan kepalanya di selangkangan Lina yang sangat wangi. Merasa ada yang menginvasi daerah pribadinya, secara alami Lina merapatkan kedua pahanya, menjepit kepala Murdi yang ada di tengahnya. Hidung Murdi
menempel di belahan vagina Lina. Murdi menarik nafas dalam-dalam, menghirup ‘aroma therapy’ yang berasal dari vagina Lina. Beda sekali dengan punya istrinya yang bau amis. Memek cewek cakep emang beda, pikir Murdi.
Lidah Murdi pun menjulur keluar, menyentuh kelamin Lina.
“ehhh..”, tubuh Lina langsung bereaksi saat benda lunak dan hangat melakukan kontak fisik dengan alat kelaminnya.
Dengan rakusnya, Murdi melahap vagina Lina habis-habisan. Tak henti-hentinya, lidah Murdi menyapu setiap jengkal dari daerah segitiga majikannya yang cantik itu. Mungkin hanya kali ini bisa merasakan vagina yang seharum dan seenak ini, pikir Murdi. Lidahnya terus menggali, menggali, dan menggali lebih dalam lagi ‘tambang’ yang ada di hadapannya sehingga Lina pun menggeleng-gelengkan kepala, menggeliat-geliat, kedua pahanya semakin menjepit kepala Murdi.
“oooohhhh !!! teeruuusshhh Baaahhh !!!! makan memek Linaa seepuaasnyaaaa !!!!”, teriak Lina lepas, tak terkontrol.
“iyaaaa Baahh !! jilatin memek Linaa !!! memek Linaa punya Abaaahhh !!!! ooohhhh !!!”. Mendengar perkataan-perkataan kotor yang keluar dari mulut gadis cantik seperti Lina membuat semangat Murdi berapi-api seperti prajurit yang bersemangat menghadapi perang. Lina menekan kepala Murdi agar lebih menempel dengan vaginanya.
“aaahh aahhh aaahh AAAAKKKHHHH !!!!”, Lina mengejang hebat, kedua pahanya menjepit kepala Murdi dengan sangat kencang, perutnya agak ke atas.
“ssrruupphhh !!!!”, Murdi tak menyia-nyiakan ‘sumber mata air’ Lina. Semuanya habis diseruput Murdi, cairan yang tertinggal di liang vagina Lina pun sampai tak ada karena terserap lidah Murdi yang masuk kembali.
Selesai meminum inti sari dari kelamin nonanya sampai terkuras habis tak bersisa, Murdi mengangkat kepalanya menjauh dari selangkangan Lina. Dengan sangat tergesa-gesa, Murdi membuka celana dan celana dalamnya sendiri. Kedua mata Lina langsung tertuju ke benda yang ada di tengah-tengah selangkangan Murdi. Benda itu terlihat begitu kokoh.
“masukkin, Bah…”, lirih Lina meminta Murdi untuk menyumpal vaginanya.
Kedua kaki Lina terbuka dengan sangat lebar, Lina juga menyibakkan bibir vaginanya sendiri untuk mengundang burung Murdi agar segera masuk ke dalam. Tanpa perlu disuruh, pucuk penis Murdi pun sudah mencium lubang vagina Lina.
“masukkin, Baah..”, pinta Lina dengan melirih. Murdi memajukan pinggulnya perlahan, kepala penisnya mulai mendobrak masuk ke dalam liang kewanitaan Lina.
“heemmhhh….”, Lina merasa bagian bawah tubuhnya benar-benar penuh, penuh sesak dengan batang besar milik Murdi yang semakin masuk ke dalam.
Sensasi yang belum pernah dirasakan Murdi, batangnya terasa begitu terjepit dan terasa seperti diurut dan dipijat. Seluruh batang Murdi telah tertancap di dalam liang vagina Lina dengan sangat kokoh. Murdi tak bergerak, diam sejenak untuk menikmati liang vagina Lina yang begitu hangat dan begitu sempit. Murdi merasa penisnya seperti dicengkram dengan sangat kuat oleh dinding vagina Lina. Belum lagi rasa hangat yang menyelimuti penisnya. Desahan-desahan pelan mengalun lembut dari mulut Lina saat Murdi mulai menggerakkan tongkatnya. Murdi agak kesusahan menarik dan juga mendorong penisnya, rasanya liang rahim Lina terlalu sempit. Tapi dengan penuh kelembutan, Murdi terus berusaha memompa penisnya dengan perlahan.
“oohh ooouuhh uummhh..iyaa, Baahh !! enaak, Baahh !!!”, racau Lina merasa nikmat yang luar biasa di bagian bawah tubuhnya.
Murdi terus ‘menggasak’ liang vagina Lina. Menyodoknya dengan penuh perasaan namun cukup kuat untuk membuat Lina tersentak-sentak.
“ookkhh…ookkhh..ookkhh…”, Lina mengerang keenakan saat Murdi menyodok vaginanya sampai mentok.
Si pria tua itu terus menggenjot dengan ritme pelan agar si gadis cantik yang sedang digenjotnya bisa membiasakan diri terlebih dulu. Kedua tangan Murdi pun menangkup dan menggenggam ‘kemasan susu’ Lina. Meremasi payudara Lina yang terasa sangat empuk dan kenyal itu. Kaki Lina pun melingkar erat di pinggang Murdi. Keduanya masih mengenakan kaos, tapi alat kelamin mereka sudah menyatu. Berpikir Lina sudah mulai terbiasa, Murdi mulai mempercepat genjotannya.
“OOOUUHHH !!!”, Lina mengeluh panjang lagi, gelombang orgasme melanda tubuhnya.
“hhhh…”, nafas keduanya menderu-deru, bulir-bulir keringat Murdi jatuh membasahi tubuh Lina yang juga tak kalah basah oleh keringat. Kedua insan itu bercinta dengan sangat bergairah, begitu menggelora. Desahan-desahan penuh kenikmatan keluar dari mulut keduanya. Keduanya saling berpelukan dengan erat sementara alat kelamin mereka terus bergesekkan semakin cepat dan tanpa henti.
“ooh ooohh OOOKKHHH !!!!”, erang Murdi melepas orgasmenya.
“BAAAAAHHH !!!”, Lina juga mengerang lepas. Keduanya sama-sama meraih puncak kenikmatan yang mereka bangun bersama-sama. Rasa hangat dan becek terasa oleh Lina di liang kewanitaannya. Mata Lina sayup-sayup, semakin tak jelas pandangannya. Rasa lelah karena di sawah hampir seharian ditambah habis digempur pria tua dengan ‘senjatan’ya yang bukan main membuat Lina tak bisa menahan rasa kantuknya. Dia pun tertidur tanpa memikirkan batang Murdi yang masih ‘menyangkut’ di vaginanya. Saat Lina terbangun, Lina mendapati dirinya sudah berselimut. Lina pun membuka selimutnya. Lina tersenyum saat melihat cairan putih yang meleleh keluar dari vaginanya. Lina bangun dan membuka kaos beserta bhnya lalu menuju kamar mandi.
“aah segeerrr…”. Air dingin mengucur dari pancuran membasahi tubuh indah Lina.
Dia mengambil shower dan menyemprotkan air ke daerah intimnya untuk membersihkan alat kelaminnya yang telah ‘dinodai’ Murdi. Lina menyabuni setiap jengkal dari tubuhnya. Tubuh Lina pun kembali segar dan wangi. Lina melilitkan handuk ke tubuhnya yang basah. Handuknya yang bisa dibilang kecil hanya bisa menutupi payudara sampai 5 cm di bawah ‘lembah’ miliknya. Saat dia duduk di kursi meja rias, handuknya pun terangkat saking pendeknya.
“kruuukk…”.
Perut Lina pun berbunyi kencang. Perutnya keroncongan, minta diisi dengan makanan.
“aduuh..pantes aja gue laper banget..udah jam segini…”.
Lina pun mengambil hpnya dan menghubungi nomor rumah Murdi.
“halo, siapa ini ?”.
“ini Lina…ini Mbok Minah bukan ?”.
“ooo yaa ampun !! neng Lina ??! apa kabar ? iyaa, ini Mbok Minah”.
Lina dan Mbok Minah pun berbicara lewat telpon bagai 2 orang sahabat yang sudah lama tak bertemu.
“oh iyaa, Mbok..Abah ada ?”.
“iyaa ada, neng…kenapa ?”.
“Lina laper banget nih, Mbok..”.
“oh, iya neng, iya neng..nanti Mbok suruh Mas Murdi nganter makanan ke neng…”.
“masakan Mbok kan yaa ?”.
“iyaa, neng..”.
“asiiik ! jangan lama-lama ya, Mbok..”.
“iyaa, neng..”.
“oh iyaa..kaki neng Lina udah agak mendingan ?”.
Lina pun menggerakkan kakinya dan berdiri, rasa sakitnya sudah hilang meski masih agak ngilu sedikit.
“udah nggak, Mbok…dipijitin Abah sih…”.
“iyaa, kata Mas Murdi, neng Lina sampai ketiduran gara-gara dipijit kakinya”.
“iyaa, Mbok..habis enak siih..”,
ujar Lina senyum-senyum sendiri. Bukan ketiduran gara-gara dipijet, tapi gara-gara disodok-sodok, pikir Lina.
“yaudah ya, Mbok…jangan lama-lama makanannya..hehe”.
“beres, neng..”.
Lina menyudahi pembicaraannya. Lina baru sadar kakinya sudah agak mendingan, tidak terlalu nyeri seperti sebelumnya.
“pasti Abah mijitin kaki gue pas gue tidur”, ujar Lina berbicara sendiri. Meski kakinya terasa agak mendingan, tapi ada bagian lain yang terasa lebih ngilu yaitu daerah selangkangannya. Tapi, rasa ngilu itu tidak terlalu terasa karena Lina sedang duduk. Lina bersenandung sambil terus menyisir rambutnya. Entah darimana, Lina merasa senang sekali, tak sabar menantikan kedatangan Murdi. Lina hanya tahu satu hal, Murdi adalah satu-satunya pria yang mampu memberikan kepuasan batin yang begitu maksimal dari semua laki-laki yang tidur dengannya. Tubuhnya benar-benar dimanfaatkan dengan baik oleh pengurus sawah ayahnya itu. Meski selangkangannya jadi terasa agak ngilu, Lina ingin sekali merasakan sensasi sodokan-sodokan Murdi lagi. Terngiang-ngiang sensasi nikmat dari sodokan penis Murdi membuat Lina semakin tak sabar menunggu pria tua yang tadi telah menyetubuhinya itu.
“tok tok tok !!”.
“iyaa sebentar !!”, jawab Lina dengan agak berteriak.
“adu duu hh..”, rasa ngilu terasa di pusat daerah intimnya saat dia ingin berjalan cepat menuju pintu. Lina pun berjalan pelan dengan kaki agak terbuka dari biasanya.
“eh, Abah…udah Lina tungguin dari tadi..”.
“iya..aa, non..maaf lama..”, Murdi merasa jadi canggung berhadapan dengan majikannya apalagi hanya handuk mini yang melilit di tubuh Lina. Ekspresi wajah Lina tak kelihatan kesal atau marah malah kelihatan senang.
Masih segar ingatan Murdi akan tubuh indah Lina yang tak tertutup apa-apa sehingga Murdi memandang Lina seolah tembus pandang, tahu bagaimana bentuk dan setiap lekuk tubuh Lina meski tertutup handuk.
“ayo, Bah..Lina udah mau mati nih…hehe..”. Murdi pun langsung ke dapur dan segera kembali dengan piring penuh dengan nasi. Lina yang duduk di kursi meja makan pun langsung menerima piring dari Murdi dan langsung menuang berbagai lauk yang ada di rantang yang tadi di bawa Murdi ke beberapa piring kosong yang memang sengaja disediakan di atas meja makan.
“ayo, Bah..kita makan yuuk…”.
“gak usah, non…non Lina aja yang makan..”.
“ayoo dong, Bah…kita makan bareng..masa Lina makan sendirian..”.
“ng..nggak usah, non..”. Murdi benar-benar merasa tak enak kepada Lina. Padahal tadi dia telah mengambil keuntungan dari tubuhnya dan memperkosanya, tapi kenapa majikannya masih tetap baik malah seperti tak terjadi apa-apa, pikir Murdi.
“ayoo dong, Bah…kalo Abah gak makan, Lina marah nih..”, ujar Lina dengan nada agak manja.
“i..i..iya deh non..”. Murdi pun pergi ke dapur untuk mengambil nasi dan ikutan makan dengan Lina. Gadis cantik itu makan dengan lahap.
“aahh kenyaaang !!!”. Murdi tak berani menatap mata Lina, rasa bersalah dan takut gara-gara peristiwa itu meski Lina tak menunjukkan ekspresi marah.
“non Lina..”.
“iya, Bah ?”.
Murdi langsung sujud di kaki Lina.
“maaf..maafin Abah, non…Abah bener-bener minta maaf..Abah rela dipecat, non…tapi tolong jangan laporin Abah ke polisi…”, pinta Murdi memelas dengan nada suara orang yang hampir menangis.
“diri, Bah…”, ujar Lina sambil berdiri. Murdi benar-benar takut akan dilaporkan ke polisi oleh gadis cantik yang ada di hadapannya karena telah memperkosanya. Murdi berdiri dan memberanikan diri mengangkat kepalanya untuk memandang mata Lina.
“gak apa-apa kok, Bah..”, jawab Lina dengan senyuman manis menghiasi wajahnya.
“ha ? apa, non ?”, jawaban yang sama sekali tak diduga-duga membuat Murdi menjadi bingung.
Sambil tersenyum, Lina membuka lilitan handuknya. Handuk itu pun langsung lolos turun ke bawah. Tubuh telanjang Lina tepat berada di depan Murdi.
“iya, Bah..Lina gak marah kok…”, jawab Lina, nada suaranya begitu manja, seperti seorang istri yang sedang ingin bermanja-manjaan dengan suaminya.
Murdi masih tak percaya, semuanya berjalan terlalu lancar bagaikan mimpi saja, Murdi sama sekali tak pernah membayangkan keadaan ini dimana dengan keadaan sadar, Lina telanjang bulat di hadapannya.
“non Lina bener-bener gak marah ?”. Lina tersenyum, dia menuntun kedua tangan Murdi ke belakang tubuhnya dan menaruh di bongkahan pantat kanan dan kirinya lalu mengalungkan kedua tangannya ke leher Murdi.
“beneer, Abah…malaahh…”, nada suara Lina kini berubah menjadi sangat ‘memancing’. Lina mendekatkan bibirnya ke kuping Murdi.
“kalau Abah mau lagi..Lina gak keberatan kok..”, bisik Lina menggoda. Ucapan yang terlontar dari mulut Lina terdengar begitu merdu di telinga Murdi, seperti nada-nada lagu yang sangat indah.
“bener, non ?”, Murdi masih tak percaya padahal jelas-jelas kedua tangannya menggenggam pantat montok gadis cantik itu.
“Abah masih gak percaya ?”. Tanpa ba-bi-bu, Lina menempelkan bibirnya ke bibir Murdi yang agak hitam.
“eeemmhh..emmhhh..ccpphhh”. Keduanya saling pagut, saling bergantian melumat dan menghisap bibir satu sama lain. Memang beda rasanya jika cipokan dengan gadis yang masih muda dan sangat cantik, bibirnya terasa lembut dan seperti ada rasa buah anggur di bibirnya, pikir Murdi. Lina pun tak bergerak membiarkan bibirnya dipagut, dilumat, dihisap, dan dikulum habis-habisan oleh pria tua yang ada di hadapannya sekarang. Sesekali Lina menjulurkan lidahnya untuk menjadi ‘makanan’ Murdi. Enak sekali rasanya mencumbu bibir yang begitu lembut dan empuk sampai Murdi tak mau berhenti melumat bibir Lina untuk waktu yang cukup lama. Lina pun tak berusaha melepaskan diri, dia begitu meresapi dan menikmati cumbuan Murdi bahkan sampai memeluk Murdi dengan sangat erat bagai memeluk kekasihnya saja. Tangan Murdi pun sudah mulai beraktifitas. Asik sekali Murdi meremas-remas kuat bongkahan pantat Lina yang ada di genggaman tangannya. Tabokan dan cubitan pun dilayangkan Murdi ke pantat Lina yang memang empuk, sekel, padat, dan kenyal sehingga tak heran kalau Murdi jadi begitu gemas dibuatnya. Ternyata ini arti mimpinya kemarin, mimpi ketiban durian runtuh. Murdi kira itu artinya dia akan mendapatkan rejeki nomplok, tapi rupanya bidadari nomplok. Tak ada rezeki yang lebih baik dari sex gratis dengan gadis muda nan cantik yang mau disetubuhi dengan senang hati tanpa paksaan sedikit pun, pikir Murdi. Murdi pun menarik bibirnya setelah sangat puas mencumbu Lina.
Keduanya megap-megap kekurangan oksigen. Lina dan Murdi saling menatap mata satu sama lain. Pandangan mata Lina adalah pandangan wanita yang sudah ‘on fire’, siap untuk digempur habis-habisan. Pandangan mata Murdi pun menunjukkan kalau dia sudah tak sabar ingin merengkuh kenikmatan dari tubuh gadis cantik yang ada di hadapannya. Tak sabar ingin menggeluti tubuh indah Lina untuk kedua kalinya, tidak, mungkin sampai 3x, tidak, pokoknya sampai burungnya tak mampu lagi berdiri dan persediaan sperma di kantung zakarnya habis tak bersisa. Sementara itu, telah terjalin suatu chemistry antara alat kelamin Lina dan Murdi. Vagina Lina seperti kutub utara sementara burung Murdi bagai kutub selatan yang membentuk medan magnet yang membuatnya saling tarik menarik dan ingin bertemu. Vagina Lina tak sabar ingin merasakan panjang dan diameter dari tongkat Murdi dan penis Murdi tak mau menunggu lagi untuk merasakan kehangatan dan sempitnya celah kecil yang ada di tengah-tengah selangkangan Lina. Karena sudah mengantongi izin, Murdi langsung menggendong Lina dan membawanya masuk ke dalam kamar. Tak beberapa lama kemudian, bunyi ranjang yang bergerak-gerak serta desahan, lirihan, dan rintihan keduanya pun terdengar dari dalam kamar. Hanya ada mereka berdua di dalam rumah itu sehingga mereka bisa mengekspresikan kenikmatan yang sedang mereka rasakan sesuka hati. Entah berapa jam sudah Lina dan Murdi berada di dalam kamar. Keduanya tak keluar-keluar kamar sedari tadi. Bahkan turun dari ranjang pun keduanya tak mau. Bagai malam pertama, Lina dan Murdi layaknya sepasang pengantin baru yang sedang bersetubuh dengan penuh gairah dan nafsu yang sangat menggelora. Murdi merasa nafsunya tak menurun malah semakin naik melihat Lina yang terkulai pasrah di hadapannya. Lina pun merasa puas, senang, dan ingin lagi dan lagi untuk disetubuhi Murdi. Sodokan-sodokan Murdi benar-benar membuat Lina mabuk dalam kenikmatan.
“non Lina…”, bisik Murdi yang sedang memeluk Lina dari belakang karena sedang istirahat.
“iyaa, Bah ?”, jawab Lina dengan nada manja.
“boleh minjem telpon sebentar ?”.
“iyaa, Bah..ada di meja rias..”. Murdi pun turun dari ranjang dan mengambil hp Lina.
“halo, Mbok ?”.
“halo, ini siapa ?”.
“ini Mas, Mbok”.
“oh Mas Murdi, ada apa ?”.
“Mas nginep di rumah non Lina..dia takut sendirian..”.
“oh ya udah..inget Mas, jangan macem-macem ama neng Lina..”.
“iya, Mbok..”. Murdi pun menutup telpon dan menaruhnya kembali di tempat semula.
“iih..Abah boong ke Mbok..”, ledek Lina.
“hehe…bosen tidur bareng Mbok..enakan tidur ama non Lina…”.
“iih Abah porno iih..”.
“hehe…”. Murdi pun memandangi Lina. Tubuhnya berkemilauan terkena cahaya karena keringat ditambah air liur Murdi. Belum lagi selangkangan Lina yang belepotan sperma pria tua itu. Tak disangka, gadis kecil yang dulu dijaganya kini berubah menjadi wanita yang sangat cantik dan begitu montok. Murdi pun merasa dia sedang mengambil haknya, upahnya untuk mengambil keuntungan dari tubuh Lina yang dijaganya.
“Abah kok ngeliatinnya gitu sih?”, Lina pura-pura menutupi kedua buah payudara dan vaginanya dengan kedua tangannya.
“hehe..pake ditutupin segala, non…”. Lina pun tersenyum dan membuka kedua tangannya ke atas seperti orang yang sudah siap dipeluk.
“sini, Bah…”, ajak Lina dengan sangat menggoda yang sudah siap ‘menerima’ Murdi.
Tak perlu dipaksa, Murdi langsung menomplok Lina dan menggumuli gadis cantik itu sampai larut malam, sampai staminanya habis dan tongkatnya tak mampu berdiri lagi, habis sudah persediaan spermanya seperti niat Murdi pada awalnya. Keduanya tidur dalam berpelukan, tidur mereka benar-benar pulas karena kecape’an, tapi ekspresi wajah mereka menunjukkan kepuasan yang tiada tara. Hari-hari dilalui Murdi dan Lina dengan penuh kebahagiaan dan penuh kesenangan. Lina pun memutuskan untuk memakai pakaian seperti ibu-ibu petani lainnya agar benar-benar meresapi menjadi ibu petani. Pagi-siang Murdi melakukan kewajibannya untuk mengajari Lina. Sore-malam Murdi meminta haknya kepada Lina yang dengan senang hati melakukan kewajiban lainnya dari ibu petani yaitu memberikan tubuhnya kepada bapak petani, yang tak lain dan tak bukan adalah Murdi, untuk ‘digarap’ sesukanya.