HASIL PENELITIANKU BERSAMA IDA

Cerita terbaru ini bermula ketika aku disodorkan sebuah judul skripsi atau thesis oleh seorang mahasiswi untuk dibantu penyusunannya dengan alasan ia sendiri punya keterbatasan untuk menyusunnya, baik karena kurang memiliki buku-buku rujukan maupun belum pengalaman menyusun, apalagi dengan ketikan komputer. Karenanya, lewat informasi dariteman-temannya, ia (sebut saja namanya Ida) datang ke rumahku menawarkan sebuah judul yg sudah diterima oleh ketua jurusannya untuk dibahas lebih lanjut.

Karena profesiku sehari-hari memang bergerak di bidang jasa pengetikan komputer dan penyusunan karya ilmiah, termasuk bimbingan penyusunan karya ilmiah, maka tentu aku berusaha untuk tdk menolak tawaran itu, meskipun waktu penyelesaian yg diberikan hanya seminggu. Tanpa pikir panjang, aku langsung menerima tawarannya dengan biaya yg tertera dalam formulir pesanan yg telah kusediakan.

Setelah selesai mengisi formulir pesanan yg kusodorkan, lalu kuamati identitas dan judul yg ditulisnya dalam formulir itu. Aku berpikir bahwa judul tersebut termasuk agak berat ringan, namun bisa diakali atau spekulasi, sebab menygkut problem yg banyak dibicarakan oleh masmedia dewasa ini. Redaksi judulnya adalah “Perselingkuhan dan Dampaknya terhadap Keharmonisan Rumah Tangga”. Buku-buku yg membahas tentang perselingkuhan, masih sangat terbatas di kota tempat tinggal kami (sebut saja kota Wp) yakni salah satu kota kabupaten di Sulsel.

“Wah berat sekali judulnya ini, bisa nggak mencari buku-buku rujukannya,” kataku setelah membaca isi formuliar pesanan yg telah ia isi itu.

“Nanti kuusahakan cari buku rujukannya kak,” janjinya.

“Tapi judul ini nampaknya perlu juga penelitian lapangan dik, karena menygkut problem rumah tangga yg nggak sulit ditemukan faktanya di daerah kita ini.

Lagi pula saya yakin buku rujukannya sangat terbatas, sehingga perlu ditunjang dengan hasil wawancara atau angket,” alasanku.

“Jadi bagaimana caranya kak? Apa aku harus wawancara dengan mereka yg selingkuh?” tanya Ida sambil ketawa seolah ia malu melaksanakannya.

Dan memang harus dimaklumi karena ia masih tergolong gadis pemalu. Ida merupakan sosok wanita yg sedikit kalem, sikap dan penampilannya cukup sederhana. www.filmbokepjepang.net   Tubuhnya langsing dengan wajah berseri-seri.

“Apa adik nggak mampu melakukannya atau malu?” tanyaku singkat.

“Aku sangat malu kak, palagi bicara soal rumah tangga, tentang selingkuh lagi, khan nggak enak rasanya kak” katanya terus terang.

Setelah kupikir dan pertimbangkannya, aku lalu menawarkan jalan lain.

“Gimana kalau anda beri surat kuasa padaku, biar aku yg wawancara sama teman atau orang lain yg kuketahui selingkuh,” tawaranku padanya.

“Wah, malah itu jalan yg terbaik kak. Buat aja surat kuasanya kak, nanti kutandatangani. Soal biaya yg kakak keluarkan sehubungan dengan penelitian ini, aku siap tanggulangi semuanya asal bukan saya yg disuruh melakukannya,” katanya seolah gembira sekali menyambutnya.

“Tapi terus terang aja dik, mungkin aku hanya minta kepada mereka agar bersedia menandatangani surat keterangan penelitiannya. Soal kejadian dan dampaknya, biar aku yg rekayasa kalimatnya,” jelasku pada Ida.

“Nggak masalah kak. Yg penting karya ilmiahku bisa selesai dan ditandatangani oleh pembimbing serta aku bisa ikut ujian meja bersama teman-teman dalam waktu dekat ini,” katanya pasrah padaku.

Saat itu pula aku langsung ketik suarat kuasanya lalu ditandatangani oleh Ida, kemudian ia minta izin pulang setelah aku mencatat Nomor telepon rumahnya. Setelah lima hari kemudian, aku sudah menyusun dengan matang konsep yg akan aku jalankan lebih lanjut. Aku hubungi dan minta agar Ida datang ke rumah pada pukul 19.00 wita guna membicarakan soal penyelesaian karya ilmiahnya. Sementara aku makan malam bersama keluarga, terdengarlah ada orang yg mengetuk pintu. Aku yakin itu pasti Ida. Istriku segera keluar membukakan pintu, ternyata betul Ida datang sebelum jam 19.00 wita. Mungkin ia anggap panggilanku itu sangat penting, apalagi menygkut soal penyelesaian karya ilmiahnya.

“Silahkan duduk dik,” kata istriku setelah Ida masuk.

“Langsung aja gabung di sini dik, kita makan sama-sama,” teriakku dari dalam ruang makan.

Istriku tdk pernah curiga dan cemburu terhadap setiap wanita yg datang kerumah, karena tujuannya sangat jelas.

“Terima kasih kak. Teruskan aja makannya. Aku baru aja makan di rumah,” teriak Ida dari luar setelah ia duduk di kursi tamu yg tersedia.

“Begini Ida, aku sengaja memanggilmu ke sini untuk membicarakan soal kesimpulan penelitian yg akan saya muat dalam karya ilmiah anda. Aku takut kerja dua kali. Jadi sebelum aku muat, aku mau minta tanggapan dan keputusanmu dulu,” jelasku ketika aku selesai makan dan duduk berhadapan dengan Ida.

Sementara istriku masih sementara makan bersama dengan dua orang putraku. Kupikir mereka masih lama di ruang makan, sebab ia pasti meneruskannya dengan cuci piring, bikin air panas buat aku dan Ida. Masih banyak kesempatan yg bisa kami gunakan untuk bicara secara bebas tanpa mengundang kecurigaan dari istriku.

“Atur sajalah kak mana baiknya. Aku serahkan penuh keputusannya semua pada kak, karena kakaklah yg lebih tahu mengenai hal ini semua,” katanya pasrah, meskipun ia belum tahu niat dan spekulasiku memanggilnya.

“Ida, terus terang dik.. Ada sesuatu yg akan saya tawarkan padamu, tapi aku malu dan takut kamu tersinggung dan marah padaku,” kataku pada Ida dengan suara sedikit pelan karena takut kedengaran istri.

“Katakan saja kak, aku nggak akan tersinggung kok, apalagi marah. Itu bukan watakku. Lagi pula kenapa mesti marah jika memang itu adalah kepentingan penyusunan karya ilmiahku. Aku siap bantu kak sepanjang aku mampu,” kata Ida tanpa ragu dan berpikir curiga atas maksudku.

Meskipun penuh keraguan, bahkan bisa beresiko buruk jika Ida tdk setuju, namun tetap aku beranikan diri menyampaikan niat bejatku.

“Bbbegini dik Ida, maaf sekali lagi. Penelitian kita tdk boleh semua rekayasa dan mesti ada sedikit data pembuktian. Sementara aku sangat kesulitan mendapatkan bukti otentik, karena jarang sekali pria mau mengakui perselingkuhannya dan juga sulit ditemukan istri yg mau mengungkapkan secara jujur akibat yg dirasakannya dari perselingkuhan suaminya,” paparku menjelaskan alasanku pada Ida.

Setelah terdiam, tunduk dan berpikir sejenak, maka Ida pun bertanya.

“Jadi kira-kira bagaimana baiknya kak agar kesulitan kak bisa teratasi”

“Rela nggak berkorban demi penyelesaian karya ilmiahnya dik?” tanyaku.

“Sepanjang aku mampu, tentu saja aku akan usahakan kak. Khan sudah berulang-ulang kali kukatakan pada kak,” katanya sedikit tegas, namun entah apa ia tahu apa yg akan kuminta darinya atau sama sekali tdk terpikir olehnya.

Tapi nampaknya ia tdk ragu-ragu mengatakannya.

“Betul? Janji?” tanyaku tegas sambil mengulurkan tangan untuk salaman dengannya sebagai tanda perjanjian kami. Ida pun menyambut tanganku.

“Mumpung istriku masih di dalam Ida, kita bisa atur strateginya saat ini juga, sebab tawaranku ini sangat rahasia dan hanya kita berdua yg bisa ketahui,” kataku sangat pelan dan hanya bisa didengar oleh Ida.

Setelah terdiam, tunduk dan berpikir sejenak, maka Ida pun bertanya.

“Jadi gimana caranya kak? Rahasia bagaimana yg kak maksudkan. Katakan aja sekarang agar aku tdk penasaran untuk mendengarnya,” desaknya.

“Aku akan menulis pertanyaan rahasia itu di komputer dan kamu menjawab langsung dengan kata ‘ya’ jika setuju dan ‘tdk’ jika tdk setuju ketika aku bertanya padamu begini?.”

“Kamu harus pura-pura membacakan isi sebuah buku tentang kehidupan rumah tangga yg harmonis, sebab kebetulan judul buku itu ada di sini dan aku seolah-olah menulis apa yg kamu bacakan, meskipun sebenarnya yg kutulis di komputer nanti adalah sejumlah pertanyaan yg harus kamu jawab ‘ya’ atau ‘tdk’” jelasku pada Ida meskipun ia tdk segera memahami maksudku, namun setelah aku menjelaskannya beberapa kali, akhirnya iapun mengerti.

Setelah kami sepakat untuk melakonkan sandiwara itu di depan komputer, kamipun saling terdiam tanpa saling memandang. Namun sikap kami itu tdk berlangsung lama sebab istriku tiba-tiba muncul membawa 2 cangkir air teh buat kami. Istriku tdk nampak ada rasa curiga pada kami, malah dia bercanda karena ia tdk sempat bikin kue buat Ida.

“Silahkan diminum dik, kebetulan nggak ada tulangnya nih,” canda istriku.

“Terima kasih bu’, aku merepotkan aja,” kata Ida pada istriku.

“Silahkan diminum dulu dik, atau kita bawa aja masuk di kamar komputer sambil anda membacakan datanya biar proses penyusunannya agak cepat,” kataku dengan suara yg sedikit besar agar didengar langsung oleh istriku yg sedang duduk di sampingku sambil aku berdiri membawa secangkir teh masuk ke kamar kerjaku dan disusul pula oleh Ida setelah minta izin sama istriku,

bahkan istriku sendiri yg membawakan tehnya dan meletakkannya di atas meja komputer lalu minta izin pada kami untuk nonton acara TV Sinetron kesukaannya yakni Kehormatan di ruang dalam.

“Silahkan dibaca dik,” kataku sengaja memperdengarkan istriku yg sedang berbaring di depan TV.

Sementara Ida duduk di kursi yg telah kusiapkan kurang lebih 50 cm di samping kananku dan aku sendiri duduk persis di depan layar komputer. Ida membaca isi buku yg dipegangnya kata demi kata layaknya orang yg mendiktekan, namun aku tdk menulis apa yg dibaca, melainkan aku mulai buat pertanyaan buat Ida.

“Begini tulisannya?” kataku seolah menulis apa yg dibaca itu, namun aku menuliskan pertanyaan bahwa “Apa anda siap duduk di situ hingga jam 10 malam?” tulisku di layar komputer.

“Ya,” jawab Ida di sela-sela kalimat yg dibacanya.

“Begini?” tanyaku lagi sambil menulis pertanyaanku, “Anda bisa maju dan bergeser ke arahku agak lebih dekat lagi?”

“Ya,” jawab Ida lagi sambil menggeser kursinya agak lebih dekat lagi.

Meskipun yg kedengaran dari mulutku hanya kata “begini”, namun pertanyaan yg kuajukan ke Ida lewat layat komputer banyak sekali. Hampir semua pertanyaanku dijawab dengan kata “ya” oleh Ida, termasuk pertanyaanku tentang apa Ida sudah punya pacar, pernah jatuh cinta, pernah dirasakan belaian pria, pernah dipegang tangannya, rambutnya, wajahnya, pahanya, payudaranya oleh pacarnya. Bahkan Ida juga mengiyakan pertanyaanku soal cium mencium dengan pacarnya.

Namun ketika pertanyaanku mengarah lebih dalam lagi, terutama soal pernah tidur bersama dan bersetubuh dengan pacarnya, maka tiba-tiba ia jawab dengan kata tegas

“Tdk”. Komunikasi kami berjalan lancar meskipun yg kedengaran keluar dari mulutku hanya kata

“begini atau begini tulisanya?”, lalu dijawab oleh Ida dengan kata

“ya atau tdk” hingga waktu tdk dirasa sudah menunjukkan pukul 9.30 malam.

Setelah aku kehabisan bahan dan telah kukorek semua kepribadian Ida, aku lalu minta izin sama Ida untuk masuk buang air kecil sekaligus untuk memastikan keadaan istriku apa ia tdk mengintip atau mencurigai kami dalam kamar kerjaku, meskipun pintu ruanganku sengaja kubuka agar tdk ada rasa curiga dari istriku.  www.filmbokepjepang.net  Ternyata anak dan istrikut telah tertidur semua di depan TV, sebab kebiasannya memang suka tertidur ketika nonton.

Aku sedikit lega dan merasa ada peluang untuk sedikit bereaksi bersama Ida setelah kuketahui kelemahannya. Karenanya, setelah buang air kecil, aku segera masuk dan duduk kembali seperti semula di samping kiri Ida, namun aku sengaja mendorong sedikit pintu agar tdk terlalu terbuka tanpa dilihat oleh Ida.

“Ayo kita lanjutkan sedikit Ida mumpung masih belum larut malam,” kataku sambil sedikit bergeser ke arah kursi Ida.

“Begini Ida?” tanyaku dengan tekanan suara yg mulai rendah sambil memperlihatkan sebuah pertanyaan lagi dengan kalimat

“Apa pacarmu pernah mengelus-elus pahamu?”.

Ida lalu menjawab,

“Ya”. Namun ia sangat kaget dan tersentak sejenak ketika aku bertanya,

“Seperti ini?” sambil kupegang dan kuelus pahanya yg dilapisi celana panjangnya yg agak tipis dan halus kainnya.

“Yyya.. Ah.. Titdk” jawabnya seolah ketakutan.

Bahkan sempat bergeser dan bermaksud menjauh dariku ketika aku menulis pertanyaan,

“Pernahkah pacar anda meremas payudaranya?” lalu kuperlihatkan Ida sambil berkata,

“Begini Ida?” sambil aku berbalik menghadap padanya dan segera meremas kedua payudaranya dari luar bajunya.

Kali ini ia tdk melepas kedua tanganku dari payudaranya, tapi ia mencoba berdiri lalu menengok keluar ke arah istriku seolah ia hanya takut sama istriku.

“Tenang Ida, istri dan anak-anakku sedang tidur,” bisikku pada Ida ketika ia mencoba menghindar dari perlakuanku, namun ia duduk kembali setelah melihat dengan jelas istriku sedang tidur pulas di depan TV melalui celah pintu yg sedikit terbuka.

“Kenapa harus sampai begini kak? Aku malu, takut dan tdk biasa diperlakukan seperti ini” tanyanya padaku dengan suara sedikit berbisik namun cukup mengerti kalau kami harus bertindak super hati-hati.

“Maaf dik, jika ini terpaksa harus kita lakukan di tempat ini, bukankah adik sendiri yg telah berjanji akan memberikan pengorbanan sesuai kemampuannya asal penyusunan karya ilmiahnya berjalan lancar?” kataku terus terang dan mengingatkan janjinya.

“Wah, ternyata kak menafsirkan sampai ke situ. Aku nggak pernah berpikir sampai ke hal itu kak, tapi.. ” katanya seolah tdk tahu arahku ke situ.

Namun aku yakin ia tdk bakal menolak tindakanku lebih jauh karena Ida tiba-tiba berucap

“tapi..” yg menandakan adanya peluangku lebih jauh.

Aku sudah berhenti membuat pertanyaan tertulis di layat komputer dan Ida pun meletakkan buku yg dibacanya sejak tadi. Kini kami saling berhadapan dan saling mengerti perasaan serta berkomunikasi langsung, namun suara kami sangat kecil, sehingga hanya kami berdua yg bisa mendengarnya. Kami tentu harus waspada dan takut ketahuan oleh istri jika tiba-tiba ia terbangun. Kami betul-betul berani memanfaatkan kesempatan yg beresiko dan sempit itu.

Sambil mengawasi terbangunnya istri yg sedang tidur, kami juga mengurangi bisikan dan komunikasi. Bahasa yg kami gunakan adalah mimik atau isyarat. Takut sekali bersuara. Tanganku mulai memegang paha Ida dari luar celananya, memegang kedua payudaranya yg terbungkus, merangkul dan mencium pipi lalu leher dan singga di bibirnya. Aku sedikit menikmati kecupan bibir Ida yg menyambut serangan bibir dan lidahku di mulut sampai rongga mulutnya.

“Ida, kita tdk boleh menunda-nunda permainan ini. Kita harus segera tuntaskan siapa tahu istri saya terbangun lalu heran kenapa nggak ada suara-suara kita seperti tadi. Ayo bantu aku dik,” bisikku di telinga Ida ketika aku dan mungkin Ida juga terangsang, apalagi tiba-tiba diliputi rasa takut.

“Yah kak, aku takut sekali. Cepat-cepat selesaikan kak,” balas Ida seolah menerima baik tindakanku ini.

Ida segera membuka 2 kancing bajunya untuk memberi kesempatan agar aku segera meremas susunya dan mengisap putingnya yg nampak tegang kecoklatan. Akupun tdk menyia-nyiakan kesempatan emas ini dan segera meraih bukit kembar yg putih mulus itu. Sangat mungil karena belum pernah dijamah oleh pria lain kecuali hanya pacarnya yg pernah meremasnya dari luar bajunya, apalagi usianya baru berkisar 20 tahun.

Setelah aku puas menjilat, mengisap dan memainkan bukit kembarnya, tanganku berpindah ke bawah yg sudah mulai ada jalan masuk karena telah terbuka kasper celananya dari depan, sehingga tanganku dengan mudah meraba, mengelus dan menekan biji daging yg terasa bergetar-getar yg ada di antara kedua bibir bawahnya.

Karena sepakat akan menuntaskan seluruh permainan kami di kamar kerjaku itu, maka wajar jika kami saling membantu dan memudahkan terlaksananya hajat kami. Tanpa kuminta, Idapun melorot sedikit celananya hingga di atas lututnya. Aku tak sempat melihat apa Ida memakai celana dalam atau dilorit bersama celana panjangnya, tapi yg jelas paha mulus lagi putih itu terlihat dengan jelas, bahkan sampai ke batas pinggangnya.

Namun Ida masih tetap dalam posisi duduk berhadapan denganku, sehingga aku sulit melihat dengan jelas barang mewah yg ada di selangkangannya tapi aku bisa meraba dan memainkannya dengan mudah. Mulutku akrab menempel di payudara kirinya, sementara tangan kiriku melekat di payudara kanannya dan tangan kananku tak mau pisah dengan sebuah daging yg tertancap pada dua bibir bawah di antara selangkangannya.

“Sssttt… Aahhh… Khkh… Cceeepat kak selesaikan, aku sudah nggak tahan nih,” bisik Ida ditelingaku ketika aku semakin memainkan mulut dan tanganku pada kedua alat sensitifnya itu sambil berusaha menurunkan sedikit celananya hingga lutut.

“Sabar dik, aku nggak mau rasanya berhenti dan ingin menikmati sampai pagi,” bisikku sambil mempercepat gerakan tangan dan mulutku.

Namun Ida mencubit pinggangku lalu ia segera berdiri dan kedua tangannya langsung membuka ikat pinggang berikut kait serta kasper celanaku dengan lincah sekali. Setelah terlepas, kedua tangannya segera menurunkan celanaku, namun sedikit tertahan karena aku masih duduk di atas kursi, tapi aku sangat mengerti sehingga aku mengangkat pantat untuk memudahkan ia menurunkan celanaku hingga lutut. Tanpa disentuh dan digocok, k0ntolku dengan sendirinya berdiri mengacung bagaikan kepala ular berbisa yg mau mematuk mangsanya.

Tanpa perintah atau komando, Ida tiba-tiba duduk di antara kedua pahaku dan meraih ujung k0ntolku lalu mengarahkan ke lubang memeknya yg sedikit basah dan licin itu, lalu merangkul leherku. Ia mulai menggoyang sedikit pinggulnya ke kiri dan kekanan agar k0ntolku dapat dengan mudah masuk ke lubang sasarannya, namun agak sulit. Selain karena memek Ida ditumbuhi bulu hitam yg cukup lebat, juga memeknya kuyakini belum terbiasa dimasuki benda tumpul seperti yg kami usahakan masuk saat ini.

Aku mencoba membantu untuk memasukkannya dengan memegang k0ntolku serta membuka kedua bibir memeknya dengan kedua tanganku, tapi belum bisa amblas meskipun separohnya sudah mulai masuk dan kurasakan senti demi senti melejik ke dalam, apalahi gerakan pinggul dan tangan Ida tdk mau berhenti. Aku sebenarnya masih ingin menikmati permainan kami dengan lama sekali, tapi tiba-tiba terpikir akan terbangun istriku karena suara kaki kursi plastik yg selalu bergerak-gerak seiring dengan gerakan kami, maka aku konsentrasi lagi untuk menuntaskannya dengan segera.

Gerakan pinggulku mengikuti gerakan pinggul Ida dan kami saling menekan masuk hingga akhirnya bisa amblas seluruhnya. Bunyi decak, decik, decukk, cak.. cikkk.. cukkk pun cukup menyela keheningan malam itu, yg membuat aku semakin khawatir istriku terganggu dan terbangun, sehingga kami mengatur kembali gerakan.

Meskipun pakaian kami hanya terbuka sedikit sekali dan gerakan serta suara kami sangat terbatas, namun cukup bisa kami nikmati permainan kami itu. Bahkan belum pernah kurasakan kenikmatan seperti itu dari istriku. Mungkin karena ini hasil curian atau karena ketdk leluasaan kami yg membuat permainan kami lebih nikmat dan lebih berkesan. Kembali lagi Ida menghentak-hentakkan pantatnya ke pahaku seiring dengan keluar masuknya k0ntolku ke dalam memeknya, bahkan ia seolah tak sadarkan diri lagi dan gerakannya semakin dipercepat ketika aku mencoba mengangkat sedikit pantatku agak masuknya lebih dalam lagi.

Tanpa berkata apa-apa, Ida terasa gemetar sekujur tubuhnya dan keringatnya yg bercampir dengan keringatku jatuh membasahi kursi tempat dudukku. Akupun mengerti kalau Ida sudah berada di ambang pintu kenikmatan yg luar biasa, maka aku mencoba menahan cairan hangat yg juga mulai terasa menjalar ditubuhku dan mendesak mau keluar lewat k0ntolku. Ida tiba-tiba merangkulku dengan keras, menggigit sedikit bahuku dan mencakar-cakar punggungku, lalu terasa lemas lunglai.

Ketika Ida terasa lemas seolah kehabisan tenaga, aku yakin kalau ia sudah melewati klimaksnya. Kini giliranku untuk mencapainya, lalu aku segera mengangkat tubuh Ida dan memutar sehingga posisi membelakangiku. Mau tdk mau ia terpaksa pegangan di didinding kamar, lalu kutekan sedikit kepalanya agar ia lebih nungging lagi. Setelah terlihat lubang kenikmatannya dengan jelas, aku segera arahkan k0ntolku masuk ke dalamnya dan menekannya agar masuk lebih dalam, lalu kugenjot dengan keras dan cepat bolak balik maju mundur hingga akupun merasakan ada cairan hangat yg kental tumpah ke dalam lubang kenikmatan Ida.

Aku sengaja dan tdk takut akibatnya, sebab zat Ida yg bakal membuahi sudah keluar sejak tadi, sehingga tdk mungkin bisa ketemu dan terbuahi. Hal itu kuyakini sesuai praktek kami bersama istri selama ini. Setelah kami sama-sama mencapai puncak kenikmatan, kami lalu berpelukan sejenak dan saling memberi kecupan sebagai tanda terima kasih dan saling puas. Tanpa menunda waktu sedetikpun, kami segera memperbaiki kembali posisi pakaian kami masing-masing seperti semula lalu duduk sejenak sambil berpandangan dengan senyum puas dan bahagia yg kami rasakan.

Kami sudah tdk konsentrasi lagi terhadap karya ilmiah dan penelitian yg sedang kami proses. Bahkan sebelum istriku bangun, Ida minta izin untuk pulang, tapi aku sempat membisikkan sebuah kalimat di telinganya.

“Sudah mengerti yg namanya selingkuh sayang? Inilah bukti selingkuh yg sebenarnya dan data inilah yg paling otentik dari semua hasil penelitian kita, karena sama sekali bukan rekayasa melainkan betul-betul berdasarkan fakta dan pengalaman nyata kita sendiri,” bisikku sambil memberi ciuman terakhir dan merangkulnya sekali lagi dengan eratnya.

Ida hanya membalas dengan senyum dan sedikit cubutan di pinggangku. Ida pun melangkah keluar lalu naik ke motornya seolah penuh bahagia.

Peristiwa yg kuceritakan ini baru awal dan pemanasan, karena hanya kebetulan dan kesempatan kami sangat sempit. Karena itu, meskipun kami belum janjian untuk mengulanginya, tapi mesti kami usahakan mengulangi dalam waktu singkat di tempat yg lebih aman, bebas dan waktu yg tak terbatas. Apalagi karya ilmiahnya masih sementara dalam proses, sehingga kami akan terus berkomunikasi dan saling memberi kenikmatan.

Setelah kubuktikan pada Ida di kamar kerjaku tentang arti selingkuh yg sebenarnya sesuai judul penelitian karya ilmiahnya, kami memang sepakat untuk mengulanginya kembali dalam waktu singkat di tempat yg lebih memberi ruang keleluasaan. Hanya berselang sepekan, tepatnya Hari Sabtu Sore, aku ke rumah Ida setelah sebelumnya Ida menelponku agar datang ke rumahnya menerima seluruh biaya penyusunan karya ilmiahnya meskipun penyusunannya belum tuntas 100%. Istriku yg menerima telpon itu nampak gembira dan meminta saya agar segera ke rumah Ida menerima uangnya, apalagi istriku saat itu sangat membutuhkan uang belanja.

“Silahkan masuk kak, pintunya tdk terkunci kok” teriak Ida dari dalam rumah setelah aku mengetuk pintu rumahnya.

Ia seolah menunggu dan lebih dahulu melihat kedatanganku.

“Selamat sore Ida” ucapanku setelah kubuka pintu rumahnya.

“Silahkan duduk kak, tdk usah malu-malu. Saya hanya sendirian kok” kata Ida setelah aku berdiri di ruang tamunya seolah ia sengaja agar aku tdk segan-segan bertindak dan berbicara dengannya.

“Ke mana semua keluarga Ida? Kok kamu berani sendirian di rumah?” tanya aku ketika sedang duduk di kursi sofanya yg empuk itu.

“Mereka semua jenguk nenek yg sedang sakit di kampung kak,” katanya.

“Tapi adik Ida memang terbiasa ditinggal sendirian di rumah?” tanyaku.

“Wah itu soal biasa kak. Khan nggak ada yg ditakutkan sebab di sini cukup aman, lagi pula di lingkungan ini cukup ramai” jawabnya lagi.

Setelah aku berbincang panjang lebar soal umum dan soal pribadi Ida serta keluarganya sambil menikmati hidangan kue yg sejak tadi menunggu di atas meja, Ida lalu memandangku dengan tajam, lalu mekangkah ke dekat pintu dan menguncinya rapat-rapat. Aku hanya terdiam sambil memperhatikannya. Dalam hati kecilku bertanya ada maksud apa Ida memanggilku ke rumahnya setelah kedua orangtua dan keluarga lainnya di rumah itu sedang tdk ada. Jangan-jangan ia menipuku atau ingin melanjutkan peristiwa singkat dalam kamar kerjaku minggu lalu itu.

“Kak, kita ke atas yuk, di sini nggak aman dan bebas kok, sebab sedikit-sedikit ada tamu yg datang jika mereka ketahui ada orang di dalam rumah. Maklum bapak khan pengusaha yg luas jaringannya” kata Ida lembut sekali setelah menutup pintu dan mencabut kabel telpon rumahnya dari pesawatnya.

Ia segera menarik tanganku dan menuntunku ke lantai atas rumahnya di mana kamar belajarnya berada. Aku hanya menuruti apa yg dimintanya, lagi pula aku senang dan gembira mau terima uang dari Ida, yah syukur-syukur jika ia bersedia memberi bonus khusus buatku.

Setelah aku dipersilahkan duduk di kursi yg ada dalam kamarnya, Ida lalu duduk di atas rosbannya yg cukup rapi dan tertata dengan seprei berwarna biru yg dihiasi sulaman kembang berwarna kuning emas. Baunya yg harum menyengat ke hidungku hingga aku terpesona dan sedikit menikmati suasana damai, tenang dan bahagia dalam ruangan itu seolah mengingatkanku di malam pertama ketika aku masih pengantin baru.

Sore itu aku hanya termangu memperhatikan suasana yg ada dalam kamarnya tanpa aku banyak bicara. Sesekali memperhatikan tubuh Ida yg terbungkus baju warna putih dengan celana kain setengah panjang yg agak tipis namun indah dan bersih sekali lagi harumnya yg tdk mau hilang di hidungku. Aku sangat berat, segan dan malu diperlakukan seperti raja oleh Ida, apalagi selaku orang yg punya istri, tentu takut bertingkah macam-macam di depan Ida yg serba istimewa.

“Ida, aku tdk bisa lagi menggambarkan bagaimana perasaanku saat ini berada dalam kamar bidadari. Sungguh aku mempunyai keberuntungan luar biasa bisa kenalan dan berhubungan dengan adik. Aku diperlakukan seperti raja diraja. Aku sangat menyesal kawin terlalu cepat” ucapanku mengagumi segala apa yg kurasakan saat itu.

Mendengar ucapanku itu, Ida hanya menatapku tajam sambil tersenyum sesekali pandangannya turun ke arah selangkanganku. Aku bisa membaca maksiud isi hatinya, tapi aku tetap pura-pura bersikap pasif. Ida seolah tdk memperlihatkan rasa malu, segan dan takut lagi di depan saya setelah ia mengetahui kebejatan moral saya. Bahkan nampak ia lebih berani dan lebih aktif di depanku.

“Kak, aku tdk pernah menygka bisa menikmati hubungan sex bersama dengan orang yg selama ini kukagumi. Aku sebenarnya bahagia tapi sekaligus menyesal karena kehormatan dan keperawananku terpaksa kuserahkan dan dinikmati oleh suami orang lain yg tdk mungkin bisa kumiliki sepenuhnya. Padahal pria yg kusayangi selama ini berkali-kali mendesak dan meminta tapi aku tetap mempertahankannya dengan alasan melanggar norma-norma agama, nanti setelah nikah dan berbagai macam alasan lainnya. Kenapa ini terjadi kak dan kenapa bukan pada saat kak masih bebas menentukan pilihan? Kenapa kak, kenapa dan kenapa…” tiba-tiba Ida berbicara terbuka, panjang lebar dan penuh dengan kesedihan.

Dengan suara tangis terisak-isak yg ditandai air mata membasahi pipinya, aku yakin Ida sangat menyesal dan tdk mampu menolak keinginan bejatku ketika aku menunjukkan bukti perselingkuhan di kamarku ketika itu. Ia berkali-kali berteriak mempertanyakan nasibnya sambil memeluk dan mencium pipiku sehingga bahu dan pipiku juga ikut basah oleh air matanya.

“Ida, aku mohon maaf dik sayang. Aku khilaf ketika itu dan aku terlalu bernafsu melihat kecantikanmu. Apalagi sikap kelemah lembutanmu di depanku membuatku terangsang, karena hal seperti sulit kudapatkan dari istriku yg sedikit keras dan kasar sikapnya. Sekali lagi maaf dik, aku juga ikut menyesali sikapku yg kurang ajar dan kurang mengerti diri. Maukah kamu memaafkan kesalahanku sayang…?” kataku menyampaikan rasa penyesalanku sambil mengelus rambut dan pipinya yg masih bersandar ke bahuku.

Cukup lama kami saling merangkul. Namun di sela-sela rangkulan itu, kami seolah tersengat seteron listrik. Kami bukan menyesali dan menghindari terulangnya peristiwa itu, malah kami saling berpagutan tanpa kuketahui siapa yg memulai. Ida lahap sekali mencium dan mengisap bibir dan lidahku. Akupun memberikan sambutan yg sama. Tangan kami saling bergerak lincah menggeraygi tubuh masing-masing secara berlawanan. Kali ini, sedikitpun tdk ada rasa malu, ragu dan takut ada orang lain yg mengetahuinya, sebab pintu rumah Ida terkunci rapatb dan kamipun berada di lantai atas sehingga suara kami sulit terdengar oleh orang lain sekalipun kami berteriak keras.

Meskipun aku sedikit sadar dan mengingat apa yg baru kami sesali, namun aku sengaja tdk mau mengingatkan Ida, sebab aku lagi senang dan juga hal seperti ini sudah terlanjur kami lakukan. Tanpa kusadari, Ida sudah membuka kancing bajuku dan melepaskan dari tubuhku. Ia menyerang sangat lincah dan seolah lupa segalanya. Ia menyapu seluruh tubuhku dengan ciuman dan jilatan, mulai dari wajah, dagu, leher, bibir dan mulut hingga ke pusar. Tangannya sangat aktif merangkul dan meraba-raba tubuhku hingga masuk ke selangkanganku dari atas ke dalam celanaku.

Akupun tdk mampu menahan tangan yg sejak tadi bergerak-gerak ingin memegang benda-benda kenyal dan langkah ditemukan di pasaran yg ada pada tubuh Ida. Meremas-remas kedua payudara Ida yg masih keras dan ukuran sangat sederhana, membuka kancing baju dan BH serta mengelus-elus kelentit Ida yg mungil lagi keras adalah menjadi aktifitas khusus kedua tangan saya tanpa komando dari siapa-siapa. Semua ini kami lakukan dalam keadaan berdiri di depan tempat tidur Ida.

“Kak, cepat kak. Aku sudah tak tahan lagi. Ayo Kak cepat,” bisik Ida berkali-kali di dekat telingaku.

Nafasnya terasa hangat sekali dipipiku.

“Sabar sayang, aku akan memberikan kenikmatan luar biasa hari ini. Kali ini kita bebas, aman dan tak ada gangguan sedikitpun untuk menikmati segalanya. Sabar sayang… Aku pasti memuaskanmu” bisikku sambil melonggarkan ikat pinggangku agar Ida mudah memasukkan tangannya.

Ida nampaknya tdk sabar lagi. Ia kali ini menurunkan celanaku lalu menarikku naik ke atas tempat tidur setelah aku betul-betul telanjang bulat. Aku turuti saja kemauannya, bahkan setelah ia duduk di pinggir tempat tidur, aku segera menarik celananya turun hingga terlepas semua dari tubuhnya. Kini kami berpelukan dalam keadaan bugil tanpa sehelai kainpun di tubuh kami. Aku merebahkan tubuhnya ke atas kasur dengan kedua kaki tetap tergantung namun kedua pahanya agak terbuka, sehingga terlihat dengan jelas memeknya yg basah, bersih dan agak montok, bahkan biji yg tumbuh di sela-sela lubang kemaluannya itu nampak menantang dan indah.

“Ayo kak, masukkan cepat kak. Aku ingin sekali menikmati burungmu itu. Aku sangat ketagihan. Cepat kak, ayo kak,” kembali Ida meminta aku memasukkan k0ntolku ke dalam kemaluannya yg sudah basah dan sedikit terbuka itu.

Berkali-kali ia memintaku dengan nafas terengah-engah seolah sesak. Bahkan kali ini ia meraih k0ntolku dan menuntun ke arah memeknya, tapi aku tetap menahannya dan mermbiarkan ia semakin penasaran agar kami bisa bermain lebih lama di kamarnya. Berkali-kali pintu rumahnya terdengar diketuk-ketuk orang, tapi Ida tetap tdk peduli. Ia yakin kalau itu hanya tamu bapaknya, sementara bapaknya besok baru pulang karena baru tadi siang berangkatnya. Ia konsentrasikan dirinya pada kenikmatan yg ia harapkan segera kuberikan.

Setelah aku puas memainkan lidah, bibir dan mulutku pada seluruh tubuhnya, terutama pada rongga mulut, payudara dan rongga kemaluannya, lalu secara pelan-pelan ujung k0ntolku menyentuh bibir memeknya, sehingga pinggulnya terangkat-angkat secara otomatis dan sesekali merangkul pinggulku dan menariknya turun, namun tetap kupertahankan untuk tdk terburu-buru.

Karena lincahnya menggerakkan dan memutar pinggulnya kiri kanan, maka pertemuan kedua benda asing itupun sulit dihindari. Bahkan secara tdk sengaja kepala k0ntolku masuk dan nempel ke lubang memeknya bagaikan ditarik oleh sebuah magnit. Akupun rasanya sulit lagi memancing dan menarik keluar, sehingga perlahan tapi pasti ujung k0ntolku menyelusup masuk sedikit demi sedikit hingga amblas seluruhnya. Gerakan refleks pinggul kami secara otomatis berputar dan maju mundur mengikuti aliran kenikmatan yg kami rasakan masing-masing. Suara desiran dan lenguhan dari mulut kami berdua tdk bisa lagi tertahankan sebagai pertanda kami mengalami kenikmatan yg tiada taranya.

“Auh… Uuuhhh… Sssttt… Aduhhh… Aakhh…” suara itulah yg senantiasa mewarnai kesunyian dalam ruangan itu. Untungnya suara kami tdk dapat terdengar oleh tetangga Ida, sehingga keluar secara bebas mengikuti alur kenikmatan tanpa kami mengontrolnya.

“Kak, aku nikmat sekali. Gocok terus kak. Jangan berhenti, aduhhh… Ahkhkh… Uhhh… Mmmhhh” ucapan Ida ketika aku semakin mempercepat gerakan pinggulku dan sesekali berhenti sejenak karena capek.

Namun, gerakan maju mundur sulit sekali kami lakukan karena kedua kaki Ida melingkar kepunggungku dengan eratnya, sehingga aku hanya mampu memutar kiri kanan. Tangan Ida terus merambah ke seluruh tubuhku, bahkan terkadang menjambak rambutku. Sementara tanganku juga bergerak terus mencari sasaran yg lebih nikmat. Kadang meremas-remas kedua payudara Ida dengan kerasnya dengan maksud agar Ida mau menurunkan kedua kakinya yg melingkar, tapi tetap saja seolah sudah diikat.

“Kak, rasanya aku mau keluar. Aku tak mampu menahan lagi. Biar yah kak? aaahhh… Ukhhh… Iiihhh… Mmmhhh… Aaakhh” kata Ida dengan suara seolah tdk ditahan-tahan lagi.

Aku hanya mengangguk sebagai tanda persetujuanku. Ia sedikit berteriak ketika aku berusaha mendorong keras k0ntolku sehingga terasa menyentuh benjolan daging dalam rahimnya. Bersamaan dengan gerakan cepat dan kerasku itu, sekujur tubuh Ida terasa gemetar. Tangannya dengan keras menjambak rambutku serta mencakar-cakar punggungku.

Namun hal itu tdk berlangsung lama, karena saat itu pula kurasakan ada cairan hangat menyelimuti seluruh batang k0ntolku, lalu ia melepaskan jepitan kedua kakinya di punggungku dan jatuh dengan lemas ke lantai bersamaan dengan melemasnya seluruh tubuhnya. Aku kira ia pingsan, tapi setelah kurasakan nafas dan detak jantungnya yg keras, aku yakin kalau ia hanya capek dan setengah sadar akibat kenikmatan.

Setelah Ida tdk berdaya lagi, aku berdiri lalu mengangkat kedua kaki Ida ke atas tempat tidur sehingga terlentang, meskipun k0ntolku belum menumpahkan cairan kenikmatan yg kental, namun aku biarkan saja dulu Ida istirahat karena waktu masih panjang yakni baru jam 7.30 malam. Kami berada di rumah itu sekitar 3 jam lebih. Alasan keterlambatanku pada istri, bisa kupikirkan sebentar setelah aku menyelesaikan tugas utamaku di kamar Ida. Sambil Istirahat, aku membakar sebatang rokok, biar lebih santai dan sedikit bijaksana pada Ida yg terlalu capek.

Sepuluh menit kemudian, aku semakin penasaran ingin merasakan nikmatnya jika k0ntolku masuk dan memuntahkan peluru ke dalam memek Ida. Aku sengaja bermaksud memuncratkan spermaku ke dalam memek Ida karena pengalamanku menunjukkan lebih nikmat dibanding muncrat di luar, apalagi aku tdk takut dibuahi oleh zat telur Ida, karena ia sudah keluar duluan. Karena itu, niatku hanya memuaskan diriku sendiri dengan cepat setelah Ida mengalaminya, agar ia tdk tambah capek lagi.

“Maaf kak, aku tertidur. Kukira Kakak juga tidur. Aku betul-betul tdk sadar tadi. Mungkin karena terlalu dibuai kenikmatan” kata Ida padaku ketika ia terbangun dan melihatku memainkan puting susunya dengan mulut dan tanganku secara bergantian.

Aku sangat terangsang memandang seluruh lekuk-lekuk tubuhnya yg telanjang bulat sejak tadi sambil mengisap rokokku. Setelah Ida memeluk tubuhku dan mencium pipiku, ia bertanya:

“Apakah kak juga merasa puas seperti aku?” tanya Ida serius.

“Aku puas menikmati tubuhmu dik, cuma aku belum sampai ke puncaknya” jawabku sambil memeluk Ida dan meletakkan paha kananku menindis memek montoknya yg belum banyak ditumbuhi bulu-bulu itu.

“Jadi kak mau lanjutkan untuk menuju ke puncak sekarang” tanya Ida sambil tersenyum, lalu kembali memelukku dengan erat.

“Sebelumnya aku mohon maaf dik Ida. Banyak sekali teknik dan gaya sex yg ingin kutunjukkan padamu, tapi kulihat Ida sudah terlalu capek dan sudah cukup menikmati perselingkuhan kita hari ini, maka aku rasa adik tdk keberatan jika ronde kedua ini hanya untuk kenikmatan pribadiku” kataku hati-hati pada Ida agar ia tdk tersinggung.

“Terima kasih kak atas kebijaksanaannya. Aku justru senang dan merasa berkewajiban melayani kak hingga puncak kepuasan. Masa sih aku senang sendiri membiarkan kak pulang dengan rasa penasaran tanpa kesan puas” kata Ida pasrah, bahkan merasa berkewajiban untuk memuaskanku.

“Terima kasih dik atas kesediaannya, mmm… Cup…” kataku lalu mengecup bibirnya berkali-kali sebagai tanda kegembiraanku.

Burung kenikmatanku yg berdiri mengacung sejak tadi, seolah memaksa tanganku untuk membalikkan tubuh Ida ke posisi nungging. Ida pun pasrah menerima tindakanku. Namun karena ia masih lemas, ia hanya bisa rapatkan wajahnya ke kasur dengan pantat diangkat tinggi-tinggi. Kali ini aku tdk banyak mempermainkan tubuhnya, karena aku memang tdk bermaksud memuaskannya. Kebutuhanku cuma satu yaitu menumpahkan spermaku ke dalam memeknya. K0ntolku yg berdiri keras segera kuarahkan masuk ke lubang memeknya dari belakang dan ternyata bisa masuk dengan mudah karena posisi pinggulnya terangkat tinggi-tinggi lagi pula masih sedikit basah sebab belum sama sekali ia melapnya sejak peristiwa yg baru ia alami.

“Kak, agak sakit kak. Aku kurang enak melakukan posisi seperti ini. Gimana kalau kak tidur terlentang lalu aku yg aktif menduduki burung kak? Nggak keberata khan?” tawaran Ida seolah tdk suka nungging.

“Tdk masalah dik. Posisi apa saja asalkan kak bisa muncrat” kataku sambil mengeluarkan k0ntolku dari dalam memeknya dan terus tidur dengan sedikit mengganjal pinggulku dengan bantal kepala agar posisi k0ntolku bisa lebih ke depan dan terasa lebih panjang masuk ke memeknya.

Ida mulai mengangkangiku sambil menguak kedua bibir memeknya dengan kedua tangannya, sementara aku membantu mengarahkan k0ntolku agar lebih mudah masuknya. Ternyata betul, tanpa kesulitan sedikitpun, k0ntolku masuk menyelusup damn amblas seluruhnya. Aku tdk tahu apakah Ida juga bisa merasakan kenikmatan atau tdk, tapi aku merasa nikmat sekali. K0ntolku terasa seolah dipijit dan diurut oleh sesuatu benda halus dan hangat.

Loncat-loncat sambil memutar pinggulnya nampaknya sudah jadi aktifitas khusus bagi Ida saat itu. Kepalanya melenggok kiri, kanan, maju dan mundur dengan rambut terurai. Nafas terengah-engah pertanda capek. Aku hanya membantu dengan mengangkat pinggul mengiringi gerakan pinggulnya. Ida nampaknya memaksa kekuatannya untuk memuaskanku semakin lama semakin cepat gerakannya. Beberapa menit kemudian, aku mulai ada tanda-tanda mau muncrat. Terasa dari cairan hangat mulai mendesak keluar seolah mengiringi aliran darahku. Tubuhku mulai mengejang yg dibasahi keringat.

Semakin lama, semakin cepat dan semakin keras gerakan Ida, rasanya semakin mengejang pula seluruh saraf-saraf kenikmatanku. Cairan hangat yg terasa dari ujung perutku semakin sulit ditahan dan dibendung, apalagi aku tdk bermaksud menahannya sebab itulah yg ketunggu-tunggu sejak tadi.

Suara “Auh… Uuukkhhh… Aiihhh” itulah yg senantiasa terdengar dari mulutku, sementara Ida hanya terdiam, namun tdk pernah berhenti bergerak dan bergoyang pinggul di atasku.

“Ida, terus, cepat, semakin keras lagi, ayo terus,” pintaku dengan napas terputus-putus pada Ida.

Namun baru aku mau minta izin pada Ida agar aku bisa keluarkan spermaku ke dalam memeknya, sperma itupun tumpah dengan sendirinya tanpa bisa lagi ditunda setapak pun. Bersamaan dengan itu, aku mengangkat pinggulku dan kepalaku untuk merapatkan tubuhku pada Ida dan meraih kedua payudaranya yg loncat-loncat dengan indahnya sejak tadi serta menarik-nariknya dengan keras.

Namun Ida membiarkanku, bahkan ia mulai juga melenguh seolah merasakan suatu kenikmatan. Baru aku mau melemaskan seluruh otot-ototku yg sejak tadi kejang-kejang akibat kenikmatan luar biasa, tiba-tiba Ida menyelusupkan tangannya masuk ke selangkangannya dan memegang k0ntolku yg sedikit mulai loyo seolah ia belum mau keluarkan dari memeknya. Aku tersentak kaget, karena aku tdk bermaksud membebaninya dengan kenikmatan lagi, apalagi jika sampai terangsang lagi. Bisa-bisa zat kelaminku dibuahinya.

Setelah kuyakini kalau Ida juga mulai terangsang, aku justru khawatir ia bisa kecewa jika tdk bisa sampai ke puncaknya. Aku sama sekali tdk menygka hal itu bisa terjadi di saat-saat kekuatanku habis terkuras. Aku tdk memiliki lagi modal untuk memuaskannya. Untung saja aku bisa sedikit memaksa agar k0ntolku bertahan di tempatnya mumpun masih ada sisa-sisa cairan di dalamnya sehingga masih sedikit berdiri. Aku membantunya memegang terus dan tdk banyak bergerak agar tdk terlepas dari mulut memeknya.

Dengan bantuan jari tengahku, aku gerak-gerakkan k0ntolku ke dalam memeknya dan ternyata Ida bisa menikmatinya. Untung saja Ida sudah berada di ambang pintu kenikmatan sehingga aku tdk perlu terlalu lama memainkan tanganku, apalagi ada kekhawatiran Ida akan kecewa jika aku berhenti tanpa ia puas. Iapun merapatkan wajah dan tubuhnya di atas dadaku sebagai tanda kepuasannya. Aku kembali lega dan bahagia karena ia bisa kembali merasakan kenikmatan kedua kalinya.

Setelah kami bangkit dari tempat tidur itu dan selesai membersihkan kemaluan kami, bahkan mandi bersama dalam kamar mandi khususnya, aku lalu kembali duduk di kursi. Sementara Ida duduk di atas pangkuanku sambil melingkarkan tangannya ke leherku dalam keadaan kami masih bugil

Entah bagaimana pikiran Ida ketika itu, tapi aku tak pernah berhenti memikirkan kalau-kalau Ida hamil, apa jadinya nanti. Kami bisa malu seumur hidup, apalagi jika ketahuan orang banyak.

“Kak, kenapa termenung? Apa kak kecewa dan tak puas atas layananku tadi atau menyesal memenuhi panggilanku ke sini?” tanya Ida saat aku terdiam sejenak memikirkan akibat perbuatan kami. Teguran Ida membuatku kaget.

“Tttitdk, aku hanya takut kamu tdk puas dan kecewa tadi” alasanku.

“Saya tahu yg kak pikir, pasti takut aku tdk bayar biaya penyusunan karya ilmiah itu, yah khan?” kata Ida mencoba menebak isi pikiranku.

“Bukan itu dik, aku sama sekali tak pikir ke situ. Lagi pula aku berat dan malu memikirkan hal itu setelah Ida memberiku segalanya” kataku.

“Lalu apa yg kak pikirkan? Jangan-jangan kak takut dimarahi istrinya. Jangan khawatir kak, khan masih belum larut malam. Kak bisa buat alasan yg bisa meyakinkan istrinya. Masa sih dekat istri kak bisa selingkuh denganku, lalu hanya soal pulang terlambat tdk bisa diakali” katanya.

Setelah puas bercumbu rayu di atas kersi, kami lalu sama-sama bangkit dan mengenakan pakaian. Setelah itu, Ida menarik laci mejanya dan mengeluarkan sejumlah uang dari dompetnya lalu menyodorkanku. Setelah beberapa kali kutolak dan kusampaikan rasa beratku, akhirnya aku ambil juga uang itu setelah aku tak berdaya menolaknya. Setelah kuhitung, justru lipat dua kali lebih banyak dari kesepakatanku semuka. Aku berusaha mengembalikan sisanya, tapi ia tetap memaksaku mengambilnya. Berkali-kali kuucapkan terima kasih dan berjanji akan mengenang jasa-jasa baiknya itu, tapi ia hanya senyum, lalu berkata:

“Kak, tolong jangan menolak pemberianku. Aku memberimu itu semata-mata karena bahagia, senang dan bangga bisa menikmati sex pertama kali dari pria yg sebenarnya sangat kukagumi, apalagi mau membantu dalam proses penyelesaian kesarjanaanku. Malah itu belum cukup kak” katanya padaku.

Kami saling berjanji akan memperaktekkan semua posisi sex di lain waktu dan sebelum aku pamit, ia memintaku agar aku menemaninya malam itu agar kami bisa mengulangi hubungan sex kami beberapa kali lagi. Tapi setelah kuutarakan resikonya pada istriku, akhirnya ia mengerti dan mengizinkan aku pulang agar perselingkuhan kami tdk bocor. Bahkan sebelum aku keluar dari pintu rumahnya, ia sempat menciumku dan berkata:

“Kalau aku hamil atau tdk ada laki-laki yg mau mengawiniku akibat hubungan kita ini, apa kak mau tanggungjawab mengawiniku?” tanya Ida seolah main-main karena ia ucapkan sambil tertawa.

Namun hal itu bisa saja terjadi sewaktu-waktu. Setelah aku kaget dan merenung sejenak:

“Apa boleh buat dik, itu namanya resiko yg dipertanggungjawabkan. Mudah-mudahan tdk terjadi dik, malah aku akan tanggungjawab carikan jodohnya dengan cepat ha.. Ha.. Ha,” jawabku sambil ketawa lalu pergi.

Setelah aku sampai di rumah, aku langsung menyerahkan uang itu pada istriku dan ia gembira sekali karena jumlahnya melebihi kebutuhan mendesaknya. Iapun sempat bertanya soal keterlambatanku pulang, namun seolah tak serius. Aku hanya beralan kalau ayahnya Ida memintaku bincang-bincang soal kemudahan penyelesaian kesarjaan anaknya, meskipun semua itu kebohongan belaka agar ia tdk curiga. Aku lalu ke tempat tidur dan aku memang tidur dengan pulas karena kelelahan.

Bagi teman-teman yg tertarik kisahku ini, silahkan ikuti terus lanjutan kisah seruku bersama Ida, karena hal ini nampaknya agan berlanjut beberapa kali lagi atau jika mau kenalan denganku, dapat menghubungi emailku. www.filmbokepjepang.net

Related posts