Fatamorgana Kuta
Fatamorgana Kuta I
Bulan menyembul malu-malu dari balik rimbunan pohon-pohon dan bangunan-bangunan hotel sepanjang pantai Kuta. Desiran angin memyentuh kulitku sehingga membuat bulu-bulu di tangan terangkat naik dan turun. Aku masih asyik menyaksikan deburan ombak memecah pantai. Suaranya terdengar menggelegar saat ombak beradu dengan ombak yang lain. Di belakangku suara musik pun beradu dengan kerasnya, seolah ingin menyaingi deburan ombak yang menggelegar. Sedikit pun aku tidak terusik oleh musik buatan manusia, pandanganku hanya tertuju pada ombak yang bergulung-gulung memecah pantai.
“Tolong, tolong!” jerit ketakutan datangnya dari arah punggungku, disertai gonggongan suara anjing.
Aku segera bangkit dan mengejar arah gonggongan anjing. Tampak seorang wanita berkulit putih bersender pada tembok hotel, sambil melempar batu-batu kecil pada seekor anjing kampung. Aku mengambil tongkat kayu dan melempar dengan keras. Buk! Kaing, kaing, kaing. Rupanya lemparanku tepat mengenai anjing tersebut.
“Terima kasih” ujar wanita tersebut seraya mengulurkan tangannya. Pesona wajahnya dan harum parfum yang keluar dari badanya membuat aku sedikit terpana.
“Sama-sama, Ibu tidak apa?” sahutku dengan penuh perhatian.
“Ya, tidak apa-apa, hanya sedikit takut” ujarnya.
“Ibu tinggal dimana?” Dengan niat baik aku sampaikan.
“Saya menginap di hotel ini” sambil tangannya menunjuk ke belakang. Persis pada posisi Ibu ini bersandar pada tembok hotel.
“Tadi teman-teman beritahu kalau mau cepat balik ke hotel lewat jalan kampung ini. Tapi apes ya, malah di gonggong anjing. ” Ada nada ketakutan pada suaranya.
“Kebetulan Bu, saya juga menginap di hotel ini, mau saya antar?” ujarku. Dia mengangguk tanda setuju. Kami pun bergegas meninggalkan jalan kampung tersebut. Takut kalau anjing-anjing lain keluar dan menggonggongi kita lagi.
Ibu Rossye, usianya sekitar empat puluh lima, mempunyai dua orang putra yang sudah duduk dibangku SMA. Bentuk tubuh Ibu Rossye sangat proporsional, berkulit putih serta hidungnya mancung, sekilas seperti orang-orang barat pada umumnya. Kalau memandang Ibu Rossye, tidak akan menyangka seperti sudah berumur. Orang bilang awet muda. Ya, Ibu Rossye memang awet muda dan cantik.
Kedatangan Ibu Rossye ke Bali, untuk melihat beberapa usahanya yang ada di Bali. Dia ke Bali bersama beberapa kawannya, suami dan putranya tidak ikut karena kesibukan masing-masing.
“Malam Pak, Bu” petugas loby menyapa kami.
Kami membalas sapaan petugas hotel tersebut seraya menuju front desk untuk mengambil kunci kamar. Lagi-lagi kebetulan memayungi kami, kamar kami persis bersebelahan.
Ibu Rossye tertawa kecil sambil mengatakan, “Lho Bi”, oh ya, namaku Abi, “Nggak tahunya kita tetanggaan di hotel ini ya” ujarnya sambil memainkan anak kunci.
Sambil tertawa aku katakan kepadanya, “Belum ngantuk kan?” Jam di tembok menunjukkan pukul 20:00 wita.
“Belum. ” Dia menggelengkan kepalanya.
“Mau ke loby sambil dengerin live music, Ibu cantik?” Aku menggodanya.
“Boleh, tuan tampan” Ujarnya menggoda pula, sambil tertawa.
Di loby tampak beberapa pengunjung menikmati alunan musik. Beberapa orang terlihat masuk ke dalam loby dengan dandanan seadanya. Biasa inilah Kuta, Bali. Di sini semuanya serba informal. Orang bebas masuk ke hotel bintang lima dengan dandanan apa adanya. Saat akan menduduki kursi, tampak seorang wanita cantik dan masih muda menyapa Ibu Rossye.
“Kenalin Bi, staf saya di kantor.” Ibu Rossye memperkenalkan wanita cantik tersebut.
“Tari” Ujarnya pendek. Kelihatanya seperti tidak suka kepadaku.
Dia mengambil tempat duduk persis di sebelah tempat duduk Ibu Rossye. Tangannya bersandar pada sisi tempat duduk dan tatapannya tajam ke arah pertunjukkan. Sesekali diliriknya Ibu Rossye. Aku dan Ibu Rossye berbicara dan bersenda gurau. Tampaknya kami makin akrab saja. Sesekali dicubitnya tanganku saat ada gurauanku yang membuatnya kikuk. Tari selalu menoleh saat aku dan Ibu Rossye bercanda, tatapannya tajam ke arah Ibu Rossye.
“Bu, saya sudah mulai ngantuk, saya balik duluan ya?” Tari kelihatan mulai jenuh atau memang benar-benar sudah mengantuk. Ibu Rossye hanya menganggukkan kepalanya.
“Mari Mas!” sambil melirik ke arahku dan beranjak dari tempat duduknya.
Suara musik masih mengalir dengan lancar, beberapa pasang mata dan telinga masih dengan setia mendengarkan alunan vokal dari penyanyi tersebut. Terlihat pasangan kekasih di sebelahku berasmara saling memagut bibir masing-masing. Tangan keduanya saling meremas alat vital masing-masing, seolah dunia ini milik mereka berdua. Aku dan Ibu Rossye hanya melirik kelakukan mereka. Dipegangnya tanganku seolah ingin mendapatkan dekapan mesra dariku.
Aku membalikkan telapak tanganku sehingga memberikan dekapan yang hangat kepada Ibu Rossye. Tangannya meremas telapak tanganku dengan sangat lembut. Sesekali aku pandang wajahnya. Wajah cantik yang membuat aku sangat ingin menyayanginya. Walaupun dalam hati kecilku, aku ragu akan memilikinya. Usiaku jauh terpaut sekitar lima belas tahun lebih muda darinya.
“Bi, balik ke kamar yuk? Saya mulai ngantuk.” Lamunanku terlempar masuk ke dalam. Menyadarkan aku bahwa aku masih di samping Ibu Rossye.
“Ya, saya juga udah ngantuk.” Secara reflek kata-kataku meluncur dengan sendirinya.
Setelah menandatangani nota pembayaran, kami segera beranjak meninggalkan keramaian dan hiruk pikuk suasana loby. Kami bergandengan tangan layaknya sepasang kekasih. Meninggalkan beberapa tatapan pasang mata, yang terlihat iri menyaksikan kami berdua. Suasana gang menuju kamar terasa sepi dan hening. Dihiasi dengan lampu yang temaram dan heningnya suasana menambah keinginan kami untuk saling mendekap. Hanya keberanian yang belum aku miliki. Ada perasaan sungkan untuk memulainya. Padahal sinyal-sinyal cinta dan birahi telah keluar memancar dari masing-masing badan kita.
Ibu Rossye mengambil kunci kamar berupa magnetic card dari dalam tas kecilnya. Dimasukkannya kunci tersebut kedalam slotnya. Tidak terlihat tanda berupa warna hijau menyala dari lampu kecil yang terpasang sebagai indikator bahwa pintu bisa dibuka.
“Abi, bisa bantu? Kog nggak mau terbuka ya?” Sambil menyerahkan kunci tersebut kepadaku.
Berkali-kali aku memasukkan ke dalam slot kunci tersebut tidak ada tanda-tanda lampu indikator menyala hijau.
“Nggak bisa Bu, saya panggil staf hotel saja?” Segera tanganku mengambil handphone untuk menghubungi staf hotel.
“Hm.. Jangan Bi, kasian Tari. Mungkin dia kecapean.” ujarnya sambil tangannya menahan tanganku untuk tidak menggunakan handphone.
“Mungkin dia lupa, saking capeknya, dia kunci dari dalam.” Ujarnya.
“Ya, ya, benar juga Bu, kalau terkunci dari dalam, nggak bisa dibuka dari luar.” Sahutku.
“Kalau Ibu nggak keberatan, di kamar saya saja.” Sambungku.
“Nggak ganggu kamu Bi?”
“Kamu kan juga perlu istirahat?” Ujarnya dengan nada keibuan. Aku hanya menggelengkan kepala sambil mengambil kunci kamar.
Kerlap-kerlip lampu di kolam renang terlihat dari jendela kamarku. Aku mengambil dua botol air mineral berikut gelasnya dan meletakkannya di meja. Kemudian televisi aku nyalakan, agar suasananya tidak kaku. Ibu Rossye hanya memandang kelakuanku.
“Kamu orangnya telaten ya Bi?” Sambil minum segelas air.
“Handbag dan kamar kamu ini, bersih. Kamar mandi juga, Aku senang lihat cowok bersih seperti kamu.” Ujarnya tanpa bermaksud memujiku.
“Bisa aja Ibu kita ini.” Sahutku dengan bercanda.
“Kan besok saya balik ke Jakarta, makanya mesti beres-beres dari sekarang. Besok biar nggak grasa-grusu gitu?” Ujarku saling mengerling padanya.
“Ih.. Genit kamu.” Sambil ketawa dia melempar tissu ke arahku.
“Ya.. Nggak kena.” Balasku sambil meledek ke arahnya dan mengibas-ngibaskan tissu yang dia lempar.
“Ya.. Kamu curang, mau dilempar udah tahu duluan. Kalau kamu dekat kena tuh.” Ujarnya sambil tertawa kecil.
“Ya, ya.. Nih saya dekatin. Biar Ibu cantik tidak marah..” Ujarku sambil mendekat ke arah Ibu Rossye, dengan jalan bak binaragawan.
Ibu Rossye tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan kelakuanku. Tidak cocok katanya, malah kayak porter-porter di airport. Katanya aku seperti orang yang membawa barang-barang berat. Tertawanya makin kencang saat aku merubah gaya, aku bergaya seolah-olah membawa beban berat. Wajah Ibu Rossye tampak semakin cantik dengan pipi yang merah menahan tawa.
“Aduh!” Aku berteriak dengan kencang dan meraba pergelangan kakiku, sambil menjatuhkan badanku di atas tempat tidur.
“Kenapa Bi?” Mukanya terlihat tegang dan segera menghampiriku.
“Nggak tahu Bu, kaki saya sakit sekali.” Sambil tanganku mengurut-urut pergelangan kaki yang sakit. Ibu Rossye meraba kakiku dan berusaha mencari penyebab sakitnya.
“Yang mana sakitnya Bi?” Tangannya meraba dan menekan dengan perlahan.
“Kayaknya disini deh Bu, sakitnya seperti berpindah-pindah. Tadi dipergelangan kaki, sekarang naik kemari, aduh tahu nih.” Ujarku dengan meringis dan memijat di sekitar lutut.
“Ini ya?” Tangannya memijat lututku.
“Bukan..” Sahutku.
“Ini?” Tangannya mulai memijat pahaku yang masih terbalut celana jeans.
“Bukan.. ” Sahutku dengan suara bergetar.
Tangan Ibu Rossye merambat naik mendekati daerah vitalku mencari-cari kemungkinan penyebab sakit di kaki ku. Aku mulai merasa kasihan dengannya. Sebenarnya aku hanya bermaksud untuk membuat lelucon.
“Bu, sakitnya bukan disana, tapi disini” Aku dekap jantungku layaknya pemain sinetron.
“Ih norak, norak. Tahu nggak kamu itu norak?” Sambil menjepit hidungku dan bergegas menghidar dariku. Aku hanya tertawa dan segera meraih tangannya.
“Bu, saya sayang Ibu.” Sahutku dengan lembut.
Ibu Rossye terpana dan memandang wajahku. Tanpa aku sadari dilumatnya bibirku dengan birahi. Ciumannya sangat menantang dengan posisinya diatas badanku. Benar-benar tipe seorang wanita pengusaha, selalu ingin berada diatas segala-galanya. Perlahan-lahan resliting celana jeans, aku buka agar alat vitalku tidak tertekan oleh banyaknya cairan birahi yang siap meledak. Ciuman panas Ibu Rossye membuat aku hampir kehilangan kontrol.
Aku ingin segera membuka pakaiannya dan memasukkan alat vitalku kedalam lubang kenikmatanya. Tapi hati kecilku mengatakan, jangan! Permainan ini harus pelan dan dinikmati. Kancing baju yang paling atas aku buka. Tanpa membuang waktu, tangan Ibu Rossye segera membuka kancing bajuku yang berikutnya. Terbuka semua bajuku, terlihat dadaku yang putih dengan sedikit bulu-bulu kecil menyebar disekitarnya.
Ciuman bibirnya mulai mengarah kebawah. Puting susuku dihisapnya dengan perlahan dan sesekali digigitnya. Sensasinya luar biasa! Aku benar-benar sudah terangsang berat. Tanganku mulai bekerja, kancing baju Ibu Rossye aku buka hingga terbuka semuanya. Terlihat buah dadanya menggantung disangga oleh sepasang BH berwarna putih. Benar-benar pemandangan yang sangat menggairahkan, kulit putih mulusnya sangat sesuai dengan BH yang dia kenakan.
Seluruh permukaan perutku dia cium, meninggalkan bekas-bekas ludah disekujur perutku. Kontolku berkedut-kedut, seakan ingin merobek-robek celana yang masih aku kenakan. Tanpa diperintah Ibu Rossye menjamah kontolku dengan kedua tangannya. Bibirnya menciumi ujung kontolku dan perlahan-lahan kontolku mulai masuk kedalam mulutnya. Ada perasaan merinding dan geli saat kontolku masuk kedalam mulutnya. Sesekali hisapannya naik keatas. Bermain-main pada ujung kontolku. Hm, begitu nikmat.
Aku menarik badan Ibu Rossye dengan perlahan. Menciumnya dengan liar, bagaikan nyala api berkobar-kobar. Kenikmatan menuju puncak birahi segera dimulai. Dalam keadaan tanpa sehelai benang pun menutupi, diterangi oleh lampu kamar hotel dan ditingkahi oleh suara-suara yang keluar dari televisi, Ibu Rossye memejamkan matanya saat kontolku dibimbingnya masuk kedalam lubang vaginanya. Posisinya berada di atas badanku. Buah dadanya menggantung bebas, bagaikan buah pepaya muda yang belum matang. Aku sendiri tidak habis pikir melihat buah dadanya yang masih kencang, dengan puting merah kecoklatan.
“Ah.. Enak sekali Bu..” Aku mengerang kenikmatan saat kontolku bergerak naik dan turun, mengikuti irama badan Ibu Rossye. Plak plak plak bunyi kenikmatan terdengar bersahut-sahutan.
“Bi, ah.. Ah.. Aku mau keluar bi.. Ah..” Badan Ibu Rossye makin keras bergoyang-goyang. Kadang pantatnya meliuk-liuk, naik dan turun menjepit kontolku. Rembesan cairan keluar dari dinding vaginanya membuat batang kontolku menjadi licin.
“Ah.. Aku kalau diatas emang cepat sekali keluarnya..” Rupanya puncak kenikmatan telah dilaluinya.
Ibu Rossye merebahkan badannya, menindih badanku sambil mencium dengan lembut. Tangannya memainkan puting susuku dan berusaha memegang kontolku yang masih keras menunggu babak selanjutnya.
“Gantian Bi, kamu di atas sekarang. Masih kuat kan sayang.?” Senyumnya menggoda.
Pahanya yang putih mulus terbuka lebar. Bibir vaginanya menyeruak keluar dikelilingi oleh bulu-bulu hitam kecoklatan yang ditata dengan rapi. Klitorisnya tersembul malu-malu saat lidahku bermain-main disekitar bibir vagina Ibu Rossye.
“Ah.. Enak sekali bi.. Truskan sayang..” Ibu Rossye mengerang kenikmatan, sewaktu mulutku menggigit dengan lembut klitoris yang menyembul dari atas vaginanya.
Badannya menggelinjang menahan geli, kedua kakinya tersentak-sentak ketika lidahku menjulur menusuk ke dalam lubang vaginanya.
“Ih.. Geli banget Bi..” Kepalanya terangkat melihat kelakuanku mempermainkan klitorisnya. Aku terdiam sesaat, sambil melihat kepada Ibu Rossye.
“Enak kan?” Sambil mencium dan menarik klitorisnya dengan mulutku.
“Auh.. Ih geli banget Bi.. Gila kamu..” matanya melotot kepadaku seolah-olah marah. Aku semakin menggodanya, klitorisnya kembali aku hisap sampai dalam.
“Aahh.. Ngg.. Nggak.. Aku nggak tahan sayang, please masukin punya kamu aja Bi..”
Bersambung . . . .,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,