Cinta abadi

 

Enam bulan sejak kepergian Ngatinah, hidupku terasa sepi. Bahkan kopi yang kubuat sendiri terasa sangat kecut hari ini. Angin panas di depan rumah seakan hendak masuk dan membakar daging-daging tua ini. Ahh Ngatinah, seandainya kau masih ada, tentu hidup tidak sesepi ini. Anak-anak yang sudah di negeri Jiran, justru tidak pernah mengingat kita, selain menunjukkan eksistensi mereka dengan selembar wesel.

Kulangkahkan kakiku ke luar rumah, menatap halaman yang dipenuhi dedaunan, menikmati angin panas yang seakan berebutan menggerogoti tulangku dan membuatku merasa linu dan pegal. Kududukkan tubuhku di dipan bambu kecil di teras. Kupandangi pohon-pohon bambu yang bergerak diterpa angin. Menikmati sore ini dengan Ngatinah, adalah sesuatu memori yang membuatku ingin segera pergi menyusulnya.

Kenangan saat perjuangan tempo dulu membangkitkan sejenak gairahku, kurasakan hangat Ngatinah muda membelai tubuhku di sela-sela dentuman bom dan desing peluru. Rambutnya yang tergerai bagaikan tirai malam yang menyelimuti dunia memberikan kehangatan di sela-sela keheningan sunyi malam dan suara serangga. Lekuk-lekuk tubuhnya yang sempurna mengingatkanku kepada film-film yang sering diputar Jepang masa itu. Film yang selalu dipropagandakan dengan bujuk rayu kenikmatan rasa persaudaraan dengan Nippon. Bibirnya yang merah masih meninggalkan kesan sensual, apalagi saat aku mengecupnya untuk yang terakhir kali.

Semua kenangan itu sejenak membuatku terharu, ingin rasanya meneteskan air mata, seandainya saja aku masih bisa. Namun tempaan hidup yang keras sebagai seorang tentara peta membuat perasaanku seakan beku terhadap yang dinamakan kecengengan.

Ngatinah, seandainya aku bisa kembali pada jaman itu. Dentuman granat nanas menyadarkanku, membuatku sejenak panik dan meraih tubuh telanjang Ngatinah dan menelungkupkannya di bawah kasur.
“Bangsat,” pikirku.
“Hampir saja.” Belanda gila.
“Mas, Tinah takut.”
“Tenang sayang, toh aku belum sempat mengelonimu. Tenang saja. Jangan keluar, masuk bunker, ajak bapak dan ibu.”
“Tapi kalau mereka tahu Mas di sini..”
“Sudahlah, cepat ke sana! Ribut saja, aku harus bergegas.”
Kuraih baju-bajuku. Bergegas mengencangkan ikat pinggang, dan meraih senapan lantakku yang terletak di meja. Dengan tanpa berpikir panjang, kukenakan topi petku dan mengambil langkah seribu keluar.
“Gus, ‘nang ‘ndi wae?” (Gus, kemana saja?)
“Wah, ‘jek enak-enak bareng Ngatinah.. asu tenan.” (Wah, masih enak-enak sama Ngatinah.. anjing betul)
“Edan kon iki, Londo nyerang kok malah ngentu.” (Gila kamu, Belanda nyerang kok malah bersetubuh)
“Raimu ngentu, lagi arep wis di-bom.. hahahaha.” (bersetubuh mukamu, baru saja mulai sudah dibom.. hahahaha)
“Hahahahaha..”
Parto menghentikan ketawanya, dan mendadak mataku perih terkena cipratan darah yang menyembur dari pelipis kepalanya.
“Bangsat!”
Mendadak aku menjadi kesetanan. Yang kusadar aku mendadak sudah berlari keluar dari benteng karung dan mengeluarkan kelewangku dari pinggang, membacokkannya ke segala arah, berharap satu atau dua buah kepala Belanda menggelinding. Kulompati mayat-mayat temanku yang bergelimpangan di jalan, demi Tuhan aku akan mati di sini, namun ketakutanku sudah lenyap.
“Allahu akbar!!”

Kurasakan air mata mengalir di pipiku, kenangan bersama Parto saat di desa terbayang sekilas di benakku, membakar emosi dan kenekatanku. Sesuatu mendadak menjatuhkanku ke tanah, tepat di saat aku merasakan sesuatu menembus paha kurusku. Sebuah kepalan tangan menghantam rahangku, dan segalanya mendadak menjadi gelap.

“Bocah.. moso.. wae”(Anak ini? Ada-ada saja.)
“Iyo.. edian tenan.. be’e”(Iya sudah gila mungin dia)
Gumaman-gumaman di sekelilingku membuatku sedikit tersadar. Kulihat sekelilingku, ternyata aku sudah berada di penampungan tentara di lorong sempit kamp palang merah.
“Oi, ‘cah edan, wis tangi awakmu?”(oi, anak gila, sudah bangun kamu?)
Kulirik Kapten Suryo, beberapa saat kemudian aku menangis menggerung-gerung. Aku berusaha bangkit berdiri, namun empat tangan yang kekar menahanku dan menjatuhkanku kembali ke tempat tidur.

“Tenang Gus, tenang.. wis mari, wis mari.”(tenang Gus, tenang.. sudah selesai, sudah selesai.”
Aku merasakan nyeri di paha kiriku. Dengan sedikit cemas, kutarik selimut bergaris yang menutupinya, dan alangkah bersyukurnya aku saat menyadari kakiku masih ada.
“Bejomu ono Dirman, coba ngga ono, wis dadi batangkon.”(untungmu ada Dirman, coba kalau tidak, sudah jadi bangkai kamu)
Kulirik Dirman. Dirman menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Tidak tahan lagi, kurangkul pinggangnya, seluruh takanan batin dan ingatanku akan kepala Parto yang meledak di depan mataku membuatku tak kuat menahan tangis. Aku cengeng, tapi aku tak kuat lagi.

Kami bersama-sama mendengarkan rencana menyerah Jepang terhadap sekutu. Suara penyiar radio bagaikan angin segar yang menyelimuti hati kami. Kupeluk Ngatinah di sampingku, merasakan hangat tubuhnya dan segar bau lidah buaya dari rambutnya.

Upacara pernikahan kami berlangsung khidmat dan aman. Tanpa desing peluru dan suara bom, seakan Allah menyaksikan dan memberkati kami malam itu. Saat penghulu membacakan akad nikah, kurasakan bagai di awang-awang, akhirnya satu mimpiku dapat kucapai, salah, dua, kemerdekaan bangsaku, dan menikahi Ngatinah. Pesta berlangsung cukup meriah, tak salah aku menanggap wayang semalam suntuk, hasil patungan bersama teman-teman. Kubayangkan apabila Parto ada di sini saat ini, tentu ia akan bahagia sekali. Segala-galanya yang membuatku resah kulampiaskan dengan meneguk tuak bersama teman-teman, bahkan Kapten Suryo pun terlihat sedikit mengabaikan keformalitasannya dan bergabung bersama kami. Kulihat dari ujung-ujung mataku Ngatinah yang bercanda bersama teman-temannya, ah betapa ia terlihat sangat cantik malam ini. Kulebarkan senyumku saat ia menatapku dan melengos malu-malu.

Kurasakan kepalaku gontai saat aku mencium bibirnya yang terbuka. Ah, tuak ini memusingkanku. Kubimbing dia ke tempat tidur. Kucium bau nafasnya yang sudah sangat akrab di hidungku. Seperti biasa, kubaringkan ia di dipan tuaku, menciumi lehernya yang jenjang dan kuning langsat, merasakan setiap rintihan dan desahan yang keluar dari mulutnya. Nafasku mulai memburu. Kubuka ikatan ‘kemben’nya, melemparnya seenaknya, dan menarik kain batik yang membungkus kakinya. Demi Allah, aku tidak pernah lupa untuk berdecak kagum setiap kulihat kakinya yang mulus dan tanpa cacat. Kuciumi pahanya yang mulus, kulihat rona wajahnya memerah, dan bibirnya tergigit oleh giginya yang putih dan kecil-kecil. Sambil tetap menciumi pahanya, kubuka bajuku. Kurasakan setiap getarannya saat kubelai tubuhnya, terasa dingin oleh hembusan angin malam yang menembus jendela. Tanpa menghiraukan sakit di pahaku, kulepas ikatan tali celanaku, dan kubuka rompi batik hijau transparan yang dikenakannya. Dengan nafas memburu, kubuka pahanya, dan kutekan kejantananku ke lubang kemaluannya. Ngatinah mendesah dan sedikit menjerit.
“Kenapa sayang? Bukankah ini yang selalu ingin kita lakukan, yang selalu kita impikan saat bersama-sama telanjang di balai-balai, saat berduaan di kandang sapi samping rumah Pak Umar.”

Gerakan pinggulku semakin cepat, kugeluti leher dan dadanya, menghisap puting susunya, menggigitnya, merasakan setiap cakaran di punggungku dan jambakan di rambutku. Sampai akhirnya tubuhku dan tubuhnya mengejang bersamaan. Kukecup bibirnya, kutelentangkan tubuhku, sejenak menikmati gubuk reotku yang seakan menjadi surga, dan kudekap Ngatinah yang menggelendot kelelahan di dadaku. Ah, betapa indah hidup ini.
Kuangkat kain celanaku sampai ke paha, melihat bekas kehitaman yang merupakan cacat yang selalu kubanggakan. Sejenak memoriku terawang lagi, saat tumor (begitu orang-orang berjubah putih itu menyebutnya) itu membuat Ngatinah tak berdaya dengan perut yang membesar, betapa pertama kali aku terbuai dengan setiap kemungkinan adanya tanda-tanda kehidupan dalam rahimnya. Kulihat ke kanan dan ke kiri. Kulangkahkan kakiku ke samping rumah, mengambil cangkul berkarat yang tergeletak di tanah. Kutujukan langkahku ke bawah sebuah pohon pisang di pekarangan. Setelah menghitung-hitung sebanyak 12 langkah, kuangkat cangkul itu dan sekuat tenaga kuhujamkan ke tanah. Kekuatan otot-ototku yang terlatih tidak membutuhkan waktu lama untuk menggali lubang berukuran 2×1 meter itu. Kuseka peluhku. Matahari mulai tenggelam, meninggalkan rona jingga di langit barat. Kubuang cangkulku dan melangkah masuk ke gubuk tuaku.

Mataku terbentur pada sebuah benda kebiruan yang tergeletak di lantai. Ah, hampir saja pikirku. Kuambil tas itu, dan kusimpan di lemari. Aku melangkah menuju ke kamar, sambil meneliti lantai-lantai kayu rumahku, memastikan tidak ada yang terlupa atau tertinggal. Kugenggam ujung-ujung plastik di hadapanku. Berat. Kupanggul bungkusan plastik besar itu di pundakku, dan melangkah keluar. Setiap upacara penguburan selalu ada doanya, demikian batinku, kulantunkan ayat kursi dalam hati. Damailah tenang di sorga nak.

Lupakan segala yang terjadi di dunia. Dunia ini kejam. Berbahagialah senantiasa. Demikian aku mengakhiri doaku, dengan sedikit bersenandung kurapikan lapisan tanah di hadapanku, berharap tidak seorangpun akan melihatnya. Dinding bambu kehitaman itu menambah mencekamnya suasana, suara anjing-anjing liar terdengar dari kejauhan. Masih juga belum bisa aku memejamkan mataku, terbelenggu oleh ingatan memang bukan merupakan bumbu tidur yang enak. Ingatanku melayang pada kejadian tadi siang, sunggingan di bibirku semakin lebar saat kuingat Minah yang meronta- ronta di bawah tubuhku. Rasanya kembali di saat perjuangan, tidak ada sesuatu yang mudah. Masih teringat betapa keras aku menamparnya, memecahkan sudut-sudut bibirnya yang merah, memercikkan darah yang terasa sangat nikmat saat kujilat. Terbayang pula di mataku, saat rok birunya tersobek dan menampakkan pahanya yang putih dan celana dalamnya yang berwarna merah muda, tidak salah kalau ia menjadi artis dangdut desa di usianya yang masih dini.

Masih terngiang jeritannya yang memilukan saat kejantananku menembus kemaluannya yang kecil dan masih mulus. Ah, betapa nikmatnya jeritan itu, bagaikan suara musik artis kobuki pada jaman jepang. mendayu-dayu dan membuatku terlena. Betapa kuingat bola matanya yang memutar saat kukeluarkan hasratku dalam kemaluannya. Dan terasa damai di hatiku saat kuingat tendangan kerasku yang mengenai rusuk kirinya begitu menyadari ia pingsan. Dasar bocah lemah, begitu saja tidak kuat, bahkan jugun ianfu yang berusia sepuluh tahun saja masih kuat menghadapi hasratku. Anak jaman sekarang memang susah, sudah terlalu manja ditelan budaya-budaya barat. Tapi untunglah, tas tadi cepat kusimpan, seandainya saja aku lupa.

Perlahan senyuman puasku mengantarku ke alam mimpi, mimpi berdansa bersama Ngatinah, dikelilingi musik Koes Ploes dan orkes melayu. Kubayangkan gadis-gadis muda, kembang-kembang desa menari eksotis di sekeliling kami, perlahan membuka baju mereka, menampakkan belahan dan sayatan di leher dan perut mereka, mengucurkan darah yang membanjiri lantai dansa, membuatku dan Ngatinah tertawa dan berjoged semakin kencang.
“Mas Agus, aku sayang kamu Mas.”
Kecupanku di bibirnya menandakan perasaanku yang dalam kepadanya.,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

TAMAT

Related posts