CEMBURU BUTA
CEMBURU BUTA
Aku merasa perkawinan kami akhirnya akan berujung dengan perceraian.
Aku adalah seorang pegawai negeri dan isteriku Ratih karyawati sebuah bank papan atas di sebuah kota provinsi, karena itu penghasilannya sudah tentu jauh lebih baik dari aku. Dan ini menjadi salahsatu sumber rasa frustrasiku.
Tetapi yang lebih menyiksa, kami yang sudah punya dua anak balita masih tinggal di rumah orang tua isteriku. Mertuaku orang yang cukup berada dan terpandang. Yang laki-laki pensiunan pejabat yang perempuan pensiunan guru. Kecintaan mereka pada kedua anak kamilah yang menyebabkan mereka menghendaki kami tinggal bersama mereka dan juga isteriku lebih suka meninggalkan anak-anak kami dengan mereka (yang juga punya pembantu), karena kami berdua bekerja. Lagipula mereka sudah berusia agak lanjut dan istriku adalah anak satu-satunya. Isteriku merasa bertanggungjawab untuk mengurus dan memastikan kesentosaan mereka di depan matanya setiap hari.
Tetapi ini menyebabkan batinku tersiksa. Kedua mertuaku itu sangat konservatif. Karena itu mereka menegakkan nilai-nilai alur-patut konservatisme di rumah mereka. Kami jadinya tidak bisa bercumbu di ruang tamu atau aku mengenakan kolor saja, atau meremas-remas tubuh sintal indah isteriku, atau melumat bibirnya manakala aku lagi bernafsu melihatnya. Kami hanya bisa melakukan itu di dalam kamar. Atau nonton video bokep. Aku harus melakukannya di ruang komputer sendirian. Padahal aku maunya nonton bersama isteri di ruang tengah sebelum bercinta. Isteriku tidak merasakannya sebagai kungkungan tetapi bagiku rasanya seperti hidup dalam kerangkeng.
Akhir-akhir ini keadaan semakin tidak tertahankan karena aku dan isteriku semakin sering bertengkar yang berdampak pada pengurangan jatahku sebagai suami. Awalnya dia menanya ada yang mengatakan kepadanya bahwa aku suka terlambat masuk kantor dan pulangnya sebelum jam kantor berakhir. Dia tak tahu bahwa sekarang ini di kantorku aku hanya kebagian meja kursi. Jadi orang buangan, tidak dikasi kerjaan. Berada di kantor adalah jam-jam yang menyiksa, ngobrol ngalor-ngidul dengan sesama BSH (Barisan Sakit Hati). Selain itu gaji bukan main kecilnya.
Kesal kujawab: “Yang mengatakan itu kepadamu barangkali mereka yang duduk di kursi empuk mengurus lahan basah.”
“Lahan basah atau bukan lahan basah, kamu tetap harus disiplin. Jangan makan gaji buta. Kamu kan di bayar negara. Kalau tidak betah berhenti, cari kerja lain,” katanya.
Darahku menggelegak. “Aku memang bermaksud mencari kerja lain. Kalau bisa kerjaan seperti yang dipegang Boss-mu. Gaji gede, punya sekretaris cantik dan sexy walau sudah ber-suami. Siapa yang tak mau lembur sampai larut malam.”
Muka isteriku merah padam karena marah. Dia memang sekretaris boss besar cabang provinsi dan terkadang harus lembur di masa-masa sangat sibuk seperti saat tutup tahun pembukuan.
“Hei jangan sembarang tuduh ya!!” teriaknya. “Memangnya aku ini perempuan murahan? Jangan begitu merendahkan walau aku hanya sekretaris. Aku ini sekolah lho. Sarjana aku ini! Prestasi dan kerjaku dihargai karena OTAK!! Bukan karena kecantikan!”, teriaknya yang jelas bisa terdengar oleh seluruh penghuni rumah termasuk pembantu. Aku berusaha menenangkan, minta maaf dengan merangkulnya tetapi dia merenggutkan diri melepaskan rangkulanku. Dan malam itu akupun dapat hukuman tak kebagian jatah suami.
Pertengkaran berulang di lain hari. Aku memang agak curiga pada boss-nya yang kelihatan sayang sekali kepadanya. Beberapa kali dia menyamperan sendiri isteriku untuk berangkat ke kantor bersama-sama, padahal ada mobil dinas yang jemput-antar. Entah mereka memang ke kantor entah ke tempat lain.
Dalam mencoba menghilanglan rasa frustrasiku yang semakin menjadi-jadi akupun menenggelamkan diri di cyberspace menyurfing internet. Dan tanpa terelakkan semakin tertarik pada penghuni lain rumah mertuaku itu. Arini.
Arini adalah satu-satunya sosok yang menyebabkan aku masih betah terus bertahan di rumah itu. Suaranya merdu kalau terdengar melantunkan potongan-potongan lagu dangdut yang dinyanyikan para penyanyi top di televisi selagi dia mandi atau selagi membantu pembantu di dapur atau selagi bermain-main dengan anak-anakku.
Rini adalah keponakan isteriku. Keponakan jauh. Orangtuanya mengerjakan sawah mertuaku di kampung. Dia sebenarnya diterima di SMU kabupaten, tetapi dia ingin sekolah di kota yang lebih besar, dan jadilah dia masuk sekolah negeri di kotaku dengan bantuan istri dan kedua mertuaku. Dan jadilah aku kenal dia, seorang gadis kampung yang setahap demi setahap melepas atribut yang men-ciri-kan kekampungannya dan beralih meniru gaya istriku. Sekarang Rini lebih sering mengenakan blujins dan T-Shirt. Kalau lagi bergaya bersama teman-temannya dia mengenakan tank top yang memperlihatkan lengan, leher dan dada atasnya yang mulus. Tetapi dalam pembawaan sehari-hari Rini masih gadis desa yang sering tersipu-sipu. Dia tidak berani bertatapan lama dengan aku. Kalau berteguran dia akan cepat-cepat menundukkan mata atau mengalihkan pandangan. Wajahnya cantik sekali dan bentuk tubuhnya sempurna memenuhi estetika keindahan. Dengan bibir merah sensual dia mirip isteriku sewaktu kami mula pacaran dan saling jatuh cinta.
Dan Arini pintar menyanyi. Lagu dangdut. Suatu hari waktu itu isteriku belum pulang dari kantor. Entah dimana kedua mertuaku. Suara Rini terdengar bening merdu saat dia melantunkan tembang lagu itu: Cemburu Buta. Lagu yang dia nyanyikan seperti menyindir aku, tapi aku justru senang:
Jangan-jangan cemburu buta .. jangan-jangan Jangan-jangan cemburu buta .. jangan-jangan … Tanpa alasan dan bukti nyata … Bisa-bisa kau salah menduga … Orang yang engkau curigai …. Tak pantas engkau cemburui ….
Ahh suara yang pas benar … seandainya dibina dan diarahkan saya yakin Rini bisa menjadi penyanyi dang-dut top juga.
Seandainya engkau tahu …. Siapa yang pergi bersamaku ….”Adduhhh, maut suaramu Rini!!”, teriakku dari kamar tempat aku mengutak-atik komputer. Nyanyiannya terhenti, rupanya dia malu. Aku keluar. Dia lagi bermain-main dengan kedua anakku. “Kok berhenti?”, kataku tersenyum lebar sambil mengambilalih anakku yang kecil yang menggapai ke arahku dari pelukannya. Dia tersenyum malu, “paman ngeledekin saja,” katanya lalu membawa anakku yang besar yang berusia 3 setengah tahun ke belakang. Dan di belakang kudengar dia melanjutkan lagu itu:
Seandainya engkau tahuuu …. Siapa yang pergi bersamaku …. uu.. Jangan-jangan cemburu buta .. jangan-jangan Jangan-jangan cemburu buta .. jangan-jangan .
Satu kali Rini dimarahi mertuaku yang perempuan dan aku bertengkar lagi dengan isteriku. Pasalnya dia mula-mula minta isteriku mengajari dia mengendarai scooter. Isteriku lalu minta bantuanku mengajari Arini. Aku berpikir lingkungan tempat kami tinggal, walau di kota provinsi tetap agak kolot juga. Lagi pula aku tahu banyak pemuda di lingkungan kami naksir sama Rini. Mereka bisa membuat gara-gara.
Karena itu aku membonceng Rini ke jalan sepi dekat pantai, disanalah baru dia kuajari dari awal mulai dari menstart dan memasukkan persnelling. Dia duduk di depan dan aku duduk mengangkang di belakangnya. Skuter mulai jalan, mulanya mengangguk-angguk tapi kemudian meluncur lancar walau lambat. Tanganku menggenggam punggung tangannya di stang, panggulnya di selangkanganku, dan pahaku mengapit kedua pahanya, dan hidungku di atas rambutnya yang berkibar ditiup angin malam. Darahku berdesir dengan situasi ini ditambah getaran mesin skuter yang menggelorakan birahi. Tetapi aku tahu Rini juga menyadari posisi tubuh kami yang sangat intim ini, karena itu aku berusaha untuk tidak melakukan apapun yang akan ditafsirkan gadis yang masih bersih ini sebagai memanfaatkan situasi. Aku tidak mau Rini menyimpulkan aku ini laki-laki kurangajar yang mengkhianati kepercayaan isteri. Sekalipun demikian skuter itu terkadang oleng sehingga aku harus menjepitkan kedua pahaku ke panggul dan paha Rini agar kami bisa kembali menyeimbangkan motor itu sambil kedua tanganku meremas punggung tangannya. Dan terkadang aku tak sadar mencium rambutnya yang berkibar ditiup angin malam. Harum.
Usahaku mengendalikan diri ternyata membuahkan hasil yang tak kusangka. Sesudah satu jam Rini sudah dapat mengendalikan skuter itu dengan baik. Dia mengontrolnya tanpa ragu pada kecepatan normal walau tetap bolak-balik di tempat yang sama di pinggir laut.
Lelah Rini ngajak berhenti dan memarkir skuter di pinggir pantai. Lalu kami turun ke pantai yang berpasir halus. Pantai itu sebenarnya tempat muda-mudi pacaran tetapi waktu itu sepi karena bukan malam minggu. Rini duduk rapat disampingku, badan kami bersentuhan.
“Dingin Rin?” tanyaku melingkarkan tangan di bahunya. Dia tidak menjawab, barangkali rangkulanku dibahunya membuat dia kikuk. Nafasku sesak. Aku ingin sekali mencipoknya. “Kamu pernah cipokan, Rin?”, tanyaku berbisik dekat telinganya.
“Belum,” bisiknya.
“Mau paman ajar juga?”
“Nanti tante marah.”
“Ya jangan kasi tahu dia dong”, kataku, dan seiring dengan itu tanganku mengangkat dagunya dan kudekatkan wajahku ke wajahnya. Dalam keremangan malam kulihat dia memejamkan mata dan bibir sensualnya merekah. Segera saja kutangkap dengan mulutku dan kucipok. Kurasakan tubuhnya gemetar. Kentara ini adalah cipokan pertama yang dia dapat dalam hidupnya. Setelah cipokan pertama lepas kususul dengan lumatan panjang dengan menghisap-hisap bibirnya yang selembut agar-agar. Nafasnya sampai tersengal-sengal. Lalu kuminta dia membuka mulut dan memberikan ujung lidahnya. Dia melakukan apa yang kuminta dan badannya berkelojotan sewaktu ujung lidah kami bertemu dan aku menghisap lidahnya itu. Lalu tanganku meremas dadanya dari yang kanan pindah ke yang kiri, mulut kami masih terus berkecupan. Tetapi sewaktu tanganku menyelusup ke bawah sweater-nya dan hendak menyelinap ke bawah bra-nya dia menahan tanganku, lalu melepaskan diri dari pelukanku. “Paman, ayo kita pulang”, katanya masih dengan nafas panjang-pendek sambil bangkit berdiri. Dan kami naik kembali ke atas menuju skuter.
Setiba di rumah, isteriku menanya aku, dan mertua perempuanku menanyai Rini kemana kami lenyap selama dua jam. Kukatakan bahwa aku mengajarnya mengendarai skuter di pinggir pantai. Kuingatkan bukankah dia yang nyuruh.
“Maksudku mengajari dia di jalan sekitar sini, bukan jauh-jauh di sana,” kata isteriku. Mertua perempuanku juga memarahi Rini, entah apa yang dia katakan di belakang.
Sejak itu Arini membuat jarak dengan aku. Dia tidak bicara denganku kalau tidak sangat perlu. Bahkan aku tidak lagi mendengar suara dia yang renyah menembangkan lagu dangdut kalau dia tahu aku lagi ada. Suatu kali dia sedang bermain-main dengan anak-anakku. Isteriku seperti biasa belum pulang dan mertua perempuanku lagi ke mesjid. Mertua lelaki mungkin lagi tidur siang.
“Jangan-jangan cemburu buta, jangan-jangan .. Bisa-bisa kau salah menduga ?” ,
dengan suara sumbang aku menyanyikan lagu itu. Mata kami bertemu dan dia tertawa terpingkal-pingkal. Kurasakan kegembiraan kembali menyelusup kedalam sanubariku. Rini ternyata tidak menyesali apa yang telah terjadi antara aku dan dia di pantai. Barangkali itu justru dia rasakan sebagai sesuatu yang sangat indah bagi jiwa remajanya. Dan aku sungguh ingin sekali menikmati lagi lumatan dan cipokan panas di pantai itu bersamanya, bahkan kalau dapat merasakan nikmat kegadisan-nya.
Hasrat syahwat-ku untuk mereguk nikmat tubuh perawan Arini dari hari ke hari semakin bergelora seiring dengan semakin gentingnya hubungan aku dan tantenya Ratih. Pertengkaran semakin menjadi-jadi dan tak habis-habisnya sehingga hubungan suami-isteri antara kami semakin jarang. Aku sering sekali menderita kekersangan.
Dan datanglah hari itu. Waktu itu pawai karnaval tujuhbelas agustusan. Karnaval hari kemerdekaan adalah tontonan yang menarik di kota kami. Ada parade militer lengkap dengan drumband. Ditambah drumband mahasiswa dan tiga drumband lainnya lengkap dengan barisan musik, disusul pawai alegoris dan kendaraan hias. Pokoknya ini adalah pertunjukan menarik yang sudah diberitakan di suratkabar sebagai bakalan sangat menarik. Seluruh penduduk kota tumplek berdesakan hendak menonton di kedua sisi jalan protokol yang dilewati. Penghuni rumah mertuaku juga tidak ketinggalan. Kedua mertuaku, Rini dan pembantu pergi ke pinggir jalan utama sekitar duaratus meter dari rumahku. Isteriku juga pergi bersama mereka membawa kedua anakku. Ketika dia menanya aku, kukatakan aku menjaga rumah saja, nyurfing internet. Aku memang tidak tertarik. Aku sedang kesal sudah seminggu tak bersetubuh dengan dia. Sebelumnya juga jarang dikasi.
Rumah sudah sepi dan suara drumband terdengar di kejauhan ketika kudengar ada orang membuka pintu dan masuk rumah. Rupanya Arini. “Kok pulang Rin, ada yang tinggal?”, tanyaku saat dia melintas bergegas ke belakang.
“Kebelet pipis,” katanya dan kulihat mukanya merah. Mataku mengikuti dia ke kamar mandi, dadaku berdebar. Rumah sepi sekali. Hanya ada aku dan dia. Kuikuti dia dan berdiri di pintu kamarmandi. Kudengar suara pipisnya berdesir.
Anehnya kulihat dia tidak terkejut ketika dia membuka pintu kamarmandi dan mendapati aku berdiri di situ. Hanya saja dia terus menunduk dan mukanya merah padam. Apakah dia mengantarkan dirinya karena tahu aku menderita karena dia sayang dan iba padaku, dan pipis hanya alasan?
Kuraih tangannya, kutarik dan kudorong dia ke dinding. Kuambil tangannya yang sebelah lagi dan kedua tangan itu kulingkarkan ke leherku. Tangannya tetap di sana sewaktu kulepaskan. Kuangkat dagunya dengan dua jariku. “Boleh Rin?” aku bertanya, tapi aku tak memerlukan jawaban. Mulut kami bertemu dalam lumatan panjang yang sambung bersambung. Lumatan demi lumatan, hisapan lidah demi hisapan. Dan Rini tidak lagi mandah seperti di pantai. Dia balas melumat mulut dan menghisap lidahku selagi tanganku mengusap lereng panggul dan meremas panggulnya.
Dan api birahi itu tidak berhenti sampai di sana. Kutarik dia ke pintu depan untuk menguncinya. Aku tak mau dia terlepas karena aku merasa aku akan memperoleh keperawanannya hari ini. Karena itu dia terus kupegang. Masih berdiri di pintu kuserang lehernya dengan ciuman-ciuman bernafsu, lalu kutarik tank-topnya melewati kepalanya lalu kutanggalkan bra-nya dengan melepas kaitan di punggung. Sekarang dadanya yang kuserang dengan jilatan, remasan tangan dan sedotan pada putingnya. Dia merintih-rintih dengan nafas memburu seperti nafasku yang juga memburu dipacu hormon testosteron.
Lalu kulepas kaitan blujinsnya, lalu risleting blujins itu. “Kita ke kamar ya sayang?” bisikku dengan syahwat menggelegak. Dengan sebelah tangan memegang bra dan tank topnya kubimbing dia ke kamar tidurku. Tetapi dia memrotes, tak mau ditarik masuk. Lalu kutarik dia ke kamarnya sendiri. Ku kunci pintu kamarnya, lalu kuangkat dia ke tempat tidurnya dan kududukkan dia di pinggir ranjang.
Mudah meloloskan blujins-nya yang sudah terbuka ritsletingnya, sekalian kutarik dengan celana dalamnya. Dan vagina yang indah terpampang di depanku. Tak menunggu lama aku berjongkok menciumi meqi cantik itu beserta rambutnya yang lebat. Dia terperanjat menolak kepalaku sewaktu lidahku membelai labia dan klitorisnya. Rupanya dia tidak pernah mengira orang akan melakukan itu. Tapi kedua pahanya yang padat sudah kurangkul erat dan aku melanjutkan jilatanku seraya melepas pakaian. Dia mendesah dan merintih.
Kutinggalkan dia sebentar saat aku menanggalkan celana dan celana dalamku. Lalu kuangkat dia dan kubaringkan di tempat tidur. Telanjang bulat seperti dia aku menyusul naik mengambil posisi diantara kedua pahanya. Dia tekuk lututnya ke atas dan dia kangkangkan untuk memberi tempat bagi panggulku. Lalu dengan sebelah tangan bertumpu di samping lengannya sebelah tanganku menuntun penisku mencecah celah vaginanya yang sudah basah oleh lendir birahi. Kuusapkan kepala penisku di sana naik ke kelentit, turun membelah labia minora dan turun lebih jauh ke mulut liang nikmatnya. Dan kulepaskan tuntunan tanganku. Kini kedua tanganku bertelekan di samping kedua bahu Arini. Kukecup dan kulumat lagi mulutnya. Kuciumi lagi leher dan juga belakang telinganya. Kuhisap lagi lidahnya dan kuremas lagi dadanya.
“Paman ambil perawanmu ya sayang?”, bisikku.
“Kawini aku ya Paman?”, bisiknya lirih.
“Ya sayang, akan tiba saatnya,” kataku.
Di kejauhan kami mendengar drumband baru yang makin mendekat, tapi kami tidak peduli. Kami sedang hendak menikmati karnaval yang jauh lebih asyik. Karnaval di pintu sorga. Aku tahu Arini meninggalkan pawai karnaval itu untuk mempersembahkan harta-miliknya yang paling berharga demi rasa sayangnya padaku. Dia diam-diam jatuh cinta padaku dan ingin memiliki aku, merebut aku dari tangan tante-nya.
Tidak terlalu sulit bagi kepala penisku untuk merobek selaput daranya. Hanya dengan satu sentakan menusuk, gerbang hymennya bobol dan penis-ku terpuruk sepertiga. Lalu belum lagi berakhir ringisan perihnya sudah kususul dengan tikaman kedua yang membuat dua pertiga batang penisku tenggelam. Selaput daranya sudah tidak bersisa lagi. Sudah porak poranda seluruhnya. Lalu kutikam lagi sampai ke pangkal. Aku sudah berpengalaman memerawani isteriku seab itu aku tahu Arini tidak akan terlalu lama merasa perih.
Setelah diam sebentar akupun mulai menggoyang keluar masuk menggenjotnya. Dan Arini merangkul leherku dengan mesra penuh rasa cinta. Lama juga kami mengharungi kenikmatan sampai Rini mengejang. Tangannya merangkul tubuhku kuat-kuat. Kedua pahanya merangkul panggulku, dan kakinya memiting pahaku. Mulutnya melumat mulutku sewaktu aku merasakan cairan orgasmenya menyemprot melumari seluruh batang kejantananku dan tak lama akupun juga takluk memuntahkan spermaku dengan denyutan-denyutan nikmat dalam liang teruk vaginanya.
Persetubuhan nikmat antara kami berlanjut sampai sekarang. Kalau bertengkar dengan isteriku, aku masuk membenamkan diri di kamar komputer, dan setelah malam makin larut aku masuk ke kamar Rini yang tidak pernah dia kunci. Dan dia menyambut dengan layanan cinta kasih layaknya istri setia. Sebelum pagi aku kembali ke kamarku.
Sejak itu aku lebih bahagia. Kecemburuan berkenaan dengan isteriku Ratih tidak lagi sangat mengganggu pikiranku. Karena berceraipun, aku memiliki Rini yang lebih cantik dan lebih mencintaiku. Mudah-mudahan saja perkawinan kami dapat bertahan sampai Arini tammat dan melanjutkan ke perguruan tinggi. Atau sampai dia mendapat gelar sarjana, atau sampai kami kepergok oleh isteri atau mertuaku, atau sampai isteriku menyadari bahwa pil anti hamilnya hilang satu set setiap bulan.
Aku tak peduli karena aku sekarang tidak lagi kebagian meja dan kursi kosong di kantorku. Aku sekarang kepala dengan posisi basah. Cerai dengan Ratih aku kawini Rini. Akan kuberi dia kesempatan terus sekolah dan kuliah. Tapi dalam keadaan yang sekarang aku juga puas. Aku masih bisa menyetubuhi isteri cantik. Kalau bertengkar aku menyetubuhi Rini yang lebih cantik dan lebih segar.
Karena itu aku tidak tertarik lagi hendak pindah dari rumah mertua. Rumah mertua adalah sorga. Dan Arini juga bahagia. Sekali-sekali terdengar dia menyanyikan lagu dangdut itu sambil tersenyum melirik padaku penuh arti:
Jangan-jangan cemburu buta .. jangan-jangan Jangan-jangan cemburu buta .. jangan-jangan .. Tanpa alasan dan bukti nyata …. Bisa-bisa kau salah menduga …. Orang yang engkau cemburui .. Tak patut engkau curigaii … iii .. Jangan-jangan cemburu buta .. jangan-jangan ..Jangan-jangan cemburu buta .. jangan-jangan .. Tanpa alasan dan bukti nyata. Bisa-bisa kau salah menduga…
TAMMAT,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,