Cerita Bokep Kisah Bunda Erna
– Saat ini aku merasa nasibku lebih tentram sejak menjadi istri Sulaeman ( yang biasa kupanggil Kang Eman), yang umurnya 15 tahun lebih tua dariku itu. Terbukti waktu menjadi istri Yadi, nasibku lebih bebas, segala keperluan nasib pun tidak ketidak lebihan. Tapi ada yang tidak lumrah dalam perkawinan itu, sebab sebelum menikah denganku, Yadi telah menjadi suami adik kandungku (Erni). Sebab itu, hatiku rutin menanggung beban berat, takut kalau sebuahsaat statusku diketahui oleh orang tuaku. Takut kalau aku dianggap mengganggu rumah tangga Erni.
Bahkan Mariam pun kuwanti-wanti semakin, supaya jangan hingga membocorkan rahasiaku kalau kebetulan ia bertemu dengan Papa alias Mama. Maka ketika Yadi memperkenalkan perceraian dengan cara baik-baik, lalu menyiapkan calon suami yang dianggap baik olehnya, aku pun langsung setuju saja. Maka terjadilah proses pendek tapi bermakna besar bagi kenasibanku ini. Bahwa aku bercerai dengan cara baik-baik dengan Yadi, kemudian menjadi istri Kang Eman yang usianya jauh lebih tua dariku itu. Yadi pun tidak mau mengganggu gugat segala harta benda yang telah diberbaginya padaku.
Ia cuma menyarankan supaya kedua rumah kosku itu tidak dimunculkan terhadap Kang Eman, bahkan mobilku pun tidak usah dipamerkan terhadap suami baruku itu. filmbokepjepang.net Jadi ketika aku menikah dengan Kang Eman, aku bersikap seolah tidak punya apa-apa tidak hanya dari perhiasan yang kupakai. Sementara harta benda yang kumiliki dari perkawinanku dengan Yadi, kutitipkan terhadap Dayu. Kedua rumah kosku itu pun kuserahkan pengelolaannya terhadap Dayu. Hanya sesekali aku memeriksa persoalan keuangannya. Serta Dayu terbukti wanita yang sangat dapat dipercaya.
Setiap kali aku datang memeriksa pembukuannya, aku merasa managemen yang Dayu jalankan membikin kedua rumah kosku itu bertambah sehat. Seusai menghuni rumah yang disediakan oleh suami baruku, aku merasa bahwa aku tidak jatuh ke tangan yang salah. Sebab Kang Eman sangat menyayangiku, bahkan cenderung memanjakanku. Maklum usiaku jauh lebih muda darinya. Lebih dari itu semua, Kang Eman pun tergolong seorang pengusaha yang berhasil, walau bisnisnya agak tradisional (memproduksi minuman tradisional dalam kemasan botol serta gelas plastik).
Dari perkawinannya dengan almarhum istri pertamanya, Kang Eman mempunyai dua orang anak cowok. Yang besar telah diterima di sebuah perguruan tinggi populer tapi belum mulai kuliah, sementara yang kecil baru naik kelas 3 SMA. Anak tiriku yang besar bernama Prima Pratama (mungkin sebab anak pertama), sementara anak kedua bernama Dwinanda (mungkin sebab anak kedua). Anak pertama biasa dipanggil Pri saja, sementara anak kedua biasa dipanggil Nanda. Kedua anak tiriku itu tampak bahagia dengan kehadiranku sebagai pengganti ibu mereka yang telah tiada. Mereka sangat baik padaku.
Kang Eman pun menyuruh kedua anaknya itu terbuktigilku Bunda, sementara Kang Eman sendiri dipanggil Ayah oleh kedua anaknya itu. filmbokepejpang.net Yang melegakan hatiku, kedua anak tiriku itu tidak sempat tersesat pergaulannya. Jadi mereka tidak sempat mengetahui narkoba, bahkan merokok pun tidak. Punya anak cowok di zaman kini terbukti tidak gampang mengawasinya. Kalau salah didik serta pengawasannya, mungkin saja tenggelam ke dalam arus pergaulan yang tidak sehat.
Meski belum punya anak, aku merasa bahagia mendengar Prima serta Nanda terbuktigilku Bunda. Biarlah mereka menganggapku sebagai pengganti ibu mereka yang telah almarhumah, walau usiaku baru 30 tahun. Keseharianku di rumah ini lumayan nyantai. Sebab ada 3 orang pesuruh yang tugasnya tidak sama-beda. Cicih bertugas bersih-bersih rumah serta pekarangan depan, lumayan tidak sedikit juga tugasnya, sebab rumahnya 3 lantai serta luas tiap lantai sama. Sari bertugas masak serta cuci piring. Cucun bertugas mencuci pakaian serta menyetipsa. Ada juga pesuruh pria, Japri namanya.
Ia bertugas khusus untuk memelihara taman serta kebun yang terletak di belakang rumah. Tidak sedikit juga pohon buah-buahan di belakang rumah, yang wajib dirawat tiap hari. Apalagi di musim kemarau, wajib rajin menyirami hingga tanahnya sangatlah basah. Tanaman hias apalagi, wajib diperperbuat dengan rajin serta cermat. Ada masanya wajib diberi pupuk, supaya tumbuhnya tetap subur. Rumah besar serta megah ini terletak di kota kecamatan.
Hanya kota kecil yang belasan kilometer jaraknya kalau mau menuju kota besar. Di kecamatan ini, telah tidak sedikit rumah yang besar serta modern bentuknya.
Tapi mungkin rumah kita ini yang terbesar serta paling megah. Berbagai mobil yang dimiliki oleh suamiku juga mengikuti trend masa kini, walau tiada yang semahal mobil punya Yadi, mantan suamiku. Sebelum menikah dengan Kang Eman, yang usianya telah 45 tahun lebih itu, satu-satunya kesangsianku merupakan persoalan seksual. Dapatkah ia memberiku kepuasan batin seusai menjadi suamiku ? Tetapi seusai menikah dengannya aku merasa tiada persoalan dalam faktor yang satu itu. Sebab ia tetap perkasa serta mampu memberiku kepuasan.
Hanya saja ia tidak jarang ke luar kota, sebab pola bisnisnya jauh tidak sama dengan pola bisnis Yadi. Yadi mempraktekkan manajemen modern, segala sesuatu diserahkan terhadap the right man on the right place, sementara Yadi hanya mengawasi saja dari kejauhan. Serta hanya sesekali Yadi turun ke lapangan. Kang Eman justru tetap berpatokan pada pola-pola tradisional. Ia rutin ngecek stock barang di supermarket alias mall alias hotel-hotel. Lalu ia mencatat di mana saja yang stocknya telah menipis alias habis serta telah mulai wajib dikirimi barang. Katakanlah usaha suami baruku itu segala dikerjakan sendiri. Serta aku tidak berani memberbagi saran apa pun, sebab takut membikinnya tersinggung serta merasa digurui.
Padahal aku sempat bekerja di perusahaan asing yang lumayan besar di Jakarta, jadi aku tahu tentu bagaimana langkah- langkah bisnis perusahaan itu. Yadi juga meperbuat faktor yang sama. Semua pekerjaan diserahkan terhadap ahlinya, sementara Yadi hanya mengawasi saja lewat internet. Tidak jarangnya Kang Eman mengurusi bisnisnya di berbagai kota yang jauh dari kotaku, terkadang membikinku kesepian. Tapi aku berusaha untuk menindas perasaan kesepianku dengan mencari kegiatan di rumah. Umpama dengan mempraktekkan bikin kue sendiri, dengan resep yang kuambil dari internet.
Masakan-masakan Eropa pun kucoba untuk memasaknya sendiri, juga berdasarkan resep yang kuambil dari internet. Pada waktu suamiku pulang, kuhidangkan kue-kue buatanku yang kusimpan di kulkas itu. Juga pada waktu kuhidangkan steak buatanku sendiri, dirinya kelihatan bangga punya istri yang “trampil” seperti aku ini. Aku bahagia juga dapat menyenangkan Kang Eman yang begitu menyayangiku. Serta perkawinanku dengannya terasa sebagai perkawinan yang normal. Bukan perkawinan berpersoalan seperti waktu menjadi istri Yadi dahulu. Lalu…apakah perkawinanku dengan Kang Eman berlangsung mulus tanpa cela sedikit pun ? Ya…selama berbulan-bulan menjadi istri Kang Eman, tiada persoalan sekecil apa pun, kecuali hasrat birahiku yang terkadang menggeliat-geliat sendiri pada waktu suamiku sedang di luar kota. Hingga pada sebuahsaat…. Pagi itu aku baru berakhir mandi serta mau berdandan sebab mau pergi ke mall, sekalian mau membeli karpet kamarku, untuk mengganti karpet lama yang tampak telah kusam serta gundul-gundul di sana-sini. Saat itu aku baru mengenakan celana dalam, lalu berkaca di depan cermin sambil mekualitas diriku sendiri seobjektif mungkin. Tiba-tiba terdengar suara di sampingku, “Maaf Bunda…ada paket yang…yang ha…wajib ditandatangani sama Ibu dulu…ma..maaaf…” Suara Prima terdengar tersendat-sendat, mungkin sebab kaget serta gugup menonton kondisiku yang belum mengenakan pakaian lengkap.
Aku terkejut. Saking asyiknya memandang bayanganku di cermin besar itu hingga tidak terdengar bunyi langkah Prima memasuki kamarku. filmbokepjepang.net Tidak hanya daripada itu, bunyi musik yang kusetelkan di dalam kamarku ini mungkin terlalu kencang, jadi langkah Prima tidak terdengar. Dalam kaget kututupi sepasang payudaraku dengan kedua tanganku. Serta bersikap biasa-biasa saja. Bukankah cowok 18 tahunan itu telah kuanggap anak sendiri ? “Paket dari Batam ?” tanyaku tanpa berani mengambil resi yang wajib kutandatangani itu. Sebab kalau kuambil resi itu, berarti tanganku bakal bergerak menjauhi payudaraku. Serta itu berarti payudaraku bakal terbuka di depan mata anak tiriku. “Iya Bunda.” “Ya udah simpan resinya di meja itu. Ibu mau berpakaian dulu.” Prima meletakkan resi itu di meja kecil. Dan aku bergegas mengenakan kimono, tanpa mengenakan beha terlebih dahulu. Lalu kutandatangani tanda bukti pengiriman dari perusahaan ekspedisi itu.
Prima tetap berdiri di ambang pintu kamarku, lalu kuserahkan kertas itu padanya. Serta ia bergegas menuju ruang depan. Kemudian kembali lagi ke kamarku, mendampingi paket kiriman dari Batam, dari Mami tersayangku. Sepintas seperti tidak ada persoalan pagi itu. Tetapi sejak saat itulah sikap Prima jadi lain dari biasanya. Sejak aku menjadi istri Kang Eman, ke mana-mana aku suka dikawani oleh Prima. Terkadang aku sendiri yang nyetir, terkadang Prima yang nyetir.
Sebab walau usianya baru 18n tahun, ia telah mahir mengemudikan mobil. Biasanya, kalau sedang menemaniku pergi-pergian, Prima suka tidak sedikit bicara mengenai apa saja. Tergolong soal kuliahnya yang baru mulai di semester pertama.
Tapi sejak pagi itu, sejak Prima nyelonong ke dalam kamarku serta memergokiku cuma bercelana dalam saja itu, sikap Prima jadi tidak sama dengan biasanya. Aku heran juga. Serta sempat menanyakannya pada sebuahpeluang, ketika Prima sedang “mengawalku” ke sebuah mall. Di sebuah café, aku mulai berusaha membalasnya, “Kamu kenapa Pri? Akhir-akhir ini keliatannya kayak yang murung gitu ? Ada sesuatu yang membikinmu kecewa…atau ada sesuatu yang membikinmu marah ?” “Ah…gak ada apa-apa Bunda.” “Bunda sampe mikir, jangan-jangan kalian tu marah alias sakit hati sama bunda.” “Iiih…gak Bunda.
Mana mungkin saya sakit hati sama orang sebaik Ibu ?!” “Semakin kenapa kalian kok gak seperti dulu lagi ? Biasanya suka ngajak ngobrol, ngomongin yang lucu-lucu serta sebagainya.
Tapi kini kalian sangat berubah. Seperti mikirin sesuatu…mikirin persoalan berat…” “Ah gak ada apa-apa Bunda.” “Kalau pun ada apa-apa, ngomong dong sama bunda. Siapa tau ibu dapat mencari jalan keluarnya. Jangan dipendam sendiri persoalannya.” “Iya Bunda. Terimakasih,” ia mengangguk lalu menunduk lagi. Aku malah jadi curiga. Ada apa sebetulnya ? Kenapa sikap Prima jadi berubah begitu? Jangan-jangan dirinya menggunakan obat-obatan terlarang alias apa pun itu. Yang jelas aku wajib tahu, kenapa sikapnya jadi berubah drastis begitu ?! Kemarin hari kemudian, ketika Prima sedang kuliah, aku sengaja menggeledah kamarnya. Setiap aspek kuperiksa, tergolong laci-laci meja tulis serta lemari pakaiannya. Bahkan hingga ke kolong tempat tidurnya kuperiksa. Tapi tidak kutemukan apa-apa.
Aku belum puas juga. Ketika pandanganku tertumbuk ke sebuah laptop di atas meja tulis, iseng-iseng kubuka serta kuaktifkan laptop itu. Kuperiksa isi laptop itu. Tidak ada sesuatu yang menyimpang. Tapi ketika kulihat ada folder berjudul Khayalanku, iseng-iseng kubuka folder itu. Nyatanya isinya seperti curhat Prima pada dirinya sendiri…. Tahukah dirinya kagumku padanya di pandangan pertama? tahukah dirinya hari-hari berikutnya jadi penuh halusinasi di jiwa mentah ini? tetapi aku tahu, ini tidak boleh.
Aku tahu ini harus selalu berbalut putih bersih meski putih yang menyiksaku karena bayang indah itu menggoda selalu dan payah kutepiskan Pagi itu makin nyata bahwa sosok itu terlalu indah tuk dipalingi Tapi nafasku jadi sesak karna ingat, ini tak boleh meski hasrat kian menggila walau aku terombang ambing bak perahu patah kemudi di tengah samudra nan sarat gelombang oh, ampuni aku karna aku semakin mengagumimu meski tahu ini salah Aku tercenung di depan laptop itu. Dengan benak penuh tanda tanya.
Samar- samar aku menemukan jawabannya. Tapi aku kah yang dikaguminya itu ?. Kalau merujuk kepada kata-kata terakhir (meski tahu ini salah), mungkin sosok yang dimaksud itu memang aku. Lalu apa yang harus kulakukan ? Entahlah. Aku jadi bingung sendiri. Dan laptop itu kumatikan lagi. kemudian keluar dari kamar anak tiriku. Dan masuk ke dalam kamarku, dengan perasaan bercampur aduk.
Pertanyaan itu pun makin membulat. Tak lagi terpecah-pecah. Seandainya ia mendambakanku, apa yang harus kulakukan ? Bukankah aku ini sosok pengganti ibu kandungnya ? Apakah ia merasa makin terobsesi olehku sejak melihatku cuma bercelana dalam saja pada waktu mau memberikan tanda bukti pengiriman paket dari Mama itu ? Usia Prima sudah 18 tahun. Pasti sudah mulai membayangkan lawan jenisnya. Dan wajar saja seandainya ia tergiur olehku, karena aku punya wajah dan tubuh yang punya daya tarik kuat, sehingga ayahnya pun mengagumiku sejak lama sebelum menjadi suamiku. Lagipula aku ini bukan ibu kandung Prima…! Tapi kenapa sikapnya harus berubah drastis, menjadi pendiam dan pemurung seperti itu ? Lalu aku ingat salah satu artikel psikologi, yang antara lain mengutarakan, bahwa tiap orang punya sikap berlainan untuk menanggapi sesuatu yang dianggap luar biasa bagi mereka.
Lalu…aaaah…daripada berkepanjangan memikirkan semuanya itu, kalau aku memang merasa kasihan kepada Prima, yang mungkin merasa tersiksa sendiri dengan obsesinya itu, kenapa aku tidak membuktikannya saja. Kenapa aku tidak mencari jawaban pada dirinya langsung, tanpa harus bertele-tele memikirkannya? Tanpa keraguan lagi, ketika Prima tampak baru pulang kuliah, kupanggil ia ke ruang depan. Dan kataku,
“Nanti malam, kalau yang lain sudah pada tidur, kamu masuk diam-diam ke dalam kamar bunda ya. Tapi awas…jangan sampai ada yang lihat. Terutama Nanda jangan sampai tau.”
“Iya…iya Bunda…tapi…ada apa Bun ?” tanya Prima dengan tatapan bersorot ragu.
“Ada sesuatu yang sangat rahasia dan hanya kamu yang boleh tau.”
“Iya Bun.”
“Pintu kamar bunda takkan dikunci. Kalau bunda udah ketiduran, bangunin aja ya.”
“Iii…iya Bun,” Prima mengangguk, meski masih tampak bingung.
Saat itu hari sudah menjelang malam. Aku pun masuk ke dalam kamarku, lalu mandi sebersih mungkin. Beberapa saat kemudian, aku dan kedua anak tiriku menyantap makan malam di ruang makan. Nanda kelihatan seperti biasa saja, sebelum mulai makan ia menepuk-nepuk pinggiran meja makan, sambil menggoyang-goyang kepalanya, seolah sedang memainkan alat musik seperti bongo, combo dan sebangsanya. Dan Prima tampak serius. Langsung makan tanpa menengok ke kanan kirinya lagi.
Saat itu suamiku sedang berada di Palembang. Menurut telepon yang kuterima tadi siang, suamiku akan melanjutkan perjalanan ke Pekanbaru, lalu ke Medan, kemudian pulang. Menurut perkiraanku, suamiku baru akan pulang sekitar seminggu lagi, bahkan mungkin lebih lama lagi.
“Nanda keliatan gembira banget,” kataku waktu kami sudah mulai makian,
“Ada apa nih ? Dapet cewek cantik ya ?”
“Nggak Bunda,” sahut Nanda,
“grup basket saya lolos ke babak semi final.”
“Ohya ?! Hebat dong. Kapan semi finalnya dimulai ?” tanyaku.
“Besok Bunda. Doain biar bisa lolos ke grand final yaaa….!”
“Iya, iya…bunda doain…,” sahutku sambil tersenyum,
“Terus kalau jadi juara, hadiahnya apa ?”
“Nggak tau. Katanya sih juaranya akan mendapat sepeda sport.”
“Sepeda satu buat satu grup ?”
“Seorang satu, Bunda. Pemain cadangan juga dapat sepeda. Hehehee…dapet sepeda juga lumayan lah.”
“Iyalah. Kalau hadiah dari suatu prestasi, jangan dilihat dari harganya.”
“Iya Bunda,” Nanda mengangguk-angguk sambil tersenyum ceria.
Sementara Prima tetap serius menyantap makan malamnya, tanpa memberi komentar apa-apa. Nanda duluan meninggalkan ruang makan. Pada saat itulah aku menepuk tangan kiri Prima sambil berkata setengah berbisik,
“Jangan lupa…setelah Nanda tidur, bunda tunggu ya.”
“Iya Bunda,” Prima mengangguk sopan.
“Tapi yakinkan dulu bahwa Nanda sudah mengunci pintu kamarnya,” kataku sambil bangkit dari kursiku.
“Iya.” Lalu aku melangkah menuju kamarku.
Tanpa mengetahui apa yang akan terjadi nanti. Tapi aku sudah bertekad untuk membuat Prima riang kembali seperti dahulu. Meski mungkin dengan cara yang tidak patut. Jujur, aku mulai degdegan waktu membayangkan apa saja yang mungkin terjadi setelah Prima masuk ke dalam kamarku nanti. Tapi aku sudah siap untuk melakukan apa pun, asalkan Prima ceria kembali seperti dulu. Lewat jam sepuluh malam, aku sudah rebahan di atas tempat tidur, dengan mengenakan kimono yang terbuat dari bahan sejenis handuk.
Saat itu aku membelakangi pintu kamarku, dengan kimono yang sengaja kubuka lebar, sehingga kalau Prima masuk nanti…pastilah ia bisa melihat paha dan celana dalam putihku. Saat itu aku pura-pura tidur sambil memeluk bantal gulingku. Beberapa saat kemudian, terdengar bunyi handle pintu kamarku diputar. Aku pura- pura tidur. Dan seolah tak mendengar apa-apa. Tapi mataku yang dipicingkan ini terbuka sedikit…sedikit sekali…mengamati ke arah cermin di dinding (karena dinding di dekat tempat tidurku dipasangi kaca cermin full, sekujur dindingnya ditutupi cermin tebal itu).
Kulihat Prima masuk, lalu menutupkan kembali pintu perlahan-lahan dan tak menimbulkan suara sedikit pun. Aku ingin tahu bagaimana reaksinya setelah ia melihat bagian belakang paha dan celana dalam putihku ini. Dan ia memang tertegun agak lama di dekat bedku. Mungkin ia sedang menyaksikan sesuatu yang sangat mendebarkannya…entahlah. Yang jelas, beberapa detik kemudian ia berusaha “membangunkanku”.
“Bun…Bunda….” panggilnya setengah berbisik.
Aku pura-pura tak mendengar suaranya itu. Dan seolah sedang tidur nyenyak sekali. Lalu…kurasakan tangannya menyentuh betisku. Menggoyangkannya sedikit sambil berkata perlahan,
“Bunda….Buuun….Bunda….” Aku membalikkan tubuh sambil menggesek-gesek mataku.
Lalu bangun sambil menggeliat. Dan menatap wajah tampan anak tiriku. Aku pura-pura menguap. Lalu bertanya perlahan,
“Nanda udah tidur ?”
“Udah, tadi saya intip dari pintu kamarnya, beneran udah tidur,” sahutnya.
“Kunciin dulu pintunya Pri…” kataku sambil menunjuk ke pintu kamarku yang tertutup, tapi kelihatan belum dikunci. “Iya Bunda…” sahut Prima sambil melangkah ke arah pintu, lalu menguncikannya dan kembali menghampiriku. “Duduklah…bunda mau ngomong banyak,” kataku sambil menepuk kasur di sebelah kananku.
Sebenarnya di kamarku ada sofa. Tapi aku ingin mengajaknya ngobrol di atas tempat tidur. Dan Prima duduk di pinggiran bedku, agak merapat ke sisi kananku.
“Pri…bunda ingin kamu jawab sejujur- jujurnya ya,” kataku sambil menepuk lutut Prima yang saat itu mengenakan celana pendek abu-abu dan baju kaus oblong putih.
“Soal apa Bunda ?” Pri menatapku dengan sorot takut-takut.
“Sikapmu itu lho…kenapa belakangan ini kamu keliatan murung terus ? Ngomong dong terus terang sama bunda. Ada apa ?”
“Ah…gak ada apa-apa,” sahut Prima sambil menunduk.
“Mustahil gak ada apa-apa. Pasti ada sesuatu yang membuatmu berubah gitu,” kataku sambil membelai rambutnya yang agak gondrong,
“Kamu gak merasa kalau bunda sayang sama kamu ?”
“Iya Bunda….saya merasakannya.”
“Nah kalau gitu, kenapa kamu masih merahasiakannya sama bunda ? Coba jujur aja, ada apa ? Siapa tau bunda bisa bantu cari jalan keluarnya.” Tiba-tiba Prima turun dari bedku.
Lalu berlutut di lantai, sambil menempelkan wajahnya di lututku. Dan terdengar suaranya sendu,
“Bunda…maafkan saya, Bunda…” Aku agak kaget.
Tapi seketika itu juga berusaha menguasai diriku sendiri. Lalu kubelai rambut anak tiriku sambil berkata lembut,
“Memangnya apa kesalahanmu, sayang ? Bunda gak merasa kamu melakukan kesalahan…selama ini bunda merasa kamu selalu bersikap baik pada bunda. Cuma belakangan ini kamu keliatan murung terus. Bunda ingin kamu ceria lagi seperti dulu. Apa yang bisa bunda lakukan supaya kamu jadi periang lagi ?”
“Saya…saya ini anak yang tak tau diri, Bunda.”
“Kenapa kamu bisa ngomong begitu ? Ayo ngomong dong terus terang. Seorang laki-laki harus berani jujur. Katakanlah sejujurnya…ada apa sayang ?” Prima tidak menyahut.
Mukanya tetap disembunyikan di antara kedua lututku. Maka kutarik lengannya sambil berkata,
“Duduk lagilah di sini. Jangan berlutut seperti itu.” Prima duduk lagi di sebelah kananku, dengan kepala tertunduk.
Lalu terdengar suaranya ragu,
“Kalau saya berterus terang, pasti Bunda marah.”
“Gak,” sahutku,
“bunda janji, kamu ngomong apa pun bunda takkan marah.” Prima menatapku, masih bersorot sangsi.
Lalu menundukkan kepala lagi sambil berkata,
“Saya memang punya keinginan yang mustahil. Saya…saya ingin menyayangi Bunda lebih daripada sayangnya anak kepada ibunya.” Aku tersenyum.
Dengan lembut kubelai rambutnya sambil berkata setengah berbisik,
“Bunda sudah tau kok…kamu punya perasaan lain pada bunda….sejak awal berjumpa pun bunda sudah merasakannya…” “Lalu…Bunda marah?” “Nggak,” filmbokepjepang.net sahutku sambil melingkarkan lenganku di lehernya,
“bunda malah tambah sayang padamu, Pri…” Ucapan itu kuakhiri dengan kecupan hangat di pipinya.
Ia tampak kaget. Menatapku dengan bola mata bergoyang. Lalu terdengar suaranya bergetar,
“Terima kasih Bunda…terima kasih….”
“Tapi seperti bunda bilang berkali-kali tadi…semua ini harus dirahasiakan, ya sayang,” kataku sambil mencolek-colek bibir dan hidung anak tiriku yang tampan rupawan itu.
“Iya Bunda….saya bersumpah akan merahasiakannya….”
“Hush, gak usah pake sumpah segala. Dengan janji juga cukup.”
“Iya, saya berjanji akan merahasiakannya.”
“Terus sekarang mau ngapain ? Mau tidur sama bunda ?” Prima tampak kaget lagi mendengar pertanyaanku barusan, “E…emangnya boleh tidur sama Bunda ?” tanyanya hampir tak terdengar.
“Boleh,” sahutku sambil tersenyum,
“Asalkan sikapmu ceria lagi seperti dulu.”
“Iya Bunda…iya…” Prima mengangguk- angguk.
“Dan bangunnya harus subuh…sebelum orang-orang pada bangun.”
“Iya, tiap hari juga saya bangun gak pernah lebih dari jam setengah lima pagi.”
“Ya udah…mendingan kita tidur yok…” kataku sambil menarik pergelangan tangan anak tiriku, mengajaknya berbaring di sisiku.
Ia tampak senang sekali mengikuti ajakanku. Tapi tahukah ia betapa degdegannya aku ketika ia benar-benar sudah merebahkan diri di sampingku ? Tahukah ia bahwa hasratku mulai menggeliat, meski tahu bahwa ini tidak benar ? Entahlah. Yang jelas, ketika kami sama- sama tiduran dengan posisi miring dan berhadapan muka, kulihat senyum Prima sudah tersungging lagi di mulutnya. Senyum yang paling aku sukai pada dirinya. Dan berharap semoga senyum itu tetap tersungging jika berhadapan denganku.
Lalu…mulailah kutempuh perjalanan baru bersama anak tiriku yang sudah lama punya “perhatian khusus” padaku itu. Berawal dari sontekan jemariku di hidungnya, disambut dengan tatapan dan senyum meluluhkan, berkelanjutan dengan pelukanku,
“Sekarang bunda punya bantal guling hidup….” kataku setengah berbisik.
Dan ia tersenyum, lalu memelukku juga dengan hangatnya.
“Boleh cium bibir Bunda?” tanyanya dengan suara tergetar.
“Boleh…ciumlah…” sahutku sambil mendekatkan bibirku ke bibirnya.
Bibirnya menggamit bibirku, yang kusambut dengan cengkraman bibirku, lalu menjadi lumatan, lalu pelukan kami semakin erat. Dan nafas Prima mulai terdengar tak beraturan. Tentu aku tahu apa sebabnya. Tapi sebagai wanita yang sudah punya jam terbang tinggi, tentu saja semuanya ini tak cukup bagiku. Maka sengaja kumunculkan payudaraku dari belahan kimonoku, lalu kuangsurkan padanya seraya berkata,
“Ciumin ini juga boleh….”
“Oh, Bunda…..ini…ini indah sekali….”
“Ayo anak bunda cepetan nen…” Meski masih canggung, Prima mengulum pentil payudaraku sambil memejamkan matanya. “Deuh…anak manja lagi netek nih ya ?” kataku perlahan sambil mengelus rambut anak tiriku.
“Enak nenen bunda ?” godaku ketika Prima giat-giatnya menyedot-nyedot pentil tetekku.
Ia mengangguk-angguk tanpa suara, karena mulutnya sedang menyelomoti pentil buah dadaku. Diam-diam kulepaskan kimonoku, sehingga tubuhku yang tinggal mengenakan celana dalam saja ini terbuka di depan mata Prima. Prima melepaskan kuluman dan isapannya. Lalu duduk sambil menatapku… memandang dari ujung kaki sampai kepalaku.
“Bunda masih ingat…pertama kali kamu tergoda berat sama bunda, sejak mengantarkan bukti pengiriman paket itu kan ?” tanyaku sambil duduk dan menyingkirkan kimonoku ke dekat bantal.
“Kok Bunda tau ?” Prima tampak heran.
“Taulah…soalnya sejak saat itu kamu suka bermurung-murung dan jarang bicara.”
“Iya Bunda…tebakan Bunda benar…”
“Nah…sekarang bunda mau diapain kalau sudah begini ?” tanyaku sambil menciumi pipinya.
“Oooh…Bunda…” Prima merangkul leherku, lalu mendesakkan tubuhku sampai terlentang di bawah himpitannya,
“Gak nyangka…impian saya akan menjadi kenyataan begini….ternyata Bunda sangat baik hati….” Tanpa canggung-canggung lagi Prima mulai berani menciumi bibirku, sementara tangannya terkadang meremas payudaraku, terkadang memeluk leherku.
Dan semuanya itu kusambut dengan sepenuh gairahku. Tapi ditengah celucupan dan remasan Prima ini, diam-diam tanganku mulai menyelidik. Menyelinap ke balik celana pendek anak tiriku. Dan…kusentuh zakar Prima yang sudah sangat tegang…berarti dia memang sudah terseret ke dalam arus nafsu manusia normal. Dan aku tahu pasti bagaimana cara untuk meredakan arus itu. Aku pun sudah telanjur ingin melihat Prima ceria seperti dulu lagi. Karena melihat dia bermurung-murung seolah menjadi beban psikologis bagiku.
Namun masalahnya…Prima itu anak tiriku, yang seharusnya kuanggap sebagai anakku sendiri. Prima pun harus menganggapku sebagai pengganti ibu kandungnya. Tapi kalau nafsunya tidak diredakan, aku kasihan juga. Karena pasti ia akan tersiksa dibuatnya nanti. Dan mungkin sikapnya malah akan lebih murung lagi besok.
“Sebentar,” kataku sambil menepiskan mulut dan tangan Prima dari payudaraku. L
alu aku turun dari bed dan melangkah ke meja rias. Kuambil baby lotion, lalu kembali menghampiri Prima sambil berkata,
“Buka celana pendek dan celana dalammu sayang…” Prima menatapku dengan sorot sangsi.
Tapi akhirnya ia melepaskan celana pendek dan celana dalamnya. Aku terkesiap menyaksikan zakar anak tiriku itu, yang memang jauh lebih “tinggi tegap” daripada penis ayahnya. Namun aku tak mau berkomentar apa-apa. Lalu kulumuri zakar Prima dengan baby lotion, kutuangkan juga baby lotion itu ke telapak tanganku. Dan…mulailah tanganku beraksi, mengocok penis Prima dengan tangan kananku, sementara tangan kiriku membantu beraksi dengan mengelus-elus puncaknya. Ia mulai menggeliat dan berdesah,
“Aaaaaah….Bundaaa….aaaaah…. Bundaaaa….”
“Ayo…bayangkan aja kamu sedang ML sama bunda…biar sampai ngecrot…biar kamu tenang nanti…” ucapku sambil mengintensifkan kocokanku.
“Iiiya Bunda…oooh….Bunda….” Prima berdesah-desah terus, sementara kedua tangannya tiada hentinya meraba-raba tubuhku, terutama payudaraku…seringkali mendapatkan remasan hangatnya.
Cukup lama kukocok penis anak tiriku. Sampai pada suatu saat ia merangkul leherku sambil menyembunyikan mukanya dengan merapatkan pipinya ke pipiku,
“Bundaaa…oooh…sa…saya udah…udah sampai….” Dan…creeet….crooot…crooot…craaaat… cret..cret..cret….air mani Prima menyemprot-nyemprot perutku. Kental dan hangat dan banyak sekali….!
Tapi Prima tidak tahu bahwa diam-diam kemaluanku juga sudah basah, karena sejak tadi pun nafsuku sudah menggeliat…. Setelah Prima terkapar dengan penis tampak lunglai, aku turun dari tempat tidur, lalu melangkah ke kamar mandi. Tanganku berminyak-minyak, perutku juga berlepotan air mani anak tiriku, sehingga aku merasa perlu membersihkannya.
Di dalam kamar mandi kutanggalkan celana dalamku, satu-satunya benda yang sejak tadi tetap kubiarkan melekat di tubuhku. Kucuci perutku sampai bersih. Kedua tanganku juga. Lalu aku berjongkok untuk pipis, sekaligus mencuci kemaluanku yang masih dibasahi oleh lendir nafsuku. Tapi…ketika aku sedang menyemprotkan air hangat ke kemaluanku yang sudah disabuni, hasratku menggeliat lagi. Membayangkan enaknya kalau liang kewanitaanku dimasuki alat vital lawan jenisku.
Aaaah…apakah aku harus meredakan nafsu ini dengan bermasturbasi di dalam kamar mandi ini ? Ataukah aku harus merangsang Prima sampai ia siap untuk menyetubuhiku ? Ketika aku masih berdiri linglung di dalam kamar mandi, terdengar suara Prima di belakangku,
“Bunda lagi ngapain ?” Aku terkejut dan agak gugup, karena saat itu aku sedang bertelanjang bulat. Maka kututupi kemaluanku, lalu menghadap ke arah Prima yang telanjang juga,
“Bunda lagi telanjang, sayang.”
“Kan tadi juga Bunda telanjang ?!” sahut Prima sambil memegang kedua pangkal lenganku.
“Hihihiii…iya…tapi tadi kamu belum lihat ini kan ?” kataku sambil menjauhkan kedua telapak tanganku dari kemaluanku.
“I…iiiya, Bunda…oooh…” mata Prima melotot, pandangannya terpusat ke kemaluanku,
“Bo…boleh saya sentuh yang itu ?” Prima menunjuk ke arah kemaluanku.
“Boleh…tapi harus ini yang nyentuhnya,” sahutku sambil menarik penis Prima yang masih lemas.
Dan mencolek-colekkan moncongnya ke mulut kemaluanku.
“Ooooh…Bunda…Bundaaa….oooh….. enak Bun…oooh…” Memang penis Prima masih berlumuran baby lotion, sementara kemaluanku pun belum dikeringkan.
Sehingga moncong penis anak tiriku terasa licin waktu kuelus-eluskan ke mulut kemaluanku.
Bahkan Mariam pun kuwanti-wanti semakin, supaya jangan hingga membocorkan rahasiaku kalau kebetulan ia bertemu dengan Papa alias Mama. Maka ketika Yadi memperkenalkan perceraian dengan cara baik-baik, lalu menyiapkan calon suami yang dianggap baik olehnya, aku pun langsung setuju saja. Maka terjadilah proses pendek tapi bermakna besar bagi kenasibanku ini. Bahwa aku bercerai dengan cara baik-baik dengan Yadi, kemudian menjadi istri Kang Eman yang usianya jauh lebih tua dariku itu. Yadi pun tidak mau mengganggu gugat segala harta benda yang telah diberbaginya padaku.
Ia cuma menyarankan supaya kedua rumah kosku itu tidak dimunculkan terhadap Kang Eman, bahkan mobilku pun tidak usah dipamerkan terhadap suami baruku itu. filmbokepjepang.net Jadi ketika aku menikah dengan Kang Eman, aku bersikap seolah tidak punya apa-apa tidak hanya dari perhiasan yang kupakai. Sementara harta benda yang kumiliki dari perkawinanku dengan Yadi, kutitipkan terhadap Dayu. Kedua rumah kosku itu pun kuserahkan pengelolaannya terhadap Dayu. Hanya sesekali aku memeriksa persoalan keuangannya. Serta Dayu terbukti wanita yang sangat dapat dipercaya.
Setiap kali aku datang memeriksa pembukuannya, aku merasa managemen yang Dayu jalankan membikin kedua rumah kosku itu bertambah sehat. Seusai menghuni rumah yang disediakan oleh suami baruku, aku merasa bahwa aku tidak jatuh ke tangan yang salah. Sebab Kang Eman sangat menyayangiku, bahkan cenderung memanjakanku. Maklum usiaku jauh lebih muda darinya. Lebih dari itu semua, Kang Eman pun tergolong seorang pengusaha yang berhasil, walau bisnisnya agak tradisional (memproduksi minuman tradisional dalam kemasan botol serta gelas plastik).
Dari perkawinannya dengan almarhum istri pertamanya, Kang Eman mempunyai dua orang anak cowok. Yang besar telah diterima di sebuah perguruan tinggi populer tapi belum mulai kuliah, sementara yang kecil baru naik kelas 3 SMA. Anak tiriku yang besar bernama Prima Pratama (mungkin sebab anak pertama), sementara anak kedua bernama Dwinanda (mungkin sebab anak kedua). Anak pertama biasa dipanggil Pri saja, sementara anak kedua biasa dipanggil Nanda. Kedua anak tiriku itu tampak bahagia dengan kehadiranku sebagai pengganti ibu mereka yang telah tiada. Mereka sangat baik padaku.
Kang Eman pun menyuruh kedua anaknya itu terbuktigilku Bunda, sementara Kang Eman sendiri dipanggil Ayah oleh kedua anaknya itu. filmbokepejpang.net Yang melegakan hatiku, kedua anak tiriku itu tidak sempat tersesat pergaulannya. Jadi mereka tidak sempat mengetahui narkoba, bahkan merokok pun tidak. Punya anak cowok di zaman kini terbukti tidak gampang mengawasinya. Kalau salah didik serta pengawasannya, mungkin saja tenggelam ke dalam arus pergaulan yang tidak sehat.
Meski belum punya anak, aku merasa bahagia mendengar Prima serta Nanda terbuktigilku Bunda. Biarlah mereka menganggapku sebagai pengganti ibu mereka yang telah almarhumah, walau usiaku baru 30 tahun. Keseharianku di rumah ini lumayan nyantai. Sebab ada 3 orang pesuruh yang tugasnya tidak sama-beda. Cicih bertugas bersih-bersih rumah serta pekarangan depan, lumayan tidak sedikit juga tugasnya, sebab rumahnya 3 lantai serta luas tiap lantai sama. Sari bertugas masak serta cuci piring. Cucun bertugas mencuci pakaian serta menyetipsa. Ada juga pesuruh pria, Japri namanya.
Ia bertugas khusus untuk memelihara taman serta kebun yang terletak di belakang rumah. Tidak sedikit juga pohon buah-buahan di belakang rumah, yang wajib dirawat tiap hari. Apalagi di musim kemarau, wajib rajin menyirami hingga tanahnya sangatlah basah. Tanaman hias apalagi, wajib diperperbuat dengan rajin serta cermat. Ada masanya wajib diberi pupuk, supaya tumbuhnya tetap subur. Rumah besar serta megah ini terletak di kota kecamatan.
Hanya kota kecil yang belasan kilometer jaraknya kalau mau menuju kota besar. Di kecamatan ini, telah tidak sedikit rumah yang besar serta modern bentuknya.
Tapi mungkin rumah kita ini yang terbesar serta paling megah. Berbagai mobil yang dimiliki oleh suamiku juga mengikuti trend masa kini, walau tiada yang semahal mobil punya Yadi, mantan suamiku. Sebelum menikah dengan Kang Eman, yang usianya telah 45 tahun lebih itu, satu-satunya kesangsianku merupakan persoalan seksual. Dapatkah ia memberiku kepuasan batin seusai menjadi suamiku ? Tetapi seusai menikah dengannya aku merasa tiada persoalan dalam faktor yang satu itu. Sebab ia tetap perkasa serta mampu memberiku kepuasan.
Hanya saja ia tidak jarang ke luar kota, sebab pola bisnisnya jauh tidak sama dengan pola bisnis Yadi. Yadi mempraktekkan manajemen modern, segala sesuatu diserahkan terhadap the right man on the right place, sementara Yadi hanya mengawasi saja dari kejauhan. Serta hanya sesekali Yadi turun ke lapangan. Kang Eman justru tetap berpatokan pada pola-pola tradisional. Ia rutin ngecek stock barang di supermarket alias mall alias hotel-hotel. Lalu ia mencatat di mana saja yang stocknya telah menipis alias habis serta telah mulai wajib dikirimi barang. Katakanlah usaha suami baruku itu segala dikerjakan sendiri. Serta aku tidak berani memberbagi saran apa pun, sebab takut membikinnya tersinggung serta merasa digurui.
Padahal aku sempat bekerja di perusahaan asing yang lumayan besar di Jakarta, jadi aku tahu tentu bagaimana langkah- langkah bisnis perusahaan itu. Yadi juga meperbuat faktor yang sama. Semua pekerjaan diserahkan terhadap ahlinya, sementara Yadi hanya mengawasi saja lewat internet. Tidak jarangnya Kang Eman mengurusi bisnisnya di berbagai kota yang jauh dari kotaku, terkadang membikinku kesepian. Tapi aku berusaha untuk menindas perasaan kesepianku dengan mencari kegiatan di rumah. Umpama dengan mempraktekkan bikin kue sendiri, dengan resep yang kuambil dari internet.
Masakan-masakan Eropa pun kucoba untuk memasaknya sendiri, juga berdasarkan resep yang kuambil dari internet. Pada waktu suamiku pulang, kuhidangkan kue-kue buatanku yang kusimpan di kulkas itu. Juga pada waktu kuhidangkan steak buatanku sendiri, dirinya kelihatan bangga punya istri yang “trampil” seperti aku ini. Aku bahagia juga dapat menyenangkan Kang Eman yang begitu menyayangiku. Serta perkawinanku dengannya terasa sebagai perkawinan yang normal. Bukan perkawinan berpersoalan seperti waktu menjadi istri Yadi dahulu. Lalu…apakah perkawinanku dengan Kang Eman berlangsung mulus tanpa cela sedikit pun ? Ya…selama berbulan-bulan menjadi istri Kang Eman, tiada persoalan sekecil apa pun, kecuali hasrat birahiku yang terkadang menggeliat-geliat sendiri pada waktu suamiku sedang di luar kota. Hingga pada sebuahsaat…. Pagi itu aku baru berakhir mandi serta mau berdandan sebab mau pergi ke mall, sekalian mau membeli karpet kamarku, untuk mengganti karpet lama yang tampak telah kusam serta gundul-gundul di sana-sini. Saat itu aku baru mengenakan celana dalam, lalu berkaca di depan cermin sambil mekualitas diriku sendiri seobjektif mungkin. Tiba-tiba terdengar suara di sampingku, “Maaf Bunda…ada paket yang…yang ha…wajib ditandatangani sama Ibu dulu…ma..maaaf…” Suara Prima terdengar tersendat-sendat, mungkin sebab kaget serta gugup menonton kondisiku yang belum mengenakan pakaian lengkap.
Aku terkejut. Saking asyiknya memandang bayanganku di cermin besar itu hingga tidak terdengar bunyi langkah Prima memasuki kamarku. filmbokepjepang.net Tidak hanya daripada itu, bunyi musik yang kusetelkan di dalam kamarku ini mungkin terlalu kencang, jadi langkah Prima tidak terdengar. Dalam kaget kututupi sepasang payudaraku dengan kedua tanganku. Serta bersikap biasa-biasa saja. Bukankah cowok 18 tahunan itu telah kuanggap anak sendiri ? “Paket dari Batam ?” tanyaku tanpa berani mengambil resi yang wajib kutandatangani itu. Sebab kalau kuambil resi itu, berarti tanganku bakal bergerak menjauhi payudaraku. Serta itu berarti payudaraku bakal terbuka di depan mata anak tiriku. “Iya Bunda.” “Ya udah simpan resinya di meja itu. Ibu mau berpakaian dulu.” Prima meletakkan resi itu di meja kecil. Dan aku bergegas mengenakan kimono, tanpa mengenakan beha terlebih dahulu. Lalu kutandatangani tanda bukti pengiriman dari perusahaan ekspedisi itu.
Prima tetap berdiri di ambang pintu kamarku, lalu kuserahkan kertas itu padanya. Serta ia bergegas menuju ruang depan. Kemudian kembali lagi ke kamarku, mendampingi paket kiriman dari Batam, dari Mami tersayangku. Sepintas seperti tidak ada persoalan pagi itu. Tetapi sejak saat itulah sikap Prima jadi lain dari biasanya. Sejak aku menjadi istri Kang Eman, ke mana-mana aku suka dikawani oleh Prima. Terkadang aku sendiri yang nyetir, terkadang Prima yang nyetir.
Sebab walau usianya baru 18n tahun, ia telah mahir mengemudikan mobil. Biasanya, kalau sedang menemaniku pergi-pergian, Prima suka tidak sedikit bicara mengenai apa saja. Tergolong soal kuliahnya yang baru mulai di semester pertama.
Tapi sejak pagi itu, sejak Prima nyelonong ke dalam kamarku serta memergokiku cuma bercelana dalam saja itu, sikap Prima jadi tidak sama dengan biasanya. Aku heran juga. Serta sempat menanyakannya pada sebuahpeluang, ketika Prima sedang “mengawalku” ke sebuah mall. Di sebuah café, aku mulai berusaha membalasnya, “Kamu kenapa Pri? Akhir-akhir ini keliatannya kayak yang murung gitu ? Ada sesuatu yang membikinmu kecewa…atau ada sesuatu yang membikinmu marah ?” “Ah…gak ada apa-apa Bunda.” “Bunda sampe mikir, jangan-jangan kalian tu marah alias sakit hati sama bunda.” “Iiih…gak Bunda.
Mana mungkin saya sakit hati sama orang sebaik Ibu ?!” “Semakin kenapa kalian kok gak seperti dulu lagi ? Biasanya suka ngajak ngobrol, ngomongin yang lucu-lucu serta sebagainya.
Tapi kini kalian sangat berubah. Seperti mikirin sesuatu…mikirin persoalan berat…” “Ah gak ada apa-apa Bunda.” “Kalau pun ada apa-apa, ngomong dong sama bunda. Siapa tau ibu dapat mencari jalan keluarnya. Jangan dipendam sendiri persoalannya.” “Iya Bunda. Terimakasih,” ia mengangguk lalu menunduk lagi. Aku malah jadi curiga. Ada apa sebetulnya ? Kenapa sikap Prima jadi berubah begitu? Jangan-jangan dirinya menggunakan obat-obatan terlarang alias apa pun itu. Yang jelas aku wajib tahu, kenapa sikapnya jadi berubah drastis begitu ?! Kemarin hari kemudian, ketika Prima sedang kuliah, aku sengaja menggeledah kamarnya. Setiap aspek kuperiksa, tergolong laci-laci meja tulis serta lemari pakaiannya. Bahkan hingga ke kolong tempat tidurnya kuperiksa. Tapi tidak kutemukan apa-apa.
Aku belum puas juga. Ketika pandanganku tertumbuk ke sebuah laptop di atas meja tulis, iseng-iseng kubuka serta kuaktifkan laptop itu. Kuperiksa isi laptop itu. Tidak ada sesuatu yang menyimpang. Tapi ketika kulihat ada folder berjudul Khayalanku, iseng-iseng kubuka folder itu. Nyatanya isinya seperti curhat Prima pada dirinya sendiri…. Tahukah dirinya kagumku padanya di pandangan pertama? tahukah dirinya hari-hari berikutnya jadi penuh halusinasi di jiwa mentah ini? tetapi aku tahu, ini tidak boleh.
Aku tahu ini harus selalu berbalut putih bersih meski putih yang menyiksaku karena bayang indah itu menggoda selalu dan payah kutepiskan Pagi itu makin nyata bahwa sosok itu terlalu indah tuk dipalingi Tapi nafasku jadi sesak karna ingat, ini tak boleh meski hasrat kian menggila walau aku terombang ambing bak perahu patah kemudi di tengah samudra nan sarat gelombang oh, ampuni aku karna aku semakin mengagumimu meski tahu ini salah Aku tercenung di depan laptop itu. Dengan benak penuh tanda tanya.
Samar- samar aku menemukan jawabannya. Tapi aku kah yang dikaguminya itu ?. Kalau merujuk kepada kata-kata terakhir (meski tahu ini salah), mungkin sosok yang dimaksud itu memang aku. Lalu apa yang harus kulakukan ? Entahlah. Aku jadi bingung sendiri. Dan laptop itu kumatikan lagi. kemudian keluar dari kamar anak tiriku. Dan masuk ke dalam kamarku, dengan perasaan bercampur aduk.
Pertanyaan itu pun makin membulat. Tak lagi terpecah-pecah. Seandainya ia mendambakanku, apa yang harus kulakukan ? Bukankah aku ini sosok pengganti ibu kandungnya ? Apakah ia merasa makin terobsesi olehku sejak melihatku cuma bercelana dalam saja pada waktu mau memberikan tanda bukti pengiriman paket dari Mama itu ? Usia Prima sudah 18 tahun. Pasti sudah mulai membayangkan lawan jenisnya. Dan wajar saja seandainya ia tergiur olehku, karena aku punya wajah dan tubuh yang punya daya tarik kuat, sehingga ayahnya pun mengagumiku sejak lama sebelum menjadi suamiku. Lagipula aku ini bukan ibu kandung Prima…! Tapi kenapa sikapnya harus berubah drastis, menjadi pendiam dan pemurung seperti itu ? Lalu aku ingat salah satu artikel psikologi, yang antara lain mengutarakan, bahwa tiap orang punya sikap berlainan untuk menanggapi sesuatu yang dianggap luar biasa bagi mereka.
Lalu…aaaah…daripada berkepanjangan memikirkan semuanya itu, kalau aku memang merasa kasihan kepada Prima, yang mungkin merasa tersiksa sendiri dengan obsesinya itu, kenapa aku tidak membuktikannya saja. Kenapa aku tidak mencari jawaban pada dirinya langsung, tanpa harus bertele-tele memikirkannya? Tanpa keraguan lagi, ketika Prima tampak baru pulang kuliah, kupanggil ia ke ruang depan. Dan kataku,
“Nanti malam, kalau yang lain sudah pada tidur, kamu masuk diam-diam ke dalam kamar bunda ya. Tapi awas…jangan sampai ada yang lihat. Terutama Nanda jangan sampai tau.”
“Iya…iya Bunda…tapi…ada apa Bun ?” tanya Prima dengan tatapan bersorot ragu.
“Ada sesuatu yang sangat rahasia dan hanya kamu yang boleh tau.”
“Iya Bun.”
“Pintu kamar bunda takkan dikunci. Kalau bunda udah ketiduran, bangunin aja ya.”
“Iii…iya Bun,” Prima mengangguk, meski masih tampak bingung.
Saat itu hari sudah menjelang malam. Aku pun masuk ke dalam kamarku, lalu mandi sebersih mungkin. Beberapa saat kemudian, aku dan kedua anak tiriku menyantap makan malam di ruang makan. Nanda kelihatan seperti biasa saja, sebelum mulai makan ia menepuk-nepuk pinggiran meja makan, sambil menggoyang-goyang kepalanya, seolah sedang memainkan alat musik seperti bongo, combo dan sebangsanya. Dan Prima tampak serius. Langsung makan tanpa menengok ke kanan kirinya lagi.
Saat itu suamiku sedang berada di Palembang. Menurut telepon yang kuterima tadi siang, suamiku akan melanjutkan perjalanan ke Pekanbaru, lalu ke Medan, kemudian pulang. Menurut perkiraanku, suamiku baru akan pulang sekitar seminggu lagi, bahkan mungkin lebih lama lagi.
“Nanda keliatan gembira banget,” kataku waktu kami sudah mulai makian,
“Ada apa nih ? Dapet cewek cantik ya ?”
“Nggak Bunda,” sahut Nanda,
“grup basket saya lolos ke babak semi final.”
“Ohya ?! Hebat dong. Kapan semi finalnya dimulai ?” tanyaku.
“Besok Bunda. Doain biar bisa lolos ke grand final yaaa….!”
“Iya, iya…bunda doain…,” sahutku sambil tersenyum,
“Terus kalau jadi juara, hadiahnya apa ?”
“Nggak tau. Katanya sih juaranya akan mendapat sepeda sport.”
“Sepeda satu buat satu grup ?”
“Seorang satu, Bunda. Pemain cadangan juga dapat sepeda. Hehehee…dapet sepeda juga lumayan lah.”
“Iyalah. Kalau hadiah dari suatu prestasi, jangan dilihat dari harganya.”
“Iya Bunda,” Nanda mengangguk-angguk sambil tersenyum ceria.
Sementara Prima tetap serius menyantap makan malamnya, tanpa memberi komentar apa-apa. Nanda duluan meninggalkan ruang makan. Pada saat itulah aku menepuk tangan kiri Prima sambil berkata setengah berbisik,
“Jangan lupa…setelah Nanda tidur, bunda tunggu ya.”
“Iya Bunda,” Prima mengangguk sopan.
“Tapi yakinkan dulu bahwa Nanda sudah mengunci pintu kamarnya,” kataku sambil bangkit dari kursiku.
“Iya.” Lalu aku melangkah menuju kamarku.
Tanpa mengetahui apa yang akan terjadi nanti. Tapi aku sudah bertekad untuk membuat Prima riang kembali seperti dahulu. Meski mungkin dengan cara yang tidak patut. Jujur, aku mulai degdegan waktu membayangkan apa saja yang mungkin terjadi setelah Prima masuk ke dalam kamarku nanti. Tapi aku sudah siap untuk melakukan apa pun, asalkan Prima ceria kembali seperti dulu. Lewat jam sepuluh malam, aku sudah rebahan di atas tempat tidur, dengan mengenakan kimono yang terbuat dari bahan sejenis handuk.
Saat itu aku membelakangi pintu kamarku, dengan kimono yang sengaja kubuka lebar, sehingga kalau Prima masuk nanti…pastilah ia bisa melihat paha dan celana dalam putihku. Saat itu aku pura-pura tidur sambil memeluk bantal gulingku. Beberapa saat kemudian, terdengar bunyi handle pintu kamarku diputar. Aku pura- pura tidur. Dan seolah tak mendengar apa-apa. Tapi mataku yang dipicingkan ini terbuka sedikit…sedikit sekali…mengamati ke arah cermin di dinding (karena dinding di dekat tempat tidurku dipasangi kaca cermin full, sekujur dindingnya ditutupi cermin tebal itu).
Kulihat Prima masuk, lalu menutupkan kembali pintu perlahan-lahan dan tak menimbulkan suara sedikit pun. Aku ingin tahu bagaimana reaksinya setelah ia melihat bagian belakang paha dan celana dalam putihku ini. Dan ia memang tertegun agak lama di dekat bedku. Mungkin ia sedang menyaksikan sesuatu yang sangat mendebarkannya…entahlah. Yang jelas, beberapa detik kemudian ia berusaha “membangunkanku”.
“Bun…Bunda….” panggilnya setengah berbisik.
Aku pura-pura tak mendengar suaranya itu. Dan seolah sedang tidur nyenyak sekali. Lalu…kurasakan tangannya menyentuh betisku. Menggoyangkannya sedikit sambil berkata perlahan,
“Bunda….Buuun….Bunda….” Aku membalikkan tubuh sambil menggesek-gesek mataku.
Lalu bangun sambil menggeliat. Dan menatap wajah tampan anak tiriku. Aku pura-pura menguap. Lalu bertanya perlahan,
“Nanda udah tidur ?”
“Udah, tadi saya intip dari pintu kamarnya, beneran udah tidur,” sahutnya.
“Kunciin dulu pintunya Pri…” kataku sambil menunjuk ke pintu kamarku yang tertutup, tapi kelihatan belum dikunci. “Iya Bunda…” sahut Prima sambil melangkah ke arah pintu, lalu menguncikannya dan kembali menghampiriku. “Duduklah…bunda mau ngomong banyak,” kataku sambil menepuk kasur di sebelah kananku.
Sebenarnya di kamarku ada sofa. Tapi aku ingin mengajaknya ngobrol di atas tempat tidur. Dan Prima duduk di pinggiran bedku, agak merapat ke sisi kananku.
“Pri…bunda ingin kamu jawab sejujur- jujurnya ya,” kataku sambil menepuk lutut Prima yang saat itu mengenakan celana pendek abu-abu dan baju kaus oblong putih.
“Soal apa Bunda ?” Pri menatapku dengan sorot takut-takut.
“Sikapmu itu lho…kenapa belakangan ini kamu keliatan murung terus ? Ngomong dong terus terang sama bunda. Ada apa ?”
“Ah…gak ada apa-apa,” sahut Prima sambil menunduk.
“Mustahil gak ada apa-apa. Pasti ada sesuatu yang membuatmu berubah gitu,” kataku sambil membelai rambutnya yang agak gondrong,
“Kamu gak merasa kalau bunda sayang sama kamu ?”
“Iya Bunda….saya merasakannya.”
“Nah kalau gitu, kenapa kamu masih merahasiakannya sama bunda ? Coba jujur aja, ada apa ? Siapa tau bunda bisa bantu cari jalan keluarnya.” Tiba-tiba Prima turun dari bedku.
Lalu berlutut di lantai, sambil menempelkan wajahnya di lututku. Dan terdengar suaranya sendu,
“Bunda…maafkan saya, Bunda…” Aku agak kaget.
Tapi seketika itu juga berusaha menguasai diriku sendiri. Lalu kubelai rambut anak tiriku sambil berkata lembut,
“Memangnya apa kesalahanmu, sayang ? Bunda gak merasa kamu melakukan kesalahan…selama ini bunda merasa kamu selalu bersikap baik pada bunda. Cuma belakangan ini kamu keliatan murung terus. Bunda ingin kamu ceria lagi seperti dulu. Apa yang bisa bunda lakukan supaya kamu jadi periang lagi ?”
“Saya…saya ini anak yang tak tau diri, Bunda.”
“Kenapa kamu bisa ngomong begitu ? Ayo ngomong dong terus terang. Seorang laki-laki harus berani jujur. Katakanlah sejujurnya…ada apa sayang ?” Prima tidak menyahut.
Mukanya tetap disembunyikan di antara kedua lututku. Maka kutarik lengannya sambil berkata,
“Duduk lagilah di sini. Jangan berlutut seperti itu.” Prima duduk lagi di sebelah kananku, dengan kepala tertunduk.
Lalu terdengar suaranya ragu,
“Kalau saya berterus terang, pasti Bunda marah.”
“Gak,” sahutku,
“bunda janji, kamu ngomong apa pun bunda takkan marah.” Prima menatapku, masih bersorot sangsi.
Lalu menundukkan kepala lagi sambil berkata,
“Saya memang punya keinginan yang mustahil. Saya…saya ingin menyayangi Bunda lebih daripada sayangnya anak kepada ibunya.” Aku tersenyum.
Dengan lembut kubelai rambutnya sambil berkata setengah berbisik,
“Bunda sudah tau kok…kamu punya perasaan lain pada bunda….sejak awal berjumpa pun bunda sudah merasakannya…” “Lalu…Bunda marah?” “Nggak,” filmbokepjepang.net sahutku sambil melingkarkan lenganku di lehernya,
“bunda malah tambah sayang padamu, Pri…” Ucapan itu kuakhiri dengan kecupan hangat di pipinya.
Ia tampak kaget. Menatapku dengan bola mata bergoyang. Lalu terdengar suaranya bergetar,
“Terima kasih Bunda…terima kasih….”
“Tapi seperti bunda bilang berkali-kali tadi…semua ini harus dirahasiakan, ya sayang,” kataku sambil mencolek-colek bibir dan hidung anak tiriku yang tampan rupawan itu.
“Iya Bunda….saya bersumpah akan merahasiakannya….”
“Hush, gak usah pake sumpah segala. Dengan janji juga cukup.”
“Iya, saya berjanji akan merahasiakannya.”
“Terus sekarang mau ngapain ? Mau tidur sama bunda ?” Prima tampak kaget lagi mendengar pertanyaanku barusan, “E…emangnya boleh tidur sama Bunda ?” tanyanya hampir tak terdengar.
“Boleh,” sahutku sambil tersenyum,
“Asalkan sikapmu ceria lagi seperti dulu.”
“Iya Bunda…iya…” Prima mengangguk- angguk.
“Dan bangunnya harus subuh…sebelum orang-orang pada bangun.”
“Iya, tiap hari juga saya bangun gak pernah lebih dari jam setengah lima pagi.”
“Ya udah…mendingan kita tidur yok…” kataku sambil menarik pergelangan tangan anak tiriku, mengajaknya berbaring di sisiku.
Ia tampak senang sekali mengikuti ajakanku. Tapi tahukah ia betapa degdegannya aku ketika ia benar-benar sudah merebahkan diri di sampingku ? Tahukah ia bahwa hasratku mulai menggeliat, meski tahu bahwa ini tidak benar ? Entahlah. Yang jelas, ketika kami sama- sama tiduran dengan posisi miring dan berhadapan muka, kulihat senyum Prima sudah tersungging lagi di mulutnya. Senyum yang paling aku sukai pada dirinya. Dan berharap semoga senyum itu tetap tersungging jika berhadapan denganku.
Lalu…mulailah kutempuh perjalanan baru bersama anak tiriku yang sudah lama punya “perhatian khusus” padaku itu. Berawal dari sontekan jemariku di hidungnya, disambut dengan tatapan dan senyum meluluhkan, berkelanjutan dengan pelukanku,
“Sekarang bunda punya bantal guling hidup….” kataku setengah berbisik.
Dan ia tersenyum, lalu memelukku juga dengan hangatnya.
“Boleh cium bibir Bunda?” tanyanya dengan suara tergetar.
“Boleh…ciumlah…” sahutku sambil mendekatkan bibirku ke bibirnya.
Bibirnya menggamit bibirku, yang kusambut dengan cengkraman bibirku, lalu menjadi lumatan, lalu pelukan kami semakin erat. Dan nafas Prima mulai terdengar tak beraturan. Tentu aku tahu apa sebabnya. Tapi sebagai wanita yang sudah punya jam terbang tinggi, tentu saja semuanya ini tak cukup bagiku. Maka sengaja kumunculkan payudaraku dari belahan kimonoku, lalu kuangsurkan padanya seraya berkata,
“Ciumin ini juga boleh….”
“Oh, Bunda…..ini…ini indah sekali….”
“Ayo anak bunda cepetan nen…” Meski masih canggung, Prima mengulum pentil payudaraku sambil memejamkan matanya. “Deuh…anak manja lagi netek nih ya ?” kataku perlahan sambil mengelus rambut anak tiriku.
“Enak nenen bunda ?” godaku ketika Prima giat-giatnya menyedot-nyedot pentil tetekku.
Ia mengangguk-angguk tanpa suara, karena mulutnya sedang menyelomoti pentil buah dadaku. Diam-diam kulepaskan kimonoku, sehingga tubuhku yang tinggal mengenakan celana dalam saja ini terbuka di depan mata Prima. Prima melepaskan kuluman dan isapannya. Lalu duduk sambil menatapku… memandang dari ujung kaki sampai kepalaku.
“Bunda masih ingat…pertama kali kamu tergoda berat sama bunda, sejak mengantarkan bukti pengiriman paket itu kan ?” tanyaku sambil duduk dan menyingkirkan kimonoku ke dekat bantal.
“Kok Bunda tau ?” Prima tampak heran.
“Taulah…soalnya sejak saat itu kamu suka bermurung-murung dan jarang bicara.”
“Iya Bunda…tebakan Bunda benar…”
“Nah…sekarang bunda mau diapain kalau sudah begini ?” tanyaku sambil menciumi pipinya.
“Oooh…Bunda…” Prima merangkul leherku, lalu mendesakkan tubuhku sampai terlentang di bawah himpitannya,
“Gak nyangka…impian saya akan menjadi kenyataan begini….ternyata Bunda sangat baik hati….” Tanpa canggung-canggung lagi Prima mulai berani menciumi bibirku, sementara tangannya terkadang meremas payudaraku, terkadang memeluk leherku.
Dan semuanya itu kusambut dengan sepenuh gairahku. Tapi ditengah celucupan dan remasan Prima ini, diam-diam tanganku mulai menyelidik. Menyelinap ke balik celana pendek anak tiriku. Dan…kusentuh zakar Prima yang sudah sangat tegang…berarti dia memang sudah terseret ke dalam arus nafsu manusia normal. Dan aku tahu pasti bagaimana cara untuk meredakan arus itu. Aku pun sudah telanjur ingin melihat Prima ceria seperti dulu lagi. Karena melihat dia bermurung-murung seolah menjadi beban psikologis bagiku.
Namun masalahnya…Prima itu anak tiriku, yang seharusnya kuanggap sebagai anakku sendiri. Prima pun harus menganggapku sebagai pengganti ibu kandungnya. Tapi kalau nafsunya tidak diredakan, aku kasihan juga. Karena pasti ia akan tersiksa dibuatnya nanti. Dan mungkin sikapnya malah akan lebih murung lagi besok.
“Sebentar,” kataku sambil menepiskan mulut dan tangan Prima dari payudaraku. L
alu aku turun dari bed dan melangkah ke meja rias. Kuambil baby lotion, lalu kembali menghampiri Prima sambil berkata,
“Buka celana pendek dan celana dalammu sayang…” Prima menatapku dengan sorot sangsi.
Tapi akhirnya ia melepaskan celana pendek dan celana dalamnya. Aku terkesiap menyaksikan zakar anak tiriku itu, yang memang jauh lebih “tinggi tegap” daripada penis ayahnya. Namun aku tak mau berkomentar apa-apa. Lalu kulumuri zakar Prima dengan baby lotion, kutuangkan juga baby lotion itu ke telapak tanganku. Dan…mulailah tanganku beraksi, mengocok penis Prima dengan tangan kananku, sementara tangan kiriku membantu beraksi dengan mengelus-elus puncaknya. Ia mulai menggeliat dan berdesah,
“Aaaaaah….Bundaaa….aaaaah…. Bundaaaa….”
“Ayo…bayangkan aja kamu sedang ML sama bunda…biar sampai ngecrot…biar kamu tenang nanti…” ucapku sambil mengintensifkan kocokanku.
“Iiiya Bunda…oooh….Bunda….” Prima berdesah-desah terus, sementara kedua tangannya tiada hentinya meraba-raba tubuhku, terutama payudaraku…seringkali mendapatkan remasan hangatnya.
Cukup lama kukocok penis anak tiriku. Sampai pada suatu saat ia merangkul leherku sambil menyembunyikan mukanya dengan merapatkan pipinya ke pipiku,
“Bundaaa…oooh…sa…saya udah…udah sampai….” Dan…creeet….crooot…crooot…craaaat… cret..cret..cret….air mani Prima menyemprot-nyemprot perutku. Kental dan hangat dan banyak sekali….!
Tapi Prima tidak tahu bahwa diam-diam kemaluanku juga sudah basah, karena sejak tadi pun nafsuku sudah menggeliat…. Setelah Prima terkapar dengan penis tampak lunglai, aku turun dari tempat tidur, lalu melangkah ke kamar mandi. Tanganku berminyak-minyak, perutku juga berlepotan air mani anak tiriku, sehingga aku merasa perlu membersihkannya.
Di dalam kamar mandi kutanggalkan celana dalamku, satu-satunya benda yang sejak tadi tetap kubiarkan melekat di tubuhku. Kucuci perutku sampai bersih. Kedua tanganku juga. Lalu aku berjongkok untuk pipis, sekaligus mencuci kemaluanku yang masih dibasahi oleh lendir nafsuku. Tapi…ketika aku sedang menyemprotkan air hangat ke kemaluanku yang sudah disabuni, hasratku menggeliat lagi. Membayangkan enaknya kalau liang kewanitaanku dimasuki alat vital lawan jenisku.
Aaaah…apakah aku harus meredakan nafsu ini dengan bermasturbasi di dalam kamar mandi ini ? Ataukah aku harus merangsang Prima sampai ia siap untuk menyetubuhiku ? Ketika aku masih berdiri linglung di dalam kamar mandi, terdengar suara Prima di belakangku,
“Bunda lagi ngapain ?” Aku terkejut dan agak gugup, karena saat itu aku sedang bertelanjang bulat. Maka kututupi kemaluanku, lalu menghadap ke arah Prima yang telanjang juga,
“Bunda lagi telanjang, sayang.”
“Kan tadi juga Bunda telanjang ?!” sahut Prima sambil memegang kedua pangkal lenganku.
“Hihihiii…iya…tapi tadi kamu belum lihat ini kan ?” kataku sambil menjauhkan kedua telapak tanganku dari kemaluanku.
“I…iiiya, Bunda…oooh…” mata Prima melotot, pandangannya terpusat ke kemaluanku,
“Bo…boleh saya sentuh yang itu ?” Prima menunjuk ke arah kemaluanku.
“Boleh…tapi harus ini yang nyentuhnya,” sahutku sambil menarik penis Prima yang masih lemas.
Dan mencolek-colekkan moncongnya ke mulut kemaluanku.
“Ooooh…Bunda…Bundaaa….oooh….. enak Bun…oooh…” Memang penis Prima masih berlumuran baby lotion, sementara kemaluanku pun belum dikeringkan.
Sehingga moncong penis anak tiriku terasa licin waktu kuelus-eluskan ke mulut kemaluanku.