Selingkuh di Negeri Paman Sam 01
Selingkuh di Negeri Paman Sam 01
Hollywood Hills, 4 Juni 1999.
Hari Jum’at ini saya harus bangun pagi-pagi, padahal belum juga saya bisa tidur nyenyak, karena saya baru saja tiba di LA hari Kamis malam dari Jakarta naik pesawat Eva Air. Pasti siang-siang saya bakalan mengantuk karena jet-lag. Tapi apa boleh buat, kan saya ke LA untuk urusan kantor di Pasadenna.
Selesai mandi dan minum air putih, langsung saya ke garasi untuk pasang kabel accu dan memanasi mesin Grand Cherokee warna Hitam yang sudah beberapa bulan nggak dihidupkan. Untung accu-nya sudah kuat setelah beberapa jam disetrum, jadi bisa langsung meluncur ke daerah Sunset Blvd untuk cari sarapan yang melayani drive thru.
McDonald memang pilhan yang pas, karena “egg mcmuffin”-nya nggak terlalu besar, jadi biar enteng-enteng saja, yang penting perut nggak kosong, sambil menyiapkan perut untuk lunch besar yang biasanya disiapkan sama kantor di Pasadenna.
Ternyata macet di freeway memperlambat perjalanan ke Pasadenna, ada sekitar 1 jam lebih saya baru sampai. Terlihat sebuah gedung berwarna biru dan abu-abu bertingkat 6 dengan luas kavlingnya sekitar 3000 M2. Langsung kuarahkan mobil masuk ke halamannya dan parkir di bagian reserved.
“Selamat pagi tuan Coki, apa kabar”, kata Brown si satpam perusahaan yang tinggi besar. “Kabar baik”, kata saya sambil tersenyum. Saya naik lift ke lantai 6 tempat si Presdir kantor di Pasadena ini, dan begitu lift terbuka di lantai 6, sudah terlihat Natasya Public Relation-nya si Harry yang cantik sedang duduk di meja reception. Tingginya 5’7″ alias sekitar 170 cm, rambutnya hitam kecoklatan, wajahnya sensual dan menarik, dengan garis wajah yang memang khas orang Eropa Timur. Badannya tegak atletis dan buah dadanya terlihat bulat menonjol, serta kakinya yang terlihat indah.
“Harry da di dalam?” tanya saya ke Natsya, “Dia sedang menunggu anda tuan”, jawabnya sambil tersenyum menggoda. Begitu pintu saya buka, ternyata di dalam sudah ada 4 orang termasuk Harry. “Hei lihat, teman yang bujangan itu baru datang” teriak Harry sambil tertawa bersama-sama orang kantornya.
Sial dalam hati saya mengumpat, tapi apa mau dikata. Saya memang sudah cukup gaek tapi sampai hari ini belum juga punya pendamping resmi. “Selamat pagi semuanya, apa yang dikatakan Harry tentang iri saya memang benar, Hingga kini saya masih sendiri tapi teman cewek sih banyak”, jawab saya balik. Setelah bersapa-sapa dan saling menggoda, akhirnya kita terlibat dalam pembicaraan serius tentang proyek yang sedang kita garap di Brazil dan Argentina untuk telekomunikasi satelit. Juga ada satu proyek perencanaan untuk stasiun peluncuran satelit dari Irian Jaya (jangan pikir KKN dulu, karena proyek ini bukan punya Indonesia dan bukan pakai duit orang Indonesia).
Pendek kata, setelah kita selesai meeting, kita berlima pergi makan siang di restoran masakan Meksiko “Manjana”. Di restoran yang sangat penuh itu kita duduk di samping meja serombongan cewek-cewek yang bukan main indahnya, terus terang kalau mereka mau, saya sih merem dan yang mana saja juga mau. Kebetulan salah satu dari kita ada yang memang bisa bahasa Spanyol, dan si Enrico ini memang nekat juga. Setelah menyamperi meja mereka ternyata para wanita itu malah ngobrol panjang lebar sama Enrico. Ternyata mereka dari Venezuela, ya pantes kalau gitu, sebab melihat mereka itu seperti nonton telenovela di TV kita di Indonesia, dan ada satu yang wajahnya campuran antara bekas miss world Catherine Herera dan salah satu bintang yang main Rosalinda (iklannya kan di TV gencar banget, walaupun saya nggak pernah liat TV soap opera).
Setelah Enrico kembali ke meja dia bilang bahwa nanti malam mau janjian pergi ke bar. “Okey, Tuan bujangan kita lanjutkan ntar malam aja pembicaraan kita”, kata Enrico kepada saya.
Sepulangnya makan siang saya balik ke kantor untuk meneruskan pembicaraan tentang hal-hal lainnya. Siang-siang terasa mengantuk banget gara-gara jetlag, tapi karena sibuk banget jadi agak terbantu, dan tidak terasa ternyata sudah jam 4 sore. Harry pulang duluan mau menemani istrinya ke dokter, tinggal saya sendirian masih di depan komputer liat file-file dan hitungan-hitungan yang memusingkan. Karena capai akhirnya saya log on ke internet, tentunya mau lihat site favorite saya, kali-kali ada cerita baru. Eh, ada sih yang baru, tapi agak kurang seru.
“Hai Coki, Lagi ngapain?” tiba-tiba suara Natasya mengagetkan saya. Rupanya begitu serunya saya baca cerita sampai dia datang saja nggak tahu. “Emm.. sedang melihat home page temanku”, jawab saya agak terbata-bata sambil malu. “Home page temanmu kayaknya menarik deh, sehingga kamu berlama-lama di depan, hey kok serius sekali.., apaan sih yang kamu lihat”, katanya. “Lihat nih, gambar gadis telanjang”. Akhirnya saya terpaksa kasih tahu bahwa ini emang site cerita-cerita dewasa, dan termasuk yang paling banyak didatangi orang, terutama yang mengerti bahasa Indonesia sih.
Setelah ngobrol-ngobrol ternyata Natasya minta tolong diantarkan ke Pasadenna Mall untuk mencari bacaan, karena mobil dia sedang di bengkel. Tentu saja tanpa berpikir panjang saya mau menemani cewek cakep. Saya dan Natasya setelah dari toko buku makan es di food courtnya sambil ngobrol ngalor ngidul tentang kehidupan saya yang masih juga single. Ternyata si Natasya ini anak paling bungsu, dan dia bilang bahwa minggu depan dia akan off 1 bulan untuk ke Thailand liburan.
(biar gampang percakapannya selanjutnya saya tulis bahasa Indonesia campur Inggris saja)
“Nanti malam ngapain kamu?” tanya saya ke Natanysa. “Kok tanya-tanya sih, kamu kan tahu saya baru saja beli buku, maksudnya ya karena nggak ada acara mending baca-baca saja di rumah.”
“Ah bisa saja kamu, saya serius lho tanyanya”, kata saya, “Eh saya lebih serius ini, emang saya nggak kemana-mana nanti malam”, jawab Natasya agak cemberut.
“Kalau nggak kemana-mana mau nggak nanti ikut saya dan Enrico ke bar?”
“Wah jangan deh Enrico suka galak kalau di kantor.”
“Eh itu kan cuma akting dia supaya sok wibawa, tapi dia itu ok banget ngobrolnya.”
“Saya mau kamu ajak pergi tapi asal jangan sama Enrico.”
Wah payah nih cewek pikir saya, gimana ya enaknya. Pilih Venezuela atau pilih Eropa Timur. Nggak mau rugi saya ajak saja Natasya makan malam, dan malamnya janjian sama Enrico di bar.
“Ya ok, kalau gitu nanti malem kita pergi makan, mau nggak?”
“Asal nggak sama Enrico boleh saja, ok jadi nanti jemput saya di apartment jam 7 ya!” kata Natasya.
Di rumah saya mandi buru-buru dan pakai minyak si nyong-nyong biar percaya diri, dan tidak lupa saya juga sudah janjian sama Enrico jam 11 malam untuk ketemu di bar. Setelah siap, mobil saya kebut ke rumah Natasya, takut jalanan macet karena hari Jum’at. Saya pencet apartemen no.508,
“Siapa?” terdengar dari speaker,
“Saya, Coki”
“Okey deh, tunggu sentar lagi ya..” jawab Natasya dari speaker.
Saya lihat dia berlari kecil menuju pintu di mana saya menunggu.
“Maaf, lama nunggunya ya..”
“Ah, biasa aja..”
“Kita makan apa malam ini, kamu dong kasih suggestion, kan kamu yang di LA”, kata saya sambil mencuri pandang ke dadanya yang menonjol hingga terlihat belahannya.
“Gimana kalau kita makan santai saja, nggak usah restoran formal?” tanya Natasya,
“Boleh, boleh saja, saya juga nggak suka yang rapi-rapi kok.”
Karena saya juga hanya pakai jeans dan jacket santai, dan Natasya juga hanya mengenakan rok terusan warna hitam yang agak ketat, sehingga terlihat bentuk tubuhnya yang bagaikan gitar Spanyol, roknya panjang tapi belahannya sampai hampir ke pangkal pahanya yang mulus.
Akhirnya kita makan di restoran Hide Sushi, di jalan Sawtelle, West LA. Setelah memesan saya membuka pembicaraan,
“Kamu kok malam sabtu nggak nge-date sama pacar kamu.”
“Saya nggak punya pacar kok.”
“Kamu pinter, cantik, karir bagus, masak nggak ada yang mau sama kamu”, tanyaku heran.
“Bukan GR sih, tapi kalau yang ngejar saya sih banyak, hanya saja saya belum tertarik untuk lebih serius. Ada sih satu cowok yang deket sama saya, tapi akhir-akhir ini saya merasa lebih senang sendiri saja.”
Saya mendengarkan dan mengiyakan saja apa yang dikatakan Natasya, namun diam-diam saya tertarik akan prinsip-prinsipnya yang diutarakan dalam pembicaraan saat itu.
“Kamu tadi bilang mau ke Thailand, emang ada teman kamu di sana?” tanyaku.
“Iya di Thailand ada teman baik saya, dia dipekerjakan di kantor cabang American Investment Bank di Bankok. Kok tanya-tanya emang mau nemenin saya?”
“Kamu benar ngajak saya ke Bangkok, nanti cuma jadi kambing congek”, tanyaku agak kaget.
“Iya benar saya ngajak kamu, dan lagi teman saya yang di Bankgok itu perempuan.”
“Ok, kalau gitu saya akan coba atur untuk bisa bareng kamu.”
Setelah ngobrol cukup lama, ternyata kita berdua mulai akrab dan tidak canggung lagi. Buktinya keluar restoran malah dia yang peluk saya menuju mobil. Sesampai di apartement-nya awalnya saya bermaksud untuk mampir, tapi akhirnya saya langsung saja menuju tempat pertemuan dengan Enrico, yaitu “Warehouse” di Marina del Rey. Rupanya Enrico memang tahu kalau saya sangat menyukai music lounge di Marina del Rey ini, makanya dia pilih pergi ke Warehouse. Dari depan pintu masuk sudah saya denger lagu-lagu berirama samba dan bunyi steel drum yang begitu khas. Ternyata Warehouse masih juga penuh sesak seperti dulu-dulu. Dari jauh saya lihat Enrico sendirian dikelilingi 3 cewek latin. Karena meja dan kursinya yang tinggi, terlihat rok cewek-cewek itu tersingkap agak tinggi, wah kelihatan kaki mereka semuanya sangat indah.
“Heeeii.. Coki kenalin nih pacar saya, Nina, ini Veronica, dan ini Nikita”, kata Enrico yang sepertinya sudah cukup mabuk, sambil memeluk Nina.
“Hai apa kabar, kenalin saya Coki”, kata saya.
“Hiii Coki”, jawab mereka berbarengan seperti koor.
Wah gawat nih, kayaknya mereka juga sudah agak mabuk, padahal saya lagi mikir untuk nggak minum kebanyakan malam ini. Lagu-lagu jazz dan samba terus dialunkan oleh grup yang terlihat sangat professional, apalagi pemain steel drumnya, orang hitam botak dan gendut banget, terlihat sangat kontras dan menarik perhatian.
Setelah beberapa saat ngobrol dan minum sambil makan makanan kecil, terasa ruangan semakin pengap oleh pengunjung yang semakin padat.
“Nikita, mau kan menemani saya keluar”, kata saya mengajaknya ke luar ruangan.
“Ayo kita keluar deh, di sini musiknya juga keras sekali”, kata Nikita.
Saya jalan di depan Nikita, dan dia memeluk saya dari belakang dan berjalan seperti ular-ularan menerobos kerumunan orang yang menikmati grup band itu. Wah, terasa daging kenyal menekan di punggungku dan jari Nikita yang lentik melingkar di perutku mendekapku dari belakang.
“Ahh seger deh udara di luar ini, di dalem penuh banget sih”, kata Nikita.
“Emang di dalem penuh banget ya”, kata saya sambil memperhatikan kapal-kapal boat yang parkir rapih di marina. Dan di kejauhan terlihat bulan bulat penuh bersinar terang di atas horizon laut Atlantik.
Di luar ternyata tidak ada orang, dan hanya ada 1 kursi pendek yang santai.
“Coki lu duduk saja di situ, terus lu pangku saya, Oke” kata Nikita. Siapa yang nggak mau memangku cewek kayak Nikita, wajah kayak pemain telenovela. Badannya sekitar 167 cm, buah dadanya nggak usah diceritakan lagi, kira-kira lihat saja di telenovela itu, dia benar-benar mirip sekali tapi lebih langsing dan kencang.
“Coki, kamu tinggal di LA ya?” tanya Nikita.
“Nggak saya hanya ada kerjaan di kantor LA, saya tinggal di Jakarta, Indonesia.”
“Di mana tuh Jakarta?” tanyanya bingung.
“Wah jauh dari sini, tau Bali nggak?”
“Iya tau Bali.”
“Nah Bali itu adanya di negara Indonesia.”
“Oh gitu, kapan-kapan saya ke Bali deh, katanya bagus sekali ya?” kata Nikita sambil merebahkan badannya ke dada saya.
Tercium bau wangi parfumnya yang sudah bercampur bau badannya. Tak tahan, tangan saya mulai memeluk dan meraba daerah perutnya di bawah buah dadanya yang menantang.
“Iya kapan-kapan pergi ke Bali, nanti saya anterin keliling Indonesia”, jawab saya sudah mulai nggak konsentrasi.
Tiba-tiba si Nikita bangun dan duduk di atas paha saya menghadap ke saya, kakinya yang panjang menjepit perut saya, dan selonjor melalui celah samping kursi di bawah sandaran tangan. Tentu saja roknya terangkat sampai ke atas dan terlihat celana dalamnya yang hitam berenda. Lalu buah dadanya disorongkan menempel di dada saya, sambil dia bertanya, “Kalau orang Indonesia suka seks nggak?” Mendengar kata-katanya, terasa batang saya mulai menegang. Apalagi tertekan pantatnya dan tergesek daerah kemaluan Nikita.
“Tentu, siapa sih yang nggak suka seks”, jawab saya sok masih sopan.
“Lalu kenapa kamu kelihatannya cuek, ayo pelik aku, peluk tubuhku, Saya amat gerah deh malam ini pingin merasakan pelukanmu”, katanya mendesah-desah.Karuan saja jantung saya berdetak semakin kencang. Dengan perlahan saya usap-usap punggungnya, dan saya remes pantatnya yang kencang. Nikita pun mulai menciumi leher saya, dan terasa hembusan nafasnya di leher saya. Segera saya eratkan pelukan saya ke badannya. Karena di luar ini tidak ada orang lagi, maka saya beranikan tangan saya mengusap buah dadanya. Dengan membuka dua buah kancing bajunya, maka terlihat belahan dadanya yang menonjol akibat bra yang dipakainya pas menopang buah dadanya yang besar dan padat. Dengan satu tangan, saya raba branya dan saya usap-usap dan remas buah dada Nikita.
Saya rasakan pinggulnya bergerak maju mundur menggesek batang kemaluan saya. Nggak tahan lagi menahannya, saya arahkan tangan saya ke sela-sela celana dalamnya yang berenda. Dengan menyelipkan jari-jari saya ke dalam celana dalamnya, bisa saya raba bulu-bulu halus yang tebal menutupi vaginanya. Dengan jari tengah saya sibakkan bulu-bulu yang menutupi clitoris dan lubang vagina Nikita.
“Aghh… terus, yang mesra dong Coki, yah begitu.., aughh!”, rintih Nikita. Lalu tetap menggunakan jari tengah saya, bisa saya rasakan clitoris Nikita sudah mulai menegang dan sedikit basah karena terangsang. Segera saya usap-usap clitorisnya, dan ketika sudah semakin basah, saya coba untuk menusukkan jari telunjuk bersama jari tengah saya ke dalam vagina Nikita.
Perlahan tapi pasti, jari-jari saya bisa masuk ke dalam vaginanya yang terasa hangat menjepit. Nikita sudah tidak berkonsetrasi lagi dengan ciuman ke leher dan dada saya, dia menikmati sentuhan, rabaan, dan gerakan jari-jari saya di sekitar clitoris dan liang vaginanya. Kepala Nikita digeleng-gelengkan menikmati gerakan jari-jari saya, rambutnya yang panjang menyabet-nyabet muka saya, sambil sesekali tercium bau harum dari tubuhnya.
“Ooohh… uughh…” lenguh Nikita tertahan. Dengan kedua tangannya dibuka baju saya dan digigitnya puting saya, sambil mendesah, “Cepat Coki.., yang keras… ehh… ehh… augh auwww..”
Dengan tanganku yang lain, kutarik bra yang masih menutupi buah dada Nikita. Kucium dan kuhisap putingnya. Buah dadanya terasa keras dan kenyal ditangan.
Sambil terus menggosok-gosokkan tanganku di sekitar kemaluan Nikita, tiba-tiba dia menggelinjang keras dan berkata,
“Oh.., aku mau keluar.., aughh..”
Mendengar erangan Nikita sebagai tanda orgasmenya, jari-jari saya tetap saya keluar-masukkan ke liang vaginanya dengan lebih perlahan, sambil tetap mengusap-usap clitrorisnya yang sudah terasa sangat basah.
“Uuuhh… ahh… ahh, nikmat sekali”, rintih Nikita kelelahan menahan luapan emosinya yang tertahan karena tidak berani berteriak takut kedengaran orang. Badan Nikita terkulai lemas menyandar di dada saya.
Setelah beberapa saat, Nikita bangun dan terlihat matanya masih sayu, lalu berkata sambil tersenyum, “Terima kasih Coki, aku telah merasakan orgasme yang sangat dahsyat malam ini..”
“Ayo, sekarang giliranmu!” kata Nikita sambil meraba-raba kemaluan saya dari luar celana. Dengan cepat ditariknya ritsleting celana jeans saya, dan dibukanya juga sabuk serta kancing atas celana saya. Ditariknya keluar batang kemaluan saya yang sudah tegang, dan dengan perlahan dihisapnya ujung batangnya. Dijilat, dan dikulum ujung batangnya, sambil di kocok secara perlahan.
“Ahh, nikmat-nikmat Nik, terus!” kata saya.
“Apa?” tanya Nikita sambil tiba-tiba melepaskan hisapannya di ujung batang saya.
“Oh maaf maksud saya yang keras.., nikmat banget deh!” kata saya menjelaskan.
Nikita meneruskan gerakan tangannya di batang kemaluan saya, sambil menjilati batangnya dengan lidahnya. Dihisapnya lagi batang saya, dan dimasukkan full sampai semua tertelan habis di mulutnya. Disedotnya dengan keras sambil memaju mudurkan mulutnya di batang kemaluan saya.
“Uuhh, nikmat sekali”, kataku.
Nikita semakin mempercepat gerakannya dan hisapannya juga semakin keras.Dan tidak terlalu lama, terasa cairan sperma dari pangkal batang kemaluan saya seakan-akan terkumpul dan mau meledak. Dan juga di ujung batang kemaluan terasa semakin ngilu-ngilu nikmat. Nikita tidak sedikitpun mengurangi kecepatan gerak hisapannya, dan “Uuhh, ahh”, erang saya menikmati puncak ejakulaiku. Terasa mulut Nikita tetap menancap dan menghisap batang kemaluan saya. Dihisapnya habis semua sperma yang keluar dari batang saya. Dan karena Nikita tidak berhenti setelah segalanya berlalu, terasa batangku berdenyut-denyut, sangat ngilu dan geli sekali.Tapi ejakulasi karena dihisap memang terasa lain dan sangat mengasyikkan.”Coki spermamu yang keluar banyak sekali, tapi nggak apa lah.. saya malah senang kok”, kata Nikita. Pikirku, “Ya syukurlah kalau lu seneng sih, yang pasti malam itu gue sudah lemas banget. “Dan rasanya malas mau ngapa-ngapain lagi.
Setelah kita merapikan pakaian, kita berdua kembali ke meja Enrico yang masih asyik mendengarkan kemahiran para musisi jazz itu.
“Enrico saya rasa saya akan duluan ya, karena saya harus ke Kedutaan Indonesian dulu untuk mengurus surat Pemilu”, kataku.
“Kalau mau duluan silakan, tapi besok telepon saya ya!” katanya cuek. Saya cium Nikita sebagai tanda perpisahan, dan saya juga catat alamat dan teleponnya, kalau-kalau besok bisa ketemu lagi.,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Bersambung ke bagian 02