Gelora Di Bukit Tandus
Entah harus dari mana memulainya, yang jelas, sebagai penggemar baru situs 21Tahun, aku tak tahan juga, memendam cerita seputar pengalaman seks yang pernah ku alami, sejak aku di lahirkan hingga usiaku genap mencapai 30 tahun.
Meski bukan barang baru yang ingin ku tuturkan, setidaknya bisa sedikit meluruhkan rasa sesal dan kekalutan yang selama ini terus menteror nurani. Mungkin terdengar agak kampungan, atau ketinggalan jaman barangkali, tapi satu hal yang pasti perang batin ini nyaris senantiasa menggelayut di dalam kalbu.
Pembaca sekalian, mohon maaf jika dalam penyampaian cerita ini, ada aroma ketidak jujuran dan pengkhianatan atas nama keluarga, kebaikan dan harga diri.
Angin berhembus kencang di padang rumput yang ramai oleh celoteh nakal bocah-bocah kecil yang riuh menggiring ternak-ternak piaraan, di dusun kecil di pelosok Bojonegoro, sebuah kota kabupaten di Jawa Timur. Aku, sebut saja namaku Jack, dengan bertelanjang dada dan kaki tanpa alas sandal, larut dalam kegembiraan bersama teman-teman kakak-kakak sepupuku. Aku yang terkecil di komunitas itu. Yang mampu ku ingat, usia ku baru 5 tahun saat itu. Sementara saudara-saudaraku yang lain, setidaknya 2 atau 3 tahun lebih tua dariku.
“Le, ayo ndang bali!” terdengar teriakan kakak perempuanku Sekar, memintaku bergegas untuk pulang.
Kami bersaudara, sangat akrab antara yang satu dengan yang lain. Sekar adalah anak tertua dari Bu Dhe, kakak ibuku. Ia tergopoh-gopoh menghampiriku, sambil berusaha menjangkau lengan kecilku yang licin oleh tetesan peluh.
“Ada apa kog mesti buru-buru pulang?” kataku menggerutu, sambil berusaha untuk mengeraskan pijakan kaki, pertanda aku enggan berlalu.
“Lho.. Opo durung ngerti yen Simbah arep tindak menyang Semarang?” [“Lho, apa belum tahu kalau Nenek mau pergi ke Semarang?”-pen.]
“Enggak..” jawabku asal saja, karena aku masih kesal saat di paksa pulang bersama Kak Sekar.
Sebetulnya, aku sudah tahu rencana Nenek yang hendak pergi ke Semarang untuk menengok salah satu cucunya yang ada di kota itu. Kebetulan, saat itu ada libur satu minggu dari Sekolah, setelah usai ulangan catur wulan ke 2. Tentu saja maksud penjemputanku adalah untuk diajak serta oleh Nenek pergi menemaninya ke Semarang.
“Males Mbak, aku penginnya main-main sama Mas Yogi, Mas Simin dan teman-teman yang lain,” rontaku dengan lagak acuh tak acuh setengah memohon, agar aku di perkenankan tidak mengikuti Vacancy [begitu biasanya Nenek menyebut liburan-pen. ].
Tampaknya usahaku tak ada hasil, mengingat Mbak Sekar masih saja tetap menggengam lengan ku, bahkan kurasakan agak lebih kencang dari sebelumnya, pertanda itu adalah harga mati yang tak mungkin bisa ditawar-tawar lagi. Rasanya tak ada gunanya lagi meronta, yah.. Terpaksa deh pasrah.
Sesampai di rumah, ku lihat Nenek sudah tampak rapi bersiap untuk segera pergi. Dari kejauhan, nampak Ia sibuk mempersiapkan barang-barang yang harus di bawa nanti. Aku tersenyum kecut, penuh rasa takut campur malu, saat suara nenek menggelegar memecahkan keheningan suasana.
“Dolan wae, ayo gek ndang cepet adus, terus melu Simbah” begitu nampak olehnya batang hidungku.
“Sini, kakak mandiin,” ujar Kak Sekar menawarkan bantuan.
“Ah.. Enggak, aku mandi sendiri”
Aneh, untuk apa aku mesti malu sama dia? Bukankah aku masih kecil? Tapi aku tak mau berlama-lama. Segera saja aku menyiram tubuhku dengan air, begitu aku berada di kamar mandi. Sambil mengangkat gayung, lamunanku pun melayang mengingat kejadian semalam. Tak terasa aku bergidik jika membayangkan hal itu terjadi.
Malam itu, mendung tebal menggelayut di pekatnya langit. Tak nampak satu bintangpun di angkasa. Aku yang saat itu usai menonton siaran TV hitam putih, merasakan udara begitu panas, membuat suasana menjadi gerah, kurang nyaman.
“Wah.. Pasti mau turun hujan nih,” pikirku.
Saat itu, di kampung kami belum ada listrik, jadi untuk penerangan di malam hari, kami biasa menggunakan lampu petromak. Sementara kalau buat belajar, kami memakai lampu yang lebih redup, lampu teplok namanya. Entah karena ceroboh, atau memang takdirku, aku yang saat itu ingin meminjam karet penghapus ke Mbak Sekar, langsung saja nyelonong masuk ke kamar Mbak Sekar yang saat itu baru saja berganti pakaian tidur.
“Mbak..” aku tercekat tak mampu meneruskan kalimatku saat ia ku lihat juga sangat terkejut melihat kehadiran ku, yang sama sekali tak di duga-duga. Mulutnya seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi entah, karena yang ada adalah kebisuan semata. Kami membeku oleh rasa takjub. Kalau aku tentu saja takjub karena mendapat pemandangan paliing mendebarkan, sementara Mbak Sekar karena tak menyangka adik sepupunya tiba-tiba hadir di saat ‘kritis’ semacam itu, hingga membuatnya T E R P A N A.
“Aduh.. mati aku,” hanya itu yang ia ucapkan pertama kali setelah tersadar dari keterkejutannya. Selanjutnya tangan-tangannya bergerak cepat berusaha menutupi tubuh 3/4 telanjangnya. Yang kumaksud yang tidak terbuka dari permukaan tubuhnya hanyalah separuh payudara dan celana dalam warna gelap, yang belum sepenuhnya tepat terpasang di pangkal pahanya.
Temaram lampu teplok yang menempel di dinding dekat meja belajar Mbak Sekar, memberiku cukup sinar menjelajahi ruang pandang yang tergelar di radius satu meter di depanku. Beha Mbak Sekar baru tergantung separuh di satu pundaknya, sementara tali satunya menjuntai di dada kirinya. Dan..
“Itu apa Mbak?” tanyaku polos, saat melihat kain kecil tersumpal di dalam kutangnya yang sebelah kanan. Gumpalan yang tampaknya seperti sepotong handuk kecil yang biasanya di pakai buat saputangan itu, secara tak terduga menyembul keluar dari dalam gundukan di dada kanannya. Sementara kakakku masih terbengong-bengong atas ‘musibah’ itu, tak terkendali mataku nyalang menjelajah seluruh area yang masih terjangkau sinar lampu berbahan bakar minyak tanah itu.
“Nah, ini dia Mbak,” gumamku tanpa rasa bersalah, saat aku temukan gumpalan kain berikutnya, yang tentu saja mirip dengan yang terpasang di cekungan kutangnya. Aku pungut benda itu yang masih teronggok tak berdaya di dekat kaki mesin jahit merk Singer, yang di pasang sejajar meja belajar Mbak Sekar. Saat kuangsurkan benda itu ke tangannya, ia nampak terhipnotis, orang jawa bilang. ‘Kamitenggengen’!!
“Lho kog diam saja Mbak?”
Aku jadi bingung melihat situasi ini. Yang ku tahu, Mbak yang satu ini sangat dekat denganku, di banding Mbak Dwi, Mbak Erna atau Mbak Asih. Setiap saat hampir dia yang selau ada di dekatku, menyuapi aku makan, mengajakku bermain atau memandikanku. Tentu saja aku jadi bingung melihat ia membisu seribu bahasa. Mungkin ini yang di sebut dengan Shock! Ah.. Masa bodoh, aku toh tidak bisa seratus persen boleh di salahkan. Lagi pula siapa yang suruh ganti baju pintunya tidak di kunci. Untuk mencairkan suasana, aku berinisiatif membantu Mbak Sekar memakai perlengkapan pakaiannya kembali.
“Mbak, kenapa anak perempuan harus pakai kain untuk menutupi dadanya?”
“Kan kalau di taruh kain di dada jack rasanya geli Mbak?” tanyaku ingin tahu.
Meski saat itu aku baru lima tahun, tapi keingin-tahuanku atas banyak hal sangat besar. Bahkan saat aku masih umur 2,5 tahun aku sudah hafal menghitung 1 sampai 100. Dan beberapa hal lain semakin menonjol, seiring bertambahnya usia. Aku mulai membaca dan bisa menulis di umur 3 tahun 7 bulan. Hingga di usiaku yang ke lima tahun, aku sudah terlihat seperti anak SD kelas 4, dalam hal kemampuan akademik. Hanya saja, ada keganjilan yang kurasakan. Untuk ukuran sebayaku, sebenarnya tak layak kalau ada yang punya pikiran untuk selalu tertarik dengan hal-hal yang berkaitan dengan pornografi.
Sebenarnya, perasaan tergila-gila pada seks itu muncul di usia 4 tahun. Saat itu, aku senang bila saat di mandikan ibuku memainkan tititku untuk di sabun. Biasanya saat-saat seperti itu adalah saat favoritku. Aku merasa geli campur nikmat. Dan tanpa ada ibuku pun aku sering tanpa sadar memilin penisku jika terasa agak gatal. Meski sesudahnya terasa agak perih, tapi aku sangat menikmatinya. Kurasa baru itu ‘starter kit’ yang aku punya. Selanjutnya, peristiwa mabak Sekar, membuka cakrawala baru pernak-pernik seksualitas.
“Sini kainnya,” ujarnya mengagetkanku, yang dengan tanpa persetujuanku, merebut gumpalan kain yang masih dalam genggamanku. Tapi, tiba-tiba pikiran nakalku muncul untuk menggoda Mbak Sekar. Aku berlari berputar-putar di bilik kamarnya, menghindari sergapan kakakku. Rupanya, hilang juga kesabarannya, dan ia tak mau lagi mencoba menangkapku. Dengan gontai ia berjalan memunggungi aku, tak berusaha merebut kain sumpal kutang nya.
“Kena..!” kataku sambil merangkul Kak Sekar dari belakang dan berusaha menggapai dadanya dari belakang. Kami biasa main gendong-gendongan dari belakang.
“Aduuh,” jerit Kak Sekar mematahkan suara guntur yang datang hampir bersamaan.
Seisi rumah tentu saja heboh!! Mereka pikir petir telah menyambar kakakku. Pak Dhe, Bu Dhe, Nenek dan Mbak Dwi bergegas mendatangi kamar Mbak Sekar. Tentu saja kami jadi panik karena seisi rumah panik. Disusul lagi dengan hujan yang turun seperti tercurah dari tempayan raksasa, masing-masing sibuk mencari timba untuk menangkal atap yang mulai bocor di sana-sini, maklum ruamah di desa, apalagi usianya sudah seumuran kakekku yang sudah meninggal
“Uuh hampir saja kita jadi sasaran omelan Nenek, Ibu dan Bapak. Untung saja segera turun hujan”.
“Tadi kenapa menjerit Mbak?” aku jadi penasaran.
Di usianya yang ke sebelas tahun, Mbak Sekar tampak tumbuh pesat melebihi teman sebayanya. Wajahnya tampak semakin cantik, dengan hidung mancung dan bibir kemerahan seperti habis makan sambal. Orang bilang ranum. Kadang aku suka tersinggung dan menjadi sangat marah jika ada pemuda yang coba-coba menganggu Mbak Sekar. Biasanya, mereka sambil bersiul di tempat mereka nongkrong, mengeluarkan kata-kata yang jorok, hingga seringkali Mbak Sekar hampir menangis bila kebetulan lewat dan di goda secara keterlaluan oleh mereka.
“Neng, sini dong, kumpul sama kita-kita, soalnya aku.. Padamuu” kata salah seorang dari mereka sembari membuat isyarat berbentuk daun waru dengan kedua tangannya. Atau,
“Wah.. Biar masih kecil, putri Pak Marto, boleh juga goyang pinggulnya, bikin aku dag dig dug dag dig dug.. Ha ha ha.” kadang bahkan terdengar menyakitkan di telinga orang beradab.
“Wis pokoke, selawe ewu wani.. Ha ha ha [“Ya.. Dua puluh lima ribu berani deh..” -pen].
Kalau sudah begitu, biasanya, aku akan langsung mencak-mencak membela Mbak Sekar. Terkadang aku sendiri jadi bingung, kenapa aku begitu antusias jika menghadapi Mbak Sekar, entah apa namanya, yang jelas di benak anak kecil sepertiku, aku selalu ingin merasa dekat dengannya. Sebagai ganti pengasuhku, Mbak Sekar memang istimewa. Dia penuh perhatian dan sangat lembut. Meski statusku ikut Nenek dan Bu dhe ku, sebab ke dua orang tuaku merantau ke luar jawa, tapi terutama aku sangat dekat dengan Mbak Sekar.
“Jack..” ujarnya lirih, “Kamu tahu kenapa Mbak menyumpal kain ke Beha Mbak?”
Aku menggeleng tanda tak tahu. “Itu karena Mbak merasa kesakitan sebab susu Mbak baru tumbuh.”
Aku terdiam tak bisa berkata-kata. Napasnya terdengar teratur, terbukti dari helaan di dadanya yang turun naik dengan lembut. Untungnya suasana sangat mendukung hingga semua penghuni rumah tak mengganggu kami lagi. Mungkin mereka sibuk dengan proyek ‘mengatasi kebocoran’ atau memang telah terkurung di kamar masing-masing, menikmati dinginnya musim penghujan di penghujung bulan januari. Yang jelas aku makin tak perduli. Ku dekatkan tubuhku ke bibir ranjang di mana Mbak Sekar berada.
“Dingin ya Mbak” gumamku mencari dalih agar aku di dekap Mbak Sekar, hal yang senantiasa ia lakukan bila melihatku agak menggigil selepas di mandikan. Benar dugaanku, Mbak Sekar, segera beringsut menggapai tubuhku yang memang kurasa agak mulai merinding terserang hawa dingin. Kedua tangannya mulai bergerak merangkul bahuku, dan menekan tubuh mungilku ke tubuhnya. Tapi.. Lagi-lagi..
“Auh.. Sakit!”
“Wah.. Kesenggol lagi ya Mbak?” tanyaku sambil mencoba bangkit, meneliti tangan mana yang telah kurang ajar menyakiti payudara Mbak Sekar. Di sela nyeri menahan sakit. Mbak Sekar tersenyum melihat kelakuanku.
“Essh.. Jangan tangannya yang disalahkan, tapi kepala jack yang telah menyenggolnya,” ucapnya sambil mendesis lirih menahan nyeri.
Rasa penasaran menuntunku berani memperhatikan payudara Mbak Sekar lebih dekat. Meski hampir sepenuhnya terbuka, akibat insiden tadi, terus terang aku tidak bisa melihat dengan jelas. Biang keladinya tentu saja sinar lampu teplok yang tak seterang lampu jaman Sekarang. Jadi meski sudah memicingkan mata, tetap saja obyek yang sedang ku amati tampak kabur.
Aku jadi penasaran, ingin tahu seperti apa penyakit yang di derita oleh Mbak Sekar. Makanya aku langsung mengambil inisiatif mendekatkan lampu teplok di dinding ke arah meja dekat ranjang Mbak Sekar. Nah, ini baru jelas, bahkan urat kehijauan di dekat lingkar putingnya nampak sangat atraktif membentuk kali grafi alamiah.
“Ehh.. Jangan terlalu dekat, nanti rambut Mbak kebakar,” tentu saja ucapannya hanya bercanda, tapi tetap saja aku kaget di buatnya, hingga tak kusadari aku secara reflek menjauhkan lampu teplok itu dari meja. Tapi rasa penasaran yang belum tertuntaskan, membuatku enggan menjauhi tubuh Mbak Sekar.
“Masih terasa sakit ya Mbak?” tanyaku, yang tanpa meminta persetujuan darinya mencoba meraba benjolan di dada Mbak Sekar.
“Aduh.. bukan begitu cara memegangnya,” kembali Mbak Sekar menjerit lirih saat pangkal putingnya teraba jariku. Aku memang kurang sabaran saat berusaha menjangkau payudaranya. Ku pikir toh tak ada bedanya kalau aku juga lagi memegang ‘payudaraku’ sendiri.
“Jack, anak perempuan dengan anak laki-laki berbeda. Kalau Mbak punya payudara, kamu hanya punya puting susu, yang tidak akan sebesar punya Mbak nantinya,” sambil berkata, tangannya menjangkau tubuh bagian depanku, tepat di dadaku, dan dengan lembut membelai puting susuku yang masih tertutup oleh kaos bergambar tokoh kartun Flash Gordon. Di perlakukan demikian, aku menggelinjang kegelian karena, jangankan puting susuku yang di raba, tangan, kaki, perut atau bahkan rambut di kepalaku, akan terasa sangat geli jika tersentuh orang lain. Reflek, Mbak Sekar mencoba menutupi mulutku dengan telapak tangannya, begitu melihat gejala aku nyaris terpingkal karena kegelian.
“Psst, jangan ketawa.. berisik,” bisiknya sambil berusaha menenangkanku.
Kali ini bukan saja tangan kanannya yang membekap mulutku, tapi tangan satunya tak terasa mulai mengelus punggung dan bahuku. Sejenak aku merasa tenang, dan perlahan aku kembali berusaha menggapai payudara Mbak Sekar. Tapi kali ini lebih lembut dan penuh penghayatan.
“Shh.. Uhh,” ia mendesah.
Aku tak tahu apakah ia merasa sakit, atau kegelian. Yang pasti aku mulai menyukai aktivitas baru ini. Sayup-sayup aku seperti mendengar gumaman tidak jelas dari dalam mulutnya.
“Coba dari tadi cara mengusapnya begini, Mbak nggak akan merasa sakit,” bisiknya lagi nyaris tak bisa kudengar, karena suara hujan yang di tingkahi gelegar petir, terkadang membuat pembicaraan kami sering terinterupsi.
“Mbak lihat, ‘burungku’ jadi berdiri!,” seraya menunjukkan benjolan di celanaku.
Mbak Sekar cuma tersenyum. Tapi ia sama sekali tak bereaksi atas kejadian itu. Tentu saja aku jadi kesal karena merasa di cuekin. Serta merta, akTVitasku kuhentikan sebagai bentuk protes atas perlakuan yang telah kuterima. Mbak Sekarpun jadi bingung tak tahu mesti berbuat apa. Kelak di kemudian hari, baru aku tahu, ternyata ia sama begonya denganku, tak mengerti mesti melakukan apa bila hal itu terjadi. Yah.. Maklum, anak kecil, masih buta soal seks.
“Jack.. Mau kemana?” tanyanya saat tahu aku bergegas ingin meninggalkan biliknya. Aku tak menjawab, dan langsung berlari, meninggalkannya.
Saat itu aku benar-benar tersiksa. Coba bayangkan, bagaimana tidak nyamannya, bila penis kita tegang terus menerus, tanpa tahu harus diapakan. Kepala penisku terasa menyundul-nyundul, kain resleting celana pendekku. Biasanya, aku juga sering ereksi bila bangun di pagi hari, tapi akan hilang dengan sendirinya bila telah buang air kecil, atau terguyur oleh air dingin. Tiba-tiba aku seperti di ingatkan, kenapa tak kucoba cara ini buat mengatasi ‘ngaceng’ yang kebablasan ini?
Pertama-tama tentu saja aku berusaha ke kamar mandi guna memaksa si ‘kecil’ ini untuk bisa kencing. Ternyata tak mudah ‘mengencingkan diri’ bila memang tak ingin buang air kecil. Langkah selanjutnya tentu saja, merendam nya ke dalam gayung berisi air dingin, dengan harapan.Ia segera layu dan tertidur pulas layaknya sebelum terstimulasi. Akhirnya, dengan putus asa, aku terpaksa membawa ‘si otong’ yang basah kuyup tapi tetap tegak menantang, ke bilik tidurku sendiri.
Berjingkat aku masuk ke bilikku, takut mengganggu nenek yang sedang tidur. Aku memang masih tidur dengan nenekku, di ranjang besar terbuat dari kayu jati yang sudah tampak usang. Aku perhatikan dengan seksama raut muka nenek yang keriput di makan usia. Saat peristiwa itu terjadi, Nenek berusia 70 tahun atau lebih. Ke mana-mana menggunakan tongkat, untuk menyangga tubuhnya yang mulai membungkuk, tapi soal vitalitas, jangan tanya! Orang bilang, mungkin ini yang di sebut Post-powersyndrome.
Lagaknya masih seperti ketika ia muda di jaman Tempo Doeloe. Dulunya, ia bekas istri seorang Ambtenaar, makanya masih sering menunjukkan prilaku layaknya pejabat. Di rumah, dialah sang penguasa. Tak seorangpun yang berani menatapnya kala ia berkata-kata, atau membantahnya, saat ia memberi perintah. Ucapannya adalah hukum yang harus di patuhi! Meski telah sangat pelan aku menaiki tempat tidur tersebut, tak urung, pendengaran nenek yang masih sepeka Radar, mampu mendeteksi kedatanganku.
“Dari mana saja kog nggak cepat tidur?!” nadanya bertanya sekaligus menghardik.
“Dari kamar mandi,” jawabku sekenanya.
Ah, paling juga enggak akan ada pertanyaan lagi, seperti biasanya kalau lagi nanyain aku menjelang tidur. Dugaanku tak salah, Nenek tak melanjutkan lagi intrograsinya. Phew.. Aman. Akupun mencoba berbaring di samping Nenek, membelakangi punggungnya. Rinai hujan di luar rumah masih terdengar agak riuh, meski tak selebat tadi. Tapi tetap saja ada yang terasa mengganjal di sela-sela selangkanganku. Ya, penisku belum mampu ku tidurkan. Aku berusaha tak melakukan apa-apa, mencoba mencueki keadaan itu, dengan dua tujuan;
1. Biar penisku tahu rasa; “Emang enak di cuekin?”
2. Menciptakan suasana kondusif, aman terkendali, dan meminimalisir resiko dari pantauan dan pemeriksaan Nenek, yang mungkin saja terbangun dan melakukan investigasi, bila aku masih saja berulah, berusaha memadamkan ‘ketegangan’ penisku.
Suasana sepi yang memagut, memaksaku untuk terpejam, meski terasa sulit. Dan selalu, seperti malam-malam sebelum malam itu, aku seperti merasakan ada gerakan kecil, menimbulkan suara gemeretak di alas tidur yang ku tempati. Seperti telah ku paparkan, ranjang kayu jati yang kutempati, memang telah usang. Makanya, gerakan sekecil apapun, akan menimbulkan bunyi berderit atau gemeretak karena engsel sambungan kayunya telah longgar.
Mulanya aku tak pernah mempedulikan hal itu, ku anggap itu hal wajar yang memang seharusnya terjadi pada perabotan kayu yang menjelang lapuk. Tapi, yang ini benar-benar mendebarkan. Saat setengah sadar ada suara aneh yang senantiasa terulang tiap malam, ternyata adalah gerakan Nenek yang tengah mencabut sesuatu dari sela-sela kain batiknya.
Posisinya yang telentang, tampak mengangkang, dengan posisi lutut tertekuk ke atas, tetapi masih mengenakan jarik [kain batik khas jawa-pen], sehingga secara sekilas akan menyamarkan aktivitas di balik kain yang di kenakan. Malam itu, jantungku berdetak 3 kali lebih kencang dari biasanya. Tanpa sedikitpun bergerak, aku coba mengamati apa yang telah di lakukan Nenek. Tampaknya Ia tak menyadari bahwa aku tengah mengintai dari balik sarung yang ku gunakan sebagai selimut.
Awalnya hanya ingin tahu saja, apa yang telah di lakukan Nenek, tapi, aku justru terasa makin menderita. Saat menjelang tidur, telah ku ceritakan bagaimana perjuangan ku mencoba menundukkan penisku yang menegang. Sebenarnya hal itu tak menggangguku lagi, begitu aku terlelap. Tapi kini, di suguhi pemandangan yang luar biasa ini, mau tak mau aku mesti menanggung resiko merasakan kemaluanku berdenyut lebih kencang dan tentu saja, lebih menyakitkan karena terbungkus kain celana pendekku.
“Uuh.. Sial benar,” tukasku menggerutu.
Ingin rasanya secepatnya melepas penjara bagi kemaluanku yang tampaknya menegang tak terkendali, bahkan kalau boleh jujur, sebenarnya telah sampai pada fase. Ngilu dan menyakitkan. Ini akan sangat dilematis bagiku. Membiarkannya, berarti neraka, tapi kalau untuk melepasnya, jelas hal yang tak mungkin, mengingat sekecil apapun gerakan tak wajarku, Nenek akan curiga, dan show nya pasti sertamerta b e r a k h i r. Yang pasti, aku nggak ingin ini terjadi, nggak ingin.
Lagi-lagi tangan keriput itu menelusup di balik kain Kemben [sejenis assesoris pakaian adat jawa-pen], yang ternyata telah di longgarkan ikatannya, sehingga dengan mudahnya, tangan Nenek keluar masuk di sekitar pangkal pahanya. Begitu telah sampai di kemaluannya, tangan itu berhenti agak lama di situ. Aku hanya bisa menduga-duga, barangkali ada sesuatu yang di cari oleh nenek di situ. Tentu saja perkiraanku ini di dasari oleh kenyataan, ketika terasa ada sentakan khas, yang sebenarnya membuat suara ranjang berderit, nenek segera mengangkat tangan itu dan mendekatkan ke hidungnya, seperti sedang mencium sesuatu di antara jari telunjuk dan ibu jarinya. Dan setelah hidungnya mengendus-ngendus, kembali tangannya menelusup.
Aku benar-benar menggigil saat itu. Ku rasa kulit tubuhku mulai meriang, panas dingin, seperti ketika menjelang sakit influenza. Bahkan aku mulai nampak berkeringat di sekujur tubuhku, di tengah dinginnya malam di musim penghujan yang sebenarnya terasa menggigit. Benar-benar ujian kejiwaan sekaligus santapan bagi fantasi liarku yang pertama. Aku mengatupkan gigi rapat-rapat, berusaha menyembunyikan deru nafasku yang memburu, yang sebenarnya kedua lubang hidungku, telah tak mampu menjadi saluran bagi derasnya aliran udara yang keluar masuk melebihi kapasitas normalnya. Dan parahnya lagi, oksigen yang kuhisap pun seperti bercampur bara, terasa panas dan menyesakkan.
Berkali-kali, aku menelan ludah, berusaha membasahi kerongkonganku yang terus menerus menjadi kering, karena sapuan angin panas yang semakin tak teratur ku keluarkan, kadang lewat hidung, kadang lewat mulut, hingga membuatku sering tersengal karenanya. Barangkali ini yang di sebut tersiksa tapi nikmat. Kadang, memang batas antara siksaan dan kenikmatan sangatlah tipis.
Setelah agak mampu menguasai diri, meski tak sepenuhnya, kembali perhatianku ku tumpahkan ke aktivitas Nenek. Tampaknya, sejenak ia mengurangi intensitasnya, bahkan, perlahan-lahan Ia bangkit, membetulkan kainnya, dan berjalan gontai meninggalkan kamar.
Dari dalam kamar ku dengar Dia tengah bercakap dengan Pak Dhe, yang rupanya belum bisa tidur dan kebetulan berpapasan dengan nenek, yang baru saja keluar dari kamar mandi. Rupanya Nenek tadi kebelet pipis. Aku tak tahu persis apa yang mereka perbincangkan, tetapi ini adalah kesempatan bagiku, untuk segera mengakhiri rasa sakit di selangkanganku yang terjepit oleh kain celana pendekku sendiri.
Cepat-cepat, kubuka celanaku, dan segera ku sembunyikan di bawah bantalku, Penisku yang masih tegang belum mau mengendor, meski telah ada jeda pertunjukan. Tapi itu kini tak lagi menyiksaku. Nenek datang beberapa saat, setelah aku memposisikan diri seperti semula, sama seperti saat ia pergi meninggalkan kamar. Sekilas, Ia memandang, posisi tidurku, dan, seperti tak terjadi apa-apa, mungkin setelah meyakinkan dirinya, bahwa aku tak mengetahui apa yang di lakukannya.
Wah.. kalau yang ini siksaan tahap kedua, aku jadi begitu tegang menunggu episode kedua. Sementara Nenek, rupanya belum ada keinginan melanjutkan aksinya. Aku sendiri sebenarnya sudah agak mengantuk, tapi, demi sesuatu yang bisa bikin aku panas dingin, aku rela menunggu.
Theng.. Theng.. Theng.. Jam dinding berdentang tiga kali, pertanda sudah mendekati subuh, aku gelisah dalam penantian menunggu aksi spektakuler berikutnya. Aku pikir, setelah sekian lama tak ada lagi pertanda aksi berlanjut, aku memutuskan mengakhiri petualangan mengintipku. Tapi.. tiba-tiba di tengah deraan kantuk yang begitu hebat, T e r j a d i!
Perlahan.. tangan nenek membuka ikatan kemben yang di kenakannya. Aku bisa menebak kelanjutan dari babak pertama ini, tangan itu akan perlahan-lahan menelusup ke sela-selaselangkangannya, berhenti beberapa saat di situ, mencari sesuatu, kemudian ada gerakan sedikit menyentak, dan tangan itu di dekatkan ke lobang hidungnya, di cium di kibaskan dan kembali ke ritme semula.
Tapi kali ini, aku tak mau terjebak ke dalam rutinitas menjemukan seperti yang sudah ku lihat sebelumnya, sebab yang bikin dag dig dug sebenarnya tak lebih karena rasa keinginan tahuan belaka. Aku mulai berinisiatif, karena timing nya memang tepat. Menjelang fajar seperti ini, ternyata, bukan aku saja yang terserang kantuk, tak terkecuali Nenek!Kewaspadaannya mulai menurun, karena ketika kuamati, gerakan tangannya makin lama semakin lambat, bahkan sesekali, dengkurnya mulai terdengar, meski hanya seperti suara pipa tersapu angin, karena gigi nenek memang telah habis.
Untuk memastikan sejauh mana kepekaannya, aku, sedikit demi sedikit menggeser posisi tubuhku mendekati tubuhnya. Mula-mula, kakiku kugeser menindih betis nya. Tampaknya nenek belum sepenuhnnya lelap. Sebab, begitu terasa ada benda menyentuh kakinya, helaan nafasnya berubah, pertanda masih agak sadar. Tapi aku tak berusaha memindah posisiku, takut ia menjadi curiga.
Benar saja, kembali Nenek diam saja, dengan posisi tangan masih menempel di kemaluan, tetapi masih tertutup kain batiknya, sehingga aku tak mampu melihat bentuk dan sensasi berada dalam zona terlarangnya.
Di sini, kembali, kesabaran dan nyali ku pertaruhkan. Aku harus sabar menuggu kesempatan terbaikku, menggapai ‘Trophy’ kemaluan Nenek yang memang tidak semudah seperti saat aku meminta di belikan mainan atau uang jajan dari nya. Benar-benar sebuah perjuangan yang layak di kenang!
Perlahan namun pasti, sang waktu pun berpihak kepadaku. Nenek benar-benar terlelap. Ini saatnya berpesta.. Meski sangat terbuka kesempatan itu, tapi aku tidak serta merta berani ‘menguliti’ Nenek. Pertama-tama, tentu saja, aku berusaha menyingkapkan kain yang menutupi separuh betisnya hingga ke perutnya. Aku sempat duduk, mengamati posisi tidur Nenek, dengan menetukan bagian mana dulu yang mesti kubuka. Dari situ, aku tahu, menyingkapkan kainnya dari bawah adalah posisi teraman, tentu saja posisi badanku harus sejajar dengannya, dengan pertimbangan, akan memudahkan aku mengembalikan lagi kainnya jika situasi menjadi sulit, dan yang terpenting, memompa fantasiku, ketika kulit kakiku beradu dengan kulit kakinya.
Sepertinya, tak ada halangan berarti, ketika kaki kananku yang ku tugasi menindih paha kiri Nenek, menjepit kain batik yang di kenakannya, dan menggesernya semakin ke atas mendekati pangkal pahanya. Sampai di sini, semua sensasi yang kurasa, sungguh lebih dahsyat dari yang pertama. Sengaja kombinasi semua rasa, dari rasa takut, geli, nikmat, bangga dan entah rasa apalagi aku tak mampu melukiskannya, berbaur membentuk halusinasi tak terkira, yang mungkin bakal aku kenang sampai aku binasa kelak.
Sengaja aku berlama-lama di situ, menghirup semua utopia yang tak pernah terlintas di benakku sebelumnya. Barangkali, kalau aku jabarkan, seperti ketika kebelet pipis saat mengemudi atau berada di kendaraan umum, sementara toilet yang kita tuju, masih belum nampak atau kita masih perlu menunggu giliran, begitulah kira-kira sensasi saat saya berusaha menggapai impian menyingkap tabir rahasia itu. Lega tak terperi yang aku rasakan, sesaat setelah buang hajat kecil, begitulah perasaan yang ada padaku, ketika mampu menelanjangi Nenek, orang yang jikalau dalam posisi sadar amat kusegani dan kuhormati.
Saat aura kegalauan telah kutuntaskan, aku beranjak ke langkah selanjutnya, yang justru menjadi taget utama misiku malam itu, yaitu melihat bagaimana dan apa yang telah di lakukan nenek di area tempat biasanya dia kencing! Aku tercekat, begitu menyadari dan tahu benda yang terpampang di hadapanku. Bentuknya menurutku mirip dengan milik kambing betina yang biasa kulihat di padang gembala bersama kakak sepupuku yang lain. Tak ada yang istimewa, seperti bayanganku semula, di mana kupikir, pasti agak aneh dan.. Entah, tak mampu aku imajinasikan.
Tapi aku masih penasaran, kenapa begitu melihat bentuk yang menempel di pangkal paha Nenekku, ereksi di penisku semakin menjadi? Kenapa saat di padang rumput, saat menyaksikan kambing kang wawan yang sedang merumput, dan nampak kemaluannya, yang jika melihat bentuknya mirip punya nenekku, aku sama sekali tak bereaksi?
Ahh.. kenapa mesti bertanya-tanya, kenapa tidak sekalian saja aku rasakan sensasinya saat memegang dan berada di dalamnya? Tapi, ini bukanlah hal mudah. Di atas gundukan itu, tangan nenek masih bercokol, menutupi sebagian ujungnya. Aku tak lagi perduli, apapun yang terjadi, malam ini aku harus tahu.
Saat tangan nenek yang ku coba ku geser ke arah lain yang lebih memudahkanku mengamati kemaluannya, tanganku gemetar takut kalau-kalau Nenek terbangun. Tapi meski dengan susah payah, misiku berhasil. Belahan di pangkal pahanya terlihat jelas. Hanya saja yang mengundang decak kagumku adalah, di sini kutemui bulu-bulu seperti rambut yang sebagian besar berwarna putih seperti uban, tetapi cuma satu sisi yang tersisa. Maksudku, sebagian besar nampaknya telah sengaja di buang oleh nenek dengan cara di cabut. Jadi, rupanya, selama ini, Nenek melakukan ritual ‘cabut jembut’, hal yang tentu saja memberiku andil yang cukup besar kelak di kemudian hari, hingga menjadikanku bereputasi sebagai balita tercabul di kota kami.
Akupun, dengan iseng mencoba mengelus-elus bulu-bulu kemaluan Nenek, yang menurutku tak seberapa banyak di banding luasnya’lahan’, sehingga lebih tepat bila ku analogikan seperti bukit tandus yang di tumbuhi beberapa batang ilalang. Dan telapak tanganku makin tak sabar mencoba mengetahui isi di dalamnya. Saat belahan itu ku buka, aku mencium seperti bau bawang merah yang di iris. Di tengah belahan itu ada segumpal daging kecil keriput, yang tampak di kelilingi oleh daging seperti kerang yang di kupas.
Saat itu aku tak tahu apa namanya, tapi yang pasti, daging kecil ini sempat kutarik-tarik dan kupelintir kekanan dan kekiri. Di bawahnya, ada lobang yang aku sendiri tak tahu seberapa dalam, karena aku tak berani memasukkan jariku ke dalamnya. Yang jelas, di dalam kemaluan Nenek terasa hangat tapi lembab. Aku suka berlama-lama di situ bermain-main dengan menarik-narik daging kecil yang tadi sempat kupelintir.
Aku tak tahu berapa lama aku bermain-main dengan kelentit nenek, tetapi satu hardikan yang cukup keras, di sertai rasa panas di telinga, akibat di jewernya telingaku oleh nenek, menyadarkanku.
“Grathil!,” begitu bentaknya sambil menghalau tanganku.
Akupun makin gelagapan saat menyadari keadaan tubuhku yang telanjang bulat, karena sarung yang kupakai ternyata telah merosot entah di mana.
Rupanya suara ayam berkokok yang begitu keras telah membangunkan nenek yang tengah terlelap. Dan begitu menyadari situasinya seperti yang kupaparkan, serta merta kemarahannya meledak. Bagaimana tidak, sorang anak bau kencur, yang notabene cucunya sendiri telah berani menelanjangi dirinya dan berani memainkan kelentitnya, di daerah ‘kekuasaannya’.
Ini benar-benar gawat dan bencana bagiku. Aku tak lagi punya nyali menatap Nenek yang kemudian beranjak ke dapur, sebagai kebiasaannya bertahun-tahun, yaitu minum air putih. Esok paginya, peristiwa semalam dengan kakak sepupuku dan nenek, menjadi tonggak bersejarah, yang mendasari kegemaran dan kecenderunganku bermain cinta dengan wanita lebih tua.,,,,,,,,,,,,,,,,,,