Cerita Seks Pasti Ujung-ujungnya Bercinta Juga

 

Perkenalkan Nama Saya Toni, umur saya 24 Tahun, tinggal di kota Medan. Orang tuaku tinggal di luar pulau karena Papaku bekerja di sebuah perusahaan pertambangan milik asing disana, sedangkan aku sejak kecil memang sengaja dititipkan pada kakek-nenekku di kampung dan entah apa alasannya, yang jelas bukan karena mereka tidak mampu mengurusku atau soal materi. Apa yang diberikan oleh kedua orangtuaku meski memang melalui kakek-nenek justru berlebih jika dibandingkan dengan teman-teman sebayaku. Mulai dari pakaian, mainan, uang saku, dan masih banyak lagi yang secara tidak langsung membuat aku jadi anak yang ke-pede-an bahkan cenderung suka cari perhatian dan arogan. Meski begitu prestasiku dalam bidang pendidikan bisa dibilang cukup baik, kenyataannya aku bisa diterima di salah satu SMA Negeri favorit di daerahku.

Kebetulan kakek dan nenekku menikah beda agama. Kakekku yang berasal dari desa adalah seorang muslim yang taat, sedangkan nenekku yang masih keturunan ningrat-belanda memeluk agama Katolik. Meski keduanya sayang kepadaku tapi aku justru lebih dekat dengan kakek, dan yang jadi masalah adalah pengetahuan agamaku yang kurang karena aku beragama katolik sesuai dengan papa mamaku.

Tak sekalipun kakek mengajarkan tentang agamanya meskipun kami begitu dekat, sedangkan jika aku harus dekat dan belajar dengan nenek… Hehehe yang ada aku selalu diomelin dan dituntut untuk menjadi anak yang baik dalam segi apapun dengan cara nenek yang otoriter bagai kompeni itu. Karna itulah aku selalu berlindung dibalik kakek, atau jika keadaan terdesak dan kakek pun merasa perlu menyerahkan aku pada nenek, aku lebih memilih kabur hingga kakek dan nenekku bahkan sampai bingung bagaimana aku bisa mendapatkan pemahaman agama yang baik, karena dalam semua mata pelajaran di sekolah, pelajaran agama adalah mata pelajaran yang paling jeblok dalam raporku. Suster Vero guru agamaku terkadang hampir habis kesabarannya saat mengajarku dalam kelas. Pengetahuan agama yang kurang ditambah sikap dan perilaku yang badung membuat beliau bahkan pernah datang ke rumah dan membahas soal kenakalan dan prestasiku yang jeblok di sekolah.

Suster Vero adalah seorang suster yang bertugas di paroki dan juga mengajar agama Katolik di sekolahku. Selain bekal pengetahuan agama yang kurang dari rumah, sebenarnya beliau ini adalah salah faktor yang membuat nilaiku justru jeblok di sekolah. Bagaimana tidak, setiap beliau megajar bukan soal pelajaran yang aku serap, aku justru sering melamun soal beliau. Jika boleh aku gambarkan disini, beliau berasal dari NTT, dengan ciri khas orang timur berkulit sawo matang, posturnya bisa dibilang proporsional setidaknya menurutku, tubuhnya ramping meski tidak terlalu tinggi, lekuknya samar tercetak dibalik baju keagamaan dengan ukuran pas badan, belum lagi kedua matanya yang bening namun tajam yang kadang menemaniku dalam khayalan saat beronani baik saat di rumah atau di toilet sekolah. Terlebih jika beliau sedang menulis di papan tulis, tangan kanannya yang terangkat karena papan tulis yang terlalu tinggi dan tangan kirinnya yang memegang buku panduan membuatku seolah ingin memeluknya dari belakang, meremas toketnya sambil menggesek-gesekkan kontolku di pantatnya yang kencang. kadang sesekali kupejamkan mata ketika sedang menikmatinya, hingga pada suatu hari …

“PLAKKKKK…”

Mataku terbelalak ketika Suster Vero sudah ada di hadapanku sambil memegang penggaris kayu besar yang tadi dipukulkannya di mejaku.
“Hei kamu Toni, coba kamu jelaskan tentang Nabi Musa seperti yang suster ajarkan barusan?” Suster Vero menatapku tajam seketika itu pula aku tertunduk, meski dengan diselingi gerakan menggaruk-garuk kepalaku sendiri.

“Anu suster … Anu …”
‘Matih aku ….’ gumamku dalam hati. Dengan jumlah murid yang sedikit dan suasana yang begitu hening saat Suster menantikan jawabanku, membuatku tak berkutik untuk meminta bantuan bisikan dari teman di dalam kelas agama.

Beberapa menit aku tak kunjung mengeluarkan kata-kata untuk menjelaskan kembali pelajaran yang baru saja diajarkan Suster Vero.

“Sudah sana, kamu keluar dan tunggu di luar kelas”.

Dengan langkah gontai dan tanpa pembelaan aku pun berjalan keluar dan duduk di depan pintu ruang agama Katolik. Bel pelajaran berbunyi, aku masih tetap berada di depan pintu ruang agama dan menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Doa penutup pelajaran agama sudah selesai dan beberapa saat suster Vero keluar ruangan. Beliau menatapku dari kejauhan, namun saat melintasiku suster berlalu dengan sikap dingin tanpa menyapaku.

“Suster … Suster …” aku berjalan mengejar beliau, namun Suster Vero tetap tak bergeming hingga saat aku beranikan diri untuk menyentuh lengan tangan kanannya. Seketika Suster Vero menghentikan langkahnya di lorong sekolah.

“Suster, Toni minta maaf …. “
“Iya …” Suster Vero hanya mengeluarkan sepatah kata dengan raut wajah yang dingin dan kembali lagi melanjutkan langkahnya.
“Maafin Toni suster… ?” aku masih terus mengejar dengan kata-kataku.
“Toni janji akan bersikap baik di kelas dan memperhatikan pelajaran, tapi suster maafin Toni ya …? Kalau perlu berikan hukuman atas kesalahan Toni…. ” Kali ini aku berdiri menghadang Suster Vero hingga beliau berhenti dan kedua bola matanya yang indah menatapku kembali dengan tajam.
“Baik jika itu permintaanmu, suster minta kamu datang ke Susteran jam 4 sore dan sekarang kembalilah ke kelasmu.”
“Terima kasih suster…” aku menundukkan kepala dan menggeser tubuhku untuk memberikan jalan.”

Jam sudah menunjukkan jam 3 sore, dan aku bergegas mandi, Setelah berpakaian rapi akupun menstater sedan Toy*ta hatchback yang dititipkan papaku di rumah kakek sepaket dengan aku. Meski belum cukup umur dan papaku juga jauh di luar pulau, tapi aku sudah terbilang mahir membawa mobil berkat Om Agus adik bungsu dari mamaku yang masih kuliah dan tinggal di rumah kakek dan nenek.

*Skip skip skip*

Ahkirnya aku pun sampai di depan gerbang susteran. Setelah mobil kutepikan aku mengetuk pintu pagar besi yang tertutup rapat dan tak lama keluarlah Suster Vero.

“Eh kamu Toni, silahkan masuk ,”
“Dianter siapa Toni.. ?” Suster Vero bertanya sambil bahasa tubuhnya seolah menanyakan siapa yang menungguku di dalam mobil.
“Saya sendirian suster…”
“Kamu sendiriaan?? Setir mobil itu…???” diikuti dengan tarikan nafas panjang dan gelengan kepala.
“Iya suster…. ” jawabku singkat dengan perasaan sedikit bangga namun tetap menunjukan mimik cemas akan reaksi suster Vero selanjutnya.
“Memang orang tua kamu mengijinkan?”
“Papa dan mama di luar pulau suster, Toni dari kecil …. Bla … Bla … ” ahkirnya sore itu suster Vero tahu tentang keadaanku yang sebenarnya, bahkan raut wajahnya yang biasanya datar pun kulihat berubah menunjukan rasa terenyuh dengan keadaanku.

Kami berdua sudah duduk di sebuah bangku panjang ruang tamu susteran sambil aku menceritakan kondisi kehidupanku, dan perlahan suasana semakin mencair, apalagi kondisi susteran saat itu sedang sepi, hanya ada aku dan suster Vero.

Belakangan aku tahu juga bahwa tempat itu hanya ditinggali oleh 3 orang suster diantaranya adalah suster Mela, suster Gita dan Suster Vero, mereka punya kesibukannya masing-masing. Suster Mela yang seorang Kepala Sekolah SMA yayasan Katolik lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah selain melakukan pelayanan gereja atau berkunjung ke rumah-rumah umat di lingkungan paroki. Suster Gita yang sudah berumur pun tak kalah sibuk memberikan pelayanan gereja, pelayanan umat, dan sering melakukan ziarah ke tempat-tempat yang disucikan oleh umat Katolik baik di dalam maupun luar kota karena diminta umat untuk menjadi pembimbing rohani. Sedangkan suster Vero yang lebih banyak tinggal di susteran bisa disebut masih baru di lingkungan paroki kami.

Tugas pokok suster Vero selain melayani gereja adalah sebagai guru agama di sekolahku. Yah, selain belum lama ditugaskan di paroki ini suster Vero juga tidak memiliki sepeda motor seperti Suster Mela dalam beraktifitas, hanya kegiatan yang benar dirasa perlu saja yang bisa dihadiri olehnya sehingga praktis beliau lebih banyak tinggal sendirian di susteran.

“Kasihan kamu Toni… Kamu pasti sangat merindukan orangtuamu ya …?” suster Vero mendekatkan dirinya dengan posisi tubuh yang mengarah padaku sambil mengusapkan tangannya di rambutku.
“Eh… Oh, iya suster ….” aku menjawab sekenanya karena belaian tangan suster di kepalaku saat itu membuat tubuhku tiba-tiba merinding seperti tersengat listrik meski hanya hitungan detik.

Aku refleks melihat wajah suster Vero yang saat itu duduk disampingku, ingin rasanya kudekatkan wajahku dan mencium bibir tipisnya, arrrghhh ….

Suster Vero kemudian menarik tangannya dari kepalaku dan merubah posisi duduknya sambil menghela nafas panjang. Kepalanya menengadah keatas cukup lama dan saat itu pula kulihat matanya berkaca-kaca.

“Suster kenapa? Apa perkataan Toni ada yang salah…?
“Enggak kok Toni, gak ada yang salah … ” Suster Vero menjawab sambil menyeka air mata yang menetes di sudut matanya dengan jari.
“Suster hanya …. ” suster Vero menghentikan kata-katanya sambil menarik nafas dalam-dalam.
“Toni minta maaf kalau Toni salah, maaf sudah bikin suster sedih dengan cerita Toni…”
“Enggak Toni, kamu gak salah …. Suster sedih karena teringat orang tua di NTT. Saat ini ibu suster sedang sakit parah dan dirawat di rumah sakit”
“Owh … Maaf suster, Toni gak tahu …”
“Suster ingin sekali bisa pulang tapi suster belum bisa”
“Sabar ya suster” entah kenapa aku tiba-tiba berani meraih dan menggenggam tangan suster Vero.
“Yang penting sekarang kita doakan ibu suster agar kondisinya semakin membaik, kita doakan juga saudara-saudara disana agar senantiasa diberikan ketabahan dan kekuatan dalam merawat ibu suster”. Ya …. Sekali lagi anehnya aku bisa dengan luwes melontarkan kata-kata untuk menenangkan hati suster Vero saat itu.

Seketika itu pula suster Vero melepaskan tangannya dari genggamanku dan memelukku dari samping dengan erat.

“Terima kasih Toni…. Kamu baik sekali …. Selama ini suster sudah salah menilaimu …”
W.O.W… Jantungku serasa berhenti berdetak ketika payudara suster Vero menempel di lenganku, meski memang saat itu masih terhalang oleh baju yang kami kenakan. Rasa empati yang ada dalam diriku berubah drastis menjadi nafsu yang berkobar saat gundukan kenyal yang samar tergambar dalam otakku, tonjolan bulat berukuran sedang namun padat dan kencang itu lembut menekan lengan kiriku.

Dalam hitungan detik suster Vero sudah melepaskan pelukannya saat aku masih berusaha untuk menikmatinya.

“Maaf Toni… ” suster Vero terbata-bata dan kembali memperbaiki posisi duduknya.
“Gak apa-apa suster … ” meski sebenarnya aku sanga bersedia memberikan tubuhku sebagai tempat pelampiasan emosinya … Huft …

Kami berdua sama-sama terdiam, entah apa yang ada di pikiran suster saat itu namun dalam benakku hanyalah kelembutan payudaranya yang masih saja terngiang.

“Sebaiknya sekarang kamu pulang Toni…” suster Vero memulai kembali pembiciraaan kami.
“Lalu hukuman atas kesalahan Toni di kelas …?”
“Hukuman? … Emmm … Tidak ada hukuman buat kamu Toni… Suster hanya minta agar kamu lebih konsentrasi dan bersungguh-sungguh dalam belajar dan sekarang suster ingin berdoa sendiri untuk kesembuhan ibu”
“Baik suster, kalau begitu Toni pamit …”
“Terima kasih Toni, berhati-hatilah di jalan …”

Aku menganggukkan kepala dan membalikan badan menuju pintu keluar.

“Toni… ” suster Vero berjalan mengikutiku keluar
“Tolong jangan ceritakan kejadian tadi pada siapapun.”
“Dan satu lagi, kapanpun kamu mau, kamu boleh datang kesini”
“Baik suster, Toni pamit”

Semenjak saat itu hubunganku dengan suster Vero semakin membaik, di kemudian hari saat aku berpamitan pada kakek nenek untuk berkunjung ke susteran, justru nenek seringkali menitipkan makanan atau lauk pauk untuk para suster disana.

Memang hal ini tak lazim jika dilakukan oleh remaja khususnya cowok seumuranku, Aku tak peduli, berbagai alasan kugunakan agar aku bisa selalu dekat dengan suster kesayanganku itu. Mulai dari mendapatkan hukuman, pendalaman imanku, atau alasan memberikan pelayanan. Begitu pula dengan suster Vero, aku yakin beliau pasti melakukan hal yang sama pada suster lainya, lingkungan atau umat yang mungkin melihatku mondar-mandir di susteran itu. Memang tak sering dan tak banyak yang bisa kulakukan disana, misalnya seperti membersihkan halaman susteran, menyapu dan mengepel lantai atau berkonsultasi mengenai masalah keagamaan dan semua itu kulakukan dengan tanpa terpaksa.

Hubungan yang aneh … tapi entah kenapa masih saja kujalani dan begitupun kurasakan dengan suster Vero. Hubungan kami tak lagi seperti seorang murid kepada gurunya atau seorang rohaniawan dengan umatnya. Kami sudah seperti sahabat, bahkan seperti sepesang remaja yang menyimpan perasaan satu sama lain, untukku memang hal ini berlaku namun bagi suster Vero? Apakah perasaanku ini juga sama dirasakannya?

Hingga pada suatu waktu;

“Toni, anterin suster kesana yuk …?
“Hmmm… Boleh suster, memang ada acara apa disana..?
“Tidak ada acara khusus, suster hanya ingin ziarah dan melakukan doa pribadi saja …”

Hari minggu ahkirnya kami sepakati untuk berangkat ziarah. Namun karena awal musim hujan yang membuat cuaca jadi kurang bisa ditentukan. Terkadang hujan tiba-tiba datang dan berhenti tanpa bisa dikehendaki, sama seperti pada hari itu. Sedari pagi hujan mengguyur kota kami, meskipun tidak terlalu lebat namun berlangsung cukup lama. Kami bahkan sudah berencana membatalkan tujuan saat itu, sekali lagi entah kenapa sepertinya rasa yang menggebu membuat aku dan suster Vero tetap berangkat kesana saat hujan mulai reda.

Mobil yang kukendarai sudah sampai di area parkir goa tritis. Meski begitu perjalanan belum selesai karena memang untuk mencapai tempat itu harus dilanjutkan dengan berjalan kaki melalui jalan setapak terjal dan naik turun perbukitan.

Di perjalanan, aku bak seorang pangeran yang sedang menikmati keindahan alam bersama seorang putri yang cantik jelita saat itu. Betapa tidak, nyanyian merdu suara alam seolah mengiringi perjalanan kami melintasi jalan bebatuan yang terjal dan licin di tempat itu. Sesekali aku dengan sigap meraih tangan suster Vero yang kesulitan melangkahkan kaki di bebatuan terjal atau tanjakan curam, bahkan kami sempat beberapa kali terbawa suasana hingga lupa melepaskan tangan. Nafsu birahi yang biasanya memuncak saat membayangkan suster Vero menemaniku beronani, kini ditambahi dengan perasaan aneh yang belum pernah aku rasakan. Detak jantung yang bedegup semakin kencang dan nafasku pun tak beraturan … Apakah ini yang dinamakan dengan cinta?

Sampai di tempat tujuan kulihat masih ada beberapa pengunjung yang melakukan doa disana. Tak ketinggalan kamipun berdoa bersama, meskipun kemudian suster Vero mempersilahkan aku untuk menunggunya sebentar karena beliau ingin memanjatkan doa-doa khususnya secara pribadi.

Aku berjalan-jalan mengitari mulut goa sambil menyalakan sebatang rokok sambil menunggu suster Vero selesai dengan doanya. Suster Vero memang tahu kalau aku merokok namun beliau tidak pernah lagi memarahiku, hanya terkadang menasehatiku akan bahaya rokok, atau soal uang pembelian rokok yang lebih baik kutabung . Hubungan kami benar-benar sudah sampai pada titik dimana kami bisa menerima kekurangan masing-masing.

Hari sudah semakin sore dan rintik hujan sudah mulai turun, aku bergegas memperingatkan suster Vero untuk segera menyelesaikan doanya dan turun dari bukit. Hanya kami berdua yang masih ada di dalam goa dan kami putuskan untuk segera pulang. Hujan yang semakin deras memaksa kami harus berdekapan dibawah payung lipat yang sudah disiapkan oleh suster Vero. Seharusnya aku bisa menikmati ini, namun hujan yang semakin deras memaksaku untuk lebih berkonsentrasi dengan jalanan yang tidak bersahabat hingga kuputuskan untuk berteduh di sebuah aula tak jauh dari goa itu. Suasana yang sunyi ditambah hembusan angin yang kencang menerpa tubuh kami yang sedikit basah terkena hujan, membuat kami berdiri berhimpitan di teras aula itu.

“Sebaiknya kita berteduh sambil menunggu hujan mereda” aku mencoba memecah keheningan saat itu.
“Iya Toni… Brrr….” Suster Vero mejawab dengan menggigil dengan tangan yang disilangka seolah mencoba menghangatkan tubuhnya sendiri.

Secara refleks kutelusupkan tangan kananku diantara punggung suster Vero dengan dinding aula yang dingin. Kugenggam tangan kanannya dan kuelus perlahan sembari berkata …
“Maaf suster, Toni gak tega melihat suster kedinginan….”

Suster Vero tidak merespon kata-kataku, hanya kulihat mataya mengerliang kepadaku. Suster Vero hanya menatap kedepan, sesekali meringkuk menundukkan kepala menahan dingin yang menerpa kami sore itu. Ingin rasanya kudekatkan wajahku dan kukecup pipinya, namun saat itu aku masih ragu-ragu. Hingga aku sudah merasa tak kuasa mengungkapkan perasaanku kepadanya.

“Suster … Toni sayang sama suster ….”
Suster Vero memalingkan wajahnya kearahku, namun beliau hanya diam saat bertatapan dalam jarak yang sangat dekat.
“Aku juga sayang sama Toni….”. Selang beberapa saat suster Vero membuka bibirnya, meski saat itu ia menundukan kepalanya saat mengungkapkan rasa sayangnya kepadaku.

Bagai melayang diudara saat itu, entah hujan atau gondoruwo penunggu bukit inipun seolah akan mampu aku hadapi nanti, yang penting saat ini aku bisa berlama-lama dengan kekasih hatiku.

“Terima kasih suster …” aku mengusap lengan kanannya dan sesekali kuremas lembut.
Kami berdua larut dalam suasa hening, jantungku berdesir seolah sedang bermain trampolin di dalam tubuhku. Sesekali kami saling bertatapan kemudian memalingkan muka. Hingga kuberanikan diri mendekatkan wajahku dan mengecup bibirnya. Suser Vero tak menolak, namun ia hanya menundukkan kepalanya. Aku semakin berani dan ku ubah posisiku hingga kami saling berhadapan.
Suster Vero menatapku dan kami kembali saling berciuman. Kali ini suster Vero mencoba membalas ciumanku, bibir kami saling berpagutan seolah ingin saling menunjukan kedalaman cinta kami satu-sama lain. Aku yang memang sudah terbiasa bermain cinta dengan pacar-pacarku, ditambah dengan referensi film biru yang sering ku tonton, membuatku tak puas dengan hal itu. Kontolku yang sudah tegang saat kami saling berpelukan dibawah payung, menjadi semakin besar dan mengeras mendesak suster Vero.

Ku usapkan tanganku di punggungnya sambil kami tetap saling berpagutan, sesekali kuturunkan hingga mengenai pantatnya yang memang benar kencang seperti bayanganku selama ini. Sampai hinga saat aku hendak menyingkapkan roknya, suster Vero melepaskan ciumannya dan kemudian mendorongku agar menjauh.

“Jangan Toni… Kita sudah terlalu jauh …. Dan aku rasa kita sudah sangat salah dan berdosa…”
Emosiku bergejolak saat itu, akal sehatku justru semakin hilang saat kudengar kata-kata suster Vero itu.
“Tapi suster … Toni benar-benar sayang sama suster…”
“Aku tahu, dan aku juga sayang sama Toni… Tapi …”
Aku berjalan mendekat dan kupeluk suster Vero….
“Ijinkan Toni menunjukan rasa sayang Toni, setidaknya untuk sekali ini saja …” entah setan apa yang merasukiku sehingga kata-kata itu tiba-tiba kubisikan di telinga suster Vero.

Mata kami kembali beradu seketika bibir kami pun juga kembali berpagutan.
Kutarik tangan kanan suster Vero yang masih terasa ragu menelusup kedalam celana jeansku, masih terasa susah karena kami juga masih menikmati lidah kami yang juga saling beradu. Dengan sigap kubuka kancing dan retsliting celanaku hingga kontolku pun terbebas mengacung meski masih dalam genggaman suster Vero. Kubimbing tangannya untuk mengocok kontolku yang besar dan panjang itu.
Aku masih berkonsentrasi dengan bibirnya, sesekali kuremas payudaranya dari luar bajunya. Hingga saat kocokan tangannya kurasakan semakin berirama, kutekan kedua bahunya kebawah. Suster Vero sepertinya sudah sedikit paham dengan maksudku. Ia sudah dalam posisi berlutut dan dihadapannya sudah mengacung kontolku yang tegak mengacung, kepalanya menengadah dan kedoa bola matanya menatapku dalam-dalam.

Tanpa kata-kata seolah Ia tahu apa yang harus dikerjakan saat kugerakkan pantatku perlahan hingga ujung kontolku menyentuh bibirnya. Bibirnya yang tipis perlahan terbuka seolah mempersilahkan kontolku merasakan kehangatan mulutnya. Perlahan kepalanya mulai bergerak maju-mundur dengan penuh perasaan,

“Plop… Flop… Slrph…’’’
“Terus suster … Terus sayang …” aku meracau sekenanya sementara sesekali kulihat suster kesayanganku sudah mulai mahir memijat kontol besarku dengan mulutnya.
“Pelan sayang …” aku bahkan memintanya untuk mengulum penisku perlahan, karena saat itu aku merasa akan segera mencapai puncaknya.
“Crot … Crot …Crot … Cret …”
“Argh.. Hueks … Aaaahhhh ….” suster Vero terkejut dan seketika melepaskan kontolku keluar dari mulutnya.

Spermaku pun berjatuhan saat ia membuka mulutnya yang kutembakan beberapa kali bahkan saat ia mencoba melepaskan kontolku justru tembakan yang tersisa mengenai pipinya.
“Toni… Kamu jahat …”

Aku mendekap tubuh kekasihku itu dan kukecup keningnya, kamipun kembali berpelukan sambil menunggu hujan reda di tengah hutan itu.
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

Related posts