Merengkuh Nikmat Dengan Nidar
Sebelum aku duduk di perguruan tinggi, aku sudah kenal yang namanya cinta atau sudah pernah pacaran dengan seorang gadis di kampungku. Bahkan karena orangtuaku belum mengizinkan aku main pacar-pacaran ketika itu, sehingga mereka berusaha memisahkan aku dengan pacarku itu, terutama ketika kami bersamaan tamat. Pacarku tamat di SMP dan aku tamat di SMA di ibukota kecamatanku. Waktu itu aku masih ingat, dimana kami telah sepakat untuk melanjutkan pendidikan kami di ibukota propinsi kami (sebut saja kota makassar). Namun setelah orangtuaku tahu rencana kami, mereka justru mengantarku ke ibu kota kabupatenku untuk mendaftar pada salah satu perguruan tinggi negeri di kota tersebut, sementara pacarku tetap mendaftar di makassar, sehingga kami betul-betul berpisah dan sulit bertemu lagi.
Singkat cerita, setelah aku lulus dan tinggal di salah satu panti asuhan bersama teman-teman sekampungku, aku merasa terikat sekali, karena semua kegiatan harian kami di tempat itu serba diatur dan dikontrol, sehingga aku sulit bergaul dengan orang-orang di luar asrama, kecuali saat kuliah. Akhirnya aku berusaha kabur dari tempat itu setelah 6 Bulan aku tinggal menderita di tempat itu. Aku lalu numpang di rumah salah seorang keluarga yang kebetulan pimpinan salah satu instansi di kota itu. Namun aku hanya mampu bertahan selama 8 Bulan di rumah itu, sebab perasaanku tidak jauh beda dengan tempatku sebelumnya. Semua serba harus teratur, terkontrol dan harus minta izin jika mau keluar rumah. Bahkan aku merasa terbebani dengan kerja rutin setiap pagi yaitu mencuci pakaian tuan rumah, memasak dan mengasuh beberapa anaknya yang masih kecil-kecil.
Dengan alasan mau lebih konsentrasi belajar dan dipanggil oleh seorang teman mahasiswa untuk tinggal bersama karena sendirian di rumah kostnya, maka aku diizinkan pindah dari rumah itu, meskipun setiap hari minggu aku berusaha untuk tetap datang ke rumahnya membantu. Sekitar satu tahun pertama, aku tinggal kost bersama teman dengan aman, tenang dan lebih konsen belajar, bahkan prestasiku cukup memuaskan. Namun kirimanku sudah mulai tersendat-sendat, apalagi kebutuhanku saat itu semakin besar karena selain uang kuliah, uang rokok, kontrak rumah juga jajan jika aku malas memasak sebab terlambat pulang kuliah. Pikiranku sudah mulai berjalan untuk memperluas pergaulanku, baik dengan tetangga, sesama remaja di lingkunganku maupun sesama teman kuliah agar sewaktu-waktu aku bisa minta tolong dari mereka jika aku mengalami kesulitan selama dalam proses perkuliahanku.
Aku lebih memusatkan perhatianku pada gadis-gadis yang simpatik denganku. Persahabatanku dengan para wanita teman kuliahku cukup luas dan akrab serta tidak sia-sia, sebab mereka tidak jarang membantuku dengan membelikan rokok atau memberikan uang pembeli rokok, bahkan seringkali mentraktirku di warung-warung sehingga aku tidak perlu lagi memasak ketika pulang ke rumah. Aku tidak membeda-bedakan di antara mereka. Kami perlakukan sama, sehingga boleh dibilang hanya sebatas sahabat, karena tujuanku hanya satu yakni mengharapkan bantuan kebutuhanku sehari-hari, apalagi aku sadari bahwa kemampuan orangtuaku untuk membiayai kuliahku sangat terbatas. Sepulang dari tempat kuliah aku juga mencoba menjalin persahabatan dengan gadis-gadis tetanggaku dan bantuan mereka terhadapku juga tidak bisa ternilai besarnya. Kadang aku diantarkan nasi, ikan, kue dan sebagainya.
Selaku pria normal, tentu tidak heran jika di antara mereka ada yang dapat menggaet hati kecilku, meskipun mulanya aku tetap tidak mau menunjukkan adanya perbedaan dalam penilaianku. Tapi karena hatiku pernah disinggahi raca cinta oleh seorang gadis di kampungku, maka aku tidak mampu mempertahankan sikap mempersamakan itu terus menerus. Apalagi gadis tetanggaku yang satu ini mirip sekali dengan mantan pacarku di kampungku dulu. Wajahnya, bodinya, penampilannya, suaranya dan sikapnya terhadapku sulit sekali aku bedakan dengan mantan pacarku sehingga aku berpikir mungkin Tuhan sengaja mempertemukanku dengannya sebagai ujian bagiku atau pengganti kekecewaanku tempo hari. Sampai-sampai suatu hari aku menanyakan asal usul keluarganya siapa tahu ada hubungan famili dengan mantan pacarku itu, tapi ternyata sama sekali tidak hubungan keluarga apa-apa kecuali sama-sama cucu Adam.
Sikap dan perhatianku terhadap Nida (nama gadis tetanggaku itu) semakin memuncak ketika satu bulan menjelang keberangkatanku ke lokasi KKN. Aku mulai berpikiran macam-macam. Di hatiku aku bertekad akan memperjelas dan mengetahui sejauh mana perhatiannya padaku sebelum aku berangkat KKN, sebab siapa tahu sepulang KKN nanti aku tidak sempat lagi tinggal di rumah kostku itu. Namanya saja rumah kontrakan yang sewaktu-waktu ada orang lain yang melamarnya tinggal di tempat itu selama 2 Bulan aku di lokasi KKN bersama dengan teman kostku itu. Nidar nampaknya juga mempunyai perasaan yang sama, terlihat dari sikapnya yang lebih mendekatiku setelah ia tahu aku akan keluar KKN. Kadang ia bawa makanan di rumah kostku di malam hari, mengajakku jalan-jalan, nonton bioskop dan TV di rumahnya pada malam hari.
Hingga suatu malam, Nidar datang membawa sayur nangka dan ikan bakar ke kostku. Kebetulan aku sedang masuk ke WC yang ada di belakang rumah. Rumah kostku waktu itu terbuat dari kayu dengan dinding yang terbuat dari bambu. Lantainyapun terdiri dari belahan-belahan bambu yang tingginya sekitar satu meter dari tanah, sehingga orang bisa masuk ke kolomnya. Setelah membuang hajat, aku lalu masuk ke kolom rumah untuk mendengar dan melihat dari bawah perbincangan Nidar dengan teman kostku itu. Mereka masih berdiri berhadap-hadapan karena kami tidak mempunyai kursi sama sekali di rumah itu.
Lampu yang kami gunakan untuk belajar setiap malam di rumah kost itu, bukan dari listrik, melainkan lampu sumbu yang terbuat dari kaleng susu, yang terletak menyala di lantai. Aku tidak pernah menyangka kalau aku bisa melihat pemandangan yang membangkitkan syahwatku malam itu lewat sela-sela lantai belahan bambu. photomemek.com Nidar ternyata tidak pakai CD sama sekali, sehingga terlihat dengan jelas gundukan putih mulus yang belum berbulu di antara kedua pahanya. Kebetulan ia masih muda sekali. Usianya bari sekitar 18 tahun, dengan tinggi badan 165 cm, tubuhnya agak langsing, putih mulus dengan rambut tidak terlalu panjang. Ingin rasanya aku meraba dan mengelus-elus benda kenyal yang tidak jauh dari hidungku itu, sayang sela-sela lantai diatasku terlalu sempit buat tanganku. Aku hanya terpaku menatapnya tanpa berkedip, terutama ketika ia sedikit merenggangkan kedua pahanya, nampak warna merah pada kedua bibir vaginanya.
Aku hanya bisa bernafas terputus-putus melihatnya dengan jelas sekali akibat cahaya lampu yang memancar dari bawah rok warna putih dan agak tipis yang dikenakannya. Entah apa maksudnya ia tidak mengenakan celana malam itu, tapi yang jelas ia nampaknya tetap menungguku masuk ke rumah. Setelah ia melangkah dan bolak balik seolah gelisah menungguku, akupun segera masuk ke rumah dengan memberi salam, lalu ia jawab sambil tersenyum manis padaku.
“Aduh, Kak Aidit dari mana ini? kok buang hajatnya terlalu lama, jangan-jangan mencret-mencret, ada obat di rumah” katanya sambil tertawa kecil dan memandangiku dengan penuh arti.
“Dit, ada sayur dan ikan bakar saya bawa, siapa tahu belum makan, masih panas-panas lagi, makanlah, aku mau pulang dulu” lanjutnya sebelum aku bicara sambil berbaik arah ke pintu mau pulang.
“Dar, duduk dulu, kita bincang-bincang sebentar, siapa tahu kami nanti tidak tinggal lagi di sini setelah balik dari lokasi KKN, jadi nggak apalah kita gunakan kesempatan kita ini untuk ngobrol” kataku mencegah untuk pulang cepat. Ternyata ajakanku dituruti dan duduk di atas tikar sambil ngobrol, sementara kami berdua tetap makan dengan santai.
“Oke deh, jika gitu permintaannya, asalkan Kakak tidak merasa terganggu dengan kehadiranku disini, Kakak ini kan mau belajar” katanya sambil memperbaiki duduknya dengan melipat kedua kakinya ke belakan agar tidak terlihat barang berharganya yang sama sekali tak terbungkus itu.
Sesekali aku mencoba mengarahkan pandanganku kearahnya siapa tahu aku bisa melihat kembali pemandangan indah itu, tapi nampaknya ia sangat hati-hati dalam duduknya. Tak terasa hidangan di depan kami habis kami lahap. Nafsu makanku tiba-tiba besar sekali malam itu karena kami makan dengan didampingi atau ditemani bicara dengan gadis pujaanku.
“Oh yah, orangtuaku minta kamu berdua datang ke rumahku besok malam”, katanya tiba-tiba ketika aku selesai makan.
“Ada perlu apa orangtuamu panggil kami? Ada acara yah? Atau..”, belum saya selesai bicara, ia tiba-tiba memotongnya dengan mengatakan
“Ah, tidak ada acara apa-apa kok, hanya sekedar main-main, ngobrol atau nonton TV, siapa tahu kamu tidak injak lagi rumahku setelah KKN”, katanya dengan penuh harap agar kami jalan-jalan ke rumahnya besok malam. Setelah aku duduk bersilah tidak jauh dari tempat ia duduk, ia buru-buru pamit dengan alasan nanti dicari sama orangtuanya dan dicurigai macam-macam oleh tetangga, apalagi sudah malam, sendiri lagi.
“Okelah kalau gitu, perlu aku antar nggak?” kataku menawarkan diri untuk mengantarnya pulang, tapi ia menolak dengan alasan tidak enak.
Hampir seluruh pikiranku malam itu terpusat pada Nidar, terutama soal barangnya yang indah sekali yang aku lihat dengan jelas tadi. Keesokan harinya, setelah makan malam, aku mengajak teman kostku itu ke rumah Nidar untuk memenuhi undangan orangtuanya, tapi ia tidak bersedia dengan alasan ngantuk dan capek sekali. Dalam hatiku memang itu yang kuharapkan.
“Oh, sedang makan yah? maaf aku mengganggu nih”, teriakku dari luar pintu yang memang tidak tertutup. Entah, mungkin sengaja karena ia menunggu kedatanganku.
“Silahkan masuk Dik, langsung aja makan bareng, kami baru aja mulai. Mana temannya?” katanya berbarengan, bahkan Nidar sempat berdiri sejenak untuk mengajaku makan.
“Silahkan, kami baru aja makan di rumah, biar aku nonton di sini aja. Temanku nggak mau ke sini, capek katanya” sambil kusetel volume TV-nya.
Setelah mereka selesai makan, Nidar lalu mencuci piring dan kedua orangtuanya duduk di sampingku sambil ngobrol, termasuk ia tanyakan soal rencana KKN-ku, bahkan soal-soal rencana tempat tinggalku sekembalinya kami dari lokasi KKN.
“Kalau tidak keberatan Dit, kamu bisa tinggal aja nanti di rumahku setelah kembali dari KKN, kebetulan masih ada satu kamar kosong” tawarannya padaku seolah sangat serius.
“Terima kasih atas kebaikan hatinya. Aku bersyukur sekali ada orang lain yang mau membantuku. Tapi aku belum bisa pastikan, sebab siapa tahu rumah kostku itu masih kosong. Kita lihat aja nanti” jawabku.
“Nggak apa-apa, malah kami senang jika kamu bersedia tinggal di rumahku biar kamu tidak keluarkan biaya kontrakan rumah lagi, lagi pula kamu kan sudah kuanggap sebagai keluarga sendiri” katanya merayuku.
Setelah itu, suasana hening sejenak, tapi tidak berlangsung lama karena mamanya Nidar tiba-tiba bersuara menghela keheningan itu
“Begini dit, aku sengaja memanggilmu ke sini karena Nidar mau pergi nonton ke bioskop malam ini. Katanya ada film yang bagus, tapi tak ada yang kupercaya untuk temani dia kecuali kamu, sebab kamu orangnya baik dan jujur, bahkan kuanggap sebagai keluarga sendiri. Nidarpun takut sama yang lain, nanti macam-macam” katanya penuh harap.
“Yah, nggak apa-apa Bu, jika Ibu masih percaya padaku. Aku justru senang bisa juga ikut nonton di bioskop” kataku dengan rasa gembira dihatiku. Mudah-mudahan saja Nidar berpakaian seperti kemarin waktu ia ke rumah kostku tanpa kenakan CD. Harapku dalam hati.
“Bagaimana Kak Dit, nggak keberatan ngantarku. Aku nggak mau maksa loh, nanti Kak takut ketahuan atu dimarahi sama do-inya, kan berabe jadinya” kata Nidar memancingku sambil tertawa.
“Ah, nggak kok, aku bebas dan nggak ada yang berhak melarangku, lagi pula aku memang banyak teman akrab perempuanku, tapi itu hanya sekedar teman bergaul. Belum ada satupun yang kuistimewakan dalam hatiku. Aku kan tahu diri sebagai orang desa ha..ha..” jawabku.
“Jadi ikhlas nih mau temani aku, nggak bakal ada yang marahin hi..hi”.
“Pasti dong, siapa yang mau marahi aku? ayo kita berangkat sekarang” kataku sambil berdiri. Ternyata Nidar sudah siap benar tanpa aku perhatikan kapan ia mengganti pakaian.
“Oke kalau gitu, kita berangkat sekarang” katanya sambil melangkah ke pintu mengikutiku, tentunya setelah kami pamit sama orangtuanya.
Setelah kami duduk di atas becak, kedua orangtua Nidar berpesan agar kami hati-hati dan cepat-cepat pulang. Selama dalam perjalanan kami tidak terlalu banyak bicara, karena takut dicurigai oleh tukang becak. Hanya saja, getaran jantung “dag dig dug” selalu mengganggu pikiranku. Bahkan membuat tubuhku banyak bergerak menyentuh tubuh Nidar, sehingga terasa seolah tubuh kami saling lengket. Sesekali Nidar melirik ke arahku setiap aku mencoba menggeser pantatku ke arahnya, bahkan pahaku sedikit menindis pahanya, namun ia nampaknya juga senang dan takut mengelak dariku. Walaupun dilapisi baju yang terbuat dari kaos, namun tubuh kami seolah bersentuhan langsung tanpa pelapis, sebab terasa sekali panasnya suhu badan Nidar, nafasnya kurang teratur lagi. Sayang harapanku agar ia berpakaian seperti kemarin tidak terwujud, sebab ia sudah pakai celana dalam, tapi rok pendeknya sedikit terangkat keatas.
“Jangan Kak, nanti dilihat Tukang Becak dan melaporkan sikap Kakak” bisik Nidar dekat telingaku ketika kuletakkan tangan kananku di atas paha kirinya yang tidak terbungkus tanpa kusadari kalau di belakang kami ada orang lain yang bisa saja memperhatikan seluruh tingkah lakuku.
“Oh yah, maaf, aku nggak sadar” jawabku seolah tersentak sambil kutarik tanganku dari paha Nidar. Namun pikiranku selalu terarah ke tubuh Nidar yang hangat menyentuhku dengan membayangkan gundukan putih mulus yang ada di antara kedua pahanya. Kali ini tangan kananku kubentangkan di atas sandaran becak, lalu sedikit demi sedikit sengaja kukendorkan agar turun melingkar dileher Nidar, tapi Nidar selalu mencubit pahaku dan menghindari tanganku. Nampaknya ia takut sekali diperhatikan oleh tukang becak. Kali ini kedua tanganku kulipat lagi dengan sengaja menyentuhkan ujung sikuku ke atas payudara Nidar.
Usahaku kali ini nampaknya membawa hasil. Nidar tidak banyak bergerak dan menolak lagi, malah ia semakin merabatkan tubuhnya ke tubuhku, sehingga tukang becak tidak ada celah untuk melihat posisi ujung sikuku yang menyentuh payudara Nidar yang masih montok itu. Terasa hangat dan kenyalnya. Aku terus menggesek-geseknya, terutama jika ada jalan berlubang seiring dengan lompatan becak itu. Tidak puas dengan ujung siku, aku lalu berusaha meremas susunya itu dengan ujung tangan kiriku yang kudorong agak keluar, akhirnya sempat menyentuh payudara itu. Mula-mula aku hanya meletakkan telapak tanganku di atas payudaranya, lalu menekan sedikit demi sedikit dan meremas-remasnya. Nidar hanya diam, malah semakin merebahkan kepalanya ke bahuku tanpa sadar lagi kalau ada tukang becak di belakangnya. Kuberanikan mengangkat pahaku ke atas pahanya yang mulus dan tak terbungkus itu. Nidar masih diam dan sedikit membuka kedua pahanya, tapi sayang tiba-tiba bunyi rem becak berbunyi. Ternyata kami sudah sampai di depan bioskop. Untung tidak ada orang lain yang memperhatikan sikapku itu.
“Maaf Kak, Aku agak terlena dan rasanya ngantuk. Aku tidak sadari kalau kita sudah sampai” katanya sedikit kaget dan malu karena ia menyandarkan kepalanya di bahuku.
“Nggak apa-apa kok, malah aku senang kamu mau bersandar padaku” jawabku sambil turun dari becak.
Ia sempat mencubit sedikit pinggangku sebelum ia turun dan membayar sewa becaknya. Kami langsung bayar karcis lalu masuk. Sayang kami sedikit terlambat sehingga sulit lagi mendapatkan tempat paling di belakang yang kuincar sebelum masuk. Kami mendapat tempat duduk pada baris ke-3 dari layar bioskop itu. Kami masuk dalam keadaan gelap karena filmnya sudah mulai main, namun masih banyak tempat kosong di bagian depan sehingga kami bisa duduk berdampingan. Sengaja kami duduk di tengah-tengah yang kebetulan berjauhan dengan tempat duduk penonton lainnya di kanan kiri kami.
Mula-mula kami duduk tenang menikmati permainan dalam film itu tanpa kami bicara banyak. Namun baru kami duduk sekitar 10 menit, pikiranku tiba-tiba beralih kepada wanita yang duduk di samping kananku. Ingin rasanya merapatkan tubuhku ke tubuhnya seperti waktu di becak tadi, bahkan lebih dari pada itu. Aku semakin penasaran dan gelisah, apalagi aku tidak terlalu segan lagi karena sikap Nidar dapat terbaca sewaktu di atas becak tadi. Kucoba meletakkan tangan kananku ke atas pahanya, namun ia diam, lalu kusandarkan sedikit tubuhku ke tubuhnya, tapi ia masih tetap diam. Bahkan kuangkat pahaku untuk menindih pahanya yang sedikit terangkat ke atas pelapisnya. Ia nampaknya tetap pasrah, malah ikut bersandar kepundakku, sehingga kepalaku saling bersentuhan.
“Dar, aku sangat mencintaimu sayang. Bagaimana denganmu?” bisikku merapatkan bibirku ke telinganya agar ucapanku tidak kedengaran orang yang ada di belakangku.
“Sebenarnya aku juga sangat mencintaimu Kak. Sudah lama perasaanku ini terpendam dalam hatiku, tapi Kakak selalu bersikap pasif selama ini” jawabnya sambil merapatkan juga bibirnya ke telingaku sehingga terasa nafasnya menyapu telingaku dengan hangat.
Bau rambut yang baru saja dicuci dengan sampho pantene terasa menyengat hidungku sehingga membuat aku semakin bergairah, apalagi setelah aku mengecup sedikit pipinya yang harum karena bedak yang harganya tidak terlalu murah. Tanpa suara lagi, kami saling merangkul dan saling mencium tanpa peduli cerita dalam film itu. Konsentrasiku hanya menyatu padanya.
Kami betul-betul saling terangsang, yang terasa dari keringat dingin dan hawa panas yang keluar dari tubuh kami. Lebih meyakinkan lagi setelah kucoba menyingkap roknya ke atas dan merenggangkan kedua pahanya lalu meraba CD-nya, ternyata sudah sangat basah. Aku masukkan tanganku ke dalam CD-nya lalu meraba, mengelus bibir vaginanya dan menekan-nekan kelentitnya yang sedikit mulai agak keras. Karena ia sangat terangsang dengan permainan tanganku itu, sehingga ia berkali- kali mencium pipi dan bibirku, malah memasukkan lidahnya ke dalam mulutku sehingga kami bermain lidah. Nidar nampaknya tak mampu lagi menahan gejolak nafsunya, sehingga ia membuka resteling celanaku dan mengeluarkan kemaluanku lalu memegang dan menggocok-gocoknya. Terdengar nafasnya tidak teratur lagi, sampai-sampai ia turunkan sedikit CD-nya lalu mengangkat pantatnya dan menduduki penisku, tapi aku segera mencegahnya dengan mendorong pantatnya, sebab ia nampaknya kurang sadar kalau di kanan kiri dan belakang kami banyak orang, yang bisa saja memperhatikan sikapku itu.
“Sabar Dar, jangan keburu nafsu. Kita ini berada di tengah-tengah orang banyak, nanti sikap kita ketahuan, kan malu jadinya” kataku mencoba mengingatkan. Ia lalu kembali memperbaiki cara duduknya seolah menyadari dan menyesali sikapnya barusan itu.
“Oh yah, aku nggak sadar Kak. Maaf atas tindakanku tadi” sesalnya sambil menarik kemabli CD-nya ke atas dan menurunkan roknya yang tersingkap itu.
Untung kuingatkan, sebab beberapa detik kemudian tiba-tiba lampu ruangan bioskop menyala pertanda istirahat sejenak. Hampir saja tindakan kami kelihatan. Kami segera bangkit dan pergi buang air kecil. Sambil buang air kecil, aku berpikir untuk mengajak Nidar pulang saja tanpa harus menunggu hingga selesainya cerita film itu, karena kami juga tidak konsentrasi lagi nonton.
“Dar, kita pulang aja yuk, filmnya kurang menarik. Kita jalan kaki aja, kan nggak terlalu jauh, lagi pula kita bisa santai sambil ngobrol apalagi belum larut malam” bisikku ke Nidar ketika kami sudah duduk kembali di kursi kami masing-masing.
Ternyata Nidar setuju saja, lalu kami keluar biskop dan jalan kaki pulang. Dalam perjalanan, kami lebih mesrah saling pegangan tangan. Kami banyak ngobrol dalam perjalanan mulai dari soal-soal hubungan persahabatanku dengan teman-teman kuliah dan soal rencana KKN-ku nanti sampai ke soal cinta atau pacar kami masing-masing. Kami sama-sama mengakui belum pernah jatuh cinta atu pacaran sama orang lain, lalu kami saling mengutarakan isi hati kami, bahkan Nidar mengajakku bermalam di rumahnya, tapi aku menolak dengan alasan dicari dan dicurigai nanti oleh teman kostku.
Setiap kami lewati jalanan yang sedikit gelap dan tidak ada rumah, kami selalu berpelukan, berciuman, malah saling memegang alat sensitif kami, tapi tak pernah lama sebab takut ada orang yang memergoki kami.
“Kak singgah dulu di rumah nonton TV atau ngobrol, karena belum larut malam, kapan lagi kita bisa ngobrol bersama seperti ini, terutama setelah Kakak ke lokasi KKN dan sudah menyelesaikan kuliahnya, pasti Kakak tidak ke sini lagi kan?” katanya ketika kami sudah berada di depan rumahnya.
Aku setuju saja dan rencanaku nanti jam 12.00 baru aku kembali tidur ke rumah. Tapi belum lama kami duduk nonton TV, tiba- tiba hujan keras terdengar di atap seng. Entah ini pertanda ujian atau keuntungan buatku, tapi yang jelas Nidar nampaknya gembira dan sedikit tersenyum memandangiku.
“Dar, aku pulang saja, nanti hujannya lama dan tambah keras, temanku bisa khawatirkan diriku” kataku mengujinya. Tapi ia terperangah lalu berdiri mencegahku dengan alasan aku basah nanti. Aku tidak tahu apa orangtua Nidar sudah tahu kedatanganku atau pura-pura tidur, sebab suaranya sejak kami datang sama sekali tidak terdengar. Nanti suaranya terdengar ketika aku berjalan ke arah pintu untuk melihat keadaan di luar rumah, walaupun aku belum bermaksud mau pulang, tapi tiba-tiba
“Dit, ndak usah kamu pulang. photomemek.com Masih hujan keras. Bermalam saja di sini. Kamar diluar kan kosong, lagi pula temanmu itu pasti mengerti kalau kamu tidak pulang karena terhalang hujan keras” katanya dari dalam kamarnya yang terletak dekat dapurnya seolah tidak menghendaki aku pulang malam itu. Bahkan mamanya Nidar bangun untuk mencegahku.
“Terima kasih Bu, takut nanti temanku menunggu dan menghawatirkanku. Lagi pula nggak enak sama tetangga, nanti dicurigai aku macam-macam” jawabku mencoba menjelaskan alasanku.
Jam dinding yang tergantung di atas TV menunjukkan pukul 12.00, namun hujan belum reda juga. Aku lalu berbaring sejenak di depan TV, sedang Nidar bolak balik masuk kamarnya di samping TV, tapi akhirnya ia duduk persis di dekatku sambil nonton. Dalam keadaan baring, aku meraih tangannya dan menarik ke arahku, lalu meletakkan ke atas dadaku, malah kuangkat lagi ke selangkanganku, tapi ia tidak menolak, meskipun terasa tangannya lemas sekali. Ketika kumasukkan tangannya ke dalam celanaku
“Ah, jangan kak, nanti dilihat orangtuaku”, katanya sambil menarik tangannya seolah takut dan malu ketahuan orangtuanya. Tapi aku lebih berani lagi dengan memiringkan tubuhku ke arahnya sehingga tanganku merangkul kedua pahanya dan ujung kemaluanku yang tegang sejak tadi persis bertumpu di belakang pinggangnya. Ia terdiam sejenak, lalu menindihku dengan merebahkan tubuhnya ke atas pinggangku.
“Sudah larut malam Kak. Aku ngantuk. Masuklah aja tidur, di kamar sebelah ada sarung”, katanya sambil berdiri lalu mematikan TV kemudian masuk ke kamarnya. Mamanya tiba-tiba teriak dari dalam
“Dit, masuk aja tidur di kamar, sudah jam 1.00 nih, biar saya yang jelaskan besok pada temanmu jika ia memarahimu. Beri aja selimut Dar”
“Baik Bu, asal Ibu mau tanggungjawab jika aku ditanggapi macam-macam” jawabku sambil menuju kamar paling depan berdampingan dengan kamar tidur Nidar dan sama-sama tidak punya penutup kecuali hanya gorden.
“Dar, jika aku ketiduran tolong dibangunin aku jam 5.00 yah, aku malu ketahuan tetangga” kataku sambil berbaring di atas rosban.
“Okelah jika gitu maumu, jika perlu kubangunin jam 3.00” katanya.
Entah apa yang terlintas dipikiran Nidar malam itu, tapi yang jelas aku tidak bisa tidur sama sekali. Gelisah memikirkan temanku di rumah dan penasaran ingin menikmati kesempatan emas ini dengan Nidar, tapi aku takut juga memulai. Aku sengaja sesekali batuk, menghentakkan tubuh ke kasur dan bergerak-gerak agar Nidar terpancing mau mendahului dan mau mengerti maksudku. Mulanya ia sama sekali terdiam, bahkan aku seolah putus harapan lagi mengira ia sudah tidur nyenyak. Tapi nampaknya ia juga mulai terdengar gelisah, bergerak-gerak dan terbatuk seiring dengan gerakanku malam itu. Sekitar jam 3.00, aku mendengar Nidar turun dari kasur dan melangkahkan kakinya. Dalam hatiku mungkin ia mau kencing, namun harapanku semoga ia mendatangiku. Ternyata harapanku tidak sia-sia, kulihat ada bayangan membuka gorden dan masuk dengan pelan lalu duduk di tepi rosban persis di dekan pinggangku.
“Kak, aku datang” bisiknya berkali-kali di dekat telingaku sambil memegang pinggangku dan menggoyang-goyangnya, namun aku pura-pura tertidur nyenyak.
Ia lalu mencium kening dan pipi serta bibirku sambil memelukku. Terasa nafas dan tubuhnya hangat menempel di tubuhku malah ia mencoba membuka selimutku lalu memasukkan tangannya ke dalam celanaku. Aku semakin sulit menyembunyikan kepura-puraanku karena ia pasti tahu jika aku tidak tidur sebab burungku berdiri dengan kerasnya. Aku lalu putuskan merangkul lehernya, lalu melayani ciumannya, terutama ketika ia masukkan lidahnya ke mulutku, akupun menyambutnya dengan lahap sekali. Kami cukup lama bermain lidah. Aku membuka sarungnya dengan kakiku, ternyata ia tidak pakai apa-apa lagi kecuali sarung. Bugil total sambil menindih dan merapatkan tubuhnya di atas tubuhku.
“Pelan-pelan sayang, nanti kedengaran dari dalam dan kita kepergok” bisikku di telinganya.
Lalu ia duduk di atas kedua kakiku sambil membuka kait celanaku dan menarik ke bawah hingga terlepas seluruhnya. Kini akupun sudah bugil total, sebab sejak tadi aku memang sudah buka baju karena ada selimut. Entah siapa yang ajari Nidar, tapi yang jelas tanpa dituntun ia bisa tahu apa yang harus dilakukannya padaku. Ia melumat bibirku, lalu turun ke leher, dada dan pusarku hingga mulutnya menyentuh batang kemaluanku yang berdiri dan sedikit basah. Warna penisku yang tidak terlalu putih itu nampaknya tidak jadi soal bagi Nidar, karena sulit dilihat di kegelapan malam dengan suara hujan keras terdengar di atas seng, kecuali ketika muncul kilatan petir. Apalagi Nidar cukup merasakan ukurannya yang tidak terlalu kecil dan tidak terlalu pendek ketika ia memegang, menjilati dan memasukkan ke dalam mulutnya lalu memutar-mutarnya ke kiri dan ke kanan.
Pantatku terangkat-angkat dibuatnya ketika Nidar mempercepat gocokan mulutnya ke penisku, sehingga aku ingin muncrat dengan cepat, terutama kedua payudaranya yang agak keras dan montok itu bergerak-gerak menyentuh kedua pahaku, bahkan vaginanya yang basah tanpa bulu itu terasa menekan ujung petisku. Aku semakin tak mampu rasanya menahan gejolak spermaku, tapi tiba-tiba ia berhenti sejenak lalu tidur miring di sampingku, lalu merangkul dan membalikkan tubuhku hingga kami saling berhadap-hadapan. Dalam kondisi seperti itu, aku coba mengangkat satu pahanya dan mengganjal dengan satu pahaku hingga penisku terasa bertumpu di bibir vaginanya yang basah. Aku gerakkan maju dan mundur pantatku agar ujung penisku dapat masuk ke lubangnya. Tapi sulit meskipun ia berusaha membantuku dengan mengerak-gerakkan pinggulnya. Aku buka bibir vaginanya dengan satu tanganku lalu mendorong pantatku ke depan, tapi tetap sulit kecuali hanya ujungnya yang menusuk ke mulut vaginanya.
Karena kami capek sekali dan terasa sulit memasukkan dalam posisi seperti itu, apalagi aku masih yakin jika keperawanan Nidar masih utuh. Aku lalu bangkit dan mengangkangi tubuh Nidar, lalu merenggangkan kedua pahanya dan membuka bibir vaginya dengan kedua tanganku, lalu Nidar membantu dengan memegang penisku dan mengarahkan ke vaginanya. Usaha kami berhasil menusukkan penisku ke lubang vaginanya, tapi hanya ujungnya yang bisa masuk. Kucoba tekan agak keras dan maju mundurkan, bahkan kugoyang ke kiri dan ke kanan seiring dengan gerakan Nidar, namun tetap sedikit saja yang masuk.
“Aduhh, sakit Kak ..aahh” suara nafas itulah yang saling memburuh di antara kami, meskipun sakitnya mengandung nikmat, sebab Nidar tetap menarik pinggulku dan mempertahankannya agar tidak lepas penisku dari vaginanya.
“Bagaimana Dar, enak kan, tahan sayang” ucapku terengah-engah ketika kami sama-sama memaksakan masuknya penisku ke vagina Nidar. Usahaku tidak sia-sia karena batangku sudah masuk 80 %, bahkan 100% ketika berulang-ulang aku hentakkan pantatku ke lubangnya dan terdengar bunyi indah dan menarik dikeheningan malam buta yang diiringi hujan deras.
“Nya..nya..dcat..dcat..dcut” seolah ada getah yang sedikit melengket di antara peraduan paha dan kemaluan kami. Mulai ada dorongan lahar memaksa mau keluar dari batang kemaluanku, tapi aku selalu mengendalikannya agar kami bisa sama-sama menikmatinya dengan lama kesempatan emas ini.
“Uhh..ihh..aahh” Nafas Nidar seolah tak terkendali dan sulit dirahasiakan, untung hujan keras. Kalau tidak pasti orangtua Nidar curiga dan mengetahui perbuatan kami.
“Kak, udah nggak sakit nih, malah tambah nikmat, terus kak, kocok, kocok..aahh” katanya sambil terengah-engah ketika aku tambah mempercepat dan memperkuat goyanganku. Hingga akhirnya Nidar mulai mencakar-cakar dadaku, menggigit-gigit bahuku, dan menjepit pinggulku dengan kedua pahanya, bahkan ikut mengangkat pantatnya dan menggerak-gerakkannya. Ternyata sikapnya itu menunjukkan kalau ia mencapai puncaknya. Sangat terasa diujung penisku, di mana seolah ada denyut-denyut yang menggigit ujungnya seiring dengan rangkulannya yang sangat kuat dan sedikit gemetar.
Setelah hal itu kuketahui, akupun berusaha mencapai puncaknya minimal sesaat setelah dia menikmatinya. Ternyata usahaku berhasil. Belum ia mengendorkan pelukannya dan berhenti gemetar sekujur tubuhnya, akupun mengalami sikap yang sama dan merasakan ada cairan panas yang keluar lewat ujung penisku dan tumpah ke dalam vagina Nidar, sehingga bibir vaginanya membanjir dan meleleh ke pahanya dengan cairan kental.
Kami secara bersamaan mengendorkan pelukan dan berbaring lunglai di atas rosban empuk itu lalu kami bersihkan sama-sama dengan kain selimut. Setelah itu kami saling mengecup bibir dan pipi.
“Kak, terima kasih atas kesediaanmu bermalam. Jika tidak, kita tidak bakal mengalami peristiwa yang sangat bersejarah ini seumur hidup kita sebab aku dan mungkin Kakak juga baru merasakannya. Mudah-mudahan kita bisa menikmatinya kembali yah Kak, sebelum berangkat atau sepulang KKN nanti. Aku dengan setia menunggu Kak dan aku sangat mencintai kak, semoga kita sejodoh kak” kata Nidar seolah puas dan tak ada beban dan rasa takut sama sekali, sehingga ia panjang lebar berbisik dikamar itu.
“Terima kasih juga sayang, aku sangat beruntung malam ini dapat kenikmatan yang luar biasa. Mungkin aku sulit lagi mengalaminya, apalagi dengan seorang gadis cantik seperti kamu” kataku menyambut ucapan bahagia Nidar.
Setelah semua hajat kami terwujud malam itu, Nidar lalu kembali ke kamarnya setelah mencium sekali lagi bibirku. Aku hanya pasrah menerimanya, lalu mencoba melihat jam ternyata sudah jam 4.30, tak lama lagi aku mau pulang. Seiring dengan bunyi kaset di masjid-masjid aku sangat pelan menuju kamar Nidar dan pamit untuk pulang setelah jam 5.00 subuh. Nidarpun mengizinkan dan membukakan pintu dengan pelan agar tidak membangunkan orangtuanya. Setelah tiba di rumah, aku langsung membuka pintu dengan mudah karena pintunya hanya diganjal dari atas, lalu aku terus tidur dan ternyata nyenyak sekali tidurku pagi itu hingga jam 9.00 pagi tanpa mengganggu tidur teman kostku. Ia nampaknya mengerti kalau aku bermalam di rumah Nidar karena hujan keras apalagi hari itu kebetulan tidak ada kuliah kami.
Kepuasan manusia itu ternyata tidak ada ujungnya, sebab ketika aku bangun, aku merasa penasaran lagi ingin sekali mengulangi hubungan kami dengan Nidar. Mungkin karena nikmatnya atau karena baru pertama kali kami alami, bahkan yang terpikir di benakku kalau ternyata kami nanti dapat kesempatan mengulanginya, aku mau lebih memuaskan lagi Nidar, karena aku menyesal tidak sempat menjilati dan memainkan lidahku di kelentitnya dan lubang vaginanya, padahal permainan itu selalu kuimpikan untuk memuaskan pasanganku. Namun sayang, hingga pemberangkatanku ke lokasi KKN, kami sama sekali tidak pernah dapat kesempatan yang kedua kalinya melakukan hal itu, bahkan setelah kami kembali dari lokasi KKN, kami jarang ketemu Nidar karena kami tinggal agak jauh dari lingkungan Nidar. Akhirnya Nidar dikawinkan dengan seorang pria pilihan orangtuanya sewaktu Nidar jalan-jalan Ke Irian Jaya dan hingga saat itu kami belum pernah ketemu lagi.,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
TAMAT.