GAIRAH MBAK MARISSA
cerita sex-Mendung tipis berarak di langit. Aku menatap lapisan awan hitam itu sejenak.
Sebentar lagi pasti hujan. Dan seperti biasa, sementara aroma angin menjelang
hujan menerpa leher, setiap kali hendak hujan aku selalu teringat masa paling
mengasyikkan dalam hidupku. Masa di mana sesosok perempuan secantik dewi tiba-
tiba hadir memberikan kehangatan dan kenikmatan luar biasa ketika aku masih
duduk di bangku kelas 2 SMA.
Cuaca agak mendung ketika sebuah truk boks berhenti di depan rumah kosong
persis di sebelah kanan rumahku. Seorang laki-laki turun, diikuti seorang perempuan
yang menurutku teramat cantik. Kecantikan itu bisa kulihat dari warna kulitnya yang
amat benderang dalam balutan blus tipis yang kancing atasnya dibiarkan terbuka,
Manakala turun dari kendaraan, ia sedikit menunduk dan bisa kunikmati sejenak
belahan dadanya yang bersih dan penuh. Sebagai lelaki remaja kelas 2 SMA,
perempuan yang kuperkirakan berusia di atas 25 tahun ini merupakan sosok
terindah yang pernah kulihat. Aku berseru senang dalam hati manakala kutahu ia
adalah tetangga baruku.
Satu-dua hari pertama tak terlihat perempuan itu di luar rumah. Ia pasti sibuk
mengatur rumah. Sesekali sang lelaki, suaminya, berada di luar rumah untuk
melepas penat. Lelaki itu melambai padaku ketika aku memperhatikannya. Seorang
lelaki gagah dan ganteng, dengan usia beberapa tahun di atas perempuan itu.
“Rumah Pak RT di mana?” tanya lelaki itu menghampiriku.. “Di sini,” aku
menunjukkan rumahku, “Ayah saya Pak RT”
Malam itu pasangan baru itu berkunjung ke ayahku. Aku yang membukakan pintu.
Kini bisa kulihat jelas raut perempuan itu. Demikian cantik. Rambutnya lurus
panjang. Hidung mancung. Bibirnya merekah, pipinya merona dan pandangan
matanya benar-benar membuat dadaku berdebar-debar
“Perkenalkan, nama saya Fredi dan ini istri saya, Marissa. Kami pindah kemari tiga
hari lalu. Kami mau melapor pindah,” kata lelaki itu sopan. Ia memberikan foto kopi
KTP dan kartu keluarga kepada ayahku. Kulirik sejenak tanggal lahir Mbak Marissa.
Benar, ia berusia 26 tahun. Entah kenapa, semenjak hari itu, wajah Mbak Marissa,
begitu aku memanggilnya, terus bergelayut di mataku. Aku tahu banyak cewek
cantik di sekolah naksir aku, tapi aku tak pernah tertarik. Bila bertatap mata dengan
Mbak Marissa, dadaku berdebar-debar. Sering diam-diam aku menatapnya dari
kejauhan manakala ia bekerja di taman kecil kebun di depan rumahnya. Ia juga
kadang menatapku sekilas, dan melempar senyum kecil, yang menurutku teramat
hangat itu. Dan akan makin panas dingin aku dibuatnya kalau ia bekerja sore-sore di
depan rumah itu denga tank-top dan celana pendek yang menampakkan dua paha
mulusnya yang jenjang.
Dua minggu setelah kepindahan mereka, Mbak Marissa mengantar Fredi suaminya
naik taksi di depan rumah. Sebelum masuk taksi, Mas Fredi menghampiri ayahku
yang sedang membaca surat kabar di beranda
“Saya titip rumah, Pak RT. Saya harus bertugas ke Papua selama 6 bulan,” kata
Fredi. Ayahku mengangguk. Fredi kemudian memeluk dan mencium pipi Mbak
Marissa mesra. Mbak Marissa membalasanya. Ah, aku merasa Mbak Marissa seperti
sengaja ingin membuatku cemburu.
Suatu sore, aku tengah membantu ibuku mengangkat jemuran di bagian belakang
rumah ketika pintu di tembok belakang rumah diketuk-ketuk. Aku ingat itu pintu
yang menghubungkan rumahku dengan rumah sebelah. Aku membuka selot dan
membuka pintu. Mbak Marissa berdiri di situ, dengan tank-top dan celana pendek
favoritnya, yang sekarang jadi favoritku juga.
“Hei, ada pintu tembus, rupanya!” celetuknya riang. Suaranya empuk dan
meneduhkan.
“Ya, rumah ini dulu rumah Pakde saya. Karena kami keluarga, maka dibuatlah pintu
penghubung ini,” aku bicara gugup.
“Namamu siapa, sih?” Tanya Mbak Marissa.
“Mirza!”
“Ah, huruf depannya sama-sama M dengan saya. Eh, ngomong-ngomong, Mbak baru
bikin brownies buat mama kamu, nih!” Mbak Marisa mengangsurkan sepiring
brownies. Aku mengucapkan terimakasih. Mbak Marisa mengerling dengan senyum
semanis brownies itu, dan menghilang di balik pintu.
Seminggu kemudian, sore itu mendung mulai menyergap, dan pada malam harinya
hujan benar-benar turun menghujam ke bumi. Entah kenapa aku jadi ketakutan. Itu
mungkin karena ayah dan ibuku tidak ada di rumah. Tadi padi mereka terbang ke
Banjarmasin untuk menengok kakakku yang melahirkan. Mereka akan berada di
Banjarmasin sampai minggu depan. Aku menatap jam dinding. Pukul 9 lebih sedikit.
Dan tiba-tiba rumah jadi gelap gulita. Kebiasaan jelek. Kalau hujan, pasti lampu
mati. Aku meraba-raba sekeliling dan mencari lilin. Aku menemukan sebungkus lilin,
dan menyalakannya dengan korek api yang tergeletak di sebelahnya. Cahaya mulai
menggerayangi ruangan. Tiba-tiba dari arah pintu bagian belakang hadir satu sosok.
Aku terkejut. Mbak Marisa berdiri di sana. Ia pasti masuk lewat pintu terobosan di
belakang yang tidak terkunci..
“Punya lilin?” tanyanya. Kali ini, ia dalam balutan tank-top lain yang sangat seksi-
dan setelah kuperhatikan lama–, tanpa beha, dengan rok longgar yang menurutku
teramat pendek. Ia bicara dekat sekali di depanku. Dadanya bergoyang-goyang
ketika ia mengisyaratkan kedinginan. Aku memberikan lilin itu dan memberanikan
diri menatapnya agak lama sambil sesekali memperhatikan dadanya.
“Kamu nggak takut sendirian? Kan hujan dan gelap?” tanya Mbak Marisa.
“Nggak. Mbak sendiri?” tanyaku, sedikit gugup.
“Nggak. Sudah biasa! Eh, ayah dan ibumu lama ya perginya?” Tanya Mbak Marisa.
“Sampai minggu depan!” jawabku.
“Kesepian, dong?” celetuk Mbak Marissa.
“Iya, gitu deh!” kataku, masih sedikit gugup. “Mbak gimana?”
“Biasa aja. Sudah biasa ditinggal pergi Mas Fredi,” ia menatapku tajam, mengerling
sekilas dan berbalik meninggalkanku.
“Sudah, ya, aku balik dulu” ia pamit. Sejenak matanya menatapku. Kulihat dalam
remang ia menggigit ujung bibirnya. Aroma farfumnya tertinggal di ruanganku.
“Ya, mbak, selamat malam!” kataku. Jauh dalam hati aku sih pingin bilang, “Please
dong temenin saya sebentar! Pingin sekali rasanya menatap Mbak Marissa berlama-
lama, sambil membayangkan bagaimana rasanya mencium bibirnya yang seksi. “Ah,
itu cuma angan gila yang tak masuk akal!” pikirku.
Aku menyalakan satu lilin lagi dan menutup korden rumah serta mengunci pintu. Di
luar sepi dan dingin sekali. Hujan masih turun. Aku yakin tak ada orang yang
berkeliaran di luar rumah malam ini. Sekarang, hal yang paling asyik adalah adalah
masuk kamar tidur dan membayangkan Mbak Marissa berada di sisiku.
Aku duduk di kursi dan menuang air minum. Tiba-tiba aku mendengar suara dari
belakang rumah. Pintu terobosan itu terbuka lagi. Mbak Marissa datang lagi lagi.
“Sori, Mir. Lilinku habis. Dan aku jadi ketakutan mendengarkan suara hujan dalam
gelap,” kata Mbak Marissa. Ia berdiri sangat dekat di hadapanku. Bias kucium harum
tubuhnya. “Saya bisa kasih mbak lilin lagi kalau mau,” jawabku, aku bersiap bangkit
dari kursiku. “Nggak usah,” Mbak Marisa menahanku. Mendidik dadaku merasakan
tangannya mendarat di pundakku. Aku hanya bisa mematung duduk persis di
hadapannya. Darah seperti terpompa ke ubun-ubunku.. “Aku mau di sini saja, kalau
boleh. Boleh, kan?” Mbak Marissa menunduk, mencoba mensejajarkan wajahnya
denga wajahku. Ini membuatku dengam mudah melihat kepundan di dantara dua
gunung indah di dadanya. Dan kali ini aku tak menyia-nyiakan kesempatan ini,
karena aku berpikir Mbak Marissa sengaja membiarkan aku melihatnya. Aku
menatap dada itu tanpa ragu dengan nikmat. “Eit, kau melihat dadaku terus!” Mbak
Marissa refleks menutup dadanya. Aku terperangah malu tertangkap basah seperti
itu. “Sori, Mbak!” “Kau bilang sori, tapi terus menatap dadaku. Kalau melihat terus
seperti itu, ntar kepingin lho?” seloroh Mbak Marissa dengan suara lembut
menggoda. Dan entah kenapa aku merasa tak terlalu kuat menahan gejolak
mudaku. Meluncur saja kalimat itu dari mulutku. “Kalau saya kepingin, bagaimana?”
tanyaku. Kutatap matanya penuh-penuh. Ia mendekat dan melepaskan tangannya
dari dadanya. Ia mendekatkan wajahnya ke arahku.. “Mirza, aku tahu aku lebih tua
darimu. Tapi aku tahu kau menyukaiku. Itu dari caramu menatapku dan menelusuri
tubuhku dengan tatapanmu. Tanyakan sekali lagi pertanyaanmu, dan kau akan tahu
apakah aku menyukaimu juga,” kata Mbak Marissa. Aku mengulang pertanyaanku,
“Kalau saya kepingin, bagaimana?” Mbak Marissa tersenyum “Kalau kau kepingin,” ia………….!
membuka tali di kanan-kiri dan melorotkannya perlahan, membiarkan dua buah
dadanya menyembul menantang, “kau boleh menyentuhnya,”
Berdebar jantungku. Tubuhku seperti mendidih. Mbak Marissa benar-benar seksi
dengan dada terbuka dan bibir mereka dalam remang di tengah hujan malam ini.
“Sentuh puting ini dengan lidahmu, Mirza. Aku menginginkannya, lebih dari yang kau
impikan”. Tiba-tiba saja Mbak Marissa menarik kepalaku dan membenamkan
dadanya ke wajahku. Dibantunya mulutku menemukan puting merah muda itu.
Putting dan bundaran empuk di dada Mbak Marissa seperti memberi jalan dan
megajariku untuk mengulum-ngulum dan memutar-mutarnya agar pemiliknya
mendapatkan nikmat yang istimewa. Mbak Marissa mendesah makin keras dalam
tingkahan suara hujan. Aku makin membara dan membara. Kujelajahi dengan
mulutku semua permukaan dadanya. Mbak Marissa sesekali mengangkat kepalaku
dan mengulum mulutku dengan beringas berkali-kali. “Kamarmu! Bawa aku ke
kamarmu segera!” desah Mbak Marissa. Aku tak segera bergerak. Ia menghelaku ke
kamarku dan menjerembabkan aku ke tempat tidur. Ia melepas tank-top dan
melepas kaosku. Ia pun tak segan-segan melepas celanaku dan tanpa ragu-ragu
menjilati, mengulum dan menghisap penisku. Sungguh malam yang luar biasa. Aku
seperti tenggelam dalam segala macam rasa : coklat, vanilla, strawberry, almond.
Mbak Marissa benar-benar menikmatinya. Kubiarkan pula ia menjadi guru yang baik
dan memberikan pengalaman itu. Ia melepas sendiri celananya dan membantu
membimbing masuk penisku yang keras ke dalam vaginaya yang basah. Sesekali ia
menghentikan ujung penisku di bagian bawah vagina dan dengan asyik mengusap-
usapkannya ke pinggiran vagina itu. Benar-benar aku melayang-layang penisku
mendapatkan rekreasi yang nikmat dan indah itu. Dan dengan gelora yang
memuncak dalam limpahan keringatku dan keringat Mbak Marissa, ia membiarkan
penisku meluncur ke vaginanya berulang-ulang. Ini membuatnya menggelinjang-
gelinjang, mengerang, mendesah dan merasakan nikmat luar biasa dalam
tindihanku. Dan kesempatan itu tak kusia-siakan. Aku balik menyerangnya,
menggumulinya dan memberikan semua yang ia ingin dan ia mau. Kubiarkan ia
terus mengerang dan mengaduh, mendesah.
Mbak Marissa kembali ke rumahnya lewat pintu belakang jam 5 pagi. Dan tak perlu
menunggu sore, ia kembali siangnya, sekitar pukul 10 dan menyerangku lagi di
minggu pagi itu. Ia memberiku kenikmatan seminggu penuh. Kadang sampai 2 kali
sehari, kadang pula sampai harus membuatku membolos sekolah.
Affairku dengan Mbak Marissa berlangsung terus sampai menjelang kedatangan
suaminya. Kami bisa bergumul di mana saja: di kamar hotel, di hutan pinus yang
sepi, di pantai yang sunyi, di sebuah dagau kosong di gunung Bromo dan di mana
saja.
Aku tak bertemu lagi dengan Mbak Marissa ketika suaminya datang dan
mengajaknya serta pindah ke Jakarta. Namu, meski Mbak Marissa tak ada lagi, bila
hari menjelang hujan, penisku selalu berdiri, dan bisa kubayangkan aroma tubuh
dan gelinjang gelora mbak yang cantik dan seksi itu.,,,,,,,,,,,,,,,,