Cerita Dewasa Insiden

 

Cerita Dewasa Insiden. KOTA BANDUNG HINGAR BINAR Sungguhpun tidak sehiruk jakarta, Tetapi cukup memusingkan kepala. Suara tuter rriobil Suara kelenengan betja. Sempritan polisi. Teriakan pen djaija kain dipinggir djalan. Diin suara dirum mobil.

Ini hari Sabtu. Aku dan tante piknik ke Pekbuhan Ratu Kami berangkat hari Sabtu dan pulang hari Senin. Satu malam kardfi menginap di Samudera Berch Hotel,

Mobil melaju pelan. Tante Nora meme­gang stir Aku duduk tenang-tenang sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Kadang2 tante djuga turut menjanji. Ia mengambil nada suara satu dan aku mengam­bil nada suara dua. Kami berduet Kami mem­bawakan lagu-lagu populer diantaranja ”Please release rce”

Mobil „Fkt 800″ kami masih berliku-liku iialam perut iota Bandung Sekali stang-stir di­banting kekiri dan sekali dibanting kekanan. Kota Bandung dahulu mendapat djulukan kota ”Paris van Java.” Bandung tjantik dan menarik sesuai dengan keluwesan dara-dara Parahiangan, Bagai­mana kini ? Sekararg djudul Paris van Java” sudah tidak tepat Kini kota Bandung sudah kotor Sampah-sampah debu ‘oerterbangan. Djalan-djalan berlobang. Dan para gelandangan tidur bergelim­pangan seenaknja ditepi trotoir,

„Djam berapa Hen?”

Kuangkat pergelangan lengan kiri dan men­dekatkan ke bidji mata, Diantara bulu-buiu tangan ku melingkar sebuah djam merek Mido. Aku memperhatikan :

„Masih djam 9 tan ”

„Oke Djam 11.30 kita harus sampai di Pelabuhan Ratu.”

„Terlalu tjepat 1 Tante sanggup T’

„Tante ngebut Hen diluar kota akan melalui.”

Tante Nora memang gesit njetir mobil Lebih lebih kalau bawa ”Fiat” jang mungil sesuai cekali untuk kaum wanita Dan mobil ”Fiat” cjocjok se­kali buat perjalanan didaerah gunung Istimewa ‘pada djalan’-djalan jang menandjak dan berliku- liku. Mobil kami ”Fiat Sport 850”. Derumnja me­nambah semangat Tante untuk ngebut.

Tibat;ba tante mengeluarkan sebungkus rokok ”Salem” dari dalam tas Dengan tangan kiri ditariknja sebatang Lalu menawarkan kepadaku,

Aku tidak pecandu rokok tetapi sekali-sekali tidak menolak. Kuambil „Ronscn” dan menjalakan Kemudian kusodorkan dekat rokok tante jang sudah terselip disudut bibirnja jang merah

Tante menjulut rokok. Sedap sekali dia me­rokok Empuk asap itu lewat ditenggorokannja.

Lalu dihembuskan keluar. Asap itu bundar-bundar lalu petjah keseluruh ruangan mobil. Dan meng­hilang ditiup angin. Aku terpengaruh. Lalu kusu- lut pula rokokku Tetapi aku tidak biasa hingga aku terbatuk-batuk dibuatnja

Pada sebuah toko kuwe kami berhenti. Tante membeli makanan ketjil dan kuwe-kuwe. Kami psrlu makan dalatn perdjalanan.

,Kau senang kroket Hen ”

„Boleh, aku suka. ”

Djam 9.20 mobil kami meluntjur keluar daii kebisingan kota Djalan bertambah litjin. Untung sadja lobang-lobang diaspal sudah diperbaiki As- pal berwarna hitam pekat berkilat-kilat ditimpa sinar matahari. Dikiri kanan djalan tumbuh pohon- pohon berdjadjar. Tante mulai menekan gas. Mula-mula spedo meter menundjukkan angkah 50, ) naik lagi 60, terus 70 selandjut bergojang-gojang pada angka 80. Mobil seperti roket meluntjur ter­bang diatas aspal. Bibir tante tersenjum Tetapi ^ dia waspada dan „safe”. Bidji matanja tadjam mem­perhatikan tikungan. Tubuh tante berajun-ajun me­ngikuti gerak mobil diantara liku-liku djalan Aku memberi semangat :

„Tekan terus Tan !”

Ia bertambah gesit. Kini dia tertawa. Manis sekali. Se-olah2 aku melihat bintang film Holly

wood Rim Novak jang sedang tertawa. Ada se­suatu jang lucu dalam perasaan tanteku. Tetapi aku tidak tahu Memang dia sering begitu. Ia tertawa bila msrasa lutju walaupun orang disekitarnja tidak mengerti apa jang ditertawakannja.

„Apa jang lutju? Djangan tertawa sendiri dong !”

„Ia, geli. Tante geli melihat penghidupan ini.”

Sampai disitu aku diam. Tante sering me­naruh bumbu falsafah dalam pembitjaraannja Aku belum menangkap maknanja Aku kembali me ngingat-ngingat akr.n utjapan tante :

„Aku merasa geli melihat penghidupan ini.” Apa jang menggelikan tante ? Belum djuga aku mengerti, Kubiarkan sadja soal itu berlalu. Kuambil transistor dan menjetel pemantjar amatir, Kebetulan sebuah lagu Ernie Djohan berkuman­dang :

”Djauh dimata dekat dihati”

Lagu mengalun Penuh kemesraan. Ternjata tante turut mendengarkannja. Pedal gas mobil di angkatnja pelan-pelan. Mobil mendjadi lambat. Spedo meter turun hingga angka 30 Tante mulai bitjara:

„Hen. Kau masih ingat kepada Tuti ?”

ach sudahlah tante. Lupakan!”

Memang aku sedang mengambil keputusan bahwa aku tidak djadi berumah tangga dengan Tuti. Sebenarnja Tuti kudjadikan sebagai tempat tjinta pelarian. Tidak ada jang baik bila aku se­nantiasa lari dari kenjataan. Ja kenjataan jang sekarang Kenjataan. tante adalah tambatan hatiku. Mengapa aku harus lari dari kenjataan ini.

Bait lagu jang terachir berkumandang:

Kurela apapun terdjadi Tjintaku tak mungkin terbagi. Kukini seorang diri Djauh dimata dekat dihati.

Tante tidak senang lagu itu Entah, mengapa aku tidak taliu Mungkin kata-katanja tidak sesuai cbnganc kelnginanaja. Tjspat ia memotong :

„Putar sender Tjari pemantjar jang laia”.

Aku menyetel transistor Nah tepat Lagu-la gu seronok dari Titik Sandora. Tante diam tanda. nja dia setudju Mobil terus ireluntjur diatas aspal jang litjin. Suara berdenjit-denjit terdengar. Su ara itu, a dai ah suara ban mobil jang beradu dengan cepat di tikungan.

PerdjaJanan menjenangkan hatiku. Udara sejuk. Matahari bersinar Iembut. Kadang-kadang ku lempar pandangan kekiri Panorama indah. Gunung: gunung dan bukit biru tertegah Agak kedepan ter ‘ bentang sawah-sawah menguning e mas. filmbokepjepang.com Sekali-kali djurang menganga. Djauh. dibawah.-nun disanameng alir batang air Kukeluarkan kepala ingin melihat» lebih djelas nampak sebuah rumah tertegak dida- sar djurang Dekat situ. seorang anak gembala naik kerbau sambil memainkan suiing bambunja

Kemudian kupalingkan pandangan. Kini aku melihat wadjah. tante. Manis sekali ia dipagi ini. Pipinja.agak kemerah – merahan. Bibirnja merah. d jambu.” Rambut tante berkilauan ditimpa oleh si. nar nfatahari jang ultra violet Bulu mata tante melentik dilihat dari samping.

Pandangannja tadjam kedepan Ia memperhati* kan djalan dengan sungguh-sunggulv Tiba tiba gasnja ditekan. Mobil se-olah2 terbang: Rambut tante kusut ditiup angin.

Tanpa kusadari sebuah kereta lembu berdjalan ditepi djalan dan sebuah truk dateng dari arah jang be,lawanan Aku terkedjut hampir sadja mendjerit. Tetapi tanteku dengan tjnkatan mem­banting stir. Djarak mobil truk dekat sekali Waktu sedetik masih lowong. Tante memperlihatkan keahlihaiannja. Ia membanting stir kekanan Lalu se­perti kilat membanting kekiri. Aku menahan napas. Kami lolos. Kami lolos dari lubang djarum. Di- ungin lalu masih kudengar supir truk berteriak :

„He, kurang adjar !”

Tante djuga mendengar makian si supir truk. Tetapi dia tertawa. Tertawa senang. Memang suatu kesenangan jang tidak ada bandingannja membawa mobil berlari kentjang

Mobil kembali berdjalan lambat . Aku mem* buka bungkusan pelastik Kuambil kue kroket. Lalu kusodorkan pada tante. Ia mehgambil sebuah dengan tangan tangan kiri. Tangan kanannja me­megangi stir.

„Djam berapa Hen” tanja tante.

„Sepuluh tiga puluh ” djawabku

Tiba-tiba mobil berhenti. Aku heran. Tante berkata :

„Mari turun Disini pemandangan indah.”

Kami turun. Lalu menudjukebawah djurang. Pelan-pelan kami menjusur djalan tikus jang ber- semak-semak. Kemudian melereng sedikit. Achirnja kami tiba dibawah.

Sebuah batang air niengkilap. Suara air terdangar menderu. Dan tante asjik mereuungi air jang mengalir membelah batu. Ia merenung dengan pe nuh perasaan. Segera ia membuka sepatu dan men tjelup kedua kakinja jang putih bersih Tante me rasa panas rupanja Hanja lima belas menit kami aisitu dan lalu melandjutkan perdjalanan kembali

Tepat seperti jang direntjenakan kami tiba di Pelabuhan Ratu djam 11. 30. Kami memesan dua kamar di hotel Samudra Beach Seperti biasa kami tidak pernah pesan satu kamar dalam hotel: Hing ga sore kami tidur dan i’stirahat.

Sore hari kami pergi mandi kelaut. Tjuatja se gar Angin laut berhembus agak ke ras. Sekali-kali terdengar hempasan dahsjat di batu karang Langit tidak berawan. Beberapa ekor burung tjamar me lajang-lajang diudara. Sekali-kali melajang keper- mukaan laut lalu terbang lagi dengan membawa se ekor ikan diparuhnja

Aku dan tante berkedjaran diatas pasir. Tan te mengenakan badju mandi warna merah. Kata orang „Njai loro kidul” akan marah djika orang memakai badju mandi warna hidjau. Biasanja laut selalu menelan mereka Aku kurang psrtjaja pada tachajul ini. Tetapi aku tidak ingin membangkang. Membangkang berarti kita melukai hati penduduk disekitar situ. Karena itu aku memakai badju mau, di warna biru.

Aku senang bermain-main di air laut. Dan be renang agak ketengahan. Tante mengikut dari be» lakang. Tubuhnja berkilat-kilat kena air laut. Ia tiba disisiku. Kami bertjanda. Ia menjelam Tan te mamang sering nakal. Aku dipeluknja dalam air. Bukan itu sadja. „Onderdilku” djuga dipermain Buah ’djakun’ku djadi berdiri ketika aku me­lihat tubuh tante berkilat-kilat kena air laut. Dan ………..

karna didalam air. Kami mandi di tempa yang sunji. Kurasa kami tidak melakukan hal2 jang porno, Sebab sesuatu itu porno bila dilakukan di depan umum. Aku dan tante melakannja dengan diam2. Aku menjelam. tante djuga turut menjelam. Seperti 2 ekor ikan dujung kami berpelukan. Aku diciumnja. Ia nakal. Kenakalan jang biasa, Napasku ter-engah2 setiba timbul diair. Kemudian disusul oleh tante Tante tertawa geli

Tanteku berenang ketepi pantai. Kususul dari belakang. Buah pantatnja bergojang-gojang ketika ia ber-lari2 kepasir, Ia berlari dan merebahkan diri disemak jang rimbun Sebentar kemudian akupun tiba disitu. Napasku tcrengah2 Aku me­nelungkup, d’.atas pasir Butir2 air laut djatuh ai- pasir dari rambut dan udjung hidungku.

„Hen, kau lihat burung camar diudara ?” tanyanya,

, Ia, mengapa ! tanjaku

,,Burung2 itu merdeka! Aku ingin seperti burung. Merdeka kemana pergi. ” demikian katanja.

Ia mulai berfilsafah, Banjak aku tidak me­ngerti. Kuhentikan obrolannja itu dengan memeluknja. Tante Nora rriencgeliting seperti ulat naga Kami saling tjubit mentjubit. Kami ber­gelut.

Tjepat tante menjedot bibirku. Pintar sekali ia menangkap bibirku tak ubahnja seperti ular me­nangkap kodok. Lama kami bertciuman. Aku ikuti irama tjiumanrtja. Sekali oleng kekiri sekali ke- .kanan. Persis seperti kapal ketjil dipermain­kan orribak disamudera luas jang tak ber tepi.

Buah dada tante kuremas-remas dengan pera­saan gemas. Ia melentik seperti djago senam. Suasana diam. Tiada kata2 lagi keluar dari kerong­kongan. Tjuffia keluar keluhan jang keluar dau kerongkongan jang tersumbat dengan air ludah. Buah djakunku turun naik.

Tante mulai menggelepar diatas pasir putih. Ia membiarkan sadja tanganku mendjelajah ke seluruh bagian tubuh. Kakinja digosok-gosokkan k.eatas pasir Hingga seonggok pasir berpisah satu sama lain Dan dibagian udjung djempol kaki tante pasir itu berlobang seperti baru dikorek korek penju

Suasana sepi. Orang lain tidak ada disekitar tempa t kami bergumul. Lenggang. Dari kedjauhan terdengar lengking suara botjah-botjah jang ber main bola diatas pasir. Dan tingkah suara ombak menambah kemesraan. photomemek.com Sekali-kali burung tjamar mengedjek dari udara. Melajang turun lalu terbang kembali. Burung itu menudjukan montjongnja ke- arah kami lalu mengeluarkan suara jang merdu.

Tante berdiri lagi dan berlari. Rambutuja kusu1 dan tubuhnja berlumur pasir. Tidak djauh dia berlari kemudian djatuh merebahkan diri diatas pasir. Tjepat dia melemparkan rambut jang me­nutup wadjahnja dengan jari. Akupun mengedjar lagi. Aku berlari seperti pelari 100 meter jang mentjapai finis. Lalu tante kuterkam dari belakang. Kuterkam kuduknja dengan montjongku. Kucjium bertubi-tubi

„Kau djangan nakal Hen,”

„Tante jang nakal ”

„Kau jang mulai”

„Tante jang mengundang.”

Tante tersenyum-senyum kecil angin berhubus lagi di tengah laut.

Burung camar terbang seperti konvoi jang mengawasi kami dari udara Mungkcin burung-burung itu merasa tjembu ru dengm kemesraan jang kami alami. Kami terus peluk-pelukan dan bertjanda tidak henti-henti nja Lalu cubit-mentjubit saling menikmati hibur an ditepi laut Pelabuhan Ratu.

Ia berdiri dan menarik lenganku. Kami berla ri sambil berpegangan tangan menjusur pantai La lu kembali membelok kesemak-semak Tjiuman tanre semakin berapi. Permainan sudah mulai me ningkat tinggi. Seperti kilat tante menarik tjelana mandiku Dan aku membuka pakaian mandinja ySu nji sepi. Hanja angin meningkah alunan deburan ombak. Djelas terdengar ditelingaku suara pasir di dorong-dorong kaki, tante. Persis seperti ular ber djaian diatas pasir.

Gelombang datang bergulung-gulung dari te ngah laut. Kemudian meninggi, semakin meninggi. Achirnja terhempas keatas karang. Kemudian pe tjah mendjadi buih-buih. Seterusnja lidah bergelom bang masih berkedjaran diatas pasir.

Pertarungan karang dan gelombang tidak hen ti-henti Gelombang tidak pernah bosan. Sepan- djang masa terus menghempas. Dan karang tidak pernah menjerang. Setiap gelombang dihadang de ngan kukuh. Karang ternjata tjukup kuat, Namun lama-lama ia hantjur djuga. Tetapi tidak sekaligus. Gelombang kembali mengumpul ketengah Jaut La lu berkedjar-kedjaran kepantai. Kedjar mengedjar. Siapa dahulu jang mentjapai karang. Karang me nanti. Pertarungan ini semakin dahsjat bila topan bertiup dari samudera biru jang bertemu di lengkung laagit

Sudah larut rnalam tante Nora terbangun dari tidurnya di tingkat dua hotel ”Samudera Beach,” Ia mengenakan gaun tidur warna biru muda Lalu berdjalan menudju djendela Djendela dibuka, Matanja memandang keluar. Gelap dan sepi. Pandangan dilemparkan djauh ke tengah laut, Hitam dan kelam Suara petjahan ombak diatas karang senantiasa terdengar. Tetapi di malam buta seperti ini, ada satu kengerian pada nada suara itu. Terasa ada jang menakutkan pada diri tante

Angin berdesau. Gaun tante bergojang lembut Dan dibagian dadanja melekat rapat ke atas kulit. Sehingga bentuk buah dadanja djelas tampak. Lalu ia merapatkan ikatan tali gaun. Dan agak menge­cilkan tubuhnja. Tante agak kedinginan. Ia memandang sayu. Perasaannja semakin takut meman­dang kekelaman malam. Ia merasa hidupnja jang sudah-sudah, tidak sekelam itu. Ada djuga rasa duka kadang2 dihatinja, tetapi malam ini rasa duka itu terlalu mentjekam. Ia bertanja dalam diri pribadi. Mungkinkah dia merasa lebih bahagia di masa depan? Ia takut mendjawab seperti djuga dia takut mendengar deburan ombak memetjah keatas karang.

Sekali lagi tante Nora memandang ketengah laut. Tampak seperti kelap kelip lampu2 para nelajan jang menagkap ikan Dan terdengar djuga suara sajup2 orang berbitjara di lobbi hotel. Me reka belum djuga tidur. Mereka senantiasa ber djaga bila ada tamu hotel membutuhkan sesuatu. Rupanja Hendra djuga terdjaga. Dan dia langsung ke kamar tante Tiba2 terdengar suara Hendra dari belakang:

„Aku ngeri tante Suara ombak berdebur ituT mengerikan.”

,.Aku djuga Hen”, udjar tante murung.

Aku berdiri disisinja. Kami sama memandang ketengah laut. Tante Nora mulai berfllsafah :

„Hendra! Sekiranja kau kuumpamakan gelom bang dan tante mendjadi karang. Siapa jang lebih dahulu hantjur ?”

Aku menggslengkan kepala. Lalu tante meli rik kewadjahku Dan kembali memandang kede pan Mata tante berkatja-katja. Ia mendjawab sen diri pertanjaannja :

„Tante jang lebih dahulu hantjur Karang me mang kukuh tetapi di satu masa toch akan hantjur djuga. Sungguhpun tante tnampu melawan pertaru ngan hidup jang penuh kekedjaman ini, tetapi disa tu masa tentu tante akan hantjur djuga Sudah itu roboh dan mati . . .

Aku heran mendengar kata-kata tante. Disamping aku juga takdjub. Sehabis dia berkata-kata, timbul rasa ngeri jang amat sangat. Kata-katanja. begitu kuat mempengaruhi sanubariku. Sehingga, aku bertanja dalam diri, mengapa dia harus meng utjapkannja Sehabis mengutjapkan kata-kata itu, tante meninggalkan djendela Aku menurut dari be lakang. Dan dia berdiri tegak ditepi tempat tidur. Aku menghampiri dari belakang dan memegang ke dua belah bahunja.

„Mengapa tante murung ?”

„Entah Hen ! Tante merasa takut”.

„Tidurlah biar kutemani”

Ia merebahkan tubuhnja keatas randjang Ma tanja menerawang keatas. Kedua belah tapak tangannja diletakannja dibawah kepala Sorot ma- tanja saju Ia seperti memikirkan sesuatu. Se­suatu jang mengerikan. „Apa jang tante., takut- kan ?” tanjaku mengulang _

„Gelombang ! suara gelombang.”

Aku diam. Tak mungkin aku menghilangkan rasa takirt dihatinja. Satu-saturija ‘djalan kutahan gelombang jang memetjah kepunggung karang. Mampiikah aku menahau hempasan gelombang. Aku kagum melihat batu2 karang jang mampu bertahan ribuan tahun dari serangan gelombang. Tapi tante benar djuga Karang itu lambat laun hantjur djuga mendjadi partikel2 kecil. Lalu menjadi pasir. Achirnja diseret gelombang kedasar laut.

Esok harinja matahari memantjarkan sinar lembajung. Pagih kami sudah bangun. Aku masih mengingat lagi utjapan tante semalam.Aku bertanja :

„Bagaimana tante ? Masih takut ?”

Tante Nora tersenjum. Roman mukanja bersih dan tjerah, Rambktnja disisir rapi. Sungguhpun dia sepuluh tahun lebih tua dariku, tetapi dari wadjahnja tidak tampak ketuaannja. Malah selintas orang menduga ia; masih sebaja denganku.

Kami ber-djalan2 ditepi pasir Pembawaan tante sangat kalem. Dan terlalu mandja. Ia me­rebahkan kepalanja kebahuuu Kami berdjalan terus bahu membahn. Dalam . suasana seperti ini tante tidak banjak omong, Hanja sekali2 keluar kata2 dari kerongkongannja jang .serak.

Kami bardiri memandang ketengah laut Laut jang lepas.

Hanja itu Sampai kelengit-langit yang b bir u, laut, laut senantiasa bergelombang Ombak2 , ketji! meitietjah di pantai. Lidah om bak dengan genit menjentuh jentuh udjung djari kami . Seolah2 mengadjak bertjanda.

Ada sesuatu jang mendalam dirasakan, oleh tante Nora. Sangat dalam hingga aku tidak mungkin msnjelaminja. Dan tidak kuusahakan bertanja lebih landjut, Begitupun dapat kurasakan bagaimana perasaan tanteku.

Tiba2 sebuah gelombang agak besar memecjah dipantai. Tanpa kusadari air memertjik kejelenaku. Tante terpekik memelukku. Rupanja dia merasa ombak itu akan msntjelakakannja. Kupeluk tante pada pinggnngnja. dan kurema tubuhnja. Pelan2 kuletakkan bibirku ke bibirnya Mesra sekali tjiuman itu. Aku merasa seperti mentjium seorang istri jang telah memberi kebahagiaan sepuluh tahun lamanja. Alunan merupakan njanjian sedih kala kami sedang berpelukan, mesra

Mendjelang sendja mobil kami mellintjur pulang menudju Bandung. Disaat itu djalan raja ramai dilalui mobil2. Masing2 dahulu mendahului. Semua lari dengan kecepatan tinggi Tante Nora memegang stir, Ia djuga menekan gas sekencang2nya. Djarum ketjepatan bergoyang2 menundjukan angka di 80 sampai 90. Mobil kami seperti terbang. Tetapi kelihatannja tante Nora ticak ,,Steady * Ia kurang safe. Perhatiannja tidak seratus persen. Maka aku menawarkan :

„Mari, kupegang stir

„Ach tak usah. Biar tante sadja, ” djawab’

nja.

Tiba-tiba sebuth mobil warna merah mendahului kami. Mereka mobil itu djuga ’ Fiat sport 850 ” Tante merasa djengkel. la tidak senang Bila ada mobil jang melewatinja. Terlebih lagi di dalam mobil itu ada 2 orang pemuda pemudi. Mereka ketawa sinis melihat kami. Aku djuga panas hati jadinja.

Tante semakin bernafsu. Tegang pahanja menekan gas. Ketika itu kami sedang berada di jalanan tikungan, Ambilan tante di tikungan cukup manis. Aku tidak mungkin sanggup membawa mobil segitu lancar Tidak lama kemudian mobil kami dapat melati mobil merah tadi. Tante terus menekan pedal gas Mobil meiah itu mengedjar kami dari belalang Terdjadi kedjar mengedjar dengan sengit. Suasana semakin tegang. Persis seperti dalam balapan Masing-masing mempeilihat kan keahlian. Peristimewa ketika mobil menIkung Sebentar aku melirik pada wadjah tante, la AGAK PUCAT. Wadjahnja tidak gembira. Garis-garis mukanja kaku la tidak pernah tersenjum. Sorot matanja tadjam kedepan. Dan bidji matanja siKap memperhatikan tikungan djalan Tidak ubahnja seperti diktektif mengedjar penjahat.

,,Awas tan” djeritkn.

Belum habis lagi djeritanku, tiba-tiba mobil merah itu menghantam bagian kanan mobi! kami. Mobil berguntjang. Tante nora dan aku djuga turut tergontjang. Ia masih mendjaga keseimbang­an. Tetapi benturan terlalu keras. _ Di cobanja djuga menguasai stang stir Tetap sia2. Mobil berlari dengan ketjepatan luar biasa. Stir tidak bisa dikuasai lagi. Seperti roket mobil meluncur kesebelah kiri djalan:‘Aku menutup mata dengan kedua belah tangan. Sesudah itu terdengar suara benturan jang maha dahsjat:

dddrrraaaaaaakkkkkkk ”

Mobil kami bertekuk disebuah pohon di tepi djalan. Hidung mobil rusak. dan hantjur berantakan Pelan2 aku membuka mata. Ku-gerak2an tubuhku mungkin ada tulang2ku jang patah atau terkilir Ternyata tidak. Lalu aku melihat ke kanan. Tante Nora terkulai. Rambutnja kusut, Dadanja tersandar pada lingkaran stir. Dan dari mulutnja keluar darah merah. Mulutnja agak terbuka Matanja terkatup. Dan badjunja jang disebelah dada terkojak. Ia tidak sadar diri. Cepat aku memegang pergelangan tangannja, terNYata nadina masih berdenjut. Tante, pingsan Tetapi tekanan nadinja berdjalan laMbat sekali. Aku putjat pasi persis se­perti buah pepaja mentah. Kutjoba menggojang-gojang tubuhnja, dan memanggil namanja beberapa kali, tetapi dia tetap mengatiipkan matanja’ Ia masih pingsan.

AHIRNYa tante kuseret keluar mobil. Dankupangku sambil berdjongkok disisi mobil Kusodorkan gelas. Plastik yang berisi , air kemulutnja Tetapi gagaL Air itu tumpah kembal i keluar dari sudut mulutnja; Kubasahi rambut dan wadjah tante dengan air dingin. Mungkin tidak menolong, tetapi kulakukan djuga. Usaha itu sekedar melam-piasdan rasa sajangku pada tante.

Orang2 jang tinggal disekitar desa itu berke­rumun. Ada jang hanja menonton sadja sambil memperlihatkan wadjah ketegangan: Ada pula jang sibuk memberi pertolongan, _ Mereka .mengambil air untuk memadamkan api jang mulai menjilat- djilat mesin. Mobil2 jang lalu berhenti. Ada jang hanja sekedar melihat sadja. Tetapi ada pula jang langsung menelpon polisi dan ambulance, Satu jam kemudian ambulance. datang. Aku mengangkat tante keatas ambulance. Ia tetap kupangku, Ambulance meluncur dengan tjepat..

‘ ‘Tidak lama ambulance berhenti; dirumah sakit ,Braomeus” dua orang juru rawat sambil berlari da tang membawa tandu Dengan perlahan-lahan ku artgkat tubuh tanteku dan kuletakkan diatas tandu Wadjah putjat. Bibirnja tidak berdarah Ia dalam keadaan menelenlang Tubuhnja kaku. Darah ma sih djuga mengal’r dari mulutnja. Ia kelihatannja dai^m.’keadaan parah» Denjut nadinja sangat lam bat ‘djalannja. Dokter-dokter dan djururawat sibuk hilir mud’ k

Dokter Irman mengadakan pemeriksaan. Lama ia menekan nekan tubuh tante. Dan ia menulis be berapa diagnosa. Achirnja, dokter Irman datang pa daku.

„Tantemu harus dioperasi. Dua buah tulang dadanja patah. Dan menusuk dinding perutnja, Ia sangat gawat”. ‘

, Aku merunduk sebentar. Lalu aku mengang­guk tanda setudju. Aku sebenaruja iidak perlu lagi mendjawab. Tante memang gawat Ia memerlukan pertolongan setjepatnya..

.; Operasi berdjalan satu djjam lamanja. Suasana sepi. Hanja sekali-kali jururawat keluar membawa air; dalam: baskom. Lalu masuk kembali. Dan disebelah sana pula terdengar djururawat mendorong kereta dorong. Berdenyit-denyit buhjinja. Memetjah keheningan disitu. ?

Aku dalam , keadaan menanti penuh harap. Harapanku semoga tante , dapat senibuh kembali. Aku berdjalau hilir mudik didepan katnar operasi. Tiba-tiba – pintu terbuka Aku berpaling. Dokter ‘Irisan berdiri didepan pintu. Mulutnja masih ter tutup-kain putih dan fengannja memakai sarung ta ngan plastik. Sambil membuka tutup muka dan tangannja berkata : • • oprasi sudah bstdjalan baik Selanjutnja tergantung dari tahan tubuh badan tanteemu Ia sering sekali mengeluarkan darah. Kalau bisa kau bantu dengan darah mu.”

Aku memasuki ruangan. Seorang djururawat memeriksa darahku. Djenis O Tepat sekali Aku bisa membantu. Darahku diambil kira-kira setengah botol. Setelah itu aku disuruh menanti diluar. Ia belum boleh dilihat. Ia belurn diidjinkan bicara Setiap menit dokter meng.5dakan pengetjekan.

Sebentar kemudian dokter Irwan keluar lagi. Roman mukanja murung. Urat-arat pipinja kaku. Ia. memberi pendjelasan :

..Kami sudah berusaha sekeras-kerasnja. Darahnya juga sudah ditambah. Saja sangsi melihat daya tahannja. Dan ia sedaag dalam kesusahan. Kami sudah berusaha tinggal Tuhan jang menentukan. Masuklah tuan Hendra karena ia menjebut-njebut nama anda.”

Lemah sekidjur tubuhku. Aku seolah-olah melajang berjalan ke dalam kamar. Kulihat tante terbaring lurus Dadanja diperban kain putih. Rambutnja kusut. Wadjahnja. pucat. Dan totol darah tergantung disebslah kanan. Darah menetes pelan-pelan melalui pipa, plastik Jang ditusukkan pada belakang sikut tante. Ketika aku masuk ada dua orang djuru rawat jang mendjaganja. Mereka ketika melihatku lalu menjingkir.

Aku mendekati tempat tidur tante Lalu ku tatap ma tanja dalam-dalam Ia masih dapat me­ngenaliku. Pelan sekali suaranja seperti berbisik :

„Hen, cintaku ”

Tangan kariannj’a mengepal kedua targjiku Keharuan membikin rasa cjintaku meluap-luap Be­lum pernah tante Nora demikian halus mengutjap kan kata-kata Tanpa kupikirkan lagi keluar kata-kata dari mulut :

„Aku selalu berada dis’si tante”

Kueratkan pegangan pada telapak ‘tangannja. Tagan tante mulai dingin. Dan bintik-b’ntik keringat memenuhi kening. Aku ambil sapu tangan dan kuseka kening dan mukanja Ia memejamkan mata. Lembut sekali. Kemudian terbuka pelan-pelan. Lambat aku merunduk kekening tante. Suara na pasnja semakin halus. Nampak dia susah sekali me narik napas. Kuberikan ciuuman pada kenirg tan te. Ciuman seperti seorang ayah yang mentjium anaknja ketika sa kit. Mata tante kemudian tertu tup lagi. Sesudah itu terbuka. Semakin saju. Bi bibirya bergerak-gerak seperti hendak mengatakan se suatu. Aku seperti menambah kekuatan baru dalam djiwanja. Sorot matanja lembut dan dalam. Dalam sekali. Pandangan dari seseorang jang me lihat djauh kedepan. Kudengar tante mengeluar kan suara halus sekali. Kurapatkan daun telinga kebibimja Ialu berbisik :

„Perasaan tante sudah berobah. Lain sekali. Dingin sekali Mungkin kita berpisah”

„Tidak, tan ! Jangan ucapkan lagi hal itu Tante akan sembuh !” demikian bisikku.

Tante menatap mataku sekali Iagi. Ia lelah se kali. Djururawat memberi isjarat padaku supaja senantiasa berada disisinja. Aku dapat menarik kesimpulan menurut pandangan mereka keadaannja’ semakiin gawat. Akli Sudah mengerti. Dokter Irwan tadi sudah mendjelaiskan semua. Tetapi dokter juga memberi harapan. Seperti biasa jang di Iakukan oleh dokter2. Segalanja bisa terjadi bi la Jang Maha Kuasa menginginikannja: Memang, disaat-saat tegang seperti jang kualami itu semua ma nusia merasa lebih dekat ke Tuhan. Akupun begitu.

Matahari sudah terbenam diufuk barat. Te­tapi tembusan slnar merah’ masih juga, membayang didinding rumah Sakit jang putih. Disekitar rumah_ sakit lampu2 neon sudah dipasang semua. Terang benderang. Dalam kamar dimana tante terbaring sinar lampu bersinar lebih terang. Wadjah tante jang pucat semakin tambah pucat kena, sinar terang lampu neon. Aku melihat, djam tangan jang melingkar dipergelanganku, …

Tiba2 dokter Irwan masuk kedalam kamar dengan tergesa gesa. ; Ia ‘ memakai pakaian dokter warna patih Dikantongnja tersembul sebuah ste teskop. ‘Lahgkahnja 1 kedengaran teratur seperti buriji tapak pradjurit. Dokter Irwan .berdiri ditepi tempat tidur. Kemudian dokter Irwan melihat .lama lama darah jang meifetes dari dalam botol. filmbokepjepang.com Se­gera dia’memegang denjut nadi tante dengan tangan kanan Nampak dokter Irwan serius. sekali merasa kan denjut nadinja. Kelopak mata tante dibuka dokter itu dengan djempol. Steteskopi diambilnja dari dalam kantong! lalu meletakkan ditelinga. Udjung steteskop ditekan-tekan keperut tante Aku lihat dia menyatat. Apa jang ditjatatnja aku sendiri tidak tahu. Ia rupanja mentjaitat diagnosis. ‘Ia membikin perhitungan berdasarkan pemeriksaan jang terachir itu. Lama dia menatap notes yang di dipegangnja. Lalu,; dahinja mengkerut. Ia’me­mandangku Dan berbicara:

,;Suhu bertambah naik

„Masih ada harapan kok?”

„Ada ! Tapi lebih baik berdoa.”

Lemah sekudjur tubahku Aku menjesal me­ngapa ku tanjakan djuga kepada dokter Achirnja keterangan dokter jang djudjur itu me nbikin tubuhku lemah lunglai. Ia seorang dokter. Kurasa dia sudah mengetahui lebih dahulu apakah tante akan selamat atau tidak. Tetapi hal itu temu tidak diukapkanya terang-terangan Itu dugaanku semula pada dokter Irwan Sekarang aku tahu dugaanku meleset, dokter itu ternjata tidak ingin memberi satu kepastian walaupun diagnosis sudah menundjukkan gawat. Pengalaman dokter itu jang rnengaijarkan dia bertindak begitu. Barapa banjak orang-orang yang menurut perhitungan dokter tidak akan hidup lagi tetapi achirnja bisa hidup Dari itu dokter Irwan menjuruh aku berdoa. Akupun jakin. Banjak kedjadian2 “mracle” akibat dari satu doa Kupejingkan mata dan kupinta kepada Tuhan agar supaja tante selamat dari operasinja

Habis berdoa aku menatap wadjahnja. Keringat dinginnja semakin banjak. Kuambii lagi saputangan dan kuseka. Tante tidak bersuara. Ada suara tapi pelan sikali. Sulit didengar. Kurapatkan telingaku. la memegang bibir dan pipiku, Aku mengerti maksudnja. Pelan-pelan kutjium bibirnja. Dua orang djaru iawat jang berada didalam ruang an itu saling berpandangan. Memang mereka tahu adu adalah kemenakan tante. Tetapi melihat kemesraan itu mereka dapat menarik kesimpulan hubungan kami sudah lewat dari batas kemenakan dan tante. Aku mendengar bisikan tante lagi.

„Hen tante tjinta padamu.”

Suara itu pelan benar dan diucapkannja sepatah-sepatah Semakin lambat kedeugarannja dan semakin halus.

,,Ki… ta . . . . a. . kan . . . ber

. . . pi. . sah.”

Hanja sedetik kamudian ia menutup mata. Tjepat kupegang nadinja. Tidak berdenjut Djuru­rawat memegang djuga. Ia diam Aku terpaku memandangnja Kemudian djururawat itu mengangguk dan berkata pelahan:

„Meninggal.”

Kutukan perasaanku. Tetapi aku tidak mampu, Terasa napas semakin menekan perasaanku. Aku tak berdaja. Aku menangis. Kuambil : a u tangan dan kututup mataku sambil terisak-isak. Aku men- djadi bertambah sadrr. Betapa sepinja duriia ini tanpa tante. Ia keluargaku fatu-satunja jang ada. Ia penting bagiku unt k segala-galanja. Tempa t mengedu, t;mpat bertjmda, bertengkar, bermesra: dan tempat menukai paham..

Kini ia telah lebih dulu berlalu, mungkin berat hatinja menirggalkan diriku. Tetapi bagiku lebih berat. Berat sekali aku melepaskan dia pergi Tettapi dia mesti pergi Setiap manusia musti, mati

Tidak banjak jang mengantar penguburan al­marhum tante, jang datang hanja para tetangga. Disamping itu teman-teman tante. Djuga teman- temanku banjak jang datang. Antara lain keluarga Tuti Herawati Tak ketinggalan relasi-relasi dengan jang masih mengingat kebaikan ajah dimasa hidup nja. Semua mereka memberi nssehat padaku dan mendorong agar aku menguatkan imam.

Sendja itu kuburan telah sunji. Beberapa tulang korek kubur masih berdiri dipinggir kubur tante jang merupakan onggokan tanah merah. Aku mengeluarkan beberapa lembar uang seratus dan ku berikan pada mereka. Kemudian mereka berlalu. Aku merunduk penuh kesedihan. Kuhapus bekas-bekas tanah becek jang mengotori tulisan pada pa pan nisan. Papan nisan itu dibuat sederhana dan maksudnja sementara. Satu persatu huruf dipapan itu kubatja :

”NORA MARIAM”

Lahir tgl. : 27 – April – 1936 Wafat tgl. : 18-April – 1969

Suasana sekitar pskuburan sunji sepi. Angin bertiup sepoi-poi basah. Beberapa tangkai bunga katnboja djatuh kebumi. Aku belum djuga me­ninggalkan pekuburan. Tak ada jang kukerdjakan disitu. Aku hanja berdjongkok merenungi tanah merah jang membisu. Belum puas aku merenung. Tiba-tiba bahuku dipegang orang. Aku menoleh pelan. Ternjata Tuti jang masih menantikan aku diluar.

„Mari kita pulang, Hen. Sudahlah djangan kau turutkan kata hatimu. Nanti kau bisa djadi gila, Hen. Aku menoleh padanya Aku diam sadja. Tidak sepatah kudjawab Kubiarkan tangan Tuti memegang bahuku Memang bukan Tuti jang sedang kupikirkan Aku sadar tante sudah berpulang Aku sadar sekali. Tetapi apakah salahnja bila saat penguburan hari ini kuanggap hari jang menentukan, juga bagi djalan hidupku kelak. Djiwa, hati dan kisah hidup ku tidak bisa dipisahkan dengan tante. Aku adalah hasil asuhannja Untuk itulah aku agak lama merenungi onggokan, tanah merah dimana almar­hum tante Nora Mariam terbaring iintuk selama- lamanja.,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

Related posts