KADES KENA KARMA

Cerita Sex Terbaru | Tergesa-gesa pak Tholil menaiki motornya dan memacunya dengan kecepatan tinggi menuju puskesmas yang
terletak diujung desa berlawanan arah dari rumahnya. Semua acara resmi hari itu telah diserahkannya
kepada wakilnya, karena ia ingin membantu jururawat baru yang kemarin dahulu tiba di desa terpencil itu
untuk merapihkan puskesmas baru yang belum lama dibuka. Belum terlalu banyak perlengkapan yang ada,
sehingga dokter muda yang selesai bertugas setahun digedung puskesmas lama merasa tak betah dan akhirnya
dengan segala macam alasan meninggalkan puskesmas lama itu sebelum ada penggantinya.
Secara wajar dan menurut UU berlaku maka tak boleh seorang dokter muda yang sedang tugas didaerah ketika
baru saja selesai berhenti begitu saja. Namun di negara antah berantah ini “semuanya dapat diatur” –
apalagi kalau si dokter muda ini anak dari pejabat penggede di pusat dan mempunyai uang bukan lagi
jutaan melainkan milyard.

Permohonan demi permohonan diajukan pak Tholil ke pemda, bahkan sekali juga ke pemerintah pusat untuk
menugaskan lagi seorang dokter didesa itu – sampai sekarang juga belum ada hasilnya. Sementara itu wabah
penyakit dimusim hujan mulai banyak meminta korban jiwa – terutama malaria dan demam berdarah, namun
semua tenaga ahli dalam segala bidang tak ada minat untuk bertugas didaerah tanpa infra-struktur yang
baik.

Tanpa ada sarana yang baik sukarlah bagi tenaga ahli dalam bidang apapun untuk menetap di pedalaman :
tak ada hiburan, tak ada pusat perbelanjaan, tak ada sekolah lanjutan berkwalitas untuk anak anak mereka
yang meningkat dewasa, tak ada hubungan internet, tak ada provider yang dapat menangkap signal dari dan
ke daerah terpencil itu.

Akhirnya setelah menunggu sekian lama tibalah kabar tak terduga bahwa sementara belum ada dokter muda
bersedia bertugas disitu, maka untuk sementara seorang jururawat telah bersedia akan menangani sejauh
mungkin masalah kesehatan yang paling mendesak.

Dengan malas-malasan pak Tholil kemarin sore membuka pintu kantornya karena mendengar bahwa sang
jururawat dari ibukota telah sampai, dan meminta kunci puskesmas karena ingin segera memakai fasilitas
yang ada disitu, termasuk pavilyun kecil disebelahnya dengan 2 kamar tidur yang biasa dipakai oleh
dokter muda bertugas.

Mata pak Tholil terbelalak ketika melihat sosok wanita dihadapannya, bukan sekedar perawat yang kumuh
dengan pakaian lusuh setelah menempuh perjalanan sedemikian jauh, melainkan seoraang wanita muda elok
menarik. Pak Tholil yang baru beberapa menit lalu masih mendumal dan ngomel karena merasa anak buahnya
malas dan meninggalkannya sendiri dikantor dengan alasan anak sakit, kini merasa beruntung bahwa ia kini
hanya berdua saja dengan wanita cantik dari kota. Hujan angin yang mengguyur desa itu sepanjang hari
mengalahkan lindungan payung yang dipakai wanita ayu-manis dihadapannya itu, terbukti dengan basahnya
baju yang dipakainya.

Ketika bersalaman untuk kenalan pak Tholil merasakan betapa halus kulit telapak tangan digenggamannya,
sebaliknya telapak tangan pak Tholil terasa kasar tak menyenangkan bagi sang jururawat, yang
memperkenalkan dirinya dengan nama amat sederhana,

“Saya Yanti, jururawat dari ibukota yang selama 3 bulan akan membantu bapak disini”.

Suara lemah lembut sedemikian merdu terdengar ditelinga pak Tholil, yang kemudian menawarkan apa yang
dapat diperbuatnya saat itu sebagai kepala desa.

“Kalau boleh saya ingin pakai kamar mandi atau WC sebentar untuk menukar pakaian saya yang basah, karena
takut sakit jika terus-terusan baju basah ini melekat dibadan”, demikian ujar Yanti.
“Oh, tentu saja bu, jangan malu-malu memakai kamar belakang, dan saya akan buatkan minuman hangat untuk
ibu”, demikian jawab pak Tholil sambil matanya tak puas-puas melirik badan sintal menggairahkan
dihadapannya.

Badan sexy yang saat itu tak dapat disembunyikan karena baju yang dipakai basah melekat seolah
“mencetak” liku-liku kewanitaan sang jururawat. Yanti mengucapkan terima kasih dan dengan gerakan
gemulai melangkah menuju kearah belakang kantor sang kepala desa, dimana ada petunjuk “air bersih untuk
sholat, kamar mandi, WC”.

Pak Tholil menelan ludah dan jakunnya turun naik menyaksikan betapa goyangan bongkahan pantat padat
Yanti seolah-olah mengundang setiap tangan laki-laki meraba, mengusap, meremas dan mencubit dengan
gemas. Tergesa-gesa pak Tholil membuka kaleng kopi tubruknya : kosong !! , dengan memaki-maki dalam hati
karena anak buahnya selalu lalai untuk mengisi kembali kaleng kopi itu jika telah menghabiskan kopi
diwaktu pagi maupun tengah hari. Bungkusan kopi instant pun ternyata kosong – hal yang sama dengan
kantong plastik hijau muda yang biasanya terisi teh giju.

“Sialan ! “, demikian umpat pak Tholil dalam paniknya, apa yang dapat ditawarkannya pada bidadari yang

pasti masih kedinginan itu.

Matanya yang masih tetap mencari-cari terbentur disudut laci dengan dua bungkusan lusuh dengan tulisan
sudah hampir tak terbaca teh jahe dan sekoteng

“Maafkan bu, saya kehabisan kopi – yang ada hanya teh jahe dan sekoteng, apakah ibu mau ?”, teriaknya
kearah belakang.
“Wah, jangan repot-repot pak, seadanya saja, semuanya juga saya minum, asal jangan isi alkohol, nanti
takut mabuk”, jawaban Yanti dari arah kamar mandi.
“Baiklah bu, saya masak air dulu nih”, balas pak Tholil yang lalu memasang kompor kecil elpiji disudut
kamar dan menaruh panci kecil berisi air bersih dari keran wastafel.

Rasa ingin tahu dan naluri kelaki-lakiannya mendorong pak Tholil berjalan kearah kamar mandi dan WC, dan
ia tahu bahwa ada celah kecil di pintu yang mungkin tak diketahui orang lain. Celah itu tak dapat
dipakai untuk mengintip pada siang hari karena terletak tepat pada pantulan sinar matahari, namun hari
ini memang sudah rejekinya : sang surya tertutup seluruhnya oleh awan berisikan hujan.

Dengan sangat perlahan dan tanpa menimbulkan suara sedikitpun, didekatkan matanya ke celah itu dan apa
yang dilihatnya membuat jantung pak Tholil langsung berdebar. Yanti telah menukar bajunya yang basah dan
kini sedang berjongkok untuk buang air kecil, bagian tubuh atasnya telah tertutup kembali dengan blouse
jingga muda serasi dengan kulitnya, namun saat itu justru auratnya yang paling intim mulai dari pusar
kebawah terbuka lebar menjadi santapan mata pak Tholil.

Mulut pak Tholil terasa sangat kering menyaksikan perut sedemikian datar, bukit kecil terhias bulu halus
yang terawat dan dicukur sangat rapih, ditengahnya terpampang belahan merah muda membangunkan nafsu
didampingi kiri kanannya oleh bibir sedikit merah tua kecoklatan. Dari belahan merah muda itu pak Tholil
masih sempat melihat dua tetes terakhir sebelum Yanti membersihkannya dengan air jernih kemudian disapu
dan dikeringkannya dengan tissue parfum dari saku roknya yang masih tersingkap, namun segera di
turunkannya – sehingga tertutuplah semua panorama firdaus yang sempat beberapa detik dapat dinikmati pak
Tholil. Segera pak Tholil kembali kebelakang meja tulisnya – dituangnya air panas kedalam dua cangkir :
sebuah dengan isi teh jahe dan sebuah lagi berisi sekoteng.

Terserahlah apa yang akan dipilih oleh Yanti nanti, saat itu benak pak Tholil telah dipenuhi oleh rayuan
dan bisikan iblis : lupakanlah tiga istrimu saat ini, jadikanlah Yanti istrimu ke-empat, apapun cara dan
jalannya, ah perduli apakah si perawat ini mempunyai pacar atau bahkan tunangan.

Setelah kembali keruangan kerja pak Tholil, Yanti ternyata memilih teh jahe – dan menanyakan pak Tholil
apakah dan dimana ia dapat membeli makanan seadanya untuk malam itu. Buru-buru pak Tholil menawarkan
jasa baiknya untuk membelikan gado-gado lontong dan sate ayam, dan setengah jam kemudian mereka makan
bersama diruangan kantor si kades yang saat itu merasakan sangat beruntung seperti kejatuhan duren ranum
dan lezat. Sebagai tambahan setelah makanan utama, pak Tholil juga membelikan air kelapa muda, manggis
dan pisang ambon yang kebetulan cukup besar dan sedang musim didesa itu.

Amat tercengang pak Tholil, ketika Yanti secara malu-malu menanyakan dan meminta piring kecil dan pisau
untuk makan pisang ambon : apa gunanya piring untuk memakan pisang, pikir si kades. Ternyata Yanti tidak
memakan pisang itu dengan langsung setelah kulitnya setengah terbuka seperti pada umumnya, melainkan
mengupas kulit seluruhnya, lalu pisang itu di- potong-potong kecil dan diletakkan dipiring yang
dimintanya tadi.

Pak Tholil yang mengharapkan dapat melihat bagaimana mulut dan bibir mungil Santi mengatup dan beberapa
detik mengulum pisang sebelum digigitnya menjadi kecewa, namun dalam benaknya yang kotor menduga bahwa
Yanti benar-benar masih perawan murni dan amat lugu. Yanti rupanya belum biasa atau setidaknya segan
melakukan segala sesuatu yang dapat di-interpretasikan salah oleh setiap pria dihadapannya.

Otak Tholil kembali dipenuhi dengan hasrat birahi tak terkendali : biarlah bibir manis itu tak dapat
kulihat mengatup pisang, tapi pasti tidak lama lagi bibir merekah itu akan kupaksa membuka selebar-
lebarnya untuk menerima kejantananku, ooooh betapa ku-ingin melihat rontaan putus asa kepala Yanti
terjepit diantara pahaku, ku-ingin melihat reflex ingin muntah mulut perawan ini ketika sedikit demi
sedikit menerima perkosaan alat kemaluanku yang akhirnya dapat mencapai rongga hangat terdalam. Betapa
hangatnya rongga mulut Yanti dalam khayalan Tholil – dan setelah perawan itu tak berdaya dan berhenti
meronta-ronta akan kupaksa lidahnya yang juga pasti sebasah dan seharum bibirnya itu untuk menjilat
tandas kepala penisku.

Ke tiga istriku saja sampai saat ini amat segan dan menyatakan jijik untuk melakukan oral sex, uuuh
dasar perempuan kampung, umpatnya dalam hati, biarlah nanti bidadari dari kota ini akan kuajari
bagaimana memuaskanku dengan mulutnya, akan kuajari minum “yoghurt” alamiah yang hanya dapat dibuat
dalam kantong zakarku, demikian Tholil melamun sambil menatap Yanti. Perawat yang telah letih dengan
perjalanan seharian akhirnya memohon dengan sopan dan halus untuk dapat beristirahat dan tidur, karena
esok hari akan dimulai tugas beratnya didesa yang masih amat minim sarana kesehatan dan segalanya itu.

Dengan berat hati Tholil mengabulkan permohonan itu – dan mengantarkan Yanti ke tempat permukimannya
selama tugas didesa itu dan letaknya tak terlalu jauh dari Puskesmas tempat kegiatannya sehari hari
nanti. Kebetulan hujan mulai agak mereda namun dapat menyebabkan pakaian basah , sehingga Tholil
menawarkan Yanti untuk ikut bonceng dengan motornya. Kedua koper dan tas kecil Yanti dijanjikannya akan
dibawakan langsung setelah yang empunya sudah aman sampai ditempat penginapannya.

Mula mula Yanti menolak karena itu membuat Tholil harus dua kali bolak balik, namun akhirnya mengalah
karena selain Tholil bersikeras untuk menolongnya, juga Yanti yang tak biasa digonceng dibelakang motor
tak sanggup memegang kedua koper kecil dan tas-nya sekaligus. Selama perjalanan yang hanya beberapa
menit itu Tholil telah merasakan betapa empuk dan kenyalnya kedua bukit penghias dada Yanti yang
menempel ke punggung Tholil.

Dengan sengaja Tholil mengendalikan motornya secara hati hati dan setiap ada kesempatan yang bagaimana
kecil pun dipakainya untuk ngerém, sehingga kedua buah dada Yanti melekat dan tertekan kepunggungnya.
Sesuai dengan janjinya maka setelah mengantarkan Yanti, ceritasexterbaru.org lalu Tholil kembali lagi dan membawakan kedua
koper kecil serta tas Yanti, kemudian dipersilahkannya Yanti beristirahat.

Setelah itu Tholil pulang kerumahnya, namun sikapnya sangat berbeda tak seperti biasa – sama sekali tak
ada perhatian pada orang-orang dirumahnya, anak-anaknya tak digubrisnya, ketiga istrinya juga tak
diacuhkannya – bahkan satupun tak ada yang disentuhnya malam itu, berbeda dengan biasanya dimana paling
sedikit salah satu istrinya harus memuaskan nafsu birahinya yang selalu menggebu-gebu. Ketiga istrinya
menjadi terheran-heran, namun mereka tak mempedulikannya juga, bahkan merasa untung malam itu tak perlu
melayani sang suami yang seringkali buas dan tak jarang sadis ketika merajah sang istri.

Di pagi hari berikutnya Tholil menjemput dan mengantarkan Yanti dari asrama ketempat kerjanya di
Puskesmas.  filmbokepjepang.com Sepanjang jalan menuju ke asrama pegawai Puskesmas itu Tholil mengasah otaknya dan mencari
jalan terbaik dan terpendek untuk dapat menjebak Yanti agar dapat menyerah untuk dikuasai serta
ditaklukinya menjadi istrinya yang ke-empat. Waktu yang dimilikinya tak banyak, karena Yanti hanya
bermukim didesa itu selama 3 bulan. Masa yang sedemikian pendeknya harus dipakai menjebak perawan
bahenol yang kini telah menjadi obsesinya.

Ia akan berusaha selama 3 bulan itu sebanyak mungkin mendampingi si perawat bahenol dalam tugas sehari-
hari. Ia akan berusaha menarik simpati Yanti yang masih lugu itu dengan memberikan perhatian kepada
penduduk yang sakit, jika perlu ia akan mengantarkan Yanti ke rumah-rumah penduduk berjauhan dan
terpencil, asal saja ia memperoleh kesempatan berdekatan dan berdua dengan sang dewi idamannya. Masakan
sih dalam waktu 3 bulan tak ada kesempatan untuk dapat mencicipi kehangatan tubuh Yanti?

Apakah Yanti memang masih utuh perawan ? Banyak berita-berita yang selalu mengatakan bahwa perempuan
dikota besar susah mempertahankan keperawanannya setelah memasuki usia tujuh-belasan. Hanya ada satu
cara untuk mengetahuinya dengan pasti – yaitu dengan men-chek-nya sendiri ! Dibayangkannya geliatan dan
ronta mati-matian Yanti jika dipaksa membuka paha mulusnya, dipaksa mempersembahkan bagian dalam
vaginanya – apakah selaput daranya yang tipis namun amat peka berbentuk bulan sabit masih utuh dan
terpaksa diserahkannya kepada kejantanan Tholil yang telah berpengalaman memerawani sekian banyak gadis
di desa itu.

Aaaah, betapa nikmatnya menindih tubuh mulus Yanti yang menggeliat-geliat mencoba mengelak nasib tak
terelakkan lagi. Tak ada kepuasan lebih besar daripada melihat semua usaha Yanti sia-sia : kedua
tangannya direjang erat disamping kepala yang menoleh kekiri kekanan menghindarkan ciuman ganas dari
bibir tebal dan mulut yang berbau tak enak, air mata ibarat tetesan embun pagi hari mulai mengalir di
pipi halus pada saat dirasakan celah kewanitaannya mulai dibelah. Matanya ibarat bintang kejora memelas
memohon belas kasihan, dan sesaat kemudian membuka dengan kaget ketika dirasakan ngilu dan perih tak
terkira dibelahan kewanitaannya.

Desahan demi desahan, rintihan demi rintihan mulai memenuhi ruangan memacu setiap telinga pria yang
mendengar – dan terganti dengan jeritan panjang memilukan minta ampun menyayat hati. Semuanya tak akan
mengendurkan sama sekali semangat pria yang ibarat sedang kerasukan untuk melakukan jarahan lebih dalam
lagi…!

Lamunan Tholil buyar ketika akhirnya sampai dirumah sederhana tempat penginapan pegawai Puskesmas.

Rumah itu sebenarnya dapat untuk menampung 6 orang karena mempunyai 6 kamar tidur yang terpisah, sebuah
dapur dan 2 kamar mandi. Selain itu ada pula 2 toilet yang terpisah untuk wanita dan pria, namun karena
pada umumnya yang bermukim sementara disitu hanya pria, maka akhirnya WC untuk wanita jarang dipakai dan
akhirnya kurang terawat. photomemek.com Ruang tempat duduk bersama juga tak teratur, disana sini terlihat bekas kopi
atau teh yang tumpah dimeja dan jika tak langsung di- lap memang semuanya akan meninggalkan bercak yang
sukar di bersihkan lagi. Selain itu diatas meja duduk bertebaran surat kabar tua dan majalah yang
umumnya disenangi kaum pria karena banyak terisi gambar celebriti dengan busana sengaja menonjolkan
belahan dada atau paha sang wanita yang berpose merangsang.

Tholil dengan perlahan mengetuk pintu depan dan tak ada satu menit kemudian di buka oleh Yanti.
Jururawat muda ini ternyata sudah siap menunaikan tugasnya dan telah berpakaian rok putih menutup
lututnya, pergelangan kaki dan betisnya yang terlihat demikian mulus langsung mengundang mata Tholil.
Yanti tak memakai make up sama sekali, semua terlihat kecantikan asli : wajah berseri dengan kulit pipi
begitu halus, mata seindah bintang kejora, bibir yang tipis berwarna merah tanpa lipstik terlihat basah
sedikit terbuka dan hidung mungil bangir mancung – semua hasil karya ciptaan alam murni tanpa polesan
artifisial seperti wanita modern di kota kota besar zaman sekarang.

“Selamat pagi, silahkan masuk dulu pak”, ujar Yanti berbasa-basi disertai senyum manisnya sehingga
terlihat lesung pipit kecil di pipi yang dihias sedikit warna rona merah asli.

“Ooh, tak usah dik, saya sudah harus bertugas sebentar lagi”, jawab Tholil berpura-pura sementara
matanya tak jemu menikmati bidadari dihadapannya, membuat Yanti mulai merasa kurang nyaman karena
pandangan mata sang penguasa desa itu seolah ingin menelanjanginya.
“Mari saya antarkan adik sekarang ke Puskesmas sebelum saya ke kantor saya”, demikian tawaran pak kades
Tholil.

Sebenarnya Yanti ingin menolak, namun dilihatnya dari jendela betapa jelek jalan di depan tempat
penginapannya, kotor berlumpur karena kemarin terguyur hujan seharian. Selain itu meskipun jaraknya tak
terlalu jauh namun Yanti masih kurang ingat arahnya kemana karena kemarin ketika diantarkan sudah gelap
menjelang malam. Biarlah sekali ini aku mau diantarkan, akan kuperhatikan jalannya secara seksama dan
dihari hari berikutnya aku akan jalan sendiri dan tak perlu tergantung dari pak kades ini, demikian
bisikan dalam hatinya.

Sementara Yanti mulai bertugas di Puskesmas itu perhatian Tholil untuk burung merpati yang akan
dijebaknya itu tetap tak berkurang, disuruhnya anak buahnya untuk membawakan buah buahan segar yang
dipetik dari kebun milik sendiri, juga tak lupa minuman segar dari buah buahan yang juga diperasnya
sendiri. Tengah haripun dibawakannya masakan dengan lauk pauk lezat, dan kesempatan makan siang bersama
dipakainya pula untuk dapat bercakap-cakap dengan calon mangsanya itu.

Akibat keluguan Yanti dan pandainya Tholil mengatur kata kata ketika bercakap cakap itu akhirnya
diketahuinya bahwa Yanti telah bertunangan dan tunangannya itu masih kuliah kerja di negara tetangga
untuk memperoleh gelar S3. Akibat tempat tinggal berjauhan itu maka Yanti hanya bertemu sekali dua
setahun dengan tunangannya itu – sekitar lebaran dan juga sekitar pertukaran tahun. Karena tahun lalu
kebetulan hari lebaran berdekatan dengan peralihan tahun, maka pertemuan dengan tunangannya itu hanya
sekali saja.

Tholil semakin naik birahinya ketika membayangkan bahwa tubuh wanita muda secantik Yanti itu tahun lalu
hanya sempat beberapa hari saja menikmati usapan dan belaian tangan pria, betapa “gersang”nya tubuh
bahenol itu dan pasti mendambakan jari jari kasar lelaki yang sanggup menaklukinya dan membuatnya
mengeluh menjerit kenikmatan. Betapa “gersang” rahim si gadis cantik campuran Sunda Jawa dengan sedikit
cipratan darah Minang , pasti sudah tak sabar menunggu siraman air mani jantan yang akan menanamkan
benih kehidupan baru.

Tholil mulai memikirkan cara terbaik untuk menjerat mangsanya, dan untuk melancarkan rencananya Tholil
akan memakai bantuan tenaga yang sudah pasti tak dapat ditolak. Diingatnya bahwa ada 2 orang buruh
perkebunan yang mempunyai hutang belum terbayar sejak hampir setahun, Warso si buruh perkebunan karet ,
dan Wahyudin alias Udin si mandor perkebunan yang sama. Sudah sering Tholil menagih pengembalian hutang
itu kepada Warso namun karena memang upah seorang buruh perkebunan sangat sedikit, dan itu pun telah
habis terus menerus untuk membiayai ibunya yang tua dan sangat sering sekali sakit, maka pengembalian
hutang itu selalu tertunda.

Tholil memutuskan untuk menawarkan semua biaya obat-obatan ibu Warso yang penyakitan itu di Puskesmas
maupun di apotik luar secara gratis selama setahun asal saja Warso sedia membantunya melaksanakan
niatnya dalam beberapa minggu mendatang. Tentu saja Tholil dapat menjanjikan biaya obat obatan di apotik
luar karena ada tanaman modalnya disitu, dan salah satu pegawai wanita disitu pun dimasukkan kerja atas
perantaran Tholil setelah ia menyerahkan keperawanannya semalaman. Udin mempunyai hutang karena terjebak
rayuan janda muda yang menjadi “simpanannya” ketika masih bekerja sebagai sopir dikota besar.

Si janda muda itu bekerja sebagai pembantu RT sementara Udin menjadi sopir di keluarga kaya yang sama,
dan si janda muda selalu mengancam akan menceritakan semuanya kepada istri Udin – Suminah – yang selalu
alim dan rajin bekerja sebegai pemetik teh. Tholil pernah menawarkan Udin untuk menghapus semua
hutangnya sekaligus, jika ia bersedia
“meminjamkan” Suminah selama 3 malam. Suminah yang masih ada hubungan keluarga dengan istri Tholil
ketiga pernah mendengar sendiri betapa buas dan sadisnya Tholil jika sedang menjarah istrinya, dan hal
intim itu pernah diceritakannya kepada Udin suaminya. Oleh karena itu Udin tak pernah sampai hati
membayangkan betapa istrinya Suminah menderita di cengkraman Tholil selama 3 malam meskipun itu akan
menghapus hutangnya.

Tholil merasa pasti bahwa Udin akan gembira dan langsung setuju untuk membantu rencana kotornya jika
sebagai imbalan hutangnya akan di hapuskan begitu saja, tanpa harus mengorbankan Suminah istrinya. Kini
harus dicari saat yang paling tepat untuk melaksanakan rencananya itu – harus dipilih kesempatan dimana
penduduk desa yang jumlahnya tak terlalu banyak itu sedang “lengah” karena ada sesuatu yang lebih
menarik perhatian. Tholil memutar otak sekerasnya namun tetap tak dapat menemukan kesempatan dalam
kesempitan.Cerita Sex Terbaru

Waktu semakin mendesak karena tak terasa sudah lewat satu bulan Yanti bekerja di Puskesmas dengan
dedikasi yang boleh dijadikan teladan oleh setiap jururawat muda atau bahkan dokter sekaligus. Yanti
selalu ramah tamah, di tempat kerja sangat telaten menolong pasien mulai dari yang bayi maupun orang tua
renta. Bahkan banyak pria muda datang dengan alasan dicari cari demi sekedar mendapat kesempatan melihat
dan disentuh jari perawat cantik.

Memang dasar iblis sedang meraja lela didunia ini – tak terkecuali pula di desa pemukiman Tholil :
ternyata didesa tetangga yang terletak sekitar 15 km akan diadakan pesta khitanan besar besaran oleh
penduduk terkaya disitu. Pesta itu akan disertai dengan acara sehari semalaman dengan artis ratu goyang
ngebor pinggul dari kota : Imul Laracitra beserta seluruh orkes dan pengamennya. Berita yang tersebar
dari mulut kemulut itu tentu saja langsung masuk ke setiap telinga penduduk desa desa disekitar situ.
Sejak saat itu semua orang hanya menantikan dengan tak sabar malam minggu yang tentunya akan heboh
dengan acara panggung musik dangdut dan juara ngebor goyang pinggul.

Kesempatan yang muncul tak terduga ini seolah olah telah diatur oleh iblis dan tentu saja tak akan di-
sia siakan oleh Tholil. Ia mengutarakan rencananya kepada kedua kaki tangannya : Warso dan Udin. Selain
mengutarakan bebas keduanya dari hutang yang sedang mereka pikul dan agaknya sukar sekali untuk
dilunasi, Tholil juga menjanjikan ada kemungkinan keduanya diberi kesempatan untuk ikut melihat tubuh
bidadari kota yang bugil.

Mereka tentu saja dilarang untuk mencicipi badan mojang yang telah sering dilihat oleh mereka dan
dijadikan bahan masturbasi di kamar mandi, namun paling sedikit mereka akan diberikan kesempatan untuk
meraba, mengelus, meremas, mencium dan mungkin mencupangi daerah diatas pusar. Keduanya tentu saja
setuju dengan bonus extra ini dan diaturlah cara terbaik untuk menjebak Yanti yang tentu saja menduga
sama sekali bahwa nasibnya akan berubah tak lama lagi.

Warso mengusulkan agar pagi hari sebelum pesta di malam minggu itu ia diberikan tugas membersihkan
Puskesmas oleh Tholil, kemudian secara tersembunyi akan dimasukkannya obat tidur penenang di teh jahe
yang memang sangat di sukai oleh Yanti. Selain itu di Tholil akan membawakan makanan tahu gejrot ala
Cirebonan yang diketahuinya juga merupakan salah satu makanan kesenangan Yanti , di samping itu rujak
cingur yang di campurkan sedikit obat urus urus agar Yanti akan merasakan mulas disamping ngantuk
sehingga akhirnya segan untuk pergi ke pesta desa.

Untuk lebih meyakinkan berhasilnya rencana itu Tholil juga mengatur dan memerintahkan Warso maupun Udin
untuk membersihkan, mengecat, mengapur dinding , selain itu memperbaiki, mengganti genteng Puskesmas
yang memang disana sini telah bocor justru di hari sama dengan pesta dangdut di desa tetangga. Keduanya
ikut bermain sandiwara dan berpura pura marah, mengomel dan ribut mulut dengan Tholil yang secara
sengaja dilakukan dihadapan beberapa pasien di Puskesmas dan tentunya juga dihadapan Yanti, yang tentu
saja tak senang ribut ribut lalu berusaha menengahi pertengkaran itu.

“Pokoknya saya tak mau tahu, kalian sudah lama menjanjikan renovasi Puskesmas ini, dan selalu ada saja
alasan selama ini untuk menghindarkan pekerjaan ini. Apa kalian tak malu dengan perawat Yanti yang sudah
datang jauh dari kota untuk membantu – kalau tak dilakukan sekarang sampai ia kembali lagi juga belum
diselesaikan !”, hardik Tholil dengan mimik seolah olah sedang marah besar.

“Sudah lah pak, pasti semuanya akan mereka kerjakan, mungkin mereka masih sibuk dengan tugas lainnya”,
Yanti berusaha menenangkan suasana yang dirasakannya tak pantas ditampilkan dihadapan beberapa pasien.
“Memang kalo memerintah seenaknya aja, emangnya kita tak ada kerjaan yang lain, Puskesmas kan bukan
punya dia tapi punya negara”, demikian gerutu Warso yang juga diimbali oleh Udin yang mengeluarkan kata
kata serupa.

Pertengkaran ketiga lelaki itu dengan sengaja mereka lanjutkan sebentar diluar gedung Puskesmas, bahkan
ditambah dengan gerakan kaki tangan sambil menuding ke wajah mereka saling bergantian, dan itu
disaksikan oleh Yanti. Akhirnya mereka bubar bertengkaran dan ngeloyor pergi kearah yang berbeda satu
sama lain.

Jam dinding sudah menunjukkan jam lima sore, dan Yanti masih memeriksa tiga anak kecil yang panas dan
batuk di sertai oleh ibu mereka yang juga terlihat agak pucat. Rupanya mereka terkena wabah flu yang
memang sedang muncul sejak minggu lalu, namun pada umumnya demam yang di derita anak anak itu akan
mereda dalam beberapa hari tanpa pengobatan khusus.

Yanti berusaha menerangkan dan menenangkan sang ibu, bahwa tak perlu diberikan antibiotika pada saat itu
karena manfaatnya merupakan tanda tanya kalau memang penyebabnya virus bukan bakteri. Yanti merasa lega
bahwa akhirnya semua pasien telah selesai di rawatnya, karena ia sendiri merasa aneh : sedikit mulas dan
pusing , juga tak seperti biasanya ia telah menguap tiga kali dan matanya dirasakan berat ingin ditutup.
Ini belum pernah dialaminya, bahwa sebelum jam tujuh malam badan telah terasa lelah, penat, mata ngantuk
ingin di tutup saja.

Betapapun dicoba untuk tetap sadar namun sukar sekali, rasa mulasnya pun tidak berkurang sehingga
akhirnya di putuskannya untuk pulang saja ke asramanya dan tidur sebentar sebelum pergi ke pesta di desa
lain itu.

Ketika Yanti sedang bebenah dan telah tukar pakaian putihnya dengan pakaian bebas dan mulai menutup
pintu ruangan periksa pasien di Puskesmas itu dirasakannya matanya semakin berat untuk dibuka, juga rasa
mulasnya mulai muncul lagi. ceritasexterbaru.org Dengan tergesa gesa Yanti keluar dan menutup pintu Puskesmas sambil matanya
mencari ojekan motor yang mungkin lewat setelah mengantarkan langganan ketempat tujuannya. Justru pada
saat itu bagaikan dipanggil oleh suara iblis muncullah Tholil disudut jalan dengan motornya dan langsung
berhenti di depan Puskesmas.

“Koq kelihatannya pucat amat dik Yanti, mungkin mau sakit ?”, demikian tanya Tholil berpura pura.
“Sudah mau ke pesta didesa seberang, sekarang sih masih agak kepagian, belum begitu rame”, sambung
Tholil kembali.
“Iya nih pak, rasanya agak pusing dan ngantuk, mungkin hanya kecapaian saja”, ujar Yanti yang merasakan
serba salah, disatu fihak tak begitu senang untuk di bonceng Tholil yang dirasakannya semakin cunihin,
dilain fihak mulas yang makin tak tertahan membutuhkan solusi cepat untuk mencapai kamar asramanya.
“Ya, saya sebetulnya ada urusan lain ke jurusan berbeda, tapi kalau dik Yanti mau ikut sudahlah saya
antarkan dulu”, lanjut Tholil yang melihat bahwa calon mangsanya telah semakin terjerat jebakannya.

Dengan masih agak ragu dan tubuh terasa limbung akhirnya Yanti menerima tawaran Tholil dan duduk di
boncengan motor sambil tangannya memeluk pinggang Tholil.

“Pegangan yang kencang ya dik, maklum jalanan desa banyak rusak berlubang, nanti jatuh bisa cedera,
siapa yang akan merawat pasien kalau bukan dik Yanti”, celoteh Tholil bersopan santun sambil mulai
menjalankan motornya.

Yanti berpura pura tak mendengar kalimat Tholil terakhir, ia hanya mempunyai tujuan satu yaitu
secepatnya pulang ke asrama dan merebahkan diri. Perjalanan yang sebenarnya hanya lima menit dengan
motor itu dirasakannya seabad tak kunjung berakhir, dan selama itu kembali Tholil merasakan betapa
lembutnya gundukan dada Yanti yang lekat dengan punggungnya. Ketika akhirnya sampai didepan asrama Yanti
merasa sedemikian pusing sehingga hampir jatuh ketika turun dari boncengan, dan kesempatan ini tentu
saja dipakai oleh Tholil yang segera menyanggahnya.

Tholil meletakkan tangan kiri Yanti di pundaknya sementara tangan kanan Tholil dilingkarkan ke pinggang
Yanti yang langsing. Yanti berusaha membuka pintu masuk asrama namun dirasakannya sukar memasukkan kunci
ke lubangnya sehingga akhirnya Tholil mengambil alih tugas itu, sambil tangan satunya sengaja melingkar
semakin erat di pinggang Yanti. Akhirnya pintu terbuka, dan Tholil terus memapang Yanti menuju salah
satu kamar tidur yang berada disebelah kiri, tak berapa jauh dari kamar mandi, toilet dan juga dapur tak
seberapa besar.

Sejenak sebelum Yanti akhirnya dapat menghempaskan dirinya ke ranjang masih sempat dilihatnya bh dan cd
string berwarna merah jambu muda yang kemarin dicucinya masih terletak di sandaran kursi karena belum
kering sekali di pagi hari ketika ia akan bertugas ke Puskesmas. Tentu saja “pemandangan” yang khas
intim wanita itu tak lolos dari tatapan mata Tholil sementara Yanti merasa wajah dan terutama telinganya
merona merah karena malu, di sesalkan dirinya sendiri mengapa tak menggantung penutup auratnya itu di
dalam lemarinya sendiri.

Tapi masa bodohlah apa yang dipikirkan si Tholil ketika melihat penutup auratku itu, yang penting kini
aku sudah di asrama, kini aku akan istirahat, ingin tidur sebentar, ingin memulihkan tenaga, sesudah itu
barulah menyegarkan diri dan mandi serta keramas sepuasnya, sebelum pergi melihat gaya berjoget si Imul
Laracitra. Selama ini Yanti hanya bertanya tanya terhadap dirinya sendiri mengapa goyang pinggul dangdut
Imul begitu populer terutama di kalangan pria.

Padahal menurut seleranya sendiri gaya pinggul ngebor menghentak hentak kasar begitu tidaklah sebagus
dan erotis jika dibandingkan dengan goyangan yang lemah gemulai. Sebagai wanita dewasa tentu saja Yanti
sering pula berdiri dihadapan kaca sendirian, lalu melenggang lenggokkan pinggulnya se-erotis mungkin
sambil membayangkan apa yang akan dirasakan oleh suaminya nanti jika diwaktu bersanggama dirangsang
dengan goyangan seperti itu.

“Sudah ya dik, bapak permisi dulu, semoga dapat istirahat dan segar kembali. Kita ketemu lagi di
pertunjukan pesta panggung nanti malam ya dik”, ujar Tholil sambil setengah menutup pintu kamar dan
menuju ke arah pintu keluar.

Yanti tak menjawab lagi karena telah begitu penat dan hampir terlelap tidur, dalam waktu beberapa menit
terdengar dengkuran amat halus menandakan bahwa Yanti telah masuk kedunia mimpi. Bunyi azan maghrib
sayup sayup tidak dapat membangunkan Yanti, sementara udara mulai menggelap dan penduduk desa mulai
berbondong bondong pergi ke desa tetangga untuk menikmati acara yang telah lama mereka tunggu.

Sekitar jam delapan malam desa itu sepi bagai telah di tinggalkan manusia sama sekali, disana sini hanya
terlihat lampu redup dari rumah penduduk yang telah ditinggalkan penghuninya. Dalam kesunyian dan
kepekatan malam itu hanya terdengar disana sini bunyi jangkrik dan serangga, tiada kegiatan yang
terlihat dijalan atau di warung rokok atau ruko yang biasanya masih ada yang buka untuk menjual makanan
kecil atau jajanan seadanya.

Bagaikan didalam adegan film ninja atau film horror secara samar samar dari jauh terlihat tiga titik
lampu diserta suara motor berjalan perlahan. Ketiga titik lampu itu semula hanya samar samar ibarat
kunang kunang yang semakin lama semakin mendekat dan terlihat jelas para pengemudinya : Tholil dengan
didampingi oleh Warso dan Udin. Sekitar limapuluh meter dari gedung asrama jururawat dan dokter
Puskesmas mereka mematikan motor mereka dan kemudian mendorongnya memasuki halaman depan asrama. Rupanya
mereka tak mau ada suara motor mereka akan menarik perhatian penduduk sekitarnya dan terutama tentunya
si penghuni asrama sendiri.

Ketiganya mendorong motor mereka melewati samping gedung asrama itu dan akhirnya di parkir di tempat
yang biasanya untuk sepeda. Tholil sebagai penguasa desa tentu saja mempunyai kunci loper alias kunci
umum yang pas untuk semua pintu gedung milik pemerintah daerah situ. Dengan hati-hati hampir tanpa suara
sedikitpun Tholil membuka pintu belakang asrama itu dengan kunci lopernya. Ketiganya tahu benar bahwa
setelah dokter muda terakhir meninggalkan asrama itu sekitar tujuh minggu lalu tak ada penghuni lain
selain jururawat cantik Yanti yang malam ini akan dijarah oleh Tholil. Dengan langkah ibarat binatang
buas menghampiri mangsa yang belum tahu ada bahaya ketiganya memasuki koridor dimana ke enam kamar tidur
serta kamar mandi dan kiri kanan WC masing masing untuk pria dan wanita.

Semua celah bawah pintu kamar terlihat gelap terkecuali yang terdekat dengan kamar mandi dan WC wanita,
dan kamar tidur itu pula yang selama ini diingat oleh Tholil dan diidamkannya akan menjadi saksi bisu
pergulatan pertamanya dengan sang bidadari Yanti idamannya. Untuk lebih pasti lagi Tholil menyalakan
lampu senter yang dibawanya untuk menyuluhi label nama didepan pintu kamar itu dan memang terlihat nama
Yanti R. – bahkan Tholil mengenali tulisan tangan yang bagus itu memang tulisan Yanti.

Tholil mendekatkan dan bahkan merapatkan telinganya ke pintu kamar untuk mendengarkan apakah ada suara
yang menandakan si penghuni telah sadar dan misalnya mungkin sedang mendengarkan lagu dari radio.
Ternyata tak ada suara sama sekali sehingga Tholil memberikan tanda jari telunjuk didepan bibirnya
kepada Warso dan Udin agar tidak berisik lalu ia memberanikan diri membuka pintu kamar tidur Yanti
perlahan lahan. Karena selama ini memang Yanti hanya tinggal sendirian di asrama itu maka ia merasa
cukup aman sehingga jarang mengunci pintu kamarnya.

Kelalaian yang sebenarnya tak boleh terjadi ini sangat membantu Tholil dan kedua komplotannya dan tanpa
bunyi sedikitpun terbukalah pintu kamar tidur Yanti. Ranjang dipan yang biasanya berdempetan langsung ke
dinding telah digeser agak ketengah oleh Yanti, karena meja kecil tempat menaruh lampu kecil untuk
membaca, serta wekker kecilnya justru diletakkannya berdempetan dengan tembok sehingga terdapat ruangan
antara dinding dan ranjang dipan yang di tidurinya.

Apa yang terlihat di hadapan mata ketiga lelaki setengah baya itu tak dapat dipungkiri dapat menggoda
seorang nabi, inilah apa yang disebut kecantikan alamiah seorang wanita langsung turun dari firdaus.
Tholil memberikan tanda kepada Warso untuk berdiri dekat dinding disamping bagian kiri , Udin disamping
kanan, sedangkan Tholil sendiri berdiri diujung kaki ranjang sehingga kini Yanti sempurna di kepung dari
tiga jurusan.

Ketiga lelaki setengah baya itu mengawasi calon mangsanya, sementara Yanti masih tidur dengan nyenyak.
Rupanya kepenatan seharian bekerja ditambah dengan obat tidur penenang yang di campurkan oleh Tholil ke
makanan siang tahu gejrot masih menunjukkan khasiatnya. Yanti tidur terlentang agak miring kekanan,
kedua lengannya terbuka dan berada disamping kepalanya yang terhias dengan rambut bergelombang tergerai.
Ia masih memakai baju blus dan rok putih sepanjang bawah lutut sebagaimana seragam jururawat sehari
hari. Hanya seragamnya itu acak acakan dan terbuka disana sini : dua kancing atas blouse-nya terbuka
mungkin karena merasa panas, sedangkan roknya pun dibagian perut terbuka kancingnya, mungkin setelah
menggosok perutnya yang tadi siang mulas.

Karena itu terlihat kulit dadanya yang putih kuning langsat dimana belahan dan lekuk diantara buah
dadanya tampak jelas. Perutnya terlihat datar dengan pusar sempurna tanpa tambahan piercing atau atribut
apapun. Namun yang membuat ketiga lelaki itu menjadi blingsatan adalah karena rok putih biasanya menutup
lutut Yanti saat bekerja kini terbuka penuh menyingkapkan kaki begitu sempurna, betis langsing ibarat
padi membunting dan paha putih mulus terbuka sampai belahan selangkangan yang tertutup celana dalam
kecil berwarna ungu muda sangat amat serasi dengan kulitnya.

Bagaikan para dukun dan ahli sihir di zaman purbakala yang akan memulai upacara persembahan agung ketiga
pria yang mengelilingi tubuh Yanti itu mulai perlahan lahan membuka jaket mereka, kemudian kemeja dan
celana panjang serta kaos penutup torso atas mereka. Terlihatlah kini tubuh Warso yang tinggi kurus
namun cukup berotot, sementara Udin memiliki tubuh paling kekar atletis dihiasi dengan beberapa cacat
luka yang diterimanya akibat liku hidupnya yang penuh dengan perkelahian. Tholil memiliki tubuh sedikit
gemuk dengan hiasan kebanggaannya yaitu bulu lebat yang menutupi tangan kaki maupun dadanya yang bidang.
Ketiganya kini hanya tinggal memakai celana dalam yang telah terlihat menonjol dibagian depannya akibat
ketegangan birahi yang mulai memuncak………..

Rasa penat dan kelelahan seharian ditambah pengaruh obat menyebabkan Yanti tertidur nyenyak – tidur yang
sangat menyenangkan karena disertai dengan mimpi menunggu tunangannya di landasan udara. Sebentar lagi
pesawatnya mendarat dan ia akan menikmati lagi kehangatan pelukan tunangannya itu. Yanti menoleh kekiri
kekanan karena di rasakannya ada yang aneh dan tak biasa di pangkalan udara itu.

Aneh sekali airport yang biasa selalu ramai hiruk pikuk kini begitu sepi, tak ada penumpang yang berdiri
didepan meja untuk check in, tak ada para pengantar, tak ada kuli yang menawarkan jasa mengangkat koper,
tak ada petugas douane, beberapa orang yang berada disitu koq aneh sekali tak ada yang bercakap cakap.
Apakah matanya yang salah lihat atau panca inderanya terganggu semacam fata morgana ?. Yanti berusaha
menggerakkan tangan kirinya untuk mengusap matanya namun tak berhasil entah mengapa, dicobanya dengan
tangan kanan namun hasilnya serupa.

Dicobanya menggelengkan kepala namun entah mengapa di rasakan berat seolah membawa ember terisi air
dijunjung diatas kepala, oooh apa yang terjadi. Mendadak hidungnya tersengat oleh bau yang tak
disenanginya, bau rokok yang memang selalu dijauhinya kini seolah olah tak mau hilang dari hidungnya,
dan bukan itu saja bahkan bau tembakau yang menyengat kemudian menerobos masuk mulutnya. Bau tembakau
yang sangat dibencinya itulah yang akhirnya membuatnya sadar dan betapa terkejutnya Yanti ketika dilihat
keadaan sebenarnya yang sedang dialaminya.

Ternyata memang benar kedua lengannya sukar digerakkan karena direjang erat dikiri kanan oleh Warso dan
Udin. Keduanya sambil menyeringai mesum mennyekal menekan kedua pergelangan tangannya kekasur diatas
kepalanya. Sedangkan bau rokok yang tercium dalam keadaan mimpi adalah dari mulut Tholil yang melekat di
bibirnya dan berulang ulang mendorong masuk lidahnya yang basah kedalam mulutnya sendiri. Yanti berusaha
bangun dan berteriak sekuatnya namun semua sia sia, kakinya menendang seadanya kekiri kekanan namun
gerakan itu hanya membuat roknya semakin tersingkap dan ternyata pergelangan kakinya yang langsing
itupun kini berada dalam cengkraman tangan Tholil yang kuat sehingga sukar bergerak.

“Emmpfffh, apa apaan, too, toolooong, sialaaan, bangs…aemmppffh, jaangaaan, nnnnggaa maaauu, emppppfh,
aauw lepaaaskaan”, Yanti berusaha berteriak sejadinya meminta tolong dan mengharap teriakannya akan
didengar.

Ternyata ketiga lelaki jahanam itu sedemikian kuatnya seolah diberi kekuatan tenaga tambahan oleh iblis,
sehingga meskipun kini Yanti telah sadar sepenuhnya dan pulih dari obat tidur penenang namun semua
rontaannya sia sia saja. Karena kedua tangannya tak dapat melindungi sama sekali maka hanya dalam waktu
singkat Tholil kini telah duduk diatas perutnya yang demikian datar langsing sehingga Yanti merasakan
sukar bernafas. Jari tangan Tholil kini mulai membuka sisa kancing blus Yanti yang masih tertutup dan
sebegitu blus itu terbuka Tholil dengan kasar menarik BH Santi berukuran 34C sehingga langsung terlepas
menampakkan kedua buah dadanya yang sedemikian sempurna.

Udin dan Warso langsung melotot melihat betapa indahnya pemandangan pegunungan dihadapan mata mereka,
“Waah, baguuus betul tetek si neng, pasti enak diremas dan di enyot nih. Boleh engga gan nyicipin nyusu
duluan?”, tanya Warso dan Udin hampir bersamaan kepada Tholil.

“Kalian harus sabar nunggu, pasti ntar gue bagi daging montok, tapi sekarang mesti ditelanjangin dulu
nih cewek”, dengus Tholil sambil dengan rakusnya melahap bibir manis Yanti, sementara kedua tangannya
mencakup kedua bola di dada Yanti sambil meremas remas.

Yanti semakin liar meronta dan air mata mulai mengalir disudut matanya, menyadari keadaan yang
mengerikan sedang dihadapinya. Selama berpacaran Yanti belum pernah lebih dari ciuman tersembunyi ketika
menonton adegan romantis dikegelapan ruangan bioskop. Tunangannya pun penuh pengertian dan hanya
sesekali saja menyentuh dan meremas buas dadanya dari luar blusnya, tak pernah dikasari apalagi dibuka
BH-nya seperti saat ini.

Teriakan dan jeritan Yanti kembali teredam oleh ciuman ganas Tholil dan rasa mual mulas mulai muncul
kembali, kali ini bukan karena obat yang dimasukkan di makanan tapi karena rasa takut dan jijik ketika
Tholil memasukkan lidah kasar di mulutnya yang kecil itu. Ludah Tholil tercium sangat bau memuakkan kini
ikut tercampur dengan ludahnya sendiri sementara buah dadanya terasa sakit diremas oleh tangan Tholil
yang kasar.

Gerakan kedua kaki Yanti yang menendang tak teratur kekiri kanan dan keatas justru memberikan kesempatan
para pemerkosanya untuk melepaskan dengan paksa secabik celana dalam string yang melindungi auratnya
terakhir. Disaat Yanti menendang dengan kedua kakinya agak keatas maka pinggulnya pun ikut naik sedikit
sehingga Warso yang mempunyai tangan paling panjang segera merenggut cd string Yanti berwarna ungu muda
itu yang langsung robek. Kini Yanti sang jururawat ayu manis telah telanjang bulat seperti bayi yang
baru dilahirkan, isak tangisnya semakin menjadi, menyadari sebentar lagi akan kehilangan miliknya yang
paling berharga.

Dicobanya dengan kekuatan tenaga seorang wanita yang masih ingin membela kehormatannya meronta
melepaskan diri dari malapetaka yang mengancam. Sejenak Yanti berhasil melepaskan kedua tangannya dari
cengkraman Warso dan Udin dan langsung di cobanya mencakar muka Tholil, namun Tholil dengan sigap dapat
menduga maksud gerakan Yanti dan ditangkapnya kedua nadi yang langsing itu dan ditekannya ke kasur
disamping kepala Yanti.

“Eh, kalian gimana sih engga becus masa kalah tenaga dengan cewek, ayoh rejeng lagi tangannya, awas kalo
lepas lagi semua perjanjian akan dibatalkan !”, bentak Tholil dengan maksud perjanjian pemghapusan
hutang anak buahnya.
“Oke, oke boss , jangan takut , nih cewek akan gue ringkus sampe engga berkutik lagi”, demikian jawaban
Udin yang langsung bersama Warso kembali mengambil alih tugas memegang nadi Yanti.

Keduanya berpandangan dan saling mengangguk, kemudian Warso meraih saku celananya yang terletak
dilantai, dikeluarkannya tali rami yang kuat dan diikatnya kedua pergelangan tangan Yanti lalu
diletakkannya diatas kepala, sehingga kedua ketiak Yanti terpampang.

“Wah, ketiaknya bagus boss, engga ada bulunya sama sekali, emang lain nih perawat dari kota”, ujar Warso
sambil mengelus ketiak Yanti yang segera ditiru oleh Udin, menimbulkan rasa geli tak terkira pada Yanti.
“Mulutnya perlu ditutup lakban apa engga boss ?”, tanya Udin kepada Tholil, karena sementara itu Yanti
masih saja berteriak minta tolong.
“Kalian goblok amat sih, masa ditutup lakban , kan lebih baik kalo disumpel sama rudal gue”, jawab
Tholil sementara itu mengurangi tindihannya di perut Yanti hanya dengan maksud melepaskan celana dalam
boxernya.

Aksi Tholil itu segera juga di ikuti oleh kedua anak buahnya, sehingga sesaat kemudian tak hanya Yanti
yang bugil melainkan ketiga lelaki yang sedang menjarahnya.

Yanti menatap dengan mata membesar di pengaruhi rasa ketakutan dan ngeri karena meskipun sebagai
jururawat sudah terbiasa melihat dan merawat tubuh pria sebagai pasiennya, namun belum pernah di
saksikannya penis penis sebesar dan sepanjang itu. Semuanya terlihat mulai mengacung mengangguk
didepannya, hitam legam penuh pembuluh darah seolah memberi salam dan meminta permisi untuk membantai
kegadisannya.

Tholil kini menggeser tubuhnya kearah kepala korbannya, dipegangnya penis hitamnya dan disodorkan
dihadapan mulut Yanti yang tentu saja menolak dan menutup serapat mungkin sambil melengoskan kepalanya
kesamping.

“He he he, pake malu malu nih si neng, pasti orang kota seneng makan sosis ya, ini cobain sosis desa
asli yang bisa bikin neng ketagihan”, celoteh Tholil sambil mengusapkan penisnya ke bibir dan ke pipi
Yanti yang amat halus. Rasa jijik Yanti tak dapat diuraikan kata kata, namun penolakannya tak
berlangsung lama karena Tholil menutup hidung bangir Yanti sehingga tak dapat bernafas.

Sekaligus dipilin, dicubit dan ditariknya puting susu Yanti menyebabkan rasa ngilu dan

“Aaaaauw, sakiiff……ouuf, eemmffh”, teriakan sakit Santi langsung teredam oleh kemaluan Tholil.
“Naaah, begitu pinter ya si neng, ayo kulum, jilaaaat, iseeep yang rajin, ntar dapet hadiah joghurt
alami, aaah ini kan babak permulaan dan lubang pertama yang abang perkosa, babak berikut segera nyusul,
ooooh terus”, demikianlah dengusan Tholil yang merem melek merasakan hangatnya mulut Yanti menyelubungi
kemaluannya.

Sebagai jururawat Yanti sangat memperhatikan soal kebersihan, bukan saja kemaluan sendiri namun
tunangannya pun selalu dianjurkan dimana mungkin untuk selalu membersihkan ujung kepala kemaluannya
setelah kecing agar tidak berbau pesing. Kini mulutnya sendiri dijejal dipenuhi oleh penis besar yang
berbau tidak enak, bahkan bulu kemaluan Tholil yang lebatpun berbau asam entah sudah berapa lama tak
dibersihkan dicuci tuntas. Yanti berusaha melepehkan mendorong keluar penis yang sedang menyiksa rongga
mulutnya itu dengan lidahnya, namun hal ini tentu saja tak diizinkan oleh Tholil bahkan dorongan lidah
Yanti disalah tafsirkannya sebagai gerakan menyapu dan menjilat kepala kejantanannya.

“Ooooh, iya iya iyaaaa teruuuus, anak manis pinteeer bangeeet, abang nggga lama lagi mau keluaaaar
niih”, terdengar geraman suara Tholil yang kini justru memegang erat kepala Yanti sehingga tak dapat
bergerak lagi.

Sekaligus Tholil mendorong penisnya sedalam mungkin sehingga masuk sekitar sepertiganya, tapi itu sudah
cukup dalam untuk ukuran mulut Yanti yang memang sangat mungil. Ujung penis Tholil kini mendesak dan
menyentuh dinding tenggorokan Yanti sehingga Yanti betul betul kelabakan sukar bernafas dan semakin
menggelepar di ranjang seperti ikan kekurangan air. Air matanya semakin deras mengalir di kedua pipinya,
namun hal ini sama sekali tak menimbulkan rasa kasihan para pemerkosanya, bahkan sebaliknya.

Warso dan Udin kini semakin memberanikan diri mereka untuk mengambil bagian dalam penjarahan gadis kota
yang malang itu. Kedua pergelangan tangan Yanti yang telah terikat tali rami diatas kepalanya kini
direntangkan lalu diikat kekaki ranjang, sehingga ketiaknya semakin terentang lebar dijadikan sasaran
ciuman, gelitikan dan jilatan Udin dan Warso. Tak puas sampai disini saja keduanya dengan penuh nafsu
meremas memijit kedua gunung didada Yanti, tak luput pula putingnya yang semakin mencuat keatas diusap,
dipilin, ditarik, dan sekaligus dicubit diantara jari jari mereka yang kasar. Bergantian pula mulut dan
lidah kedua kuli pegawai Tholil menyupangi ketiak Yanti yang harum, diselang seling dengan gigitan gemas
sehinga ketiak Yanti penuh bercak merah.

“Oooouh, ngga tahaaan lagi nih, neng denok bapak mau banjir nih, minuuuum ya semuaaaanya”, seperti
kesurupan Tholil menekan pinggulnya ke wajah Yanti, alat kemaluannya berdenyut denyut dan semburan lahar
sperma hangat menyemprot kedalam mulut Yanti.

Tholil yang dengan sengaja telah beberapa hari tak menggauli istrinya mempunyai cadangan sperma cukup
banyak, dan kini mulai disumbangkannya di mulut yang masih perawan itu. Yanti tak dapat berbuat apa apa
didalam kekuasaan ketiga lelaki yang sedang kesetanan itu, kerongkongannya dipenuhi cairan kental hangat
agak asin sepat dan berbau hanyir.

Yanti berusaha menahan nafasnya dan masih menolak untuk menelan tapi begitu banyak cairan aneh yang
belum pernah dirasakannya itu terkumpul didepan kerongkongan dan tenggorokannya itu sehingga ia hanya
mempunyai pilihan : tersedak dan terselak oleh benih kelakian Tholil atau terpaksa ditelannya. Akhirnya
mau tak mau ditelannya cairan hanyir yang dirasakan sangat menjijikkan itu dan benar benar dirasakannya
sangat tersiksa dan terhina sehingga hampir saja di muntahkannya kembali.

Namun untuk itu Tholil tak memberikan kesempatan sama sekali : penisnya yang begitu besar menutup
seluruh rongga mulut Yanti sehingga seluruh laharnya terpaksa di telan oleh korbannya itu. Setelah
dirasakan denyutan rudalnya telah berhenti dan Yanti telah kehabisan nafas barulah dilepaskan cekalannya
pada kepala perawat secantik bidadari itu.

Yanti hanya sanggup menangis terisak isak sambil masih merasakan sengatan bau yang aneh di mulutnya,
namun segera Tholil kembali menciumnya dengan ganas dan mencampurkannya dengan ludahnya yang didalam
penciuman Yanti tak kalah baunya dengan cairan lahar panasnya.

“Hhmmm, gimana neng rasanya semprotan sosis abang, enak kan – ayoh ngaku deh jangan malu malu”, tanya
Tholil penuh kepuasan;
“sekarang gantian abang mau minum cairan madu kenikmatan dari neng Yanti nih”, sambungnya di sertai
seringai serigalanya.

Yanti yang merasa mulai lemas namun terus terusan dirangsang oleh Warso dan Udin tidak langsung memahami
apa maksud kalimat Tholil terakhir itu. Ia hanya berusaha sia sia melepaskan kedua tangannya yang
terikat erat di kedua ujung kaki ranjang diatas kepalanya, namun apa artinya rontaan gadis seperti Yanti
?

Dirasakannya Tholil kini beralih menggeserkan badannya yang berbulu lebat itu kebawah, kedua tangan
kasar berbulu menepis tangan Warso dan Udin yang sedang asyiknya bermain di puting Yanti. Kini remasan,
pilinan, pijitan dan cubitan di putingnya terasa semakin ngilu dan menyakitkan, karena birahi Tholil
semakin meningkat melihat indahnya hiasan alamiah dada Yanti.

Buah dada yang biasanya tersembunyi dibalik BH berukuran 34C itu tidak terlalu besar namun sangat sesuai
dengan proporsi tubuh seorang wanita Asia khususnya Indonesia. Terlihat sangat padat montok tanpa
terlihat ngondoy sedikitpun kearah bawah, bahkan justru seolah olah menonjol membusung kedepan seolah
olah sangat bangga menjadi atribut kewanitaan Yanti. Kedua bukit daging yang sangat elastis di dalam
remasan Tholil itu dihiasi pula oleh puting kerucut berwarna coklat muda kemerah-merahan dengan areola
berwarna coklat muda pula. Yanti tak sanggup menahan rintihan keluar dari bibirnya yang setengah terbuka
ketika Tholil terus menerus memilin dan bahkan kini menggigit gigit dan menjilati puting sedemikian
peka, menyebabkan puting itu terasa membengkak.

Sementara itu Warso dan Udin menukar siasatnya dan menjilati telinga Yanti dari kiri kanan menyebabkan
kegelian sukar ditahan, akibatnya Yanti makin menggeliatkan bagian badannya yang masih bebas yaitu kedua
kakinya. Tholil semakin menurunkan badannya dan jilatan lidahnya kini telah mencapai perut yang datar
langsing, makin turun menciumi pusar, mengendus di bawah pusar, mencupangi , menjilati menggigiti bagian
dalam paha dan selangkangan, untuk akhirnya……

Yanti berusaha mati matian menahan rasa aneh yang muncul di tubuhnya yang sehat sebagaimana wanita
dewasa : rasa muak, jijik dan benci terhadap semua bibir ketiga laki laki yang bergantian menciumnya,
mual tergadap cairan kejantanan yang terpaksa harus ditelannya, geli atas hembusan nafas panas di kedua
liang telinganya, geli atas usapan dan cupang cupangan di ketiaknya, geli dan ngilu tercampur sakit di
buah dada dan terutama putingnya yang di pilin, di remas, di cubit, ditarik tarik dan di gigit gigit
dengan ganas.

Semua rasa itu kini makin bertambah dengan rasa malu tak terkira ketika Tholil semakin memusatkan
rangsangan di bagian bawah tubuhnya. Bulu tengkuknya ikut berdiri merasakan kecupan, jilatan dan gigitan
di perut bawahnya, di lipatan pahanya, bagian dalam pahanya dan kini beralih ke selangkangannnya.
Dicobanya sekuat tenaga merapatkan kedua pahanya yang putih mulus, namun apakah daya gadis remaja di
kerubuti tiga lelaki kasar. Selain besarnya tenaga Tholil menguakkan pahanya sehingga tak sanggup
dikatupnya lagi, juga Udin dan Warso yang kini tak perlu lagi memegangi tangan Yanti yang telah terikat
disudut kaki ranjang ikut membantu mencekal pergelangan kakinya lalu dipaksa ditekuk keatas dan
kesamping.

Terbukalah semua bagian intim si perawan dihadapan muka Tholil, dan dengan disertai geraman ibarat
binatang buas disentuhnya aurat Yanti yang belum pernah tersentuh jari lelaki manapun, termasuk
tunangannya. Karena kuatnya tenaga Warso dan Udin sebagai kuli kuli kasar perkebunan dibandingkan dengan
tenaga Yanti maka keduanya cukup hanya memakai satu tangan saja merejang pergelangan kaki Yanti yang
langsing. Warso yang berada disebelah kanan Yanti memakai tangan kirinya untuk meremas remas buah dada
Yanti sebelah kanan sementara tangan kanannya merejang pergelangan kaki kanan Yanti dan ditariknya
semaksimal mungkin kesamping.

Tak cukup sampai disini saja – kini telapak kaki Yanti yang juga sedemikian halus terawat kulitnya
dijilat jilatnya kemudian jari jari kaki kanan Yanti dimasukkan kemulut dan dikulum kulumnya pula. Hal
yang sama dilakukan oleh Udin yang berada disebelah kiri badan Yanti yang semakin meliuk meliuk meronta
sekuatnya karena kegelian.

“Jangaaaan paak, jangaaan, lepasin saya, ngga mau diginiin, lepaaas, toloooong, ampuuuun, udaaaah”,
kembali teriak Yanti memenuhi ruangan namun tak ada seorang pun disaat itu yang akan mendengarnya.

Hampir semua penduduk desa itu sedang menikmati hidangan musik dangdut dan goyangan pinggul ngebor artis
terkenal dari ibukota.

“He he he, coba ya bapak periksa apa benar masih ada jururawat dari ibukota yang masih perawan, bapak
inspeksi ya apa selaput bentuk bulan sabit masih menutupi goa surgawi si neng”, kembali Tholil
mengeluarkan silat lidahnya yang disambut dengan anggukan kepala Udin dan Warso sebagai tanda setuju.

Tholil mengusap usap bukit Venus Yanti yang hanya tertutup sedikit oleh bulu kemaluan halus karena Yanti
memang selalu merawat dan mencukurnya setiap minggu. Celah kemaluan yang begitu merangsang mata lelaki
terlihat masih terlihat merapat, bibir kemaluan berwarna kemerah merahan seolah masih malu membuka,
mengingatkan buah duren berdempetan belum terbuka atau kerang laut yang masih mengatup.

Wajah Tholil dengan seringai cabulnya semakin lama semakin mendekati bukit Venus itu, dengusan nafasnya
yang panas ibarat serigala keleparan terasa semakin menghembus belahan kenikmatan Yanti. Jururawat ayu
cantik itu semakin ketakutan menghadapi nasib yang tak akan terelakkan lagi, inikah perasaan seorang
gadis dizaman purba yang akan dijadikan korban persembahan untuk dewa angkara murka ? Pernah dibacanya
pelbagai kisah di Mesir sebelum puncak kekuasaan Faraoh atau keganasan suku Viking yang selalu
mengorbankan perawan murni kepada dewa Odin. Bagaimanapun rontaan yang dicobanya tak sanggup mengatasi
tenaga tiga pria setengah baya yang terbiasa dengan pekerjaan kasar di perkebunan atau sebagai serdadu.

Tholil kini meletakkan ibu jari dan telunjuknya dikiri kanan celah yang sebentar lagi akan dijarahnya
itu, dibukanya celah ditengah bukit Venus itu dengan amat perlahan lahan seolah takut merusak sesuatu
yang sangat berharga. Bagian dalam dari celah itu terkuak memperlihatkan panorama yang selalu menjadi
impian setiap lelaki : dinding celah berwarna merah jambu muda dihiasi pembuluh darah halus bak rambut.
Dinding itu agak berkilat akibat cairan pelumas alami yang mau tak mau akan keluar sendiri jika seorang
wanita dirangsang.

Dibagian atas tengah yang lebih berwarna merah gelap terlihat lubang amat kecil yang pasti berhubungan
ke kandung kemihnya. Dibawahnya terlihat pula celah yang dikiri kanannya terlindungi selaput tipis warna
merah jambu agak mirip bulan sabit – inilah yang dicari cari oleh Tholil. Dengan tak sabar dan penuh
kerakusan dikecupnya celah surgawi Yanti yang kini telah terbuka karena kiri kanannya ditahan oleh
telunjuk dan ibu jari Tholil.

Dijulurkannya lidahnya yang kasar untuk merasakan kehalusan selaput lendir celah perawan yang sebentar
lagi akan dicicipinya penuh kehausan. Yanti yang belum pernah mengalami intim dengan lelaki – apalagi
telanjang bulat dipaksa membuka selangkangan aurat kewanitaannya – mencoba mati matian mengatupkan lagi
pahanya – namun tak mampu melawan kekuatan kuli² di kiri kanannya yang menahan posisi memalukannya itu.

Terasa seluruh paha betisnya kaku kejang kesemutan karena terus menerus dipaksa mengangkang maksimal
disamping merasa geli karena pahanya pun diusap usap. Terlebih lagi rasa malu Yanti ketika dirasakan
lidah Tholil mulai memasuki liang sanggamanya, menyapu mengusap – menyelinap kebagian lebih dalam lagi
mendekati batas antara kegadisan dan kedewasaan seorang wanita.

Mendadak dirasakannya sapuan lidah itu mencari mengalihkan tujuan dan kini menyentuh daging kecil
diujung atas vaginanya, daging kecil ibarat butir jagung sangat peka kini menjadi sasaran lidah , bibir
dan gigi gigi tajam Tholil. Ibarat tersentuh aliran listrik voltage tinggi Yanti melentingkan badannya
karena dirasakannya geli tak terkira, bibir yang selama ini hanya merintih dan melenguh lemah kembali
mengeluarkan jeritan melengking!

“Auw jangaan pak, jangaan, toloooong, saya mau diapaiiin, ampuuuun, aampuuun, udaaaah paaak, lepasin,
kasihani saya pak, auuuw”, teriakan Yanti terdengar memilukan, namun hanya menambah semangat ketiga
lelaki yang memperoleh gadis si ayu.

Bunyi kecipak mulut dan lidah Tholil tak kalah serunya menimpali keluhan memelas Yanti :”Mmmmmh, legiiit
amat nih jagung muda, mana maniiiis lagi, hhhmh bapak mesti hemaat nih pakenya engga boleh sembarangan”,
celoteh Tholil penuh kepuasan menikmati geliatan rontaan Yanti tanpa memperdulikan jeritan jeritan yang
makin melemah.

Jeritan itu pun kita semakin tersendat terputus putus karena ketika melihat Tholil telah memusatkan
perhatiannya dibagian badan bawah korbannya, maka Udin dan Warso kini mempunyai lebih banyak kebebasan
dibagian atas badan Yanti. Bergantian Warso dan Udin merajah mulut mungil Yanti, menciuminya dengan
rakus, memasukkan lidah mereka yang tak kalah baunya kerongga mulut Yanti, sementara tangan mereka
meremas remas buah dada.

Disaat Udin menyerang mulut Yanti maka Warso menciumi ketiak , leher dan buah dada si perawat yang
semakin memerah penuh cupangan, dan putingnya semakin menegak mencuat akibat jilatan dan gigitan ganas,
demikian sebaliknya. Geli, nyeri, ngilu , sakit dan nikmat tak henti hentinya dirasakan oleh Yanti yang
semakin lemas pasrah. Gelombang demi gelombang rangsangan menghantam menyerbu benteng pertahanan Yanti
yang semakin menipis, badan sehat wanita dewasa memang di”atur” oleh alam untuk pada saat tertentu
mempersiapkan diri menerima benih pria.

Oleh karena itu percuma sajalah Yanti melawan semua naluri alamiahnya itu , baik secara fisik maupun
mental – betapapun perlawanan di bawah kesadaran masih memberontak, namun dari bawah kesadaran itu pula
akan muncul gejolak badaniah lain yang akan mengalahkan semuanya.

“Aaauuuuuw, ennggggaaaa mauu, jangaaan, aaaaaahh, tolooooong, geliiiii, aaaaaah, emmmmhh, lepaaaaaaa,
oooooh, jangaaaan paak, tolooooong, aauuuuw”, desahan Yanti dengan rontaan dan geliatan semakin lemah
dan lemas.

Tholil merasakan semakin bertambahnya cairan pelicin keluar dari lubang vagina korbannya, dan sebagai
pria pengalaman ia merasakan pula perubahan rasa cairan itu : semula terasa asam dan perlahan lahan
berubah menjadi lebih sepat. Ini tanda tak dapat dipungkiri lagi bahwa sang betina telah disiapkan oleh
alam untuk bersatu badan dengan sang jantan. Tholil memberikan tanda kepada kedua konconya untuk
melepaskan cengkraman mereka dipergelangan kaki Yanti, di raihnya kedua betis si bidadari dan
diletakkkannnya paha mulus itu di atas pundaknya. Ibarat hewan persembahan yang tinggal menunggu
penyembelihan Yanti hanya pasrah lemas diperlakukan demikian, hanya sekali dua dipukulkan tumit kakinya
yang mungil itu ke punggung Tholil.

Dengan penuh kepuasan dan rasa kemenangan ditatapnya wajah Yanti yang meskipun kini terlihat kuyu dengan
rambut tergerai tak teratur, wajah yang tetap ayu manis cantik sebentar lagi pasti akan meringis
bergolek kekanan kekiri jika merasakan sakit tak terkira. Tholil memegang kemaluannya yang telah
mengeras membesar maksimal, diarahkannya kedalam celah licin basah oleh lendir kewanitaan, perlahan tapi
pasti kejantanan itu memasuki gerbang surgawi yang diapit oleh bibir kemaluan berbulu halus. Bibir
kemaluan Yanti dipaksa untuk membuka, dipaksa untuk merekah dan alat pemerkosa berkepala helm seperti
jamur itu mendesak masuk : milimemeter demi milimeter dibelahnya dinding vagina sang gadis ibarat
pentungan daging penuh air mani.

Yanti merintih, meratap dan memohon dikasihani, memohon agar milik satu satunya itu jangan direnggut,
air matanya mengalir deras disertai “Aduuuuuh, aaaaaah, nyerriiiiiii, sakiiiiiiiiit paak, ampuuuuuun,
udaaaaah, sakiiiiit, tolooong, jangaaaan diterusin, auuuuuuuuuww……”. Tholil kembali memberikan tanda
kepada kedua anak buahnya untuk kini melepaskan ikatan tangan Yanti karena ia ingin merasakan rontaan
dan terutama cakaran kuku seorang gadis yang direnggut keperawanannya.

Dan memang betul : sebegitu lekas kedua tangan terlepas, meskipun masih terasa kaku kesemutan Yanti
berusaha mencakar muka Tholil, namun sia sia karena muka Tholil telah melekat dengan muka Yanti dan
bibirnya yang tebal dower dengan kumis kaku kasar ibarat ijuk menutup mulut Yanti. Teriakan dan tangisan
Yanti kini teredam sehingga hampir tak terdengar dan si perawat cantik itu didera oleh rasa sakit tak
terkira dikemaluannya.

Sebagai lelaki yang sudah sangat pengalaman dalam merenggut kegadisan wanita muda Tholil semakin lama
semakin mahir mengendalikan hawa nafsunya, semakin mahir merasakan kapan senjatanya yang besar itu mulai
menyentuh selaput dara seorang gadis. Selaput dara yang sangat peka itu tidak di terobosnya sekaligus
sebagaimana anak muda ingusan atau suami yang tak punya pengalaman, namun selalu disentuh ditekan
tekannya sehingga terasa sangat sakit ngilu. Tholil mempunyai kecenderungan sadis untuk menikmati wajah
wanita – apalagi seorang gadis – yang dilanda rasa sakit saat menerima tusukan rudalnya yang besar dan
lebar itu.

Apalagi kali ini adalah wajah cantik jelita seorang perawat kota : wajah Yanti yang menengadah keatas
atau menoleh kekiri kekanan , wajah penuh air mata dan mulut mungil bibir basah terbuka mengeluarkan
rintihan memilukan merasakan siksaan sementara hidung bangir mancung kembang kempis menahan isak tangis!

“Sakiiiiiit, paaaak, ampuuuuun, auuuuuw, udaaaah pak, kasihani saya paaaaak, ngggaaa tahaaaan paaak,
udaaaah dong, aaamppuuuun”, namun semua laki laki disitu hanya tertawa.

Sekitar seperempat jam Tholil mempermainkan senjatanya menyiksa selaput tipis yang sedemikian sensitif
sebelum akhirnya dengan geraman penuh kemenangan ditembusnya keperawanan Yanti. Saat pecah robeknya
keperawanannya Yanti tak berdaya lagi menahan diri : raungan dan jeritan memenuhi ruangan, disusul
dengan rintihan tangis – dan disaat itu Yanti dengan sekuat tenaga menancapkan kukunya dipunggung
Tholil, kemudian tanpa disadari sendiri digigitnya sekuat tenaga bahu Tholil yang kekar penuh otot itu.

Tholil hanya tersenyum bangga, dicekalnya kedua pergelangan tangan Yanti, ditekannya ke kasur,
diangkatnya tubuh bagian atasnya sendiri sehingga gigitan Yanti lepas. Kini dimulainya gerakan maju
mundur pinggulnya yang berarti disiksanya lubang surgawi yang bari diterobosnya itu : Yanti merasakan
betapa perihnya luka dari selaput daranya yang bari sobek dan kini luka masih terbuka itu digosok gosok
oleh benda asing, maju mundur , maju mundur tanpa terhenti semakin lama semakin cepat dan akhirnya………

Bagaikan gunung merapi yang telah lama memendam lahar panas kini meletus dan menyemburkan laharnya itu
ke luar membanjiri vagina dan rahim Yanti. Selama menyemburkan spermanya itu Tholil tak berhenti
bergerak, bahkan tetap menjedug jedug mulut rahim yang saat itu juga sangat peka. Namun Yanti sudah
sedemikian lemah dan hanya dapat pasrah merasakan tubuhnya di perkosa habis habisan , diharapkannya agar
semua mimpi buruk ini lekas berlalu namun yang terjadi justru sebaliknya : dari tengah selangkangannya
yang sedang disiksa itu muncul perlahan lahan rasa lain yang aneh. Ada rasa hangat sedikit ngilu gatal
menyebabkan keinginan agar gerakan maju mundur yang baru saja dialaminya dan sangat menyakitkan itu
bahkan terulang kembali, justru seolah meminta dan menagih diteruskan dan jangan dihentikan.

Yanti tidak mengerti “pengkhianatan” tubuhnya terhadap perkosaan yang baru dialaminya. Rasa sangat jijik
, muak dan kebencian terhadap para pemerkosanya kini tercampur rasa keinginan untuk ditaklukkan kembali,
merasakan ketidak berdayaan dikuasai dan direjang sehingga tak berkutik sama sekali. Disaat Tholil
ambruk menindih tubuhnya setelah orgasmus dan ejakulasi justru Yanti melingkarkan kakinya yang mulus itu
ke pinggang si pemerkosanya, seolah tak ingin melepaskan penis yang masih tertancap di vaginanya. Tanpa
disadari Yanti menggeser pinggulnya kekiri kekanan, kemudian bergoyang berputar dengan lemah seperti
menginginkan agar “kegatalan”nya di “obati” dengan gerakan maju mundur yang mungkin memberikan kesan
seperti “menggaruk”.

Tholil sendiri merasakan ada denyutan dan remasan halus di kemaluannya yang sebetulnya mulai “tidur”
didalam liang vagina Yanti dan ini sama sekali belum pernah dialaminya ketika menggagahi wanita manapun
termasuk para istrinya apalagi oleh seorang gadis yang baru saja di perkosa habis habisan. Tholil
mengangkat tubuh atasnya dan meperhatikan wajah Yanti yang penuh keringat dan kelihatan tak sadar dengan
dengusan dan rintihan halus dari hidung serta mulut yang begitu mungil. Betapa luar biasa bidadari kota
ini pikirnya – perempuan ini agaknya houri yang turun dari firdaus untuk selalu memenuhi hasrat birahi
laki laki.

Diawasinya wajah yang sedemikian ayu manis selalu menimbulkan hasrat hewaniah lawan jenisnya , dan
diingatnya bahwa setelah mulut dan vagina masih ada satu lagi lubang yang masih dapat diperawaninya
malam ini. Namun apakah tubuh bidadari ini akan masih kuat untuk mengalami pembantaian sekali lagi
dimalam ini , apakah lebih baik menunggu esok hari ? Namun diingatnya lagi bahwa malam ini adalah
kesempatan yang mungkin takkan terulang atau kembali lagi : hampir semua penduduk desa sedang absen
karena menikmati goyangan ngebor pantat artis Imul Laracitra di desa tetangga. Tholil perlahan lahan
bangun melepaskan Yanti dari tindihannya dan kedua anak buahnya pun menghentikan kegiatan sexual mereka
seolah olah mulai menduga apa rencana juragan mereka berikutnya.

Keduanya menyeringai bergantian dan Udin mengambil kesempatan bertanya,

“Mau diapain lagi nih si nok bahenol Yanti ini gan, boleh ikut ngicipin engga boss ?”

“Jangan coba coba berpikiran kotor lu, disini cuma gue yang boleh menggarap perawat kota ini, ingat apa
perjanjian pelunasan hutang kalian, apa mau dibatalkan hah !” demikian bentak Tholil seolah tak sadar
bahwa benaknya pun pada saat ini tak lain hanya terisi pikiran kotor.

Kedua anak buahnya menggerutu namun sadar berada di fihak lemah akibat hutang mereka yang telah berlarut
menumpuk di lintah darat penguasa desa itu. Tholil tak mau bahwa ada benih lain tercampur di rahim si
bidadari cantik ini – jika Yanti sampai hamil maka pasti adalah hasil bibitnya, tak ada campuran dengan
lelaki lain.

Namun sedikit rasa terima kasih Tholil terhadap kedua anak buahnya yang telah membantunya malam ini dan
rupanya iblis ikut memberikannya sedikit pertimbangan untuk memberikan sedikit extra bonus!

“Begini deh, gue bagi juga kenikmatan untuk kalian – silahkan bergantian menjarah mulut gadis ini tapi
jangan sampai banjir di dalam , kalian boleh semprot dan mandikan wajahnya dengan air myni kalian. Awas
kalo sampai ada yang banjir di dalam mulut gue akan batalkan penghapusan hutangnya, faham ?”.
“Okee boss, akuuur, beres deh dijamin mantab siraman di muka si neng , pasti akan jadi obat awet muda
wajahnya”, hampir bersamaan kedua kuli itu menjawab majikan mereka.

Kemudian mereka berunding siapakah yang akan mulai dengan perkosaan mulut Yanti di babak kedua –
akhirnya Warso mengalah : Udin memulai dan Warso berikutnya. Tubuh Yanti yang langsing bahenol dan masih
lemas lunglai setengah pingsan itu kini dibalik tengkurap, kemudian kedua lengannya ditekuk di sikunya,
demikian pula kakinya di tekuk di lututnya. Akibatnya kini tubuh Yanti dalam posisi merangkak seperti
serdadu yang sedang latihan, hanya bedanya Tholil ikut campur dengan menarik lipatan paha Yanti keatas
sehingga pantatnya menungging keatas. Dalam posisi ini terlihatlah vagina Yanti yang licin mengkilat dan
basah oleh cairan pelumasnya sendiri tercampur dengan lahar Tholil yang secara perlahan agak mengalir
meleleh keluar.

Namun yang lebih jelas lagi terlihat adalah lingkaran lubang anus Yanti berwarna coklat kemerah merahkan
bagaikan kuncup bunga yang masih sangat rapat, dihiasi dengan kerut kerut yang menandakan masih utuhnya
fungsi otot otot pengunci lubang paling rahasia dan intim ini. Tholil hanya dapat menduga duga betapa
akan kerasnya tangis dan teriakan kesakitan Yanti jika disodominya – ketiga istri dan wanita lain didesa
itu yang pernah disodominya hampir semuanya meraung raung ibarat hewan disembelih bahkan setengahnya
betul betul pingsan lebih dari satu jam.

Tholil mengambil lotion untuk bayi yang telah diambilnya di apotik beberapa hari lalu dan di-oleskannya
pelumas yang harum itu di seluruh kepala penisnya yang disunat bahkan juga seluruh batang kemaluannya
karena diameternya akan sukar sekali diterima oleh diameter anus Yanti. Namun Tholil bertekad : Yanti
akan dperkosa ketiga lubangnya malam ini, Yanti akan diajarinya untuk takluk dan tunduk sepenuhnya
sebagai calon istrinya, Yanti harus menerima nasibnya secara pasrah untuk melayani keinginan seksualnya.

Yanti akan diajari mengalami derita sakit tapi nikmat !

Cukup dengan membayangkan itu semua kemaluan Tholil kembali membesar menegang dan mengeras, siap
tunaikan tugas berikut, terakhir, namun mungkin yang terberat malam ini : memasuki lubang tersempit
ditubuh molek Yanti. Masih dalam keadaan hanya setengah sadar Yanti merasakan tubuhnya menungging dengan
pantat semakin tinggi ke atas, lalu dirasakan ada jari jari mengoleskan cairan agak dingin di lubang
anusnya.

Hal ini membuatnya sadar dan ingin berontak namun tubuhnya kembali dipegangi dari dua arah oleh Warso
dan Udin sehingga tak dapat berkutik atau membebaskan diri dari posisi tak nyaman itu. Ketika Yanti
berusaha untuk menepiskan jari jari yang kurang ajar di anusnya itu mendadak kedua tangannya diputar di
telikung dan direjang kebelakang punggungnya sehingga mulai terasa sakit di sendi bahunya menyebabkan
Yanti merintih. Yanti merasakan kedua pergelangan tangannya di rejang oleh jari jari kuat dan kasar
sehingga tak dapat bergerak dan sekaligus anusnya dimasuki oleh sebuah jari yang licin. Naluri alamiah
Yanti memeperingatkannya apa yang mungkin akan terjadi dan isak tangisnya mulai muncul kembali.

“Jangaaaaan, jangaaaan, aduuuuh, enggaaa maaaau disitu, jangaaaaan , toloooong, ampuuuuun, kasihaniiii
doong, ya Allaaah, ampuuuun, enggaaaa maauuuuu, auuuuuw, auuuuw, ngiluuuuu”, Yanti meliuk liukkan
badannya tak berdaya ketika dirasakannya bukan hanya satu melainkan dua jari Tholil memasuki anusnya dan
berusaha melebarkan lubang duburnya.

Ketika Yanti berteriak sekuat kuatnya tiba tiba rambutnya dijambak kebelakang oleh Warso dan mulutnya
yang terbuka lebar di masuki oleh penis Udin yang juga cukup panjang dan besar dan sangat berbau pesing
tak enak.

Yanti merasakan tubuhnya seolah bukan lagi miliknya : mulutnya dijarah oleh penis yang memualkan, payu
daranya terutama putingnya di pilin dan di cubiti serta ditarik tarik oleh jari jari Warso , dan
duburnya dipaksa dilebarkan oleh dua buah jari Tholil. Mendadak kedua jari yang menyiksanya itu ditarik
keluar sehingga Yanti menarik nafas agak lega, namun hal ini tidak berlangsung lama karena kini
dirasakannya sebuah benda lain menekan mencoba memasuki anusnya.

Yanti mulai sadar bahwa benda asing itu adalah alat kejantanan Tholil yang belum lama ini merenggut
merobek selaput kegadisannya. Kini alat kejantanan yang sama berusaha merebut keperawanannya yang kedua
– ya Allah toloong, jangan biarkan hal ini! Yanti merasakan kemaluan Tholil terus menekan, mendorong dan
mendesak berusaha mengalahkan pertahanan otot dubur yang secara alamiah sangat kuat mengunci lubang
paling intim di tubuh manusia itu.

Otot berbentuk lingkaran itu kini dipaksa untuk membuka bukan dengan cara alamiah melainkan cara kasar
perkosaan dan meskipun telah di berikan lotion pelumas yang biasa dipakai oleh bayi, namun tetap saja
bertahan mati matian melawan benda asing yang ingin masuk. Yanti tak tahu lagi apa yang terasa di
tubuhnya saat itu , jijik dan mual dengan kemaluan Udin yang bau di mulutnya, putingnya terasa membesar
lebih dari tiga kali akibat cubitan dan gigitan ganas pemerkosa, dan nyeri sakit tak terkira di duburnya
yang sedang dipaksa melebar diluar ukuran normal.

Tholil mendesak dan mencoba melesakkan kemaluannya sekuat tenaganya namun belum ada kemajuan meskipun
dengan dorongan semaksimal mungkin sementara Yanti hampir pingsan menahan sakit tak terkira. Oleh karena
itu Tholil menukar taktiknya dan selain mendorong kejantanannya ia kini meraba raba ke selangkangan
Yanti lalu ia mengusap usap kelentit Yanti yang masih sangat peka akibat rangsangan bibir, lidah dan
giginya tadi.

Diluar kemampuan dan keinginannya otot otot vagina Yanti berkontraksi lalu relaks kembali kontraksi dan
relaks – hal sama terjadi dengan otot otot lingkar sekitar anusnya. Dan justru pada saat otot otot
lingkar sekitar anusnya sedikit relaks maka Tholil menekan kepala penisnya sekuat tenaga , akibatnya ….
blesssss, bagian kepala penis berbentuk seperti topi helm serdadu masuk membelah dan memerawani lubang
dubur yang sempit itu.

Yanti berteriak dan menjerit jerit sekuat isi paru parunya namun tak dapat keluar karena mulutnya
dipenuhi oleh batang kemaluan Udin, yang keluar hanyalah rintihan.

“Aooouuufffhhh, empfhhhhhh, sssssskkkkkttttt, mmmppppn, jjjjjjnnnggggggnnn, ennggggghhhhhh”

Dan akhirnya tak ada suara lagi yang keluar. Rupanya Yanti telah kelenger tak dapat lagi menahan siksaan
yang sedang diderita tubuhnya, dan pada saat bersamaaan Udin menarik keluar batang rudalnya yang
langsung menyemburkan sperma membasahi wajah Yanti yang telah layu itu. Namun Tholil masih saja asyik
menjarah dan memasukkan penisnya semakin dalam, semakin dalam akhirnya biji pelirnya menempel dengan
bongkahan pantat Yanti. Kini mulailah dimaju mundurkannya pinggulnya dengan ritme gonta ganti, terkadang
halus perlahan menggoyang kekiri kekanan dan memutar seolah sedang menggoda korbannya, tak lama kemudian
diganti dengan ritme ganas stakkato seolah olah bor listrik sedang menghantam dinding beton.

Kini Udin menjambak rambut Yanti dengan kasar dan pada saat bersamaan Tholil menghantamkan senjatanya
sedalam mungkin – dan akibatnya Yanti melenguh perlahan dan mulai sadar lagi. Kesempatan ini tak
dibiarkan begitu saja oleh Warso yang masih ingin meminta jatahnya : diangkatnya dagu Yanti dan di
lekatkannya batang penisnya di bibir yang setengah terbuka. Telah habis sama sekali rupanya tenaga Yanti
untuk melawan dan dimakluminya tugas apa yang masih harus dipenuhinya : dengan air mata berlinang
dibiarkannya penis Warso yang tak begitu panjang namun lebih lebar diameternya daripada milik Udin
memasuki rongga mulutnya, maju mundur maju mundur maju semakin dalam sehingga menyentuh lagi
kerongkongannya sehingga hampir Yanti terbatuk batuk.

Dengan wajah yang tetap cantik meskipun acak acakan Yanti pasrah menerima sodokan dari depan dan
belakang, dari depan menyebabkannya sukar bernafas dan ingin muntah sedangkan sodokan dari belakang
sangat menyakitkan anusnya yang terasa sangat panas pedih seperti disayat sayat pisau silet. Bagaikan
telah sepakat satu sama lain kedua lelaki pemerkosa itu makin mempercepat ritme hunjaman mereka ke mulut
dan anus Yanti untuk akhirnya disertai geraman penuh kepuasan keduanya menumpahkan cairan sperma mereka
: Tholil didalam rektum dan Warso di wajah dan rambut Yanti. Isakan tangis Yanti yang menimbulkan rasa
iba mengiringi ambruk tubuhnya tertelungkup ke ranjang – hanya gerakan halus pernafasan disertai
sesenggukan menandakan bahwa perawat malang itu masih hidup.

Ketiga lelaki setengah baya yang telah menjarah jururawat malang itu habis habisan kini memapang Yanti
nenuju kamar mandi , dimandikannya tubuh langsing namun sintal bahenol itu sehingga bersih dari bekas
sperma, ludah dan darah keperawanannya, dipakaikan lagi bh dan cd baru dari lemari pakaian, lalu baju
tidur yang bersih pula, kemudian diletakkan hati hati diranjang dan ditutupi dengan selimut. Yanti yang
merasa seolah tubuhnya tak bertulang sama sekali langsung jatuh tidur kembali, sedangkan ketiga
pemerkosanya perlahan lahan meninggalkannya, menutup dan mengunci pintu dari luar kemudian menghilang di
kegelapan malam dengan motor motor mereka.

Selama 3 hari Yanti tak dapat melayani pasien di Puskesmas karena sakit demam – ia hanya bangun keluar
ranjang untuk makan minum. Di hari ke empat desa itu geger karena perawat Yanti menghilang entah kemana,
semua barang miliknya ditinggal, koper dan tasnya masih berada di lemari. Hanya tas kecil yang selalu
terisi KTP, kartu kartu penting lain dan juga uang tunai tak ada, demikian pula sepatunya tak ditemukan.
Ini merupakan indikasi bahwa Yanti telah meninggalkan desa itu secara diam diam dan berusaha
menghapuskan kenangan mengerikan yang dialaminya. Tak dapat di bayangkan betapa marahnya Tholil karen
mangsa yang baru sempat diperkosa sekali dan diimpikannya akan menjadi istrinya yang ke 4 lolos dari
cengkramannya.

Diadukannya hal ini ke pusat namun disitu pun tak ada yang tahu kemana perginya Yanti si perawat.
Tunangan Yanti pun mendadak kembali ke tanah air karena mendengar peristiwa menghilangnya Yanti – di
kamar kostnya pun tak ada yang hilang , semua lengkap hanya penghuninya ibarat masuk ke dalam bumi tak
ada jejaknya. Usaha pencarian Yanti setelah berbulan bulan akhirnya dihentikan tanpa hasil dan setelah
lebih dari setahun perlahan lahan semuanya mulai melupakan individu Yanti ini ; tunangannya pun sudah
mempunyai pacar baru.

Di desa yang menjadi saksi bisu peristiwa perkosaan Yanti itu setengah tahun kemudian mengalami beberapa
kejutan : Udin si mandor perkebunan mengalami kecelakaan mobil dan terluka sangat parah dan langsung
meninggal. Warso si buruh perkebunan karet di gigit ular berbisa yang entah muncul begitu saja dan
langsung menghilang lagi dan karena sangat terlambat mencari pertolongan akhirnya dihari yang sama juga
meninggal.

Tholil dalam tahun yang sama mengidap tumor di otak – tak langsung meninggal tapi perlahan lahan fungsi
tubuhnya memburuk – dimulai dengan lumpuh kakinya, kemudian sukar untuk bicara, sukar menelan, sukar
bernafas, sebelum akhirnya meninggal dalam keadaan kurus kering dalam tahun berikutnya.-,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

Related posts