Budak di balik pria sukses
Namaku Reno dan dunia usaha sudah kujalani sejak duduk di bangku sekolah hinga belum lama ini aku menyandang gelar sarjana.
Tak semua jenis usaha berjalan mulus, gonta-ganti bidang sudah kualami, hafal sifat dan karakter karyawan/ti dan maaf, bukan bermaksud untuk sombong. Disaat sebayaku sedang merintis karir dari bawah, tanpa sadar aku sudah punya asisten pribadi yang mengelola beberapa bidang usaha yang kumiliki.
Adalah mbak Win ibu dua anak yang paling besar masih duduk di kelas 5 SD sedangkan yang kecil masih kelas 2. Suaminya bekerja sebagai pegawai honorer di sebuah instansi pemerintah sekaligus menjadi penjaga losmen malam harinya. Sedangkan mbak Win sendiri berusia 34 tahun, tipikal wanita yang dibesarkan dari keluarga menengah dan religius. Terlihat dari jilbab yang selalu dikenakannya. begitu juga dengan tutur katanya yang santun. Selain paras yang ayu, Baju lengan panjang dan celana kain yang biasa ia kenakan malah mencetak lekukan tubuh langsingnya, kadang saat mengenakan celana warna cerah membuat garis cawatnya tampak malu-malu erat mencengkeram bongkahan pantatnya yang kecil namun padat dan kencang itu. Acapkali mbak Win pun melayani kebutuhan biologisku meski hanya bayangnya saat aku beronani.
Jika boleh aku menggambarkan, sosok mbak Win sungguh mirip dengan ‘Sarah Vi’ artis era 90-an yang namanya meroket sejak membintangi sinetron “Inem Pelayan Sexy” meski menurutku mbak Win lebih tirus atau langsing.
Andai mbak Win belum bersuami…
Bahkan ibuku pun tampak menyayangi mbak Win. Keduanya memang sudah saling mengenal saat ibu masih sesekali membantu usaha warung makan yang dulu kurintis hingga kini sudah merambah katering, persewaan tenda dan sound system, pangkalan gas LPG dan masih dalam proses menjadi agen resmi minuman kemasan ternama.
Semua terjadi tanpa sengaja saat aku sibuk merampungkan kuliahku sedangkan ibu yang janda dan sudah pensiun mengajar diminta untuk tinggal di luar kota bersama kakak perempuanku dan suaminya. Selain dekat dengan anak, menantu dan cucunya, memang itu lebih baik untuk Ibu daripada hanya hidup berdua denganku dan lebih sering sendiri di rumah karena kesibukanku.
Praktis warung makan pun terbengkalai dan kuputuskan tutup sampai dengan waktu yang belum kutentukan pagi itu, toh meski berat melakukannya aku masih bisa minta uang pada Ibuku. Meski begitu mbak Win masih berusaha mempertahankan penghidupannya, ia mengusulkan untuk menambah personil dan bersedia untuk mengelola dengan tanggung jawab penuh, Aku hanya terdiam tidak serta merta mengabulkan idenya hingga raut wajah mbak Win yang bisanya berseri berangsur. murung saat kuungkapkan niatku.
Seharian mbak Win lebih banyak menghabiskan waktu termenung di dapur di sela-sela membersihkan peralatan masak sebagai tugas terahkirnya.
Sungguh miris kurasakan hingga perlahan kututup pintu depan warung perlahan dan kuhampiri mbak Win. Kusodorkan uang sejumlah dua juta rupiah padanya, mbak win tertegun kemudian menatapku. Matanya berkaca-kaca dan air mata mulai menetes dari sudut matanya yang indah.
“Tolong diterima mbak … “
“Apa ini mas …?” Mbak Win membuka bibirnya meski sambil menahan isak.
Ruang dapur yang biasanya dihiasi tawa, atmosfernya berubah drastis, apalagi suasana haru saat itu justru menambah kedekatan hati kami.
“Ini gaji terahkir mbak ditambah sedikit sebagai ucapan terima kasih saya pada mbak Win …”
“Tapi mas …”
Aku tak menjawab namun kuberanikan diri untuh meraih pergelangan tangan kanannya dan menyerahkan uang itu. .
Mbak Win beranjak dari duduknya kemudian berlutut dihadapanku, ia memeluk kedua kakiku dengan erat.
“Ijinkan saya untuk tetap mengabdi pada mas Reno. Saya akan mengabdi selama saya masih kuat mas …”
Aku tahu, mbak Win memang sebagai tulang punggung keluarganya, honor dari instansi ditambah upah suaminya sebagai penjaga losmen pun tak seberapa jika dibandingkan dengan gaji mbak Win disini. Terlebih kebutuhan anaknya yang semakin beragam, belum lagi dengan usia mbak Win tentu akan sulit bersaing dalam mencari pekerjaan baru,
Kumasukan kembali bundelan uang itu ke dalam saku celanaku kemudian kuraih kedua lengannya, Kuangkat mbak Win sehingga kami sama-sama berdiri.
“Terima kasih ya mbak … Reno sebetulnya juga sayang banget sama mbak Win …mbak sudah seperti kakak Reno ….”
Mbak Win hanya tertunduk dan tak mengeluarkan sepatah katapun.
“Mbak … Kata-kata Reno salah ya..?
Mbak win masih saja terdiam saat itu. Hingga tiba-tiba ia menggelengkan kepalanya.
“Terus kenapa mbak Win masih sedih?” Suasana yang melow mulai membuatku melontarkan kata-kata yang bodoh kala itu.
“Terus kalau mas Reno sayang, kenapa mbak Win harus pergi dari sini…?”
“Eh… Oh…” Skak mat dari mbak Win membuatku meringis menyadari kebodohanku.
Seolah kami berdua saling serang kata meski tak ada kebencian diantara kami. Setidaknya yang kurasakan pada mbak Win.
Sudah kepalang basah kurasa, entah baik atau jelek ahkirnya kuberanikan diri untuk bertanya pada mbak Win.
“Mbak Win sayang Reno?”
Mbak Win mengangkat kepalanya sebentar menatapku kemudian tertunduk kembali.
“Jawab dong mbak …?” Rasa haru perlahan berubah menjadi nafsu dengan keadaan itu.
“Apa bedanya mas? Toh bagaimanapun mbak juga garus pergi, Mbak senang dan betah kerja disini sama mas Reno, mas Reno baik, gak pernah marah …”
“Kalau aku masih mau mbak Win tetep disini…?” Kupasang senyumku sambil menunggu jawaban dari mbak Win
“Serius mas?” Mbak win mengangkat kepalanya seiring pancaran ayu wajahnya kembali tergambar. Sambil tak sadar ia memegangi kedua pergelanganku. Perlahan kulepaskan gengaman tangannya dan mengambil posisi memeluknya.
Mbak Win tak memberikan respon, bahkan posisinya sedikit ditarik kebelakang.
“Ya sudah, kalau gitu lebih baik memang usaha ini ditutup saja….” Aku memalingkan tubuhku seketika mbak Win meraih lenganku.
“Maaf mas Reno, mbak Win tak bermaksud membuat mas Kecewa, tapi mbak sudah bersuami, mas Reno tau itu…”
“Ya … Reno tau mbak … Tapi Reno bener sayang dan Reno tak peduli dengan suami mbak”.
“Sekarang terserah mbak, mbak boleh pulang sekarang dan besok gak perlu datang lagi kesini atau…”
“Atau apa mas …” Mbak Win langsung menyaut kata-kataku sambil tangannya masih saja memegang lenganku.
Aku membalikan badan dan kami kembali saling berhadapan.
“Atau mbak mau menerima cintaku dan tetap disini …?”
Tanpa menunggu jawaban darinya, kudekatkan wajahku mencoba melayangkan ciumanku ke wajahnya. Mbak Win masih berusaha menghindar meki tak ada kata penolakan darinya.
Ciuman yang kutujukan ke bibirnya meleset mengenai pelipisnya. Aroma hijab yang khas saat itu semakin saja menambah gejolak nafsu birahiku padanya. Kuangkat wajahnya dan kulayangkan ciumanku ke bibirnya, meski memang tak ada penolakan namun matanya yang erat terpejam dan bibirnya yang dikunci rapat hampir saja membuat emosiku terbakar.
Aku tak boleh gegabah, kukendalikan emosiku dengan menarik nafas, kucium keningnya, pipinya, sambil kuusap perlahan punggungnya …
“Maafkan Reno mbak …”
Kujilati pipinya, pelipisnya, dagunya hingga tepian bibirnya yang mungil sampai kemudian bibir mbak win perlahan terbuka meski matanya masih tertutup.
Kuhisap perlahan bibir atasny, beganti bibir bawahnya dan mbak Win pun mulai membalas dengan pagutannya .
Kira-kira hampir setengah jam kami saling berpagutan, sambil kuremas-remas bongkahan pantatnya yang kecil namun kencang itu. Terlebih celana kain tipis yang dikenakannya justru memberikan sensasi kepada kami berdua hingga tak sadar tangan mbak Win sudah menelusup masuk kedalam celana pendekku, mencoba meraih batang kejantananku yang sudah membengkak saat itu. Mbak Win sudah terlena dengan permainan kami ternyata …
Dengan cekatan jemari mbak Win berhasil melepas kancing celana pendekku, menurunkan ritslitingnya hingga batang penisku menjulang tegak dalam gengamannya.
Perlahan mbak Win membelai kontolku sesekali mengocoknya perlahan. Aku pun tak tinggal diam, kubuka satu persatu kancing bajunya sehingga terlihat gundukan kembarnya yang masih tertutup bra ukuran 34A itu.
Kutarik mbak Win ke ruang belakang, tempatjku biasa tidur siang dan juga tempatnya beribadah.
Mbak win tampak tersipu saat di dalam ruangan itu kulucuti pakaiannya satu persatu hingga kami berdua sudah sama-sama telanjang. Kurebahkan badannya diatas kasur busa ukuran 12O yang biasa aku gunakan untuk tidur.
Kutindih badannya dan kembali kujilati seluruh tubuhnya. Tak terkecuali puting susunya yang sudah sangat mengeras menghiasi kedua payudara tocil nya.
“Ssshhh..”. Mbak Win hanya berdesis menahan rasa nikat yang tak henti aku berikan lewat jilatanku hingga kemudian ia mendorong tubuhku dan berbalik menindihku.
Serangan balasan dilakukannya mulai dari leherku, bahkan kedua putingku pun tak luput dari isapan bibir mungilnya. Hingga lidahnya sudah lincah menari mengitari kedua bola kembarku. Menjilati batangku dan kemudian memasukan kedalam mulutnya.
“…flop …”
Mbak win melepaskan batangku dari mulutnya kemudian memasukan kembali. Itu dilakukannya selama beberapa kali hingga kemudian kepalanya sudah mulai bergerak maju mundur memainkan penisku di multnya …
“Arrrggghhh…”
“Sssshhh …”
Kali ini giliran aku yang menahan nikmat hingga aku merancau …”
“Aku mau keluar mbakk …”
Kontolku pun berkedut didalam mulutnya seketika cairan kental menyembur di dalam rongga mulutnya yang hangat.
Mbak Win tak bergeming dan terus saya menghisap sampai peju yang dimulutnya pun berceceran.
Penisku pun mulai tenang meski tetap dalam kondisi keras.
Mbak Win pun mengurangi tempo hisapannya dan kemudian meelepas penisku dari mulutnya ..
“…floppss…”
Ia tersenyum nakal ke arahku dan kemudian dengan telaten membersihkan sisa peju yang tercecer diperutku dengan lidahnya.
Setelah dirasa bersih, mbak Win masih saja menggodaku. Memainkan kontolku dan kemudian meneggakkan tubuhnya menggulung rambutnya dengan kedua tangan … Entah dilakukan karena merasa risih dengan rambutnya yang tergerai sebahu atau memang sengaja menggodaku.
“Woooooowwww” teriakan hatiku yang memicu kontolku kembali berkedut seolah masih bergejolak mencari kenikmatan.
Aku tak kuasa hingga kutarik tubuhnya hingga sekarang posisinya seolah duduk bersimpuh diatas perutnu.
Kuremas perlahan pantatnya, kumainkan jtelunjukku di lubang anusnya sampai ia pun menggeliat kemudian meraih kontolku dan memasukannya perlahan ke liang kewanitaannya yang ditumbuhi bulu lebat.
“HssssHhh…”
Mbak win mendesis seiring kontolku menelusup perlahan di kenikmatannya.
kedua paha kecilnya seakan sangat kuat mengangkat tubuhnya dalam posisi bersimpuh. Namun tak selang berapa lama, ia merubah posisi menjadi berjongkok. Llobang surgawinya tampak mengkilat dang menganaga sesaat kemudian ia membimbing batangku untuk kembali bersemayam disana.
Kedua telapak tangannya bersandar pada perutku seiring gerakan “upside down” yang dilakukannya.
Mungkin karena posisi itu cukup menguras enegi, ia pun berebahkan dirinya diatas tubuhku. Penisku semik dalam menyusup seiring dengan gerakan pinggulnya yang semakin cepat hingga tubuh kami pun sama-sama kaku saat lahar panasku menyembur. Kulihat kedua bola matanya neik keatas seolah hmerasakan sesuatu yang amat dahsyat.
Rasa lelah bercampur nikmat membuat kami berdua masih terhanyut hingga kami masih saling berpelukan dan tertidur.
“Mas … Mas Reno … Bangun mas “
Aku membuka mata meski
Tubuhku masih terasa capek..”
“Bangun mas … Sudah sore …”
“Oh …” Aku melempar senyum pada mbak Win. Kulihat di alroji swiss armyku menunjukkan pukul setengah 5 sore. Jam biasanya mbak Win memang bersiap pulang menunggu jemputan.
“Kopinya dimeja ya mas … Besok apakah saya masih boleh datang mas?”
“Oh iya, makasih mbak … Tentu saja mbak …tapi sebentar….” Aku mengambil dua lembar uang seratus ribuan dan kuulungkan pada mbak win.
“Apa ini mas …?” Mbak win terheran dengan uang yang kuulungkan padanya.
“Ini buat beli martabak Si Eny dan Mirna mbak”
“Beneran ini mas …?”
“Iya ..” Tapi ini dulu donk … Aku meletakan telunyukku ke pipi dan mbak Win pun paham dengan kode yang kuberikan.
kedua pipi, bibir dan keningku pun diciummnya sebelum kemudian ia berlalu keluar menemui suaminya.,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,