Farewell to Diana
Setelah pacarnya lulus dan ke luar negeri, tinggal dia sendirian, sifatnya yang dingin membuatnya kurang banyak teman selain aku, Sinta, Vivi, dan beberapa orang lainnya. Siang itu itu, aku ke kamarnya ingin memberikan bingkisan kecil sebagai kenang-kenangan. Pintu kamarnya sedikit terbuka dan dia sedang bicara melalui HP-nya, setelah aku masuk dia mengisyaratkan agar aku menutup kembali pintu kamar. Kutunggu hingga dia selesai berbicara, nada pembicaraannya agak tidak enak, kupikir pasti dia sedang ribut dengan pacarnya.
“Eh Le, nggak kuliah kamu?” tanyanya begitu mematikan HP.
“Udah kok Ci, baru aja pulang hari ini kuliah cuma sampai jam 10 kok, yah sekalian pulang kuliah beliin ini buat Cici, terima yah Ci, ini dari gua dan Vivi,” jawabku sambil menyerahkan bungkusan kecil padanya.
“Aduh, thanks banget Le, jadi ngerepotin nih, boleh dibuka sekarang nggak?”
“Jangan Ci, mending entar aja di pesawat atau di rumah Cici, biar penasaran gitu.”
“Le, Cici juga ada permintaan terakhir, kamu mau bantu Cici kan,” katanya.
“Kita kan sudah seperti saudara gini Ci, kalau ada apa-apa ngomong aja, gua pasti sebisa mungkin ngebantu!”
“Eh, tapi itu pintunya tolong ditutup rapat dulu dong anginnya masuk nih, kalau perlu kunci saja dulu!”
Entah mengapa meskipun agak heran kuturuti juga perkataannya. Begitu pintu kukunci, kurasakan dia memelukku dari belakang dan mengelus dadaku.
“Leo, kamu ingat kan malam ketika menyelamatkan Cici dari bajingan?” tanyanya mesra.
“Inget.. inget dong.. eh.. apa, jadi maksud Cici, Cici mau melakukan itu lagi?”
Belum habis rasa kagetku elusannya di dada merambat turun ke bagian vitalku yang masih tertutup celana.
“Ci jangan gitu, gua kan nggak enak nih!” kataku malu-malu mau.
Lalu dia menggandengku ke meja belajarnya, sebenarnya dalam hati aku sudah tidak enak, namun apa daya nafsu berkata lain, dia duduk di kursi dan menyuruhku tetap berdiri. Tanpa omong apa-apa lagi langsung dipelorotkannya celana pendekku sehingga benda dibaliknya yang sudah mengeras menyembul di hadapan wajahnya.
“Le, tolong ya, ini kan hari terakhir Cici di sini, Cici cuma minta ini saja sebagai kenangan, kamu mau kan?” sebelum aku mengiyakan dia langsung menjilati buah kemaluanku kemudian dimasukkannya batang kemaluanku ke mulut mungilnya dan diemut-emut. Aku hanya bisa merem melek saja menikmati permainan mulutnya. Senjataku tidak dapat seluruhnya masuk ke mulut mungilnya, karena cukup besar (17 cm ketika menegang). Dia sepertinya lebih lihai daripada saat pertama “ML” denganku dulu. Sentuhan bibir dan lidahnya, serta ludahnya yang hangat sungguh mendatangkan kenikmatan tersendiri, apalagi ketika kurasakan ujung kemaluanku yang sensitif menyentuh tenggorokannya.
Selama lebih dari 15 menit lebih benda itu tidak dilepaskan dari mulutnya, kini aku mulai mencapai klimaks, aku mengerang sambil menggigit bibir, “Uuhh.. Ci.. udah Ci, lepasin, mau keluar ahh..!” maniku tercurah di mulutnya, namun dia tetap tidak melepasnya, dari ekspresi wajahnya tampak dia berusaha keras menelan semua cairan itu, tetapi sebelum semprotan terakhir dia sudah tidak tahan lagi karena terlalu banyak dan.. “Creet..!” semburan terakhir itu mengenai hidungnya dan sisanya menetes di pinggir bibirnya. “Oh sial, gagal deh!” katanya sambil menepuk kening. Dia berdiri dan mengelap spermaku yang menyemprot di wajahnya. Dengan penuh hasrat dia langsung melumat bibirku, lidahnya beradu dengan ganas dengan lidahku, dapat kurasakan bau spermaku di mulutnya. filmbokepjepang.com Kududukan dia di tepi meja dan kunaikkan baju kaosnya, tanganku mulai menyusup ke balik BH-nya. Sedang asyik-asyiknya terbuai nafsu, tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara ketukan pintu, “Din, Din, kamu di dalam? Ini gua, Sofi.” Hampir saja lidahku tergigit, dengan panik kami cepat-cepat merapikan pakaian kami, untung belum bugil total. “Le, Cici baru ingat sekarang ada janji, jam 5 nanti kamu jangan ke mana-mana yah, masih banyak yang mau Cici omongin,” dia bergegas membukakan pintu, ternyata tamu itu Sofi, teman kuliah Diana, orangnya cukup cantik juga walau agak kurus.
“Waduh, Din kok belum dandan juga nih, ayo dong, janjinya kan kita mau kumpul-kumpul terakhir sama lu, yang lain udah nunggu nih,” kata Sofi.
“Kan lu bilang jam satu, sekarang masih jam 12-an kok, santai aja lah, gua juga lagi beres-beres barang sisa nih.”
“Wah.. wah.. bandel yah lu, mentang-mentang si Hendy jauh, lu dua-duaan sama si Leo, ngapain aja yah,” goda Sofi padanya.
“Diam ah, dia cuma bantu beres-beres aja kok, dasar, ya udah kalo mau sekarang gua ganti baju dulu,” jawab Diana mencubit Sofi.
Sofi sempat mengajakku agar ikut bergabung dengan mereka, hanya saja aku menolak, kan tidak enak nanti aku jadi yang paling kecil di antara mereka, lagi pula Diana juga sudah berjanji malam terakhir ini akan mengadakan perpisahan bersama beberapa teman kost termasuk aku.
Setelah basa-basi sebentar, aku pamitan dan kembali ke kamarku. Kucoba melupakan apa yang baru saja kualami dengan menyalakan PS meneruskan game FF8-ku yang lagi seru-serunya. Aku sempat tidur siang sampai jam 4 lebih. Kulihat ke teras, sepertinya Diana belum pulang, begitu juga Sinta belakangan ini dia sering keluar karena Andry (pacarnya yang juga temanku yang belajar di UK) sedang pulang liburan, teman-teman kost lain juga tampaknya sibuk dengan urusan masing-masing. Setelah menelepon Vivi kulanjutkan game PS-ku. Kulihat wekerku menunjukkan 17:14, sudah lewat dari waktu yang dijanjikan Diana, sepertinya dia belum pulang atau lupa, tiba-tiba pintuku diketuk, “Masuk aja, nggak dikunci kok!” Baru saja aku memikirkannya Diana sudah muncul di depan pintu, tampaknya dia baru pulang karena masih memakai kaos ketat dan celana panjang yang tadi siang.
“Sori yah Le, Cici telat, dijalan macet banget sih.. hmm.. apa Cici mengganggu, kayaknya lagi seru mainnya.”
“Ahh.. ha.. ha.. nggak kok Ci, nggak apa-apa masuk aja!”
Aku lalu mematikan PS-ku. Dia lalu mengunci pintu dan mendekatiku. Baru saja aku mau berdiri mengambilkan minum, dia sudah memeluk sambil mendorongku ke belakang sehingga terjatuh di ranjang. Aku tidak bisa apa-apa selain menikmati “French Kiss” ini karena dia menindihku sambil mengelus-elus daerah kemaluanku. Aku pun tidak mau kalah, dengan gemas kuremas-remas payudara 36B-nya. Setelah beberapa menit, kami melepas pelukan, dia berdiri di pinggir ranjang dan mulai melucuti pakaiannya satu persatu. Sungguh aku terangsang dengan pemandangan di depanku ini, sehingga aku pun ikut membuka bajuku. Kami kini sudah bugil total. Dia meraih HP-ku dan mematikannya, aku heran kenapa dia berbuat begitu.
“Leo, tolong ya, Cici minta waktu sebentar, Cici nggak mau ada gangguan, kita lupakan sebentar pacar kita,” katanya sambil melepaskan kalung pemberian cowoknya yang masih tertinggal di tubuh polosnya.
“Tapi Ci..!” belum habis kata-kataku dia menempelkan dua jarinya ke bibirku.
“Jangan panggil Ci, panggil saja Din atau Diana, sekarang saya adalah kekasihmu, bukan seniormu.”
“Ci.. eh Din, kenapa kamu mau melakukan ini, kita kan udah punya pacar.”
Dia tidak menjawab hanya tersenyum manis sambil menarik tanganku ke meja belajar dan menyuruhku duduk di kursi.
Dia sendiri naik ke meja belajarku dan membuka kedua pahanya, lalu meraih kepalaku mendekati kemaluannya. Aku sudah tahu apa maunya, kusibakkan bulu-bulu lebat hingga terlihat lubang merah merekah di tengahnya. Kuciumi kemaluannya yang berbulu lebat dan halus itu, kusapu belahan di tengahnya dengan lidahku. Dia mendesah-desah sambil meremas-remas rambutku saat kujilati klistorisnya. Sesaat kemudian dia makin keras menjambak rambutku sambil menjerit kecil, “Aaahh.. gua keluar Le.. eemmhh!” tubuhnya menggelinjang dan mengucurlah cairan bening yang beraroma khas itu. Cukup banyak cairan cintanya yang keluar sampai tepi mejaku basah jadinya. Dia menahan kepalaku sambil meremasnya sementara kedua paha jenjang yang mulus itu mengapit kepalaku sehingga aku agak gelagapan. Setelah menikmati orgasme pertamanya itu, dia turun ke pangkuanku saling berhadapan, digenggamnya batang kemaluanku untuk dimasukkan ke dalam liang senggamanya, kalau saja tidak ada cairan tadi sebagai pelumas susah sekali memasukkan batangku ke dalam liang itu karena cukup sempit. Dengan penuh kesabaran aku membantunya memasukkan senjataku ke liang itu, ketika kepalanya sudah masuk kujilat dan kupijati payudaranya yang tepat di depan wajahku untuk menambah kenikmatan.
Sambil mendesah, dia perlahan-lahan menurunkan tubuhnya dan “Bless..!” kemaluannya menelan batangku seluruhnya. Dia mulai menaik-turunkan tubuhnya di pangkuanku sementara aku menjilati lehernya dan tanganku menggerayangi payudara montoknya. Mulutnya mengeluarkan rintihan tak karuan seperti orang mengigau, sepertinya dia berusaha menahan suaranya agar tidak sampai terdengar ke luar karena jam segini masih banyak penghuni kost lalu lalang di koridor. Bagian dalam kemaluannya semakin terasa basah dan hangat dan kurasakan senjataku berdenyut-denyut pertanda ingin keluar.
“Uuhh gua udah nggak kuat Din..!”
“Sama Le.. tahan bentar, tembak aja di dalam.”
Dia semakin histeris, goyangannya pun semakin gila ditambah gerakan memutar sehingga senjataku serasa disedot dan dipilin-pilin. Dan akhirnya inilah saat yang kutunggu, secara refleks pelukanku mengencang sambil memejamkan mata kurasakan air maniku menyembur banyak sekali dalam kemaluannya, demikian juga Diana saat itu matanya membeliak-beliak merasakan nikmatnya orgasme. Tubuhnya tersentak-sentak seperti cacing disiram garam, kukunya mengores lenganku sampai aku berteriak kecil, dan untuk meredam jeritannya kukulum bibirnya, tak kuhiraukan lagi sakitnya gigi kami berbenturan saat tubuhnya terguncang hebat dikala menikmati orgasme.
Kemudian aku membaringkannya di ranjang. Kuberikan kecupan lembut di bibirnya lalu merambat turun sampai ke pangkal paha. Aku berlutut di antara kedua paha mulus itu dan mengarahkan senjataku ke liang senggamanya. Kali ini sudah tidak terlalu sulit lagi menerobos liang itu karena sudah becek dan licin oleh cairan kewanitaannya bercampur air maniku. Senjataku perlahan-lahan menghilang ditelan kemaluannya diiringi oleh desisannya. Kumulai gerakan menarik dan mendorong, rintihannya makin menjadi-jadi sambil menggigiti jarinya “Le.. akhh.. ahh.. enak.. terus.. uuhh!” nafasnya sudah kacau, tubuhnya sudah basah oleh keringat, dan rambut panjangnya meskipun masih dalam keadaan terikat namun sudah kusut. Penampilannya yang seperti ini sungguh menambah gairahku menyetubuhinya. photomemek.com Sesaat kemudian tubuhnya mulai mengejang dan menekuk ke atas diakhiri jeritan panjang sambil menutup mulutnya dengan bantal agar tidak terdengar keluar. Karena saat itu aku belum keluar kukocok batang kemaluanku dengan payudaranya yang montok itu. “Eeemmhh.. Din enak banget, dingin-dingin empuk nih!” Senjataku yang sudah basah dengan berbagai cairan itu kumaju-mundurkan di antara kedua bukit kembar itu sampai akhirnya memuntahkan cairan hangat di belahan dadanya, dia mengoleskan cairan itu merata di dadanya dan menjilati sisanya yang menempel di jari.
Kami tergolek lemas bersebelahan, aku mengatur nafas dan merenungkan apa yang barusan terjadi sambil memejamkan mata. Ketika aku membuka mataku kulihat Diana sedang memandangiku sambil berbaring menyamping. “Thanks ya Le, sekarang hati gua sudah agak tenang.” Ternyata dia melakukan ini padaku selain sebagai hadiah perpisahan juga sebagai pelampiasan kekesalan terhadap pacarnya. Dia bercerita bahwa mereka sedang ribut karena pacarnya itu berjanji akan datang pada acara wisudanya, tetapi ternyata orangnya tidak muncul dengan alasan urusan di kantornya sedang menumpuk dan memberi selamatnya pun besoknya setelah diwisuda, pantas saja tadi siang saat berbicara di HP nadanya terdengar tidak enak. Sebagai teman aku memberinya sedikit nasehat dan menghiburnya. Jam sudah hampir menunjukkan pukul 19:00, dia mengajakku mandi bersama, dan di kamar mandi pun kami sempat bermesraan sebentar di bawah siraman shower. Malam itu adalah makan bersama terakhir kalinya, sederhana namun mempunyai kenangan tersendiri. Malam itu antara Diana, Sinta, Vivi (pacarku), dan Lidya (teman kostku yang lain), cowoknya hanya aku dan Andry. Besok paginya, setelah menjemput ibunya Diana dari rumah saudaranya aku dan Sinta mengantarnya ke bandara dengan mobilku. Suasana haru memenuhi perpisahan hari itu, Sinta yang biasanya kocak saja meneteskan air mata.
“Le, sering-sering e-mail gua ya, sori gua nggak bisa minjemin catatan lagi ke lu, titip salam juga buat Vivi,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
“Yah, Cici juga jaga diri.”
Aku menyalaminya sambil susah payah menahan air mata agar tidak mengalir, malu menangis di depan cewek.
“Sin, selamat jalan, jaga badan jangan kebanyakan ngerokok, jangan godain si Leo melulu yah, entar Vivi-nya cemburu,” katanya pada Sinta sambil sedikit bercanda.
Sinta memeluk Diana sambil menangis, ketika itu bel tanda keberangkatan telah berbunyi, dia segera menyusul ibunya yang telah sampai di gerbang keberangkatan. Sambil memperhatikan sosoknya makin menjauh dalam hatiku menyanyikan lagu “Zhu Fu”-nya Jacky Cheung yang salah satu liriknya bila diterjemahkan demikian artinya “Jangan melambai, jangan menoleh ketika kunyanyikan lagu ini, yang ditakutkan adalah air mata menetes membasahi muka, semoga dalam hatimu selalu tersimpan senyumku”. Kini telah 5 bulan tanpa kehadirannya, dia mengabariku bahwa dia telah ikut pacar dan kakaknya bekerja di Singapore dan berencana menikah dalam waktu dekat.,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
TAMAT