Kisah Ndoro Dan Genduk BDSM
PROLOG:
30 Tahun Yang Lalu.
Cerita yang telah usang tapi tidak akan hilang dari ingatan. Ya, 30 tahun yang lalu ketika semua ini berawal. Saat itu adalah minggu pertama di SMA, sebuah SMA yang tidak terlalu favorit namun terletak di tengah kota yang berisi anak-anak yang gagal masuk SMA favorit, ketika aku melihatnya. Seorang kakak kelas yang tidak terlalu mencolok penampilannya, wajah dan fisik biasa saja namun tatapan matanya ketika tanpa sengaja beradu pandangan denganku membuat tubuh ini terasa bergetar.
Tatapan awal itu hanya beberapa detik namun terbawa dalam pikiranku. Terulang di jam istirahat keesokan harinya, saat kembali kami beradu pandangan walau dari kejauhan. tubuh ini kembali bergetar, aku merasakan sensasi lain yang tidak pernah aku rasakan hingga tiba-tiba
Sarah! hei Sarah. seorang teman sekelasku memanggil dari salah satu sudut kantin. Aku beranjak menghampirinya sambil tersenyum.
Apa yang kamu lihat Sarah? Jangan melamun kau, nanti kerasukan sambung Diana, teman sekelasku yang luar biasa cantik, seksi dan selalu punya segudang topik pembicaraan.
Nggak ada yang penting, hanya kakak kelas diujung lapangan itu jawabku sambil melihat ke arah lapangan basket dan ternyata dia sudah tidak ada disana.
Yang mana? tanya Diana dengan cepat, dia sudah punya banyak kenalan kakak kelas sejak hari pertama masuk sekolah.
Ahlupakan Di, sudah pergi sepertinya.”
Aku menjawab sekenanya dengan perasaan aneh. Semacam perasaan kecewa karena dia sudah tidak ada disana dan memperhatikanku.
Kembali ke kelas dengan pikiran kosong, aku mulai memikirkan dia yang namanya pun aku tidak tahu, apalagi dari kelas berapa, yang aku tahu, dia kakak kelas karena seragamnya sudah tidak baru lagi, dan ini sudah satu bulan berlalu, setiap saat kejadian selalu sama. Dia hanya menatap tajam dari kejauhan dan aku hanya bisa diam dan tidak berani berbuat apa-apa. Seolah-olah aku takut melakukan kesalahan atau perbuatan yang dia tidak suka.
Pelajaran dikelas berlalu begitu saja tanpa ada yang mampu aku pahami dan terasa sangat lama. sampai akhirnya bel tanda kelas berakhir membuyarkan semua pikiran tentang dia. Pikiran yang selalu memenuhi kepalaku di sekolah maupun di rumah. Pikiran tentang kakak kelas yang hanya menatap tajam di jam istirahat dan tidak pernah mendatangiku tapi telah membuatku kalut dan tidak memahami perasaan yang sedang aku alami.
Sarah, kita makan bakso dulu yuk?
Diana mengajak sambil menarik tanganku pastinya. Lebih kearah paksaan daripada ajakan sebenarnya dan aku hanya mengangguk sambil berlari kecil mengimbangi semangatnya yang entah dari mana setelah seharian di kelas tetap saja enerjik.
Sampai di tempat yang dituju, aku langsung memilih duduk di pojok dan membiarkan Diana memesan semangkuk bakso untukku.
Kuahnya sedikit aja Di, dan tanpa mi!
Teriakku ke Diana yang akan memesan bakso sesuai seleranya.
Banyak kuah dan ekstra mie.
Oke oke, seperti biasa ya
Lebih ke pernyataan dari pada pertanyaan yang dilontarkan Diana. Dan aku hanya membalas dengan anggukan dan senyuman kemudian kembali melanjutkan membaca sebuah novel sambil menunggu pesanan datang.
Baru beberapa baris isi novel itu kembali aku baca, tiba-tiba ada sesseorang yang duduk di sebelahku dan aku tahu bukan Diana. Agak enggan, aku memaksa diriku menoleh sambil memindahkan tas di meja, dan…
Blarrr…! Betapa terkejutnya aku hingga aku terdiam tak mampu bergerak. Dia.kakak kelas yang mengganggu pikiranku, ternyata duduk merapat disebelahku sambil memandang tajam ke arahku. Aku kemudian buru-buru memindahkan tas dan bergeser lagi ke arah tembok di kananku. Karena sempit, akhirnya aku meletakkan tas di pangkuan, menutup novel dan memasukkannya ke dalam tas. Jantungku berdegup kencang, aku memilih menunduk setelahnya sambil memegang tas di pangkuanku.
Tiba-tiba
Jangan bergerak dan jangan bersuara dia berbisik ke arahku sambil tangannya meraba rokku, menariknya dan meraba samping pahaku dengan tangannya yang terasa hangat namun kasar, seperti tangan seseorang yang terbiasa bekerja keras, khas tangan laki-laki yang tidak mempedulikan perawatan.
Aku terkejut tapi tak mampu bersuara. Hanya diam dan kembali menunduk dan berharap pesanan segera datang atau Diana kembali ke dalam untuk duduk menemaniku. Namun aku hanya mendengar suara Diana di kejauhan sedang bercanda dengan beberapa siswa sekolah kami yang aku juga tidak terlampau kenal. Suara Diana terdengar makin jauh dan aku tiba-tiba mulai berkeringat dan tidak mampu bergerak, hanya membiarkan dia terus meraba pahaku dan menarik rokku makin ke atas. Akupun hanya diam dan tidak berusaha mencegahnya sedikitpun.
Ahkalian sudah saling kenal? tiba-tiba suara Diana mengagetkanku dan aku mendongak sambil menjawab
Be…belum kok bersamaan dengan dia yang menjawab Sudah doong… sambil tangannya yang tadi dipaha, tiba-tiba merengkuh kepalaku dan mencium keningku.
Waaaaahhhh, sepertinya aku melewatkan sesuatu niiih kata Diana melihat perbuatan kakak kelas yang bahkan aku belum tahu namanya namun aku tak kuasa untuk menolak apapun yang dilakukannya padaku.
Aku Diana, kelas 1C, teman sekelas Sarah ujar Diana sambil mengulurkan tangannya mengajak kakak kelas itu berkenalan.
Benny, kelas 3 IPA ujarnya membalas perkenalan Diana.
Sarah, kau ini yaternyata sudah jadian sama kakak kelas.. ujar Diana saat meletakkan mangkok bakso di hadapanku sambil tertawa kecil kearah mas Benny. Ya, akhirnya aku tahu namanya. Dan aku hanya tersenyum sambil melihat ke arah mas Benny.
Cerita dong..kapan jadiannya? lanjut Diana sambil duduk dihadapanku. Tiba-tiba mas Benny menjawab Sudah sejak minggu pertama kalian masuk disini sambil dengan santainya mengambil minumanku dan menghabiskannya.
Waahaku ingat. Itu kan saat kau sering melamun di lapangan, ya kan? Diana menimpali sambil tertawa senang. Aku hanya bisa diam dan senyum, seakan-akan sepakat dengan jawaban mas Benny sembari melanjutkan makan bakso dengan perlahan.
Saat aku hendak memesan minuman lagi, mas Benny mencegah Nggak usah, nanti saja dirumah.
Terkejut aku menatap kearahnya dan hendak berargumen tapi mas Benny sudah berdiri dan menarik tanganku sambil berkata
Di, kami pulang dulu ya sembari meletakkan selembar 20 ribuan.
Baksonya tolong dibayarin ya, makasih Di
Diana hanya tersenyum menggoda serta mengangguk tanpa menjawab karena mulutnya sedang penuh bakso, lalu kami bertukar lambaian tangan.
Walau enggan, aku tetap mengikuti mas Benny. Sampai di tempat parkir yang sepi dan relatif gelap, aku menghentikan langkahku. Aku ingin penjelasan dari sikap mas Benny terhadapku. Walau aku tidak yakin apakah aku membutuhkannya. Menyadari aku diam, mas Benny pun menghentikan langkahnya dan berbalik menghadapku, menatap tajam ke arahku, membuatku menunduk dan tidak kuasa memandangnya.
Apa maksud mas tadi? dengan lirih dan nada sedikit bergetar, aku memberanikan diri bertanya pada mas Benny tanpa berani menatap wajahnya.
Kamu milikku, sejak pertama aku melihatmu dan jangan pernah membantah aku lagi. Kamu milikku dan akan menyenangkan aku tanpa perlu bertanya apapun. Hanya kepatuhan yang aku mau mas Benny membisikkan itu di telingaku sambil menarik kepang rambutku dengan keras sehingga kepalaku terhentak kebelakang dengan keras dan aku langsung memejamkan mataku.
Paham? mas Benny bertanya dengan suara keras di telingaku dan aku menjawab lirih I…iya mas.
Bagus, sekarang masuk mobil dan lepas celana dalammu sebelum masuk mobil mas Benny memberikan perintahnya, meskipun ragu dan tidak memahami apa yang sedang terjadi, aku tetap mematuhi perintahnya. Dengan tubuh masih bergetar dan jantung berdegup keras, akupun masuk ke dalam mobil. Mas Benny melemparkan tasku ke bangku belakang dan memutar untuk masuk ke sisi pengemudi.
Tarik rokmu lebih tinggi, aku mau lihat paha putihmu.
Sekali lagi mas Benny memberi perintah dan akupun langsung menurutinya. Kemudian mas Benny mulai berkonsentrasi mengemudikan mobil sedan berwarna putih dengan kaca nyaris tanpa kaca film. Saat berhenti di traffic light aku menyadari beberapa pengendara motor melihat ke dalam mobil, karena saat berhenti, tangan mas Benny akan mulai meraba paha bagian dalam dan terus naik ke atas. Antara takut, malu, dan entah perasaan apalagi tapi semakin lama aku merasakan hangat disela-sela pahaku dan mulai memejamkan mata.
Jangan tutup mata, tetap lihat ke depan dan duduk tegak tiba-tiba suara berat mas Benny mengejutkanku dan membuyarkan semua rasa itu serta membuat aku memperbaiki posisi duduk dan kembali menatap lurus ke jalanan di depan yang ramai.
Mas, kita kemana? Ini kan bukan jalan ke rumahku?
Kita memang tidak ke rumahmu, tapi ke rumahku jawab mas Benny datar. Nggak usah banyak tanya, diam dan tetap lihat ke depan. Lanjut mas Benny sebelum aku sempat membuka mulut untuk bertanya mengapa mas Benny tidak mengantar aku pulang.
Dalam kebingunganku, aku memilih untuk diam dan tidak membantah mas Benny. meski berbagai pertanyaan berkecamuk termasuk apa yang harus aku jelaskan pada kedua orangtuaku nanti. Meskipun aku tidak perlu kuatir tidak bisa masuk rumah semalam apapun aku pulang karena aku selalu membawa kunci sendiri. Namun mereka pasti akan bertanya bila aku pulang terlambat.
Jalanan makin ramai, makin banyak pengendara motor yang mencuri-curi pandang ke arah dalam mobil. Aku merasa mas Benny sengaja memilih jalanan yang padat dan banyak melalui persimpangan. Sekitar satu jam, sampailah kami di sebuah perumahan di kawasan Surabaya Barat yang sepi namun merupakan kawasan perumahan elit. Memasuki sebuah kluster perumahan, mas Benny terus melaju makin jauh ke dalam perumahan yang makin sepi dan tidak ada kendaraan lain lalu lalang ataupun pejalan kaki. ingin rasanya aku minta diantar pulang saja, namun setiap melihat mas Benny yang sedang serius mengemudi, keinginan itu sirna, berganti dengan keraguan dan takut untuk membantah perintahnya agar aku tidak bertanya apapun. ,,,,,,,,,,,,,,,,,(Bersambung)