1st Spring I
1st Spring I
Aku tidak memerlukan waktu yang lama untuk mempelajari internet selama aku berada di kota baru tempat tinggalku, sekaligus tempat aku kuliah. Yah, karena internet, selain merupakan teknologi yang penting, juga merupakan suatu hiburan yang sangat menarik bagi seseorang sesuai dengan bagaimana caranya ia menggunakannya.
Oh, ya. Kita sudah berkenalan pada cerita ‘Am I A Gay?’. (Bagi yang belum, bisa membaca cerita tersebut. Cerita ‘Am I A Gay?’, cerita ini serta cerita-cerita berikutnya yang bertema ‘Season’ akan merupakan cerita lepas yang bersambung). Pada waktu yang lalu sudah kuceritakan bagaimana aku, pada mulanya, mengalami sesuatu yang disebut homoseksualitas. Dan, bagaimanapun juga karena pengalaman itu merupakan pengenalan pertamaku kepada seksualitas, menjadi sangat membekas didalam diriku.
Selama enam bulan pertamaku di kota ini, aku mencari tahu sebanyak mungkin mengenai seksualitas, entah itu melalui buku ataupun berbagai jenis informasi-informasi yang bisa kudapatkan. Dan semuanya, pada akhirnya, mengarahkanku kepada bahwa aktivitas seksual yang kulakukan merupakan ‘penyimpangan’ seperti yang dikatakan oleh para ahli seksologi yaitu homoseksualitas. Well, walaupun sudah mengetahui berbagai teori dan kenyataannya, aku tidak merasa keberatan sekalipun, atau bahkan merasa malu. Mungkin dikarenakan aku membuka pikiranku sedemikian rupa, sehingga tidak ada yang namanya beban berat di bahuku.
Dan, oleh karena itu, aku mempunyai satu tujuan belajar internet. Aku ingin tahu lebih banyak mengenai dunia ini. Aku ingin menemukan teman yang memiliki ‘kesamaan’ denganku. Dan yang paling penting, mencari berbagai informasi yang bisa membuatku berhati-hati dalam melangkah. Karena, seperti yang diingatkan oleh beberapa teman chatting-ku, salah melangkah dalam dunia homoseksual dan dunia normal, entah itu salah satunya atau keduanya, akan berakibat kibat fatal.
Selain itu juga aku bekerja paruh waktu untuk menghabiskan waktu luangku diluar jam kuliah dan belajarku. Selian itu juga, aku ada mengikuti les bahasa Mandarin untuk persiapanku entah untuk keperluan apa saja di masa depan. Kalau bahasa Inggris, aku sudah menguasainya lebih dari cukup untuk sekedar berbicara saja. Mungkin aku memiliki sedikit bakat dalam bahasa. Dan dengan cara ini, aku membelikan diriku sendiri sebuah HP keluaran terbaru pada saat itu: N 3330. Sedikit membantu untuk melakukan segala kegiatan dan komunikasi, khususnya untuk duniaku yang ‘khusus’ itu.
Bulan kedelapan aku tinggal di kota itu, aku mulai memberanika diri untuk keluar ke komunitas homoseksual yang ada di kota tersebut. Yang membuatku sangat terkejut, ternyata komunitas homoseksual di kota ini jumlahnya lebih banyak daripada yang bisa kuperkirakan, walaupun aku memilih untuk tidak langsung membuka diriku begitu saja kepada semua orang di komunitas ini.
Pria pertama yang kutemui adalah seorang pemuda kuliahan semester terakhir yang bekerja paruh waktu disebuah perusahaan swasta. Seorang pemuda yang berumur sekitar 23 tahun, lebih tua dariku sekitar 3-4 tahun pada saat itu. Dia tinggi, tampan dan putih, tubuhnya berisi dikarenakan teratur mengunjungi sebuah gym di kota ini, mengendarai sebuah mobil-sebetulnya aku tidak mengharapkan hal ini, dan berpenampilan sangat perlente. Dan pada waktu pertama aku melihatnya, bahkan tanpa mengetahui bahwa dia mengendarai mobil, aku langsung jatuh hati pada penampilan fisiknya. Well, namun semua hal tidak sesederhana itu saja, kan?
Dia membawaku dan mengenalkanku kepada beberapa teman-temannya. Aku memintanya untuk tidak terlalu menampilkan aku kedepan. Dia menghargaiku, dan aku menyukainya. Kami menjadi lebih sering keluar hanya berdua saja. Entah itu sekadar jalan-jalan, window shopping, internet surfing, makan bareng, atau bahkan berolahraga berdua diakhir minggu. Aku tidak tahu mengapa, namun aku suka menghabiskan waktu bersamanya, dan aku tidak pernah merasa bosan ataupun lelah.
Saat ini kami berdua sedang berada didalam mobilnya. Kami baru saja dari sebuah restoran untuk makan malam kami. Sepanjang jalan kami banyak bercerita, atau lebih tepatnya aku yang lebih banyak bercerita, Terutama tentang aku dan teman SLTA-ku yang bernama Opay. Setelah beberapa kali bersama, aku memutuskan untuk bercerita bagaimana aku bisa ‘bergabung’ bersama mereka.
“Gitu, ya?” katanya tertawa keras.
“Itu mah udah ML lagi!”
Aku juga tertawa, “Maklumlah. Kan masih polos waktu itu.”
Dia membelokkan mobilnya kearah yang tidak seharusnya jika hendak mengantarku pulang.
“Lalu, sekarang gimana nih kalian berdua. Kan jauhan?”
Aku tidak menyadari bahwa dia telah membelokkan mobilnya.
“Gak, lah. Kami waktu itu cuman temenan aja. Mana ada pikiran yang lain. Hanya ‘having fun with friend’ aja, kurasa.”
“Beneran nih?” tanyanya menantang.
“Don’t miss him?”
“Ngapain lagi?” aku tertawa ngakak.
“Waktu itu masih polos. Mana ngerti yang lainnya selain saling buat enak?”
Dia menghentikan mobilnya. Sesaat kemudian aku tersadar bahwa bisa saja aku berada entah dimana.
“Fung,” aku memanggilnya.
“Kita dimana nih?”
Fung beringsut mendekat. Dan sesaat kemudian, ia sudah duduk diatas pangkuanku. Wajahnya sangat dekat dengan wajahku hingga aku bisa merasakan nafasnya.
“Coba kulihat.” katanya pelan semakin mendekatkan wajahnya.
“Seberapa banyak kepolosanmu yang masih tertinggal.”
Sesaat kemudian aku sudah merasakan bibirnya pada bibirku. Aroma dan pesonanya yang begitu maskulin memabukkanku. Aku langsung membuka mulutku, menerimanya. Benar-benar tanpa perlawanan sama sekali. Bibirnya terasa basah dan hangat. Lidahnya meliuk-liuk piawai. Aku merasakan kejantanannya yang mengeras dibalik celana yang dipakainya, bersamaan dengan milikku juga. Fung lebih merapatkan dirinya kepadaku, menekankan kejantanannya yang sudah sekeras baja ke perutku. Sambil menciumiku, dia bergerak dengan penuh irama. Lembut dan memabukkan.
Pria kedua yang pernah kucium dalam hidupku. Namun yang pertama yang pernah kucium sepanas ini. Lidah kami bertemu, saling bertaut. Bibir kami saling menjepit dan mengulum. Dan bahkan sedikit menggigit sesekali. Ia sesekali membisikkan kata-kata yang memabukkan ditelingaku sambil mencumbuinya. Lalu menjalar ke leherku. Tangannya, tanpa kusadari melepaskan kancing kemejaku perlahan-lahan. Tangannya menyelip kedalam, membelai perlahan dadaku, puting susuku sebelum akhirnya memerosotkan kemejaku dari bahuku. Pada saat bersamaan iramanya menjadi liar, dan lebih mendesak.
Pada saat itu juga aku terkesiap. Aku berusaha menarik diriku menjauh sekaligus mendorongnya sekuat tenaga pada saat yang bersamaan. Tubuhnya membentur dashboard mobil dan menimbulkn bunyi yang sedikit keras. Tubuhku gemetaran tidak keruan, dan sesaat kemudian aku merasakan menelan sesuatu yang asin dan bibirku terasa perih. Sepertinya aku mendorongnya tepat pada saat dia menggigit bibirku.
Setelah sadar dari keterkejutannya, Fung mencengkram bahuku dan menekanku ke jok kursi mobilnya.
“Ada apa ini?” kemarahan terbersit dalam nada suaranya. Cengkramannya kuat sekali.
“Seharusnya aku yang bertanya.” Aku meringis.
“Ngapain nyium aku seperti itu?”
Dia mendekatkan wajahnya..
“Bukankah kamu juga mau?” katanya berbisik. Namun tidak ada kelembutan dalam suaranya yang seperti biasa.
“Kalo ngga, ngapain pake acara ngebalas segala?” geramnya.
“A-aku..” aku tidak bisa memberikan alasan. Bahuku terasa semakin sakit.
“Le-lepaskan aku! Sa-sakit, Fung.” Aku berusaha untuk melepaskan diri.
“Ngapain kok kasar?”
Seperti disiram air sedingin es, Fung tersadar. Perlahan, ia melepaskan cengkramannya pada bahuku. Setelah memandangiku sesaat, dan bibirku yang berdarah, ia kembali ke kursi kemudinya dan menyalakan mobil. Selama perjalanan pulang dia tidak berbicara sepatah katapun.
Demikian juga dengan diriku. Sementara Fung mungkin menyesali apa yang dilakukannya, aku lebih memikirkan mengapa aku sebegitu lemahnya jika berhadapan dengannya. Ini bukan hanya terjadi sekali ini saja. Beberapa kali di kamar kostku, di toilet restoran tempat kami singgah untuk makan malam, di closed-cyber yang biasa kami kunjungi. Dan pada beberapa kesempatan itu, hanya beberapa kali saja Fung bereaksi seperti ini.
Apa yang sebenarnya salah denganku? Aku mencair secepat lilin dihadapan nyala api didekatnya. Namun demikian, disaat-saat yang menentukan, tiba-tiba aku merasa seharusnya tidak begini. Begitu membingungkan.
Bersambung . . . . .,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,